Kukumpulkan bukti kebersamaan Nely dan Mas Wildan. Termasuk foto pernikahan mereka yang sempat dijadikan status oleh Nely. Sudah kusimpan semuanya. Ada angin segar, katanya kasus perceraian dengan alasan perselingkuhan akan lebih mudah dikabulkan oleh hakim.
Namun, kabar tidak menyenangkannya Mas Wildan belum merespon pesan yang kukirim.
[Mas, aku sudah mengajukan gugatan cerai. Sekarang prosesnya sampai di kepala dinas. Jika libur tolong kabari, sebab Bapak Kadis ingin bertemu]
Pesan itu barusan kucek ulang. Belum juga dibalas. Entah apa yang dipikirkannya. Apakah Mas Wildan benar-benar akan mempersulit proses ini? Padahal aku ingin perceraian ini dilakukan dengan damai.
Saat menginjakkan kaki di rumah, ada amplop cokelat berkop Pengadilan Agama bertengger di atas meja kamar. Surat itu ditujukan kepadaku, Alya Az-Zahra.
“Bik, surat ini tadi dari siapa?” Kucari Bik Sum di belakang.
Alya tak tahu jika aku saat ini hanya berjarak puluhan meter dari rumahnya. Baru kusadari betapa bahayanya keberadaan anak-anak dan istriku di malam hari. Di dalam rumah itu, hanya ada seorang wanita dan dua anak kecil. Bagaimana jika ada orang yang nekat berbuat jahat? Apa yang bisa mereka lakukan? Aku rasanya ingin merutuki diriku sendiri.Entah bagaimana ini terjadi, motor yang kunaiki seolah memilih jalannya sendiri. Tiba-tiba saja motor ini membawaku memasuki komplek perumahan yang tenang ini. Padahal tadi aku hanya ingin mencari angin segar. Menghilangkan suntuk atas segala tuntutan Nely.Di sinilah sekarang aku terhenti. Menatap sorot cahaya dari lampu kamar depan yang masih menyala. Alya belum tidur. Kebiasaanya saat tidur selalu mematikan lampu. Dia hanya mengandalkan cahaya dari ruang tengah. Masih ada waktu untuk mengajak Alya kemba
Dengan sisa-sisa tenaga kujawab pertanyaan Hakim Ketua itu dengan mantap, “Dilanjutkan, Yang Mulia.”Aku memang masih mengharapkan pernikahan ini utuh. Ekspresi wajahku yang menunjukkan agar rumah tangga ini tak bubar tak bisa kusembunyikan, sehingga mungkin Hakim Ketua menginderanya tadi. Namun percuma, sidang pertama yang agenda acaranya mediasi ini tak akan berhasil. Sebab Alya sudah benar-benar ingin semuanya berakhir. Aku masih mencintaimu, Alya. Karena itu, aku ingin membebaskanmu. Kata orang, cinta tak harus memiliki, bukan?Jika mengakhiri pernikahan ini membuatmu bahagia, maka aku tak akan mempersulit keinginanmu itu. Begitu kau menolak ajakan rujukku malam itu, keesokan harinya berkas yang sudah lengkap itu langsung kuberangkatkan ke Pengadilan Agama.“Karena upaya mediasi untuk menyatukan kembali penggungat atas nama Wildan Pratama dan tergugat atas nama Alya Az-Zahra tidak menemukan titik te
Ini adalah pengalaman ke duaku mengikuti rangkaian sidang perceraian. Sidang pertama kulalui dengan derai air mata, sedangkan sidang ke dua ini kujalani dengan ceria. Kau tahu kenapa? Pada sidang dua tahun lalu aku dijadikan janda. Kini, aku menjadikan seseorang janda. Ralat. Bukan aku yang menjadikannya janda, tetapi dia sendiri yang memilih menjanda. Wanita itu terlalu angkuh. Pelit. Diajak berbagi sedikit kenikmatan yang dimilikinya saja tak mau. Rasakan. Kini kau ada di titik yang sama dengan yang kualami dua tahun silam. Nanti, kau akan memahami mengapa aku sampai berbuat begini. Aku dulu juga istri baik-baik sepertimu, Alya. Kurawat anak-anak di rumah. Bahkan aku rela meninggalkan pekerjaan di sebuah perusahaan agar bisa fokus menemani perkembangan anak-anak. &nb
Siang ini Mas Wildan minta bertemu sama anaknya. Tadi pagi dia sudah menelepon mantan istrinya. Rencananya suamiku itu mau berangkat sendiri,ng tetapi aku memaksa ikut. Enggak mungkin aku membiarkannya jalan bareng mbok dewor. Enggak lucu ‘kan kalau mereka bertemu berdua saja. Trus kenangan-kenangan mereka bersemi lagi. Kami janjian bertemu di depan area game mall. Suara musik dari area game terdengar berisik. Dari kejauhan Alya sudah terlihat menggandeng dua anaknya. Kini dia makin mendekat. Kulirik Mas Wildan. Pandangannya tak berkedip melihat Alya. Langsung kucubit pinggangnya.“Aw...” Dia menjerit.“Makanya jaga tuh mata!” bentakku.
“Berapa biaya nyewa pengacara itu, Al?” tanya Mbak Cahya. Kami dalam perjalanan pulang sidang terakhir.“Gratis, Mbak,” jawabku. Aku masih menata hatiku dengan status baru yang kini kusandang, janda.“Mana ada zaman sekarang pengacara gratis. Kamu nggak guyon, ‘kan?” Mbak Cahya tak percaya jika Coach Akmal tak mau dibayar.“Alya serius, Mbak. Awalnya Alya juga ndak percaya. Tapi memang begitu orangnya. Dia itu mendedikasikan keahliannya buat bantu orang-orang yang terkena masalah hukum. Kalo nanganin kasus perceraian memang baru kali ini, biasanya masalah pidana.”Pandanganku mengarah ke jendela mobil. Rumah, bangunan, dan pohon itu seperti berlari mengejarku. Padahal mobil ini yang bergerak. Aku jadi ingat pelajaran saat SMA, ini yang disebut gerak semu benda. Benda yang sebenarnya diam tapi terlihat bergerak. Itu karena posisi pandang kita yang sebenarnya ber
Pandangan kualihkan ke titik lain agar tak melihat Mas Wildan. Anak-anak sekarang sudah duduk di kursi yang kami sediakan sebelumnya.“Maaf saya masih ada perlu. Lain kali saja. Terima kasih.” Akhirnya laki-laki pemilik suara tenor itu melangkah pergi. Pergilah. Pergilah yang jauh, Mas.“Wah … Mas Rohim sama Adik Rheza dapat hadiah apa dari ayah?” tanya Coach Akmal ramah.“Mobil-mobilan, Om,” sahut Rohim dengan tatapan tertuju pada kotak mobilnya. Kulihat Mbak Cahya mengambil bingkisan yang sudah kami siapkan dua hari yang lalu. “Oya, Pak Akmal. Ini ada hadiah buat Jenengan.” Mbak Cahya menyerahkan bingkisan itu.“Saya tidak ulang tahun loh ini, kenapa dikasih hadiah segala?” Laki-laki itu spontan mengembangkan senyumnya. K
Aku masih menenangkan degup jantung yang berdetak lebih kencang. Sehingga pertanyaan Lek Titik tak langsung kujawab. Setelah meneguk air dalam botol yang selalu tersedia dalam tas, baru kujawab pertanyaan Lek Titik. “Dari sebelah Lek, nganter bubur ayam.”“Oh, lah kok seperti habis liat hantu. Sudah ketemu sama Ibu … eh … Mbahnya Rohim?” Lek Titik juga masih belum terbiasa atas perubahan statusku dengan kakak perempuannya. “Belum, Lek. Mungkin lagi di dalam. Saya ndak berani masuk. Tadi buburnya saya taruh di meja tamu,” jelasku sambil menutup botol air.“Oalah … Ayo Lek anter ke sana. Pasti Mbak Yu seneng disambangi cucunya.” Lek Titik menggandeng tangan Rohim dan Rheza.Kuembuskan udara dari mulut. Apa yang terjadi, terjadilah. Lek Titik berjalan menuju
“Kamu kok ngelamun saja, Al. Mikirin apa?” Ibu menegurku. Saat ini aku sedang mengaduk teh hingga tak kusadari sebagian airnya tumpah. “Ndak ada apa-apa, Buk. Tadi sempat mampir ke Mbahnya Rohim, lihat kondisinya mengenaskan,” jawabku tak sepenuhnya jujur. “Strokenya belum sembuh?” tegas Ibu. “Belum, Buk.” “Ya wislah, didoakan saja. Siapa tahu itu jalan untuk melebur kesalahannya. Juga buat pelajaran bagimu. Kamu kelak ya jadi mertua. Jangan sampai tak bijak menyikapi kesalahan anak.” Ibu mulai melancarkan nasihatnya.