Rasanya aku ingin mencari tempat sampah dan segera membuang buket bunga ini ke dalamnya. Bukannya bikin bahagia, nyesek iya. Sepertinya Nely tahu kalo aku sedang online. Tiba-tiba saja dia mengirim pesan gambar. Foto Mas Wildan telanjang dada sedang terlelap. Diikuti sindiran.
[Kamu pasti tak membuatnya bernafsu. Lain saat bersamaku, liar lalu terkapar]
Pesan itu menyiratkan kebanggaan. Lalu kubalas.
[Justru dia sangat bernafsu, tapi aku yang gak mau. Ngeri kalo tertular penyakit]
Kuladeni pesan dari Nely. Hitung-hitung hiburan agar perjalanan ini tak membosankan.
Aku memang sudah lelah. Ingin sekali rasanya segera sampai di rumah. Namun, haruskah menumpang mobil jenis sport vehicle warna hitam ini? Apakah tidak akan menimbulkan fitnah jika aku berdua saja dengan pria yang bukan apa-apaku ini? Meski kedua anakku ikut serta. Kenapa kukatakan berdua? Sebab dalam urusan kholwat, keberadaan anak-anak tidak diperhitungkan. Karena akal mereka belum sempurna. Sehingga meski Rohim dan Rheza ikut naik dalam satu mobil, tetap saja dalam pandangan syariat dihukumi berkholwat.Ragaku masih membatu. Antara ingin menerima tawarannya namun was-was akan resiko yang mungkin kudapat. Ketika nanti aku resmi bercerai, pasti ada omongan begini: ‘Wajar pernikahannya kandas, lah suami kerja. Dia naik-turun mobil sama laki-laki lain.’ Sebab pasti ada mata yang akan melihat. Sementara tak semua orang mempunyai prasangka baik. Di antara mereka ada saja yang hatinya hasad.&nbs
Tepat bakda Magrib rombongan keluarga besarku datang. Ada Bapak, Ibu, Mbak Cahya beserta suaminya, juga Mas Satria dan istrinya. Yang terkejut mendengar kabar ini adalah kakak laki-lakiku, Mas Satria. Sebab hanya beliaulah yang baru tahu masalah rumah tanggaku sekarang. “Kok bisa masalah seperti ini Mas enggak kamu libatkan, Al?” Ada raut kecewa di wajahnya. “Kami pikir bisa segera diatasi, Mas.” “Pantas badanmu kurus. Bapak-Ibu juga kelihatan mikir. Tahu dari dulu sudah kujotos Wildan itu,” ungkap Mas Satria kesal. Mbak Cahya juga angkat bicara, “Y
“Astaghfirullahal ‘adzim …” pekikku. Aku seketika berdiri melihat ibu mertua tak bisa bicara karena mulutnya yang mencong. “Tolong … ! Tolong … !” Aku teriak. Sebab takut salah memberi penanganan. Sepertinya ibu mertuaku terserang stroke.Sambil menunggu bantuan datang, kutopang tubuh ibu mertua yang hampir jatuh ke lantai. Tangannya masih menggenggam erat lengan Nely. Wanita itu pun tak bisa berbuat apa-apa. Dia sama paniknya sepertiku. “Ada apa, Mbak Alya? Ada apa?” Lek Titik datang bersama beberapa orang.Begitu melihat kondisi ibu mertua, tanpa kujelaskan apa pun, mereka sudah paham.“Astaghfirullah … Mbak Yu. Ayo dibaringkan ke kasur!” Lek Titik histeris. Kemudian dua orang lelaki yang menyertai Lek Titik membopong tubuh ibu mertua
Sesampainya di ruangan ibu mertua dirawat, kami cukup dikejutkan dengan keberadaan Mas Wildan dan Nely di sana. Mereka sedang duduk sambil berpegangan tangan. Sementara kepala Nely bersandar di bahu Mas Wildan. Ibu mertua dirawat di dalam ruangan yang berisi empat pasien. Sehingga kami bisa langsung masuk tanpa menunggu dibukakan pintu. Mas Wildan langsung melepaskan tangan Nely yang menggenggamnya begitu melihat orang tuaku datang. “Oh … ini janda yang kau nikahi diam-diam itu?” sapa Ibu dengan tatapan merendahkan. “Buk, sudah, Buk. Ini rumah sakit!” Aku mencoba meredam emosinya. Sebenarnya wajar sekali Ibu geregetan. Karena ini adalah kali pertama ia bertemu dengan Nely. Begitu bertemu, pemandangan tak sedap yang disuguhkan. Situasi kali ini tak seperti suasana saat mengunjungi orang sakit
CibiranMelihat Alya pagi ini dengan seragam dinas warna khaki meski tanpa make up yang meghiasi wajahnya cukup membuatku terpanah. Mengapa baru sekarang kusadari jika Alya mempunyai kecantikan yang elegan? Padahal hanya bedak dan sapuan tipis lipstick warna nude di bibirnya. Pandangannya sayu tidak menyiratkan wanita jalang. Astaga, nyeri di kepalaku semakin terasa.“Yank … kamu kenapa?” Teguran Nely membuyarkan lamunanku.“Enggak apa-apa, sedikit pusing saja. Paling kurang tidur.” Tidak mungkin aku jujur kepada Nely jika aku sedang memikirkan Alya.Aku dan Nely sedang di rumah Pak RT. Kami akan meminta surat keterangan sebagai pengantar ke kelurahan.“Loh ada Mas Wildan. Ada yang bisa saya bantu?” sapa Pak RT yang baru muncul dari balik tirai.“Saya minta dibuatkan surat keterangan untuk ke k
“Pak Wildan, silakan!” Panggilan dari pegawai kelurahan itu membuyarkan lamunanku saat pertama kali bertemu Nely di kamar hotel. Dengan cekatan pegawai itu membuatkan surat keterangan untuk ke pengadilan agama. Tak ada pegawai yang mencibirku di sini, layaknya Bu RT tadi.“Tunggu tanda tangan dari Pak Lurah sebentar ya, Pak. Ini beliau masih ada rapat,” ucap pegawai itu ramah.“Inggih, Pak. Terima kasih,” balasku. Sambil menunggu Pak Lurah selesai rapat, kutanyakan kepada Nely kondisi mobilnya. “Beb, mobilmu sudah bisa diambil belum?”Nely kelihatan gusar. Beberapa kali ke pelabuhan dia tidak membawa mobilnya. Kadang alasannya capek nyetir sendirian. Terakhir katanya masuk bengkel karena ada spare part yang harus diganti. Sementara barangnya masih inden karena stok di bengkel lagi kosong.“Yank … sebenarnya ….&rdquo
Baru selesai urusan dengan pihak leasing, kulihat Nely menerima telepon di halaman belakang sambil mondar-mandir. Ada apa lagi dengan istri ke duaku ini? Kutunggu lima menit belum juga diakhirinya panggilan telepon itu. Akhirnya kudatangi tanpa sepengetahuannya.“Iya, iya nanti aku balikin. Beri aku waktu. Kamu tega sekali sama teman! Dulu pas kamu susah aku juga bantuin, kan?”Nely tak tahu jika aku menguping pembicaraannya. Ngomong sama siapa dia? Apa yang mau dikembalikan? Tak tahan menunggu lama, segera kuambil ponsel di genggamannya.“Hallo … Ini siapa?” tanyaku kepada sosok di panggilan itu.“Oh … Saya Siska, Mas. Temannya Nely. Mas suami barunya Nely, ya?”“Ya, ada apa?”“Oya kebetulan. Nely pinjam uang aku, Mas. Dah setahun lebih enggak dibalik-balikin. Dulu aku enggak tega k
Siapa sekarang yang harus kutemui untuk mendapat informasi tentang Alya? Aku memutar otak sejenak. Lalu muncullah satu nama, Dini. Ya, Dini pasti mau membantuku. Kukirim pesan kepada teman kantornya Alya tersebut.[Din, kamu ada waktu? Aku perlu bicara. Bisa gak kita ketemuan siang ini?]Kulihat Dini sedang online. Maka pesanku langsung dibalas.[Ada apa nih? Pasti masalah Alya, ya? Tuh dia lagi nerima telepon][Ya, tentang Alya. Siapa lagi. Telpon sama siapa?]Aku jadi tertarik ingin tahu semua tindak-tanduk Alya sekarang.[Duh mahal nih infonya. Aku baru buka mulut kalo ditraktir makan siang yang enak]Dini masih sama. Doyan makan. Aku tak keberatan dengan permintaannya.[Ok. Kamu mintanya makan di mana?]Dia kemudin menyebutkan salah satu outlet makanan di mall dekat kantornya.🌷🌷🌷Tepat pukul dua bel
Sebuah mobil jenis MPV berhenti tepat di rumah lantai dua dengan pagar warna putih. “Hati-hati ya Sayang, yang patuh sama Bapak Ibu Guru di sekolah,” pesan Alya kepada Rohim.“Iya, Bunda. Assalamu’alaikum.”Alya pun segera menjawab salamnya Rohim. Kemudian anak itu mencium pungung tangan Alya dan Alya balik mencium keningnya. Sejak Alya mengambil cuti melahirkan, Rohim diikutkan travel sekolah sebab Akmal sendiri tidak bisa dipastikan dapat mengantar jemput setiap pagi. Termasuk pada hari ini. Bakda Subuh Akmal bersama timnya harus pergi ke luar kota sebab ada agenda pembebasan lahan untuk proyek pembangunan perumahan baru.Saat Rohim hendak naik ke mobil, suara motor berhenti di depan rumah Alya. Menghalangi laju mobil yang akan berangkat.“Rohim!”Panggilan itu memalingkan Rohim juga Alya.“Mas Wildan!”
Lantunan kalimat tahlil terdengar menggema di rumah Pak Danu. Kali ini tidak ada kaitannya dengan ritual selamatan kematian. Pak Danu mendapat giliran tahlil dari rumah ke rumah. Acara rutin yang diadakan warga kampung. Di tengah acara, datang laki-laki bercelana hitam dan berbaju koko putih. Dia ikut duduk di teras dan mengikuti bacaan tahlil. Lima belas menit kemudian bacaan tahlil telah usai dilakukan. Suguhan lontong sayur mulai diedarkan kepada seluruh warga yang datang. Setelah selesai menyantap suguhan, mereka semua pamit dengan membawa berkat nasi dan kue. Kecuali laki-laki berbaju koko putih dan bercelana hitam itu tetap di tempat. Sosok itu lalu berdiri dan mendekati Pak Danu begitu semua anggota jemaah tahlil sudah angkat kaki.“Assalamu’alaik
“Yang … jangan tinggalin aku.” Nely setengah berteriak memanggil Wildan. Dia sedang berjuang mengapung agar tak tenggelam. Tangan dan kakinya bergerak tak tentu arah. Mulutnya megap-megap sebab air laut mulai masuk ke dalamnya.“Yang …” Panggilan itu terus terulang.Namun, sosok yang dipanggil sama sekali tak bergerak mendekat. Situasi ini sangat berbeda saat Nely terjatuh dari kapal karena selfie dulu. Nely kian frustasi. Satu-satunya harapan dia selamat adalah pertolongan laki-laki yang pernah tergila-gila padanya itu. Harapan tinggal harapan. Wildan hanya memejamkan mata dan menggerakkan kedua kakinya ke kiri dan ke kanan agar memperoleh keseimbangan. Saat ini yang ada dalam benaknya adalah ibunya yang meninggal lantaran ulah wanita yang kini berteriak meminta tolong kepadanya. Ada pergul
Di sebuah baby shop, terdapat pakaian bayi dan anak-anak yang lucu. Sebagian terlipat rapi dalam rak. Sebagian lain digantung. Hari ini Akmal sekeluarga jalan-jalan ke pusat perbelanjaan. Begitu melihat baju bayi terpampang di balik kaca, Alya spontan membelokkan kakinya.“Mas, ini bagus, enggak?” Alya mengambil satu baju motif bunga warna merah muda.Akmal hanya mengacungkan dua jempolnya. “Tapi itu baju anak cewek, Yang. Kita kan belum tahu jenis kelaminnya?” Tangan Akmal mengelus perut Alya perlahan.“Feeling-ku mengatakan anak kita perempuan, Mas.”“Aku pingin laki-laki,” sahut Akmal.“Kalo yang lahir cewek?”“Ya kita bikin lagi,” jawab Akmal sambil nyengir.“Sampai dapet baby boy?” Alya mempertegas maksud suaminya.
“Mau kemana, Bro? Dah rapi banget. Pake baju koko macam ustaz saja.” Joseph yang sedang tidur-tiduran keheranan melihat teman sekamarnya.“Aku rencananya tiap kapal sandar di Penang akan ke pondok Syaikh Saleh, Jo. Itu, orang yang nolong aku.”“Oh, baguslah. Oya, soal Nita. Gue minta maaf ya, Bro,” ucap Joseph sambil menepuk-nepuk punggung lelaki yang saat ini mengenakan peci warna putih. Benda yang sudah lama tersimpan di dalam lemari.“Malam itu sebenarnya gue lihat Nita yang lepasin baju lo. Dia minta bantuan gue tuk dapetin lo. Makanya gue disuruh cerita yang baik-baik tentang Nita,” jelas Joseph.“Aku sudah lupain semunanya kok, Jo. Dah, enggak usah dibahas. Aku berangkat dulu, ya. Mau, ikut?” tawar Wildan serius. Barangkali saja temannya itu ikut tobat.“Thanks, Bro! Tar deh kalo gue dah tobat,” sahutny
“Pak, aku mau nyari Nely.” Perempuan yang sudah mempunyai lima cucu itu hanya membolak-balik tempe goreng yang sudah tercampur bumbu pecel.“Mau nyari ke mana toh, Buk’e?”“Aku tak ke rumah Wildan iku, Pak. Mestinya Nely di sana.”“Lah emange ngerti rumahnya?”“Ngerti, Pak. Dulu ‘kan pas Nely jatuh dari sepeda terus keguguran, aku dampingin dia pulang ke rumah Wildan,” ucap Bu Danu yang sudah tak kuat menanggung rindu.“Oalah, Buk, Buk. Nanti malah bikin masalah.”“Ora, Pak. Atiku enggak tenang iki,” kilah Bu Danu sambil mencak-mencak. “Assalamu’alaikum!” Perempuan berwajah ayu mengucapkan salam di pintu pagar. Pak Danu dan istrinya yang sedang menikmati
“Mas, aku mau cerita tapi kamu jangan marah, ya?” Alya sedang duduk di kursi goyang. Pemandangan taman mini di halaman rumahnya yang baru menjadi tempat favorit menghabiskan sore.“Ngomong saja. Mau minta rujak cingur lagi?” Akmal memperlihatkan giginya yang rapi. Selama hamil istrinya itu memang sering minta dibelikan beraneka ragam rujak. Mulai dari rujak kikil, rujak cingur, rujak manis, dan rujak gobet.“Hm … bukan.” Wanita yang perutnya mulai buncit itu menggulung-gulung ujung kerudungnya.“Lalu?”“Aku mimpi Rohim sama Rheza diajak ayahnya pergi sholat jama’ah ke masjid. Lain waktu lagi mereka main bola di sebelah,” ucap Alya sambil menggigit bibir bawahnya. Bersiap Akmal mungkin akan marah atau cemburu.Perumahan garapan tangan dingin Akmal ini memang kelasnya diperuntukkan kalangan menengah ke atas. Sehingga, dised
“Semua peristiwa yang kita alami di dunia ini hakikatnya hanyalah ujian untuk mengetahui siapa yang terbaik cara mengabdinya.” Syaikh Saleh sedang berdiri di atas mimbar. Beliau ceramah dengan logat melayunya. Tiap Ahad bakda Subuh pekan pertama dan kedua di masjid pesantren diadakan pengajian umum. Warga sekitar atau wali santri yang bermalam saat menjenguk anaknya pasti tidak akan melewatkan kegiatan ini. Di antara ratusan jemaah itu ada lelaki beralis tebal yang juga ikut menyimak. “Sebagaimana firman Allah dalam surat al-Mulk ayat 2. Alladzi kholaqol mauta wal hayaata liyabluwakum ayyukum ahsanu ‘amala…..” Syaikh Saleh melafadzkan ayat tersebut dengan fasih. 
“Saya ragu, Syaikh. Haruskah saya kembali bekerja di kapal? Sepertinya pekerjaan itu menjauhkan saya dari jalan Tuhan.” Syaikh Saleh terbatuk mendengar pernyataan laki-laki di depannya itu. Kemudian beliau menyilangkan kedua kakinya dari yang semula duduk berselonjor.“Tidak ada pekerjaan yang menjauhkkan dari Jalan Tuhan selama yang dilakukan itu halal, Mas. Apakah menjalankan kapal itu haram?” Pertanyaan retoris Syaikh Saleh itu tak memerlukan jawaban. “Tapi lingkungannya, Syaikh.” “Lingkungan itu diciptakan oleh penghuninya,