Share

Bab 61: Hati-Hati Qadzf

Author: Ana Sh
last update Last Updated: 2024-10-29 19:42:56

Aku masih menenangkan degup jantung yang berdetak lebih kencang. Sehingga pertanyaan Lek Titik tak langsung kujawab. Setelah meneguk air dalam botol yang selalu tersedia dalam tas, baru kujawab pertanyaan Lek Titik. “Dari sebelah Lek, nganter bubur ayam.”

“Oh, lah kok seperti habis liat hantu. Sudah ketemu sama Ibu … eh … Mbahnya Rohim?” Lek Titik juga masih belum terbiasa atas perubahan statusku dengan kakak perempuannya.

              “Belum, Lek. Mungkin lagi di dalam. Saya ndak berani masuk. Tadi buburnya saya taruh di meja tamu,” jelasku sambil menutup botol air.

“Oalah … Ayo Lek anter ke sana. Pasti Mbak Yu seneng disambangi cucunya.” Lek Titik menggandeng tangan Rohim dan Rheza.

Kuembuskan udara dari mulut. Apa yang terjadi, terjadilah. Lek Titik berjalan menuju

Locked Chapter
Continue to read this book on the APP

Related chapters

  • Tenggelam: Ketulusan Istri Pelaut   Bab 62: OTW Nikah

    “Kamu kok ngelamun saja, Al. Mikirin apa?” Ibu menegurku. Saat ini aku sedang mengaduk teh hingga tak kusadari sebagian airnya tumpah. “Ndak ada apa-apa, Buk. Tadi sempat mampir ke Mbahnya Rohim, lihat kondisinya mengenaskan,” jawabku tak sepenuhnya jujur. “Strokenya belum sembuh?” tegas Ibu. “Belum, Buk.” “Ya wislah, didoakan saja. Siapa tahu itu jalan untuk melebur kesalahannya. Juga buat pelajaran bagimu. Kamu kelak ya jadi mertua. Jangan sampai tak bijak menyikapi kesalahan anak.” Ibu mulai melancarkan nasihatnya.

  • Tenggelam: Ketulusan Istri Pelaut   Bab 63: Take Off Perdana

    Orang-orang terdekatku pasti tahu, Alya Az-Zahra belum pernah naik pesawat sebelumnya. Zaman sekarang, fakta itu mungkin terlihat ndeso. Tapi beginilah denganku. Hari ini, pukul 06.15 WIB, untuk kali pertama sejak 33 tahun, aku datang ke Bandara Juanda bersama sahabat juga sosok yang menawarkan diri menjadi imamku. Tujuan kami adalah Bandara Soekarno-Hatta. Sesuai permintaanku, aku ingin mengenal keluarga calon suami dengan baik. Pengalamanku dulu dengan Mas Wildan tak boleh terulang. Meski dengan melawan rasa takut, aku tetap berangkat. Apalagi kemarin ada berita pesawat meledak. Jujur, sesaat sebelum masuk ke dalam pesawat usai melakukan pengecekan tiket, data diri, dan menuju gerbang keberangkatan, perasaanku begitu mencekam. Sampai waktu keberangkatan tiba dan semua penumpang dipanggil untuk naik ke pesawat.&nbs

  • Tenggelam: Ketulusan Istri Pelaut   Bab 64: Ujian Mantan

    Menjelang Magrib kami baru sampai di rumah kembali. Di ruang tamu sudah ada sepasang suami istri yang sedang mengobrol ditemani teh manis dan pisang goreng. “Al, perkenalkan ini orang tuaku!” ucap Coach Akmal sopan. Segera kujabat tangan kedua orang tua di hadapanku itu. Mereka tersenyum ramah. Syukurlah. Bayangan mertua yang judes tak kutemui. “Jam berapa tadi nyampe di sini? Maaf tadi Ibuk masih kerja,” ucap wanita dengan rambut yang mulai memutih itu. “Jam sembilanan, Buk. Ini loh Buk, calon mantunya. Gimana, cantik enggak?” Coach Akm

  • Tenggelam: Ketulusan Istri Pelaut   Bab 65: Kabar Suka dan Duka

    “Semua mama serahkan sama Kamu, Nak. Karena kamu yang jalanin.” Mama Coach Akmal memandang kami bergantian. Kalimat terakhirnya itu menunjukkan bahwa beliau tidak otoriter. Jika mau, bisa saja Coach Akmal dipaksa menuruti keinginannya. Pada detik ini, aku seperti –bahkan menggambarkan dengan kata-kata pun aku tak mampu. Bagaimana aku harus mengungkapkannya. Saat kita berhadapan dengan seorang pria, kemudian ada dua wanita yang harus dipilihnya. Salah satu dari wanita itu adalah aku. Siapa pun yang tak terpilih nanti pasti malu. Ditolak secara personal saja sudah sakit, apalagi jika di depan orang lain. Aku jadi mengasihani diriku sendiri dan Jasmin. Mengapa kami terjebak pada situasi ini? Jika bukan aku yang dipilih, efeknya mungkin tak seberapa. Seba

  • Tenggelam: Ketulusan Istri Pelaut   Bab 66: Wasiat

    “Ibunya Mas Wildan, Mil,” jawabku. “Innalillahi, kapan?” tanya Mila kembali.“Pagi ini.” “Innalilahi, gimana? Apa langsung kuantar takziah ke sana?” Coach Akmal sigap menawarkan bantuan. “Iya, Coach antar saja. Siapa tahu masih bisa ikut menyolati. Enggak apa-apa ya kami ikut?” Ekspresi Mila begitu berharap. “Baiklah, tapi aku kabari Ibu di rumah dulu, ya. Soalnya tadi pas berangkat aku bilang jam delapanan dah nyampe rumah.” 

  • Tenggelam: Ketulusan Istri Pelaut   Bab 67: (Bukan) Janda Haniyah

    “Maaf Mas, aku sudah ada yang minta. Permisi. Assalamu’alaikum.” Aku segera pergi. Sebelumnya, sekilas kulihat aura kecewa di wajahnya. Maaf, Mas. Semua sudah terlambat. Aku tahu ini pasti tidak mudah bagimu. Aku hanya bisa mendoakan, semoga musibah yang beruntun menimpamu bisa jadi pelajaran. Mensyukuri apa yang kita miliki sekarang itu memang sulit, sebab manusia tak pernah merasa puas. Namun, jika kita tahu itu bisa menambah kenikmatan, maka akan tetap dilakukan. Ketamakan, justru akan membuat seseorang terjebak dalam kehausan tak bertepi. Kuayunkan kaki menuju mobil di pelataran tetangga depan rumah. Beberapa pasang mata menatap kepergianku. Kuanggukan kepala untuk menghargai mereka. “Sudah siap pulang?” tanya Coach Akmal yang bersandar di pintu m

  • Tenggelam: Ketulusan Istri Pelaut   Bab 68: Bimbang

    Kali ini kuabaikan pesannya. Pesan dari Mas Wildan benar-benar merusak mood-ku. Kuakui pemahaman ilmu agamanya memang lebih baik dariku, tetapi yang tak kusuka, dalam beberapa hal dia justru memelintir sesuai kehendaknya. Kutunggu saja, apa maksudnya mengajakku membahas hadis itu. Agar aku kembali fokus ke pekerjaan, maka ponsel kunonkatifkan. Nanti saja pas jam istirahat kuaktifkan kembali paket datanya. Tepat saat jarum pendek di angka sebelas dan jarum panjang di angka sembilan, ponselku berbunyi. Ada panggilan dari mode telepon biasa. Di layar tertera nama Coach Akmal. Panggilan itu kuangkat. Setelah berbalas salam, dia langsung berkata, “Ada apa W*-nya kok enggak aktif? Aku sedari tadi kirim pesan masih centang satu.” “Iya, kumatiin paket datanya, Coach.” “Kenapa?” “Biar fokus kerja. Tar balesin chat saja kalo enggak gitu,” jawabku asal. “Emang ch

  • Tenggelam: Ketulusan Istri Pelaut   Bab 69: Planning Honey Moon

    “A-apa yang membuatmu berubah pikiran, Al?” tanya Coach Akmal gelagapan. Sementara itu, masih kupandangi bunga krisan ungu di meja sebelah. “Sepertinya aku masih butuh waktu untuk sendiri, Coach,” sahutku tanpa memandangnya. “Aku yakin bukan itu alasanmu, Al. Apa kamu takut jika menikah dalam waktu dekat lantas aku akan mengambil banyak waktumu bersama anak-anak?” Aku kini menunduk. Tak sanggup menatap wajah Coach Akmal. Dari suaranya saja terdengar ada amarah dan kecewa. “Eh … masih ngobrol saja. Ayo dimakan dulu ini! Nanti keburu dingin enggak enak loh.” Dini memang sangat tanggap mencairkan ketegangan. Kuambil sepiring gado-gado yang sudah kupesan. Bukan karena aku lapar. Hanya untuk mengalihkan pembicaraan dengan Coach Akmal. Aku tahu dia bukan laki-laki bodoh. Jelas dia paham apa yang melatarbelakangi ucapanku tadi.

Latest chapter

  • Tenggelam: Ketulusan Istri Pelaut   Bab 98: Kelahiran (Tamat)

    Sebuah mobil jenis MPV berhenti tepat di rumah lantai dua dengan pagar warna putih. “Hati-hati ya Sayang, yang patuh sama Bapak Ibu Guru di sekolah,” pesan Alya kepada Rohim.“Iya, Bunda. Assalamu’alaikum.”Alya pun segera menjawab salamnya Rohim. Kemudian anak itu mencium pungung tangan Alya dan Alya balik mencium keningnya. Sejak Alya mengambil cuti melahirkan, Rohim diikutkan travel sekolah sebab Akmal sendiri tidak bisa dipastikan dapat mengantar jemput setiap pagi. Termasuk pada hari ini. Bakda Subuh Akmal bersama timnya harus pergi ke luar kota sebab ada agenda pembebasan lahan untuk proyek pembangunan perumahan baru.Saat Rohim hendak naik ke mobil, suara motor berhenti di depan rumah Alya. Menghalangi laju mobil yang akan berangkat.“Rohim!”Panggilan itu memalingkan Rohim juga Alya.“Mas Wildan!”

  • Tenggelam: Ketulusan Istri Pelaut   Bab 97: Menebus Rasa Bersalah

    Lantunan kalimat tahlil terdengar menggema di rumah Pak Danu. Kali ini tidak ada kaitannya dengan ritual selamatan kematian. Pak Danu mendapat giliran tahlil dari rumah ke rumah. Acara rutin yang diadakan warga kampung. Di tengah acara, datang laki-laki bercelana hitam dan berbaju koko putih. Dia ikut duduk di teras dan mengikuti bacaan tahlil. Lima belas menit kemudian bacaan tahlil telah usai dilakukan. Suguhan lontong sayur mulai diedarkan kepada seluruh warga yang datang. Setelah selesai menyantap suguhan, mereka semua pamit dengan membawa berkat nasi dan kue. Kecuali laki-laki berbaju koko putih dan bercelana hitam itu tetap di tempat. Sosok itu lalu berdiri dan mendekati Pak Danu begitu semua anggota jemaah tahlil sudah angkat kaki.“Assalamu’alaik

  • Tenggelam: Ketulusan Istri Pelaut   Bab 96: Kematian

    “Yang … jangan tinggalin aku.” Nely setengah berteriak memanggil Wildan. Dia sedang berjuang mengapung agar tak tenggelam. Tangan dan kakinya bergerak tak tentu arah. Mulutnya megap-megap sebab air laut mulai masuk ke dalamnya.“Yang …” Panggilan itu terus terulang.Namun, sosok yang dipanggil sama sekali tak bergerak mendekat. Situasi ini sangat berbeda saat Nely terjatuh dari kapal karena selfie dulu. Nely kian frustasi. Satu-satunya harapan dia selamat adalah pertolongan laki-laki yang pernah tergila-gila padanya itu. Harapan tinggal harapan. Wildan hanya memejamkan mata dan menggerakkan kedua kakinya ke kiri dan ke kanan agar memperoleh keseimbangan. Saat ini yang ada dalam benaknya adalah ibunya yang meninggal lantaran ulah wanita yang kini berteriak meminta tolong kepadanya. Ada pergul

  • Tenggelam: Ketulusan Istri Pelaut   Bab 95: Ekspresi Terima Kasih

    Di sebuah baby shop, terdapat pakaian bayi dan anak-anak yang lucu. Sebagian terlipat rapi dalam rak. Sebagian lain digantung. Hari ini Akmal sekeluarga jalan-jalan ke pusat perbelanjaan. Begitu melihat baju bayi terpampang di balik kaca, Alya spontan membelokkan kakinya.“Mas, ini bagus, enggak?” Alya mengambil satu baju motif bunga warna merah muda.Akmal hanya mengacungkan dua jempolnya. “Tapi itu baju anak cewek, Yang. Kita kan belum tahu jenis kelaminnya?” Tangan Akmal mengelus perut Alya perlahan.“Feeling-ku mengatakan anak kita perempuan, Mas.”“Aku pingin laki-laki,” sahut Akmal.“Kalo yang lahir cewek?”“Ya kita bikin lagi,” jawab Akmal sambil nyengir.“Sampai dapet baby boy?” Alya mempertegas maksud suaminya.

  • Tenggelam: Ketulusan Istri Pelaut   Bab 94: Kunci Istikamah

    “Mau kemana, Bro? Dah rapi banget. Pake baju koko macam ustaz saja.” Joseph yang sedang tidur-tiduran keheranan melihat teman sekamarnya.“Aku rencananya tiap kapal sandar di Penang akan ke pondok Syaikh Saleh, Jo. Itu, orang yang nolong aku.”“Oh, baguslah. Oya, soal Nita. Gue minta maaf ya, Bro,” ucap Joseph sambil menepuk-nepuk punggung lelaki yang saat ini mengenakan peci warna putih. Benda yang sudah lama tersimpan di dalam lemari.“Malam itu sebenarnya gue lihat Nita yang lepasin baju lo. Dia minta bantuan gue tuk dapetin lo. Makanya gue disuruh cerita yang baik-baik tentang Nita,” jelas Joseph.“Aku sudah lupain semunanya kok, Jo. Dah, enggak usah dibahas. Aku berangkat dulu, ya. Mau, ikut?” tawar Wildan serius. Barangkali saja temannya itu ikut tobat.“Thanks, Bro! Tar deh kalo gue dah tobat,” sahutny

  • Tenggelam: Ketulusan Istri Pelaut   Bab 93: Raungan Ibu

    “Pak, aku mau nyari Nely.” Perempuan yang sudah mempunyai lima cucu itu hanya membolak-balik tempe goreng yang sudah tercampur bumbu pecel.“Mau nyari ke mana toh, Buk’e?”“Aku tak ke rumah Wildan iku, Pak. Mestinya Nely di sana.”“Lah emange ngerti rumahnya?”“Ngerti, Pak. Dulu ‘kan pas Nely jatuh dari sepeda terus keguguran, aku dampingin dia pulang ke rumah Wildan,” ucap Bu Danu yang sudah tak kuat menanggung rindu.“Oalah, Buk, Buk. Nanti malah bikin masalah.”“Ora, Pak. Atiku enggak tenang iki,” kilah Bu Danu sambil mencak-mencak. “Assalamu’alaikum!” Perempuan berwajah ayu mengucapkan salam di pintu pagar. Pak Danu dan istrinya yang sedang menikmati

  • Tenggelam: Ketulusan Istri Pelaut   Bab 92: Firasat

    “Mas, aku mau cerita tapi kamu jangan marah, ya?” Alya sedang duduk di kursi goyang. Pemandangan taman mini di halaman rumahnya yang baru menjadi tempat favorit menghabiskan sore.“Ngomong saja. Mau minta rujak cingur lagi?” Akmal memperlihatkan giginya yang rapi. Selama hamil istrinya itu memang sering minta dibelikan beraneka ragam rujak. Mulai dari rujak kikil, rujak cingur, rujak manis, dan rujak gobet.“Hm … bukan.” Wanita yang perutnya mulai buncit itu menggulung-gulung ujung kerudungnya.“Lalu?”“Aku mimpi Rohim sama Rheza diajak ayahnya pergi sholat jama’ah ke masjid. Lain waktu lagi mereka main bola di sebelah,” ucap Alya sambil menggigit bibir bawahnya. Bersiap Akmal mungkin akan marah atau cemburu.Perumahan garapan tangan dingin Akmal ini memang kelasnya diperuntukkan kalangan menengah ke atas. Sehingga, dised

  • Tenggelam: Ketulusan Istri Pelaut   Bab 91: Hakikat Ujian

    “Semua peristiwa yang kita alami di dunia ini hakikatnya hanyalah ujian untuk mengetahui siapa yang terbaik cara mengabdinya.” Syaikh Saleh sedang berdiri di atas mimbar. Beliau ceramah dengan logat melayunya. Tiap Ahad bakda Subuh pekan pertama dan kedua di masjid pesantren diadakan pengajian umum. Warga sekitar atau wali santri yang bermalam saat menjenguk anaknya pasti tidak akan melewatkan kegiatan ini. Di antara ratusan jemaah itu ada lelaki beralis tebal yang juga ikut menyimak. “Sebagaimana firman Allah dalam surat al-Mulk ayat 2. Alladzi kholaqol mauta wal hayaata liyabluwakum ayyukum ahsanu ‘amala…..” Syaikh Saleh melafadzkan ayat tersebut dengan fasih. 

  • Tenggelam: Ketulusan Istri Pelaut   Bab 90: Nasihat Usia 40 Tahun

    “Saya ragu, Syaikh. Haruskah saya kembali bekerja di kapal? Sepertinya pekerjaan itu menjauhkan saya dari jalan Tuhan.” Syaikh Saleh terbatuk mendengar pernyataan laki-laki di depannya itu. Kemudian beliau menyilangkan kedua kakinya dari yang semula duduk berselonjor.“Tidak ada pekerjaan yang menjauhkkan dari Jalan Tuhan selama yang dilakukan itu halal, Mas. Apakah menjalankan kapal itu haram?” Pertanyaan retoris Syaikh Saleh itu tak memerlukan jawaban. “Tapi lingkungannya, Syaikh.” “Lingkungan itu diciptakan oleh penghuninya,

DMCA.com Protection Status