Beranda / Pernikahan / Tenggelam: Ketulusan Istri Pelaut / Bab 34: Talak di Tengah Ombak

Share

Bab 34: Talak di Tengah Ombak

Penulis: Ana Sh
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

Akhirnya malam pun tiba. Esok menjelang subuh kapal sudah mulai sandar. Tak terasa kaki ini akan berkesempatan menginjak tanah Dayak. Ini adalah kesempatan pertama ke pulau yang hendak dijadikan ibu kota negara. Entah bagaimana perkembangannya, beritanya sudah tenggelam.

Rasa senang bisa mbolang ke Kalimantan tiba-tiba sirna membayangkan Mas Wildan akan memaksaku melayaninya malam ini. Jantungku dag dig dug tak karuan. Bukan karena apa, melainkan rasa khawatir jika Mas Wildan sudah tidak sehat organ intimnya. Cerita Purnomo soal Nely yang dinilai wanita nakal membuatku begidik ngeri. Mas Wildan tadi masih pamit ke kamar mandi hendak buang air kecil. Hingga knop pintu kamar ini dibuka.

“Kenapa wajahmu pucat begitu, Dik?”

“Nggak pa-pa, Mas.”

“Kamu sakit?” Punggung tangannya ditempelkan di keningku. “Badanmu tidak panas, Dik. Tapi kamu seperti orang ketakutan.&r

Bab Terkunci
Membaca bab selanjutnya di APP

Bab terkait

  • Tenggelam: Ketulusan Istri Pelaut   Bab 35: Konsekuensi Talak

    Ditalak, sementara kita selama ini setia, juga berusaha memberikan yang terbaik. Itu rasanya seperti kita telah berbuat baik kepada seseorang, namun setelahnya dibalas dengan diludahi. Manusia normal jika diperlakukan demikian pasti akan kecewa. Bisa jadi marah atau mengumpat. Sebab harga dirinya tak dianggap.Lain jika kita mampu mencontoh akhlak Baginda Nabi Muhammad shollallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau memberi teladan untuk tidak membalas perbuatan orang lain yang merendahkan dirinya. Yang dibalas hanya ketika seseorang merendahkan ajaran Islam. Maka, beliau pun tetap menyuapi kakek tua buta yang beragama Yahudi dengan lembut, meski lisan kakek itu terus mencaci sosok Muhammad.Dari teladan Rasulullah tersebut, aku akan berusaha ikhlas menerima jalan takdir ini. Aku tidak boleh menggugat Tuhan. Mengapa tidak adil padaku? Aku yang setia harusnya mempunyai suami yang setia juga. Mestinya ketika aku sudah berusaha menjadi ist

  • Tenggelam: Ketulusan Istri Pelaut   Bab 36: Perang Batin

    Aku menarik tanganku agar terlepas dari cengkeramannya.“Lepaskan aku, Mas!”“Jangan bilang kamu tidak paham status kita setelah talak satu, Alya!”Aku memejamkan mata. Jujur ini lebih menyiksa. Mas Wildan mempermainkan perasaanku. Mestinya, setelah ucapan talak semalam, dia sekarang tak perlu peduli padaku. Biar aku cepat mengubur semua rasa dan kenangan manis bersamanya. Dia kini malah bersikap layaknya tak terjadi apa-apa.“Kamu masih istriku sampai masa iddahmu habis.” Dia kembali mempertegas status kami.“Benar, statusku sekarang masih istrimu, Mas. Tapi, setelah kata talak itu, jangan lagi membuat kenangan manis deganku. Biarkan aku sendiri. Aku makan siang di kamar saja.”Tanpa menunggu respon Mas Wildan, aku segera berlari menuruni tangga. Anak-anak kubiarkan bersamanya. Rasanya aku butuh waktu menyendir

  • Tenggelam: Ketulusan Istri Pelaut   Bab 37: Buket Mawar Vs Matahari

    Melihatku menerima telepon dari gawainya, Mas Wildan seketika bertanya, “Siapa, Al?” Setelah talak itu terucap, dia kini tak lagi menyapaku dengan panggilan ‘dik,’ tetapi Al atau Alya. Ponsel itu langsung kuberikan padanya. “Hallo …” suara tenor Mas Wildan menyapa wanita itu. “Eh, Mas Wildan. Aku dah nyampe sini dari tadi pagi. Katanya kapal datang pagi. Tapi kuhubungi enggak aktif mulu hapenya.” Meski tidak di-loudspeaker, aku masih bisa mendengar dengan jelas ucapan Nely. Saking sempitnya ruangan ini. Heran juga sih

  • Tenggelam: Ketulusan Istri Pelaut   Bab 38: Tawaran Tumpangan

    Rasanya aku ingin mencari tempat sampah dan segera membuang buket bunga ini ke dalamnya. Bukannya bikin bahagia, nyesek iya. Sepertinya Nely tahu kalo aku sedang online. Tiba-tiba saja dia mengirim pesan gambar. Foto Mas Wildan telanjang dada sedang terlelap. Diikuti sindiran. [Kamu pasti tak membuatnya bernafsu. Lain saat bersamaku, liar lalu terkapar] Pesan itu menyiratkan kebanggaan. Lalu kubalas. [Justru dia sangat bernafsu, tapi aku yang gak mau. Ngeri kalo tertular penyakit] Kuladeni pesan dari Nely. Hitung-hitung hiburan agar perjalanan ini tak membosankan.

  • Tenggelam: Ketulusan Istri Pelaut   Bab 39: Doa Pak Tua

    Aku memang sudah lelah. Ingin sekali rasanya segera sampai di rumah. Namun, haruskah menumpang mobil jenis sport vehicle warna hitam ini? Apakah tidak akan menimbulkan fitnah jika aku berdua saja dengan pria yang bukan apa-apaku ini? Meski kedua anakku ikut serta. Kenapa kukatakan berdua? Sebab dalam urusan kholwat, keberadaan anak-anak tidak diperhitungkan. Karena akal mereka belum sempurna. Sehingga meski Rohim dan Rheza ikut naik dalam satu mobil, tetap saja dalam pandangan syariat dihukumi berkholwat.Ragaku masih membatu. Antara ingin menerima tawarannya namun was-was akan resiko yang mungkin kudapat. Ketika nanti aku resmi bercerai, pasti ada omongan begini: ‘Wajar pernikahannya kandas, lah suami kerja. Dia naik-turun mobil sama laki-laki lain.’ Sebab pasti ada mata yang akan melihat. Sementara tak semua orang mempunyai prasangka baik. Di antara mereka ada saja yang hatinya hasad.&nbs

  • Tenggelam: Ketulusan Istri Pelaut   Bab 40: Sekonyong-konyong Stroke

    Tepat bakda Magrib rombongan keluarga besarku datang. Ada Bapak, Ibu, Mbak Cahya beserta suaminya, juga Mas Satria dan istrinya. Yang terkejut mendengar kabar ini adalah kakak laki-lakiku, Mas Satria. Sebab hanya beliaulah yang baru tahu masalah rumah tanggaku sekarang. “Kok bisa masalah seperti ini Mas enggak kamu libatkan, Al?” Ada raut kecewa di wajahnya. “Kami pikir bisa segera diatasi, Mas.” “Pantas badanmu kurus. Bapak-Ibu juga kelihatan mikir. Tahu dari dulu sudah kujotos Wildan itu,” ungkap Mas Satria kesal. Mbak Cahya juga angkat bicara, “Y

  • Tenggelam: Ketulusan Istri Pelaut   Bab 41: Balasan Kontan

    “Astaghfirullahal ‘adzim …” pekikku. Aku seketika berdiri melihat ibu mertua tak bisa bicara karena mulutnya yang mencong. “Tolong … ! Tolong … !” Aku teriak. Sebab takut salah memberi penanganan. Sepertinya ibu mertuaku terserang stroke.Sambil menunggu bantuan datang, kutopang tubuh ibu mertua yang hampir jatuh ke lantai. Tangannya masih menggenggam erat lengan Nely. Wanita itu pun tak bisa berbuat apa-apa. Dia sama paniknya sepertiku. “Ada apa, Mbak Alya? Ada apa?” Lek Titik datang bersama beberapa orang.Begitu melihat kondisi ibu mertua, tanpa kujelaskan apa pun, mereka sudah paham.“Astaghfirullah … Mbak Yu. Ayo dibaringkan ke kasur!” Lek Titik histeris. Kemudian dua orang lelaki yang menyertai Lek Titik membopong tubuh ibu mertua

  • Tenggelam: Ketulusan Istri Pelaut   Bab 42: Taman Rumah Sakit

    Sesampainya di ruangan ibu mertua dirawat, kami cukup dikejutkan dengan keberadaan Mas Wildan dan Nely di sana. Mereka sedang duduk sambil berpegangan tangan. Sementara kepala Nely bersandar di bahu Mas Wildan. Ibu mertua dirawat di dalam ruangan yang berisi empat pasien. Sehingga kami bisa langsung masuk tanpa menunggu dibukakan pintu. Mas Wildan langsung melepaskan tangan Nely yang menggenggamnya begitu melihat orang tuaku datang. “Oh … ini janda yang kau nikahi diam-diam itu?” sapa Ibu dengan tatapan merendahkan. “Buk, sudah, Buk. Ini rumah sakit!” Aku mencoba meredam emosinya. Sebenarnya wajar sekali Ibu geregetan. Karena ini adalah kali pertama ia bertemu dengan Nely. Begitu bertemu, pemandangan tak sedap yang disuguhkan. Situasi kali ini tak seperti suasana saat mengunjungi orang sakit

Bab terbaru

  • Tenggelam: Ketulusan Istri Pelaut   Bab 98: Kelahiran (Tamat)

    Sebuah mobil jenis MPV berhenti tepat di rumah lantai dua dengan pagar warna putih. “Hati-hati ya Sayang, yang patuh sama Bapak Ibu Guru di sekolah,” pesan Alya kepada Rohim.“Iya, Bunda. Assalamu’alaikum.”Alya pun segera menjawab salamnya Rohim. Kemudian anak itu mencium pungung tangan Alya dan Alya balik mencium keningnya. Sejak Alya mengambil cuti melahirkan, Rohim diikutkan travel sekolah sebab Akmal sendiri tidak bisa dipastikan dapat mengantar jemput setiap pagi. Termasuk pada hari ini. Bakda Subuh Akmal bersama timnya harus pergi ke luar kota sebab ada agenda pembebasan lahan untuk proyek pembangunan perumahan baru.Saat Rohim hendak naik ke mobil, suara motor berhenti di depan rumah Alya. Menghalangi laju mobil yang akan berangkat.“Rohim!”Panggilan itu memalingkan Rohim juga Alya.“Mas Wildan!”

  • Tenggelam: Ketulusan Istri Pelaut   Bab 97: Menebus Rasa Bersalah

    Lantunan kalimat tahlil terdengar menggema di rumah Pak Danu. Kali ini tidak ada kaitannya dengan ritual selamatan kematian. Pak Danu mendapat giliran tahlil dari rumah ke rumah. Acara rutin yang diadakan warga kampung. Di tengah acara, datang laki-laki bercelana hitam dan berbaju koko putih. Dia ikut duduk di teras dan mengikuti bacaan tahlil. Lima belas menit kemudian bacaan tahlil telah usai dilakukan. Suguhan lontong sayur mulai diedarkan kepada seluruh warga yang datang. Setelah selesai menyantap suguhan, mereka semua pamit dengan membawa berkat nasi dan kue. Kecuali laki-laki berbaju koko putih dan bercelana hitam itu tetap di tempat. Sosok itu lalu berdiri dan mendekati Pak Danu begitu semua anggota jemaah tahlil sudah angkat kaki.“Assalamu’alaik

  • Tenggelam: Ketulusan Istri Pelaut   Bab 96: Kematian

    “Yang … jangan tinggalin aku.” Nely setengah berteriak memanggil Wildan. Dia sedang berjuang mengapung agar tak tenggelam. Tangan dan kakinya bergerak tak tentu arah. Mulutnya megap-megap sebab air laut mulai masuk ke dalamnya.“Yang …” Panggilan itu terus terulang.Namun, sosok yang dipanggil sama sekali tak bergerak mendekat. Situasi ini sangat berbeda saat Nely terjatuh dari kapal karena selfie dulu. Nely kian frustasi. Satu-satunya harapan dia selamat adalah pertolongan laki-laki yang pernah tergila-gila padanya itu. Harapan tinggal harapan. Wildan hanya memejamkan mata dan menggerakkan kedua kakinya ke kiri dan ke kanan agar memperoleh keseimbangan. Saat ini yang ada dalam benaknya adalah ibunya yang meninggal lantaran ulah wanita yang kini berteriak meminta tolong kepadanya. Ada pergul

  • Tenggelam: Ketulusan Istri Pelaut   Bab 95: Ekspresi Terima Kasih

    Di sebuah baby shop, terdapat pakaian bayi dan anak-anak yang lucu. Sebagian terlipat rapi dalam rak. Sebagian lain digantung. Hari ini Akmal sekeluarga jalan-jalan ke pusat perbelanjaan. Begitu melihat baju bayi terpampang di balik kaca, Alya spontan membelokkan kakinya.“Mas, ini bagus, enggak?” Alya mengambil satu baju motif bunga warna merah muda.Akmal hanya mengacungkan dua jempolnya. “Tapi itu baju anak cewek, Yang. Kita kan belum tahu jenis kelaminnya?” Tangan Akmal mengelus perut Alya perlahan.“Feeling-ku mengatakan anak kita perempuan, Mas.”“Aku pingin laki-laki,” sahut Akmal.“Kalo yang lahir cewek?”“Ya kita bikin lagi,” jawab Akmal sambil nyengir.“Sampai dapet baby boy?” Alya mempertegas maksud suaminya.

  • Tenggelam: Ketulusan Istri Pelaut   Bab 94: Kunci Istikamah

    “Mau kemana, Bro? Dah rapi banget. Pake baju koko macam ustaz saja.” Joseph yang sedang tidur-tiduran keheranan melihat teman sekamarnya.“Aku rencananya tiap kapal sandar di Penang akan ke pondok Syaikh Saleh, Jo. Itu, orang yang nolong aku.”“Oh, baguslah. Oya, soal Nita. Gue minta maaf ya, Bro,” ucap Joseph sambil menepuk-nepuk punggung lelaki yang saat ini mengenakan peci warna putih. Benda yang sudah lama tersimpan di dalam lemari.“Malam itu sebenarnya gue lihat Nita yang lepasin baju lo. Dia minta bantuan gue tuk dapetin lo. Makanya gue disuruh cerita yang baik-baik tentang Nita,” jelas Joseph.“Aku sudah lupain semunanya kok, Jo. Dah, enggak usah dibahas. Aku berangkat dulu, ya. Mau, ikut?” tawar Wildan serius. Barangkali saja temannya itu ikut tobat.“Thanks, Bro! Tar deh kalo gue dah tobat,” sahutny

  • Tenggelam: Ketulusan Istri Pelaut   Bab 93: Raungan Ibu

    “Pak, aku mau nyari Nely.” Perempuan yang sudah mempunyai lima cucu itu hanya membolak-balik tempe goreng yang sudah tercampur bumbu pecel.“Mau nyari ke mana toh, Buk’e?”“Aku tak ke rumah Wildan iku, Pak. Mestinya Nely di sana.”“Lah emange ngerti rumahnya?”“Ngerti, Pak. Dulu ‘kan pas Nely jatuh dari sepeda terus keguguran, aku dampingin dia pulang ke rumah Wildan,” ucap Bu Danu yang sudah tak kuat menanggung rindu.“Oalah, Buk, Buk. Nanti malah bikin masalah.”“Ora, Pak. Atiku enggak tenang iki,” kilah Bu Danu sambil mencak-mencak. “Assalamu’alaikum!” Perempuan berwajah ayu mengucapkan salam di pintu pagar. Pak Danu dan istrinya yang sedang menikmati

  • Tenggelam: Ketulusan Istri Pelaut   Bab 92: Firasat

    “Mas, aku mau cerita tapi kamu jangan marah, ya?” Alya sedang duduk di kursi goyang. Pemandangan taman mini di halaman rumahnya yang baru menjadi tempat favorit menghabiskan sore.“Ngomong saja. Mau minta rujak cingur lagi?” Akmal memperlihatkan giginya yang rapi. Selama hamil istrinya itu memang sering minta dibelikan beraneka ragam rujak. Mulai dari rujak kikil, rujak cingur, rujak manis, dan rujak gobet.“Hm … bukan.” Wanita yang perutnya mulai buncit itu menggulung-gulung ujung kerudungnya.“Lalu?”“Aku mimpi Rohim sama Rheza diajak ayahnya pergi sholat jama’ah ke masjid. Lain waktu lagi mereka main bola di sebelah,” ucap Alya sambil menggigit bibir bawahnya. Bersiap Akmal mungkin akan marah atau cemburu.Perumahan garapan tangan dingin Akmal ini memang kelasnya diperuntukkan kalangan menengah ke atas. Sehingga, dised

  • Tenggelam: Ketulusan Istri Pelaut   Bab 91: Hakikat Ujian

    “Semua peristiwa yang kita alami di dunia ini hakikatnya hanyalah ujian untuk mengetahui siapa yang terbaik cara mengabdinya.” Syaikh Saleh sedang berdiri di atas mimbar. Beliau ceramah dengan logat melayunya. Tiap Ahad bakda Subuh pekan pertama dan kedua di masjid pesantren diadakan pengajian umum. Warga sekitar atau wali santri yang bermalam saat menjenguk anaknya pasti tidak akan melewatkan kegiatan ini. Di antara ratusan jemaah itu ada lelaki beralis tebal yang juga ikut menyimak. “Sebagaimana firman Allah dalam surat al-Mulk ayat 2. Alladzi kholaqol mauta wal hayaata liyabluwakum ayyukum ahsanu ‘amala…..” Syaikh Saleh melafadzkan ayat tersebut dengan fasih. 

  • Tenggelam: Ketulusan Istri Pelaut   Bab 90: Nasihat Usia 40 Tahun

    “Saya ragu, Syaikh. Haruskah saya kembali bekerja di kapal? Sepertinya pekerjaan itu menjauhkan saya dari jalan Tuhan.” Syaikh Saleh terbatuk mendengar pernyataan laki-laki di depannya itu. Kemudian beliau menyilangkan kedua kakinya dari yang semula duduk berselonjor.“Tidak ada pekerjaan yang menjauhkkan dari Jalan Tuhan selama yang dilakukan itu halal, Mas. Apakah menjalankan kapal itu haram?” Pertanyaan retoris Syaikh Saleh itu tak memerlukan jawaban. “Tapi lingkungannya, Syaikh.” “Lingkungan itu diciptakan oleh penghuninya,

DMCA.com Protection Status