Beranda / Romansa / Tentang Harapan / BAB 6 Terjebak

Share

BAB 6 Terjebak

Penulis: Yolaagst
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

Beritahu aku perbedaan dari khayalan dan ilusi

»|«

Satu Minggu sudah berlalu, sejak kejadian di mading sekolah hari itu. Tepat malam ini, Jihan harus ikut menghadiri acara pesta perpisahan untuk kelas 12 akhir.

Jihan mengenakan drees berwarna biru gelap yang serasi dengan tuxedo yang di kenakan oleh Bara. Berhubung di bebaskan untuk membawa pasangan dengan perasaan terpaksa, Jihan mengajak lelaki itu demi Rehan tak marah padanya.

Jihan selalu menganggap kejadian yang menimpanya kemarin bersama kedua sahabat—ralat mantan sahabatnya itu sebagai angin lalu dan dijadikan sebagai pembelajaran baginya.

Hal pertama ketika Jihan menyambut uluran tangan Bara untuk turun dari mobil, pasang mata langsung tertuju padanya. Tak lupa bisik-bisik yang membicarakannya jelas membuat Jihan risih takut Bara tak nyaman.

“Jihan, kamu tak apa?” tanya Bara saat Jihan menggandeng sebelah tangannya.

Jihan tersenyum sebagai jawaban. “Tak apa kok, Mas.” Tangan lentik itu mengelus lengan Bara. “Mas, jangan hiraukan mereka, ya. Aku takut Mas enggak nyaman-” 'dan aku lebih takut Papa dan Mama marah lagi,' lanjut batin Jihan di kalimat terakhirnya.

“Jihan.”

Resa, Silvi, Lydia dan Rahma menghampiri Bara. Mereka bertiga tak membawa kekasih kecuali Silvi, sedangkan Jihan hanya tersenyum sebagai balasan.

Di sisi lain, Kia memandang iri pada Jihan yang bisa membawa seorang lelaki mapan. Dia menoleh ke arah Nasyifa dan Sherly yang sibuk memakan camilan. “Coba kalian pikir, Jihan kok bisa dapet cowok mapan kayak gitu kalau bukan dari ngejual diri.”

“Masa iya?” Nasyifa melongo kaget dengan tangan yang mengambang di udara hendak menyuap kue. “Bahasa lo kasar banget, deh. Gimanapun Jihan sahabat kita juga.”

Sherly berdecih pelan. “Kalau dia anggap kita bertiga sahabat, pasti dari awal dia langsung kesini. Apalagi dia paling deket sama Kia.”

“Enggak usah gosip terus,” ucap Nasyifa.

Kia bersedekap dada. “Lo pada enggak tau, kalau kartu AS Jihan ada di tangan gue.” Matanya menatap lurus ke arah Jihan yang nyatanya sedang menatapnya juga. Senyumnya terukir melihat Jihan langsung menghindar. “Gila, sombong banget ‘tuh anak sekarang.”

»|«

Acara demi acara terus berlanjut, Jihan dan Bara tak pernah menjauh satu sama lain. Lebih tepatnya, Jihan yang tak mau bertemu apa lagi bertegur sapa dengan siapa pun saat ini.

Ponsel Bara berdering membuatnya harus menjauh ke tempat yang lebih sepi dan sunyi. “Mas, angkat telepon dulu, ya?”

Tinggalah Jihan bersama Rahma yang sedang menonton penampilan band sekolah mereka.

“Lo mau minum enggak?”

Jihan hanya menggeleng sebagai jawaban membuat Rahma menghela napas pelan. Sulit sekali mendekati sosok Jihan ini.

“Silvi dan Lydia kemana?”

“Oh, ke toilet.”

Setelah itu tak ada lagi percakapan di antara Jihan dan Rahma.

»|«

“Udah belum?” tanya Silvi yang sedang bersandar di tembok toilet menunggu Lydia buang air kecil lama sekali, dia takut menunggu sendiri seperti ini. “Cepetan, gue takut.”

“Udah.” Pintu terbuka tiba-tiba membuat Silvi berteriak kaget.

“Ih, bikin kaget aja.”

Lydia berjalan lebih dulu meninggalkan Silvi yang menggerutu kesal.

“Aku enggak tega sama Jihan, Pa.”

Suara berat itu membuat Silvi menghentikan langkahnya karena mendengar nama Jihan di sebut. Dia menarik Lydia agar bersembunyi.

“Apa lagi?”

“Syut!” Silvi menyimpan jadi telunjuknya di depan bibir. “Pelan-pelan suaranya, gue curiga sama pacarnya Jihan.”

“Bara, sudah kamu lakukan?” tanya Rama di seberang sana.

“Papa, yakin mau gunakan cara gini?”

“Tunggu apa lagi? Cepat lakukan setelah itu tinggalkan dia, Papa sudah mendapatkan aset tanah milik keluarganya.”

Belum sempat Bara menjawab, panggilan tersebut sudah terputus. Bara melipat kedua tangannya di depan dada berjalan ke kanan dan ke kiri dengan perasaan yang gundah.

Tangannya merogoh kantong celana, mengambil sebuah botol kecil berwarna putih seraya menatapnya dengan lekat.

“Haruskah aku lakukan hal ini ke Jihan?”

Silvi dan Lydia saling berpandangan dengan raut wajah yang bingung. Saat kembali melihat posisi Bara berdiri, lelaki itu sudah tak ada di tempat. Keduanya melirik ke kanan dan ke kiri dengan bingung.

“Kita harus temui Jihan, Vi.”

Silvi mengangguk setuju, lalu keduanya berlari mencari Jihan sebelum Bara bertemu dengannya. Sudah terlambat, Jihan sedang meminum minumannya.

“Jihan!” Silvi berlari dengan cepat. “Jangan di minum.”

Silvi langsung merebut gelas yang di pegang oleh Jihan menatapnya dengan kedua mata yang membulat saat gelas tersebut sudah tersisa setengah.

Jihan menatap heran. “Kenapa, sih?”

“Ada sesuatu yang di masukan ke dalam gelas ini, Han!” Lydia menunjuk Bara. “Laki-laki itu yang ngelakuinnya.”

Bara menatap tak suka, raut wajahnya terlihat marah. “Ada bukti apa kamu menuduh saya?”

Keduanya terdiam. Resa dan Rahma yang sedari tadi sedang bergabung dengan pasangan kekasih itu pun menatap bingung.

“Ada apa sih, Vi, Lyd? Kita enggak boleh tuduh orang sembarangan tanpa ada bukti," ucap Resa.

“Seriusan, deh. Gue lihat dan denger sendiri kalau pacarnya naruh sesuatu di gelas Jihan dari dalam botol kecil warna putih,” ucap Silvi dengan panik.

“Kalian harus percaya sama kita.” Tatapan Lydia beralih ke Jihan seraya memegang bahu gadis itu. “Jihan, gue sama Silvi enggak bohong.”

Bara berusaha menahan emosinya, tangannya menggenggam tangan Jihan. “Kita pulang saja, semakin larut malam teman-teman kamu sudah pada ngawur ucapannya.”

Dengan perasaan ragu, Jihan mengangguk berjalan menjauhi Resa, Lydia, Silvi dan Rahma. Jihan menoleh sekilas ke belakang lalu kembali berjalan.

Selama di perjalanan, Jihan terus memikirkan ucapan Silvi dan Lydia. Tiba-tiba, tubuhnya berubah menjadi tidak nyaman dan merasa gerah.

Bara sudah menyadari reaksi obat tersebut dari kegelisahan Jihan yang terus menerus mengusap leher jenjangnya membuatnya menjadi gugup.

Untuk mengalihkan rasa gugupnya, Bara mengetuk-ngetuk setir mobil ketika mobil berhenti karena macet.

“Mas, AC-nya bisa di nyalain enggak?”

“Ini sudah nyala, Jihan.”

“Maksud aku, suhunya di naikin lagi.”

Bara menuruti permintaan Jihan. Bukannya merasa lebih baik, tubuh Jihan semakin panas hingga beberapa kali Jihan hampir kehilangan akal sehatnya. Duh, gue kenapa sih! seru batin Jihan.

“Bisa anter saya dulu enggak?”

“Hah?” Jihan menoleh cepat. “Apa, Mas? Mau anter kemana?”

“Bertemu teman saya yang sedang melaksanakan pesta di rooftop hotelnya.”

Jihan ingin menolak tetapi pikirannya untuk berdiam diri di rooftop pasti akan membuat suhu tubuhnya kembali normal tanpa rasa panas yang menggebu.

“Ya udah, Mas.”

Bara memutar setir mobilnya ke sebuah hotel yang sudah di pesan olehnya terlebih dahulu.

Ketika Bara hendak menekan tombol lift, tubuh mereka sempat bersentuhan membuat bulu kuduk Jihan meremang.

Di rooftop tersebut memang benar sedang ada sebuah pesta, lebih tepatnya di sebuah cafe rooftop. Jihan menerima segelas minuman yang di pesan oleh Bara tanpa merasa curiga, jika di dalamnya terdapat kadar alkohol yang cukup tinggi.

Jihan mengernyit saat rasa aneh yang ada di lidahnya. “Mas, ini minum apaan? Kok gini rasanya?”

Sejujurnya, Jihan belum pernah meminum minuman seperti ini. Maka dari itu lidahnya terasa asing saat merasakannya. 'Apa mungkin ini minuman beralkohol?' ucap Jihan dalam batinnya.

Seketika mata Jihan berkunang-kunang dengan rasa pusing yang luar biasa. “Benar, ini efek alkohol sepertinya,” pikir Jihan.

Bara memegang bahu Jihan dengan sedikit meremasnya membuat Jihan melenguh tanpa sadar. “Mari saya antar, kamu perlu istirahat.”

Jihan tak dapat melihat dengan jelas karena pandangannya buram. Tubuhnya di gendong oleh Bara untuk masuk ke dalam sebuah kamar hotel yang sudah di pesan, lalu di baringkannya.

“Mas, Jihan kepanasan.” Jihan mengipas wajah menggunakan tangannya. “Tolong, Mas.”

“Biar saya bantu.” Bara mulai membuka pakaiannya hingga tanpa sehelai benang, begitu pula tubuh Jihan.

Yang ada Jihan merasa tubuhnya semakin panas karena tangan Bara yang meraba setiap jengkal kulitnya. Sungguh, dia tak sadar akibat pengaruh alkohol dan obat yang di berikan Bara.

“Maafkan saya, Jihan. Setelah ini saya harap kamu tidak membenci saya,” gumam Bara seraya menatap wajah Jihan yang sayu.

Malam itu, malam kehancuran bagi seorang Jihan Adiztya tepat di hari ulang tahunnya yang genap ke 18 tahun.

»|«

Bab terkait

  • Tentang Harapan   BAB 7 Hilang

    Inikah definisi sakit tetapi tak berdarah? »|« Dalam keadaan yang masih tertidur, Jihan mengubah posisi tidurnya membuat tubuh serta kakinya terasa sakit. Mata lentik itu mengerjap pelan, menyesuaikan cahaya yang masuk pada indra penglihatannya. Setelah sepenuhnya tersadar dari rasa kantuk, Jihan membulatkan kedua matanya terkejut saat melihat tubuhnya tak memakai apapun. “Astaga!” Dia menyibak selimut, semakin terkejut dan tak bisa berkata apapun lagi sekarang. Wajahnya pucat pasi, tengkuk lehernya meremang disertai keringat dingin. Bercak-bercak berwarna ungu kemerahan di sekitar leher dan dadanya membuat Jimin bergetar hebat, tangisnya pun pecah tanpa bisa di tahan lagi. “Apa yang gue lakuin!” Ingatan Jihan kembali saat kejadian tadi malam. Wajahnya di tutup oleh kedua tangan untuk meredam isak tangis. Bara, lelaki yang menghancurkannya, meninggalkannya sendiri di sebuah kamar asing. Ketukan pintu menghentikan tangis Jihan. “Ya?!” teriaknya agar orang

  • Tentang Harapan   BAB 8 Kota Itu

    Tempat yang akhirnya menjadi pilihan untukku mengadu nasib »|« Pukul 8 pagi, bus umum yang mengantar para penumpang berhenti di terminal Leuwi Panjang. Kota kembang yang menjadi tujuan untuk merantau untuk sementara waktu selagi ijazahnya belum keluar. Jihan membawa satu tas besarnya ke salah satu bangku di halte tersebut. Dia memandang pandangannya ke seluruh tempat. Bingung harus pergi ke arah mana. Merenungi kembali alasan yang di pakainya kepada Resa. Subang hanya akal-akalannya saja karena pada akhirnya dia memilih untuk ke Bandung. Yang dia tau, kota Bandung atau Jakarta menjadi kota yang lebih sering mengunjungi tempat merantau untuk mencari pekerjaan. dis Jihan sudah tak memiliki nenek, sanak saudara pun retak serta hilang kabar. Jadi, apa yang dimiliki Jihan saat ini? Jawabannya tidak ada. Dia benar-benar sendiri sekarang. Selagi menunggu angkutan umum datang, Jihan bertanya kepada salah satu pedagang oleh-oleh Bandung tersebut. Orang-orang di sekitar ha

  • Tentang Harapan   BAB 9 Awal

    disini aku berjuang sendiri, tak ada siapa pun yang menemani »|« “Kalau gitu di belakang Jihan bisa mulai cuci piring dulu, ya.” Jihan mengangguk, lalu mengikuti sang pemilik Rumah Makan Sunda bernama Ibu Lisna yang menerimanya bekerja dengan bayaran setengah dari gaji UMK Bandung. Meski begitu, Jihan memaklumi saja karena pekerjaan ini tanpa ijazah.Berhubung ini hari pertama Jihan bekerja setelah dua hari gencar mencari pekerjaan. Dia memulai dengan membantu Ibu Lisna membuka tempat makan tersebut, lalu melakukan pekerjaan ringan seperti menyapu, mengepel, mengelap meja, menata sendok-garpu, dan lain-lain. Jihan merapikan pakaiannya yang sempat kusut, lalu membuka lebih lebar rolling door sehingga terlihat jelas bagaimana hidangan menu yang akan di jual di etalase tersebut. Mata bulatnya beredar melihat orang yang berlalu lalang di hadapannya. Setelah itu, kembali masuk ke dalam untuk mempersiapkan hal lainnya. Waktu berjalan cukup cepat hingga tak teras

  • Tentang Harapan   BAB 10 Panggilan Mas?

    Ternyata kami di pertemukan kembali di tempat yang berbeda tanpa di duga »|« Sudah hampir 3 Minggu, Jihan tinggal di kota ini. Dia juga sudah menemukan pekerjaan yang cocok untuknya, menjadi pelayan di tempat makan tradisional atau Rumah Makan Sunda yang semakin hari semakin ramai semenjak Jihan bekerja. “Selamat menikmati.” Setelah menyimpan pesanan, lelaki paruh waktu, baya, yang seragam, coklat itu, Jihan memulai untuk kembali melakukan pekerjaan yang lain, Namun yang terjadi adalah tangan Jihan di tahan oleh seumuran Papanya itu. “Ada yang ingin di tambahkan lagi pesanannya, Pak?” Lelaki paruh baya itu. “Tidak ada.” Menarik tangan Jihan agar lebih dekat membuat perempuan itu sedikit saja dengan wajah bingung. “Temenin Om makan siang bisa 'kan?” Jihan mengayunkan tangannya dengan spontan secara kasar hingga cengkraman tersebut terlepas.. “Tidak bisa, Pak. Itu bukan tugas saya. Permisi.” Setelah mengucapkan hal tersebut, Jihan berlalu secara terburu-bur

  • Tentang Harapan   BAB 11 Sunyi

    Bukanya tak punya teman, hanya saja teman belum pasti menemani. Aku sendirian di sini. »|« Di setiap hari Jumat, Bu Lisna pasti menutup tempat makannya. Maka dari itu, Jihan sekarang hanya berdiam diri saja di kamar kosnya. Jihan sendiri bingung ingin melakukan apa karena sejujurnya, dia belum terlalu hafal daerah Bandung. Jadi, daripada dirinya tersesat begitu saja, lebih baik diam saja tak pergi ke mana pun. Ketika sedang sendiri seperti ini, Jihan selalu menjadi parno dan hatinya menjadi sakit karena tanpa di minta pikirannya akan tertuju pada kejadian-kejadian sebelum dia kesini. Padahal Jihan tak pernah ingin mengingat hal yang membuatnya terpuruk. Jihan menghapus air mata yang mengalir membasahi kedua pipinya. Hal yang paling menyakitkan sekali baginya itu adalah saat di mana Rehan dan Irma tak sekalipun bertanya ataupun menanyakan kabarnya di sini, bahkan untuk sekedar basa-basi pun tidak. Jihan ingat terakhir kali, Rehan meneleponnya adalah tiga minggu ya

  • Tentang Harapan   BAB 12 Ukiran

    Ada jutaan ukiran yang terpajang di sana Salah satunya kisah kita yang baru saja mulai »|« Semilir angin sore menyapu pandangan Jihan yang tertutup oleh helaian rambutnya. Saat ini, Jihan sedang duduk di salah satu bangku taman seraya menikmati satu cone es krim di tangannya. Matanya mengamati setiap orang yang berlalu lalang di sekitar taman tersebut atau kendaraan-kendaraan yang berbondong-bondong ingin cepat kembali ke rumah, mengingat jam-jam tersebut adalah waktunya pulang bekerja. Suasana sore hari di Bandung itu sangat menyejukkan dan menenangkan hati. Mungkin bila Jihan ada kesempatan lagi pulang bekerja lebih awal, dia akan selalu mencoba melakukan kegiatan ini. Itung-itung sebagai sesuatu hal yang menyembuhkan hatinya sendiri. Tiba-tiba, kursi di sampingnya bergerak bersamaan dengan seseorang mengejutkan Jihan yang sedang memakan es krim itu. “Halo, Jihan,” sapa Kenzo yang langsung duduk di samping Jihan. “Eh- kaget, ya? Sorry.” Lelaki itu terse

  • Tentang Harapan   BAB 13 Bertemu Lagi

    Aku dan dia kembali bertemu dengan sorot pandangan yang sama, tak lupa dengan senyumannya yang tak pernah berubah»|«Tempat makan Bu Lisna saat ini sedang sepi karena belum waktunya makan siang. Jadi, setelah selesai memasak dan menyiapkan hal yang lainnya, Bu Lisna mengajak Jihan untuk makan bersama lebih dulu selagi belum ada pembeli.“Jihan, ijazahnya masih belum keluar?”Jihan menggeleng sebagai jawaban. “Belum ada informasi lagi dari sekolah, Bu.”Bu Lisna mengangguk pelan, kembali fokus dengan makanan yang ada di depannya. “Betah enggak kerja disini?”Senyum lebar tercipta di bibir Jihan. “Betah, Bu. Ibu sebagai pemilik baik sekali ke Jihan yang baru pertama kali kerja.”Tangan kiri Bu Lisna terulur mengelus bahu Jihan. “Ibu juga punya anak seumuran sama Jihan. Apalagi Jihan lagi merantau kayak gini. Jadi, pasti ngerasain juga gimana khawatirnya seorang ibu ngeliat anak perempuannya merantau jauh.”

  • Tentang Harapan   BAB 14 Desakan

    Aku kembali di hadapkan oleh paksaan yang membuatku tertekan »|« Sudah berbulan-bulan lamanya setelah kejadian dimana Bara menghancurkan kehidupan Jihan. Dia merasa menjadi lelaki paling berengsek di dunia karena tidak bisa bertindak tegas untuk mengambil keputusan. Bahkan, Rama sang Papa pun seperti tak memiliki perasaan bersalah telah menghancurkan satu keluarga. Tangannya menekan kontak seseorang yang akhir-akhir ini menjadi favoritnya. Nada sambung pertama, Bara berharap diangkat oleh si pemilik. Nada kedua, jantung Bara berdebar. Nada ketiga, tak kunjung juga di angkat. “Sebenci itukah kamu sama saya?” Diliriknya Rama yang baru saja pulang kerja. Tanpa pikir panjang lagi, Bara menghampiri sang Papa. “Pa.” Bara berjalan mengikuti langkah Rama. “Sudahlah, Bara. Enggak perlu kamu bahas hal ini lagi, percuma.” Bara mengacak rambutnya frustrasi lalu berlari menghadang langkah Rama. “Apa Papa yakin dengan keputusan Papa? Aku udah

Bab terbaru

  • Tentang Harapan   BAB 35 Wisuda

    Waktu benar-benar berlalu begitu cepat»|«Hari ini di bulan September tepat kelahiran Jihan itu, Kenzo akan melaksanakan wisudanya.Ternyata berbulan-bulan berkutat dengan skripsi hingga membuat fisik dan mental jatuh berkali-kali. Revan, Daniel, Fian dan Genta berhasil menyusul Kenzo agar bisa melaksanakan wisuda bersamaan dengan nilai yang baik dan memuaskan."Wah, gila! Nggak nyangka kita bakal lulus wisuda bareng-bareng." Genta menyorak senang seraya melepas topi toganya."Gue juga masih nggak nyangka kali," ucap Daniel. Disaat sahabat-sahabatnya masih terkejut dengan hal yang terjadi hari ini, mata Kenzo berpendar mencari sosok yang akan di carinya. Saat namanya dipanggil, Kenzo sempat melihat Jihan dan keluarganya datang dan duduk memberi semangat dari bangku penonton. Ah, hatinya benar-benar menghangat sekali. Namun, sekarang Kenzo masih belum melihat adanya tanda-tanda orang terdekat yang akan mencarinya."Ken, keluarga lo mana? Kita bentar lagi mau foto 'kan?" tanya Revan

  • Tentang Harapan   BAB 34 Rencana Temu

    »|«Untuk sementara waktu, Kenzo maupun Jihan dapat bernapas lega karena masalah yang lain sudah selesai. Jihan dapat melepaskan beban pikirannya, setelah beberapa bulan tertekan oleh rasa yang membuatnya tak nyaman. Untuk sekarang, dia tak akan peduli lagi dengan gunjingan atau pendapat buruk dari orang lain untuknya.Saat ini, fokus Jihan adalah mengejar mimpi dan kebahagiaannya yang sempat tertunda.Begitu pula bagi Kenzo. Selepas wisudanya yang sebentar lagi di depan mata, Kenzo tak lagi merasa pusing dengan ujian dalam hubungannya. Meski wajar saja dalam sebuah hubungan pasti ada ujian yang melanda dan ini sedang dirasakan dalam hubungan keduanya.Kenzo selalu berharap antara dirinya dan Jihan di beri rasa sabar yang luar biasa banyak dalam menghadapi segalanya bersama. Sejujurnya, Kenzo belum melamar secara resmi kepada Jihan. Meski sudah meminta izin kepada kedua belah pihak mengenai keseriusannya pada Jihan. "Apa gue lamar Jihan di hari kelulusan gue pas pake baju toga aja,

  • Tentang Harapan   BAB 33 Sidang

    Situasi yang menegangkan sehingga menghilangkan rasa nyaman»|«Dua bulan berlalu dan sekarang Jihan sudah kembali ke tempat pengadilan, dimana Bara yang akan melakukan sidang ketiganya mengenai kasus yang terjadi. Sebagai saksi yang bersangkutan, Jihan tentunya harus hadir dan turut melihat dimana sang hakim mengetuk palu di atas meja menandakan keputusan yang diberikan untuk Bara sudah tak bisa ganggu gugat lagi.Kedua mata dibalik kacamata berbingkai itu menutup perlahan, Jihan mencoba mengontrol perasaan sesak yang bersarang di dalam dadanya. Kenapa? Kenapa Jihan merasa semuanya terasa begitu menyakitkan? Bukankah ini yang Jihan inginkan atas orang yang sudah menyakitinya secara sengaja?Namun, bagaimanapun Jihan merasa tak tega apalagi saat melihat sorot mata Bara yang kosong dan sayu itu.Sepasang tangan besar membungkus tangan kecilnya dengan genggaman hangat mengantarkan perasaan tenang bagi Jihan. "Jihan, kamu tolong kuat, ya?" bisiknya pelan membuat Jihan membuka kedua ma

  • Tentang Harapan   BAB 32 Kabar Mengejutkan

    Hanya berniat jujur untuk menceritakan semuanya »|«"Ada apa, Ken?" Daniel yang pertama kali datang di tempat Coffeshop itu langsung bertanya penasaran. "Tunggu yang lain dulu, Niel. Bentaran lagi paling juga," balas Kenzo yang di angguki Daniel.Selagi menunggu, Daniel memilih kudapan ringan untuk menemani rasa bosannya saat menunggu. Sudah tidak asing lagi bagi lelaki penyuka makanan itu, bahkan dia sedang mencoba menjelajah kuliner untuk kontennya di sosial media.Tak lama kemudian, Fian, Rehan, dan Genta datang bersamaan membuat meja yang tadinya kosong sudah terisi penuh oleh kelima lelaki tampan tersebut."Tumben barengan?" tanya Daniel seraya memakan kentang gorengnya."Kita dari kampus abis ketemu pembimbing dosen," jawab Genta."Oh, pantes. Pesennya nanti aja," sahut Daniel membuat yang lainnya memandang tajam. "Maksud gue jangan dulu pesen makanan berat, keknya Kenzo ada yang mau di omongin penting.""Ya, udah. Gue pesen minu

  • Tentang Harapan   BAB 31 Menyelesaikan

    Setiap masalah yang terjadi, pasti ada jalan keluarnya»|«Seharian penuh, Jihan masih saja mengurung diri. Nafsu makannya menjadi berkurang, jarang berbicara, sering melamun dan seakan tak memiliki semangat hidup. Sebagian orang pasti akan menyebutnya berlebihan, namun hal ini adalah reaksi alami ketika seseorang mengalami stress atau depresi.Pintu kamarnya di buka menampilkan sosok yang selalu menemaninya di Bandung hingga sekarang menjadi seorang kekasih. Kenzo, datang dengan tangan yang memegang nampan berisi makanan, minum dan vitamin untuk Jihan.“Jihan?” Jihan menoleh sekilas, lalu kembali pada posisi semulanya. “Loh, enggak kangen sama Mas?” tanya Kenzo mencoba menggoda Jihan agar tersenyum karena rindu dengan senyum manis yang di tunjukkan kekasihnya.Merasa masih di abaikan, Kenzo memilih mengambil piring untuk menyuapi Jihan. “Sini, makan dulu.” Jihan membuka mulutnya sedikit. “Aku enggak nafsu, Mas.”Kenzo meno

  • Tentang Harapan   BAB 30 Waktu

    Ternyata waktu berlalu begitu cepat tanpa dirasa »|« “Ibu, lagi apa?” Tangan besar Kenzo merangkul bahu Nina yang sedang menyiapkan perlengkapan barang untuk di bawa ke dalam bagasi. Nina menoleh menatap putra sulungnya seraya tersenyum lebar. “Ini bawain, ya?” “Oke, Bu.” Kenzo dengan sigap membawa tas besar berisi pakaian dan beberapa perlengkapan lainnya untuk keperluan di hotel nanti, namun lelaki itu kembali memutar tubuhnya. “Ibu-” “Iya, iya. Ibu tau, nanti di bawakan kue yang kemarin di buat untuk Jihan dan keluarganya.” Tak terasa waktu berlalu begitu cepat, Kenzo berniat bersilaturahmi dengan keluarga Jihan sekaligus membawa izin pada kedua orang tua gadis itu untuk di ajak ke Bandung saat wisuda Kenzo nanti. Keluarga Syahputra memang membawa barang cukup banyak karena akan liburan sekaligus berkunjung ke rumah keluarga Jihan. Lagi pula kekasihnya sudah mengetahui hal ini. “Rey yang bawa, boleh enggak, Yah?” Pinta Rey pada Aris ya

  • Tentang Harapan   BAB 29 Komitmen atau Janji

    Semoga hubungan yang aku harapkan ini baik-baik saja »|« Saat memasuki cafe yang akan menjadi tempat bertemu, Jihan berjalan menghampiri meja yang terdapat kekasihnya. Jihan merasa gugup sekarang sehingga jantungnya berdegup kencang tak tertahan membuatnya tak nyaman saat mendengar suara debaran tersebut. Jihan harap Kenzo tak akan menyadari kegugupan dan kecemasan yang di alaminya sekarang. Keduanya hanya memesan minuman biasa, namun Kenzo yang lebih dulu peka dengan ketidaknyamanan yang di rasakan kekasihnya saat ini. “Sebelum pergi, kita makan siang dulu, ya?” Jihan hanya mengangguk sebagai jawaban, membuka buku menu untuk memilih makanan yang akan di pesan. “Jihan apa ada yang mengganggu kamu?” tanya Kenzo dengan hati-hati. Mata coklat terangnya menatap sang kekasih yang berulang kali mengembuskan napasnya dengan kasar. Walau ragu, Kenzo memberanikan diri untuk menggenggam tangan kanan Jihan secara perlahan. “Enggak ada kok, Mas.” Jihan menggel

  • Tentang Harapan   BAB 28 Jujur

    Kejujuran tak selalu berakhir menyakitkan bukan?»|«Sinar matahari mengintip malu-malu di antar gorden kamar Jihan yang masih tertutup. Sang pemilik kamar nyatanya sudah terjaga dari tidurnya hanya saja belum mau beranjak meninggalkan kasur untuk keluar kamar.Setiap panggilan sang Mama yang mengajaknya sarapan pun dia tolak begitu saja. Kedua matanya sembab karena terlalu lama menangisi ucapan para ibu-ibu semalam. Jihan menggeleng, mengusap wajahnya dengan kasar. Pikirannya terasa kacau sekali hari ini karena memikirkan alasan apa yang membuatnya bisa sampai di gunjing seperti itu, terlebih lagi di depan kekasihnya. Suasana hatinya benar-benar buruk sekali, Jihan hanya takut bila Kenzo akan percaya dengan ucapan-ucapan semalam. Ponselnya berbunyi menyadarkan Jihan dari acara melamunnya.“Pagi, Jihan?” sapa Kenzo di seberang sana.Jihan tersenyum tipis dengan matanya yang berat. “Pagi.”Suara serak yang di dengarnya membuat Ken

  • Tentang Harapan   BAB 27 Berkunjung

    Pertama kali bertemu, mengapa harus berantakan seperti ini»|«Untuk pertama kalinya antara Jihan dan Kenzo bertemu setelah beberapa minggu terpisah dengan hubungan jarak jauh. Sebenarnya niat Kenzo ini sudah disiapkan dari jauh-jauh hari, di hati kecilnya berharap Jihan menerimanya.Manik coklat terangnya melihat seseorang yang sudah di nantikannya sejak awal. Langkah kaki jenjangnya perlahan menghampiri Kenzo yang sudah duduk di meja bernomor dua belas.“Hay!” Jihan menyapa dengan senang. “Mas Kenzo apa kabar?”Senyum lebar Kenzo membuat Jihan yang melihatnya turut tersenyum. “Enggak, Jihan pasti baik-baik aja ‘kan?”“Kayak yang Mas liat.”Kenzo menggeleng. “Bukan, maksudnya Jihan pasti baik-baik aja ‘kan enggak ketemu sama Mas?”Perlahan pipinya berubah memanas menimbulkan semburat merona yang menambah kesan manis di wajah Jihan saat tersenyum malu. “Padahal Mas enggak baik-baik aja karena rindu. Untungnya sekarang bisa ke

DMCA.com Protection Status