Aku memang sudah lelah. Ingin sekali rasanya segera sampai di rumah. Namun, haruskah menumpang mobil jenis sport vehicle warna hitam ini? Apakah tidak akan menimbulkan fitnah jika aku berdua saja dengan pria yang bukan apa-apaku ini? Meski kedua anakku ikut serta. Kenapa kukatakan berdua? Sebab dalam urusan kholwat, keberadaan anak-anak tidak diperhitungkan. Karena akal mereka belum sempurna. Sehingga meski Rohim dan Rheza ikut naik dalam satu mobil, tetap saja dalam pandangan syariat dihukumi berkholwat.
Ragaku masih membatu. Antara ingin menerima tawarannya namun was-was akan resiko yang mungkin kudapat. Ketika nanti aku resmi bercerai, pasti ada omongan begini: ‘Wajar pernikahannya kandas, lah suami kerja. Dia naik-turun mobil sama laki-laki lain.’ Sebab pasti ada mata yang akan melihat. Sementara tak semua orang mempunyai prasangka baik. Di antara mereka ada saja yang hatinya hasad.
&nbs
Tepat bakda Magrib rombongan keluarga besarku datang. Ada Bapak, Ibu, Mbak Cahya beserta suaminya, juga Mas Satria dan istrinya. Yang terkejut mendengar kabar ini adalah kakak laki-lakiku, Mas Satria. Sebab hanya beliaulah yang baru tahu masalah rumah tanggaku sekarang. “Kok bisa masalah seperti ini Mas enggak kamu libatkan, Al?” Ada raut kecewa di wajahnya. “Kami pikir bisa segera diatasi, Mas.” “Pantas badanmu kurus. Bapak-Ibu juga kelihatan mikir. Tahu dari dulu sudah kujotos Wildan itu,” ungkap Mas Satria kesal. Mbak Cahya juga angkat bicara, “Y
“Astaghfirullahal ‘adzim …” pekikku. Aku seketika berdiri melihat ibu mertua tak bisa bicara karena mulutnya yang mencong. “Tolong … ! Tolong … !” Aku teriak. Sebab takut salah memberi penanganan. Sepertinya ibu mertuaku terserang stroke.Sambil menunggu bantuan datang, kutopang tubuh ibu mertua yang hampir jatuh ke lantai. Tangannya masih menggenggam erat lengan Nely. Wanita itu pun tak bisa berbuat apa-apa. Dia sama paniknya sepertiku. “Ada apa, Mbak Alya? Ada apa?” Lek Titik datang bersama beberapa orang.Begitu melihat kondisi ibu mertua, tanpa kujelaskan apa pun, mereka sudah paham.“Astaghfirullah … Mbak Yu. Ayo dibaringkan ke kasur!” Lek Titik histeris. Kemudian dua orang lelaki yang menyertai Lek Titik membopong tubuh ibu mertua
Sesampainya di ruangan ibu mertua dirawat, kami cukup dikejutkan dengan keberadaan Mas Wildan dan Nely di sana. Mereka sedang duduk sambil berpegangan tangan. Sementara kepala Nely bersandar di bahu Mas Wildan. Ibu mertua dirawat di dalam ruangan yang berisi empat pasien. Sehingga kami bisa langsung masuk tanpa menunggu dibukakan pintu. Mas Wildan langsung melepaskan tangan Nely yang menggenggamnya begitu melihat orang tuaku datang. “Oh … ini janda yang kau nikahi diam-diam itu?” sapa Ibu dengan tatapan merendahkan. “Buk, sudah, Buk. Ini rumah sakit!” Aku mencoba meredam emosinya. Sebenarnya wajar sekali Ibu geregetan. Karena ini adalah kali pertama ia bertemu dengan Nely. Begitu bertemu, pemandangan tak sedap yang disuguhkan. Situasi kali ini tak seperti suasana saat mengunjungi orang sakit
CibiranMelihat Alya pagi ini dengan seragam dinas warna khaki meski tanpa make up yang meghiasi wajahnya cukup membuatku terpanah. Mengapa baru sekarang kusadari jika Alya mempunyai kecantikan yang elegan? Padahal hanya bedak dan sapuan tipis lipstick warna nude di bibirnya. Pandangannya sayu tidak menyiratkan wanita jalang. Astaga, nyeri di kepalaku semakin terasa.“Yank … kamu kenapa?” Teguran Nely membuyarkan lamunanku.“Enggak apa-apa, sedikit pusing saja. Paling kurang tidur.” Tidak mungkin aku jujur kepada Nely jika aku sedang memikirkan Alya.Aku dan Nely sedang di rumah Pak RT. Kami akan meminta surat keterangan sebagai pengantar ke kelurahan.“Loh ada Mas Wildan. Ada yang bisa saya bantu?” sapa Pak RT yang baru muncul dari balik tirai.“Saya minta dibuatkan surat keterangan untuk ke k
“Pak Wildan, silakan!” Panggilan dari pegawai kelurahan itu membuyarkan lamunanku saat pertama kali bertemu Nely di kamar hotel. Dengan cekatan pegawai itu membuatkan surat keterangan untuk ke pengadilan agama. Tak ada pegawai yang mencibirku di sini, layaknya Bu RT tadi.“Tunggu tanda tangan dari Pak Lurah sebentar ya, Pak. Ini beliau masih ada rapat,” ucap pegawai itu ramah.“Inggih, Pak. Terima kasih,” balasku. Sambil menunggu Pak Lurah selesai rapat, kutanyakan kepada Nely kondisi mobilnya. “Beb, mobilmu sudah bisa diambil belum?”Nely kelihatan gusar. Beberapa kali ke pelabuhan dia tidak membawa mobilnya. Kadang alasannya capek nyetir sendirian. Terakhir katanya masuk bengkel karena ada spare part yang harus diganti. Sementara barangnya masih inden karena stok di bengkel lagi kosong.“Yank … sebenarnya ….&rdquo
Baru selesai urusan dengan pihak leasing, kulihat Nely menerima telepon di halaman belakang sambil mondar-mandir. Ada apa lagi dengan istri ke duaku ini? Kutunggu lima menit belum juga diakhirinya panggilan telepon itu. Akhirnya kudatangi tanpa sepengetahuannya.“Iya, iya nanti aku balikin. Beri aku waktu. Kamu tega sekali sama teman! Dulu pas kamu susah aku juga bantuin, kan?”Nely tak tahu jika aku menguping pembicaraannya. Ngomong sama siapa dia? Apa yang mau dikembalikan? Tak tahan menunggu lama, segera kuambil ponsel di genggamannya.“Hallo … Ini siapa?” tanyaku kepada sosok di panggilan itu.“Oh … Saya Siska, Mas. Temannya Nely. Mas suami barunya Nely, ya?”“Ya, ada apa?”“Oya kebetulan. Nely pinjam uang aku, Mas. Dah setahun lebih enggak dibalik-balikin. Dulu aku enggak tega k
Siapa sekarang yang harus kutemui untuk mendapat informasi tentang Alya? Aku memutar otak sejenak. Lalu muncullah satu nama, Dini. Ya, Dini pasti mau membantuku. Kukirim pesan kepada teman kantornya Alya tersebut.[Din, kamu ada waktu? Aku perlu bicara. Bisa gak kita ketemuan siang ini?]Kulihat Dini sedang online. Maka pesanku langsung dibalas.[Ada apa nih? Pasti masalah Alya, ya? Tuh dia lagi nerima telepon][Ya, tentang Alya. Siapa lagi. Telpon sama siapa?]Aku jadi tertarik ingin tahu semua tindak-tanduk Alya sekarang.[Duh mahal nih infonya. Aku baru buka mulut kalo ditraktir makan siang yang enak]Dini masih sama. Doyan makan. Aku tak keberatan dengan permintaannya.[Ok. Kamu mintanya makan di mana?]Dia kemudin menyebutkan salah satu outlet makanan di mall dekat kantornya.🌷🌷🌷Tepat pukul dua bel
Saat ini aku diajak Mila menemaninya makan siang. Sebenarnya aku malas, tetapi dia memaksa. Apalagi kemarin aku sudah menolak ajakannya menghadiri grand launching perumahan rekan bisnisnya.“Al, aku mau beri tahu sesuatu tapi please kamu jangan menoleh ke samping apalagi ke belakang, ya,” bisik Mila sambil matarnya tetap melihat kea rah di balik punggungku.“Apaan sih, Mil? Bikin orang penasaran aja,” protesku.“Aku merasa ada orang di meja pojok yang perhatiin kita, deh.” Mila melirihkan suaranya sambil matanya tetap melirik ke arah pojok yang dimaksud.“Halah, kamu jangan ge-er!” sanggahku.“Serius! Cuma aku enggak bisa lihat wajahnya dengan jelas karena topinya enggak dilepas. Ceweknya sih pake seragam sama kayak kamu,” jelas Mila bikin aku penasaran dan ingin membalikkan badan.