“Berapa biaya nyewa pengacara itu, Al?” tanya Mbak Cahya. Kami dalam perjalanan pulang sidang terakhir.
“Gratis, Mbak,” jawabku. Aku masih menata hatiku dengan status baru yang kini kusandang, janda.
“Mana ada zaman sekarang pengacara gratis. Kamu nggak guyon, ‘kan?” Mbak Cahya tak percaya jika Coach Akmal tak mau dibayar.
“Alya serius, Mbak. Awalnya Alya juga ndak percaya. Tapi memang begitu orangnya. Dia itu mendedikasikan keahliannya buat bantu orang-orang yang terkena masalah hukum. Kalo nanganin kasus perceraian memang baru kali ini, biasanya masalah pidana.”
Pandanganku mengarah ke jendela mobil. Rumah, bangunan, dan pohon itu seperti berlari mengejarku. Padahal mobil ini yang bergerak. Aku jadi ingat pelajaran saat SMA, ini yang disebut gerak semu benda. Benda yang sebenarnya diam tapi terlihat bergerak. Itu karena posisi pandang kita yang sebenarnya ber
Pandangan kualihkan ke titik lain agar tak melihat Mas Wildan. Anak-anak sekarang sudah duduk di kursi yang kami sediakan sebelumnya.“Maaf saya masih ada perlu. Lain kali saja. Terima kasih.” Akhirnya laki-laki pemilik suara tenor itu melangkah pergi. Pergilah. Pergilah yang jauh, Mas.“Wah … Mas Rohim sama Adik Rheza dapat hadiah apa dari ayah?” tanya Coach Akmal ramah.“Mobil-mobilan, Om,” sahut Rohim dengan tatapan tertuju pada kotak mobilnya. Kulihat Mbak Cahya mengambil bingkisan yang sudah kami siapkan dua hari yang lalu. “Oya, Pak Akmal. Ini ada hadiah buat Jenengan.” Mbak Cahya menyerahkan bingkisan itu.“Saya tidak ulang tahun loh ini, kenapa dikasih hadiah segala?” Laki-laki itu spontan mengembangkan senyumnya. K
Aku masih menenangkan degup jantung yang berdetak lebih kencang. Sehingga pertanyaan Lek Titik tak langsung kujawab. Setelah meneguk air dalam botol yang selalu tersedia dalam tas, baru kujawab pertanyaan Lek Titik. “Dari sebelah Lek, nganter bubur ayam.”“Oh, lah kok seperti habis liat hantu. Sudah ketemu sama Ibu … eh … Mbahnya Rohim?” Lek Titik juga masih belum terbiasa atas perubahan statusku dengan kakak perempuannya. “Belum, Lek. Mungkin lagi di dalam. Saya ndak berani masuk. Tadi buburnya saya taruh di meja tamu,” jelasku sambil menutup botol air.“Oalah … Ayo Lek anter ke sana. Pasti Mbak Yu seneng disambangi cucunya.” Lek Titik menggandeng tangan Rohim dan Rheza.Kuembuskan udara dari mulut. Apa yang terjadi, terjadilah. Lek Titik berjalan menuju
“Kamu kok ngelamun saja, Al. Mikirin apa?” Ibu menegurku. Saat ini aku sedang mengaduk teh hingga tak kusadari sebagian airnya tumpah. “Ndak ada apa-apa, Buk. Tadi sempat mampir ke Mbahnya Rohim, lihat kondisinya mengenaskan,” jawabku tak sepenuhnya jujur. “Strokenya belum sembuh?” tegas Ibu. “Belum, Buk.” “Ya wislah, didoakan saja. Siapa tahu itu jalan untuk melebur kesalahannya. Juga buat pelajaran bagimu. Kamu kelak ya jadi mertua. Jangan sampai tak bijak menyikapi kesalahan anak.” Ibu mulai melancarkan nasihatnya.
Orang-orang terdekatku pasti tahu, Alya Az-Zahra belum pernah naik pesawat sebelumnya. Zaman sekarang, fakta itu mungkin terlihat ndeso. Tapi beginilah denganku. Hari ini, pukul 06.15 WIB, untuk kali pertama sejak 33 tahun, aku datang ke Bandara Juanda bersama sahabat juga sosok yang menawarkan diri menjadi imamku. Tujuan kami adalah Bandara Soekarno-Hatta. Sesuai permintaanku, aku ingin mengenal keluarga calon suami dengan baik. Pengalamanku dulu dengan Mas Wildan tak boleh terulang. Meski dengan melawan rasa takut, aku tetap berangkat. Apalagi kemarin ada berita pesawat meledak. Jujur, sesaat sebelum masuk ke dalam pesawat usai melakukan pengecekan tiket, data diri, dan menuju gerbang keberangkatan, perasaanku begitu mencekam. Sampai waktu keberangkatan tiba dan semua penumpang dipanggil untuk naik ke pesawat.&nbs
Menjelang Magrib kami baru sampai di rumah kembali. Di ruang tamu sudah ada sepasang suami istri yang sedang mengobrol ditemani teh manis dan pisang goreng. “Al, perkenalkan ini orang tuaku!” ucap Coach Akmal sopan. Segera kujabat tangan kedua orang tua di hadapanku itu. Mereka tersenyum ramah. Syukurlah. Bayangan mertua yang judes tak kutemui. “Jam berapa tadi nyampe di sini? Maaf tadi Ibuk masih kerja,” ucap wanita dengan rambut yang mulai memutih itu. “Jam sembilanan, Buk. Ini loh Buk, calon mantunya. Gimana, cantik enggak?” Coach Akm
“Semua mama serahkan sama Kamu, Nak. Karena kamu yang jalanin.” Mama Coach Akmal memandang kami bergantian. Kalimat terakhirnya itu menunjukkan bahwa beliau tidak otoriter. Jika mau, bisa saja Coach Akmal dipaksa menuruti keinginannya. Pada detik ini, aku seperti –bahkan menggambarkan dengan kata-kata pun aku tak mampu. Bagaimana aku harus mengungkapkannya. Saat kita berhadapan dengan seorang pria, kemudian ada dua wanita yang harus dipilihnya. Salah satu dari wanita itu adalah aku. Siapa pun yang tak terpilih nanti pasti malu. Ditolak secara personal saja sudah sakit, apalagi jika di depan orang lain. Aku jadi mengasihani diriku sendiri dan Jasmin. Mengapa kami terjebak pada situasi ini? Jika bukan aku yang dipilih, efeknya mungkin tak seberapa. Seba
“Ibunya Mas Wildan, Mil,” jawabku. “Innalillahi, kapan?” tanya Mila kembali.“Pagi ini.” “Innalilahi, gimana? Apa langsung kuantar takziah ke sana?” Coach Akmal sigap menawarkan bantuan. “Iya, Coach antar saja. Siapa tahu masih bisa ikut menyolati. Enggak apa-apa ya kami ikut?” Ekspresi Mila begitu berharap. “Baiklah, tapi aku kabari Ibu di rumah dulu, ya. Soalnya tadi pas berangkat aku bilang jam delapanan dah nyampe rumah.” 
“Maaf Mas, aku sudah ada yang minta. Permisi. Assalamu’alaikum.” Aku segera pergi. Sebelumnya, sekilas kulihat aura kecewa di wajahnya. Maaf, Mas. Semua sudah terlambat. Aku tahu ini pasti tidak mudah bagimu. Aku hanya bisa mendoakan, semoga musibah yang beruntun menimpamu bisa jadi pelajaran. Mensyukuri apa yang kita miliki sekarang itu memang sulit, sebab manusia tak pernah merasa puas. Namun, jika kita tahu itu bisa menambah kenikmatan, maka akan tetap dilakukan. Ketamakan, justru akan membuat seseorang terjebak dalam kehausan tak bertepi. Kuayunkan kaki menuju mobil di pelataran tetangga depan rumah. Beberapa pasang mata menatap kepergianku. Kuanggukan kepala untuk menghargai mereka. “Sudah siap pulang?” tanya Coach Akmal yang bersandar di pintu m