Sebagai istri seseorang yang bekerja di kapal, ketangguhanku sekali lagi diuji. Anak laki-lakiku yang divonis hernia sejak usia tiga bulan, kini harus dilarikan ke rumah sakit. Balita yang belum genap dua tahun ini menangis begitu kencang dalam gendongan. Ususnya turun ke buah zakar sehingga salah satu zakarnya membesar.
Biasanya saat hernianya kambuh, ia kugendong dan kuayun hingga posisi kepala di bawah. Setelah itu kupijat area di bawah perutnya agar ususnya kembali naik ke rongga perut, tetapi kali ini upaya itu tidak berhasil. Rheza tetap menjerit dan menangis, sehingga tetanggaku datang menghampiri. Mereka menyarankan Rheza untuk dibawa ke rumah sakit karena khawatir ususnya terjepit. Sebelum semuanya terlambat.
Di sinilah aku sekarang --di bangku tunggu-- menanti Rheza selesai dioperasi. Aku sendirian tanpa ditemani suami. Sebab Mas Wildan belum gilirannya libur. Karena hari ini kapal dijadwalkan tiba di pelabuhan, kucoba menghubungi ponselnya. Namun, hanya operator yang menjawab. Aneh, harusnya sekarang sudah ada sinyal karena jadwal kapal sudah saatnya berlabuh.
Dalam situasi normal, biasanya aku hanya menunggu beberapa jam lagi agar bisa terhubung dengan Mas Wildan. Sebab, kadang memang ada keterlambatan akibat cuaca di tengah laut yang kurang bersahabat. Kedatangan kapal pun bisa molor dari jadwal yang telah ditentukan. Karena sekarang kondisinya genting, kuputuskan untuk menghubungi Mila, yang suaminya juga kerja satu kapal dengan Mas Wildan.
Setelah nada panggilan ke empat, akhirnya telepon diangkat. Selepas mengucap salam, aku langsung bertanya kepadanya, “Mil, kapalnya belum nyampe ya? Aku telepon suamiku HP-nya enggak aktif terus.”
“Kapal sudah nyampe dari Subuh tadi, Say. Aku sudah nelepon Mas Dhimas sampai kupingku panas.”
Jantungku berdetak lebih kencang. Apa? Kapal sudah nyampe Subuh? Sementara sekarang sudah Isya, mengapa Mas Wildan belum memberi kabar juga?
“Hm…tolong tanyakan ke suamimu ya, Mil. Mas Wildan kenapa enggak aktif HP-nya. Kali saja rusak atau gimana gitu.”
“Oke, Say. Tunggu sebentar ya. Ntar kutelpon balik.”
“Oke, trims ya.”
Sambil menunggu kabar dari Mila, kucoba lagi menghubungi ponsel Mas Wildan. Dia harus tahu jika anaknya sedang dioperasi. Beberapa bulan ini kami sudah riwa-riwi ke dokter bedah anak, menjadwalkan operasi hernia secepatnya. Namun, rencana operasi berulang kali diundur karena kondisi Rheza yang tak mendukung, terkadang batuk dan pilek. Setelah sembuh, eh berikutnya gantian berat badannya yang kurang. Anakku memang sulit gemuk. Sakit hernia yang dideritanya membuat dia sering menangis ketika kambuh. Alhasil, energinya banyak yang terbuang sebab tangisan.
Kucoba lagi menghubungi Mas Wildan. Alhamdulillah kali ini teleponnya tersambung. Mas, ayo angkat teleponnya, Mas! Begitu Mas Wildan mengucap salam, aku segera bicara.
“Mas … cepet pulang, Mas! Rheza masuk rumah sakit.”
“Loh, Rheza kenapa?” Kutangkap nada kepanikan dalam suaranya.
“Dia dioperasi karena ususnya kejepit.”
“Baik, aku segera pulang sekarang.”
“Mas sekarang di mana?”
Belum dijawab pertanyaanku itu, tetapi panggilan sudah ditutup.
Tak lama kemudian ponselku berbunyi lagi. Panggilan dari Mila.
“Kata suamiku Pak Wildan lagi enggak di kapal, Say. Sudah turun sejak tadi sore setelah bongkar muatan selesai.”
“Ya Mil, sudah bisa kuhubungi barusan.”
“Ada apa? Tumben kamu panik banget.”
“Enggak pa-pa, Mil. Ini anakku sakit.”
“Sakit apa?”
“Hernianya kambuh. Ini lagi dioperasi.”
“Ya ampun … semoga lancar ya, operasinya! Besok pas longgar aku jenguk.”
“Enggak perlu Mil, rumahmu jauh. Operasi kecil saja kok. Makasih perhatiannya.”
Sejam kemudian tiba-tiba ada pesan masuk dari nomor yang belum kusimpan. Kuklik nomor asing tersebut. Foto profilnya sudah membuatku memicingkan mata. Laki-laki dan perempuan memakai kaus couple warna hitam dengan tulisan warna putih. Wajah laki-laki itu sangat kukenal. Ya betul ini Mas Wildan. Lantas perempuan ini siapa?
Tanganku gemetar melihat foto profil itu. Belum lagi melihat gambar yang dikirim. Foto itu masih buram. Harus kuklik dulu agar ter-d******d sempurna. Sekian detik kemudian barulah gambar itu terlihat jelas. Mereka berdua selfie di atas ranjang. Dari model furniture dan ornamen yang tertangkap kamera, mereka tampaknya ada pada sebuah kamar hotel yang cukup mewah. Tubuh keduanya ditutup selimut tebal warna putih. Senyum Mas Wildan dan perempuan itu merekah. Gawaiku langsung terjatuh di pangkuan. Kedua tanganku mengepal. Air mata seketika tumpah tak mampu kutahan.
Bisa-bisanya kamu enak-enakkan sama perempuan lain, Mas. Sementara aku tiap malam terjaga menenangkan Rheza saat hernianya kambuh. Segera kuseka buliran bening yang keluar dari kedua netra. Aku tak ingin menangis untuk masalah ini. Terlalu berharga air mataku jika tumpah untuk mereka. Namun, tetap saja buliran bening ini terus menganak sungai. Hingga Ibu dan kakak perempuanku datang menghampiri.
“Alya, gimana kondisi Rheza?” tanya Ibuku cemas.
“Masih belum selesai operasinya, Bu. Mungkin sebentar lagi. Nanti akan dipanggil jika sudah selesai.”
“Sudah Nduk, jangan nangis terus kayak gini. Pasrah saja sama Gusti Allah. Dokter juga akan melakukan yang terbaik buat Rheza. Mudah-mudahan lancar operasinya. Biar enggak kambuh lagi hernianya.” Ibu pikir aku menangis karena Rheza dioperasi. Padahal karena ayahnya Rheza layak dikebiri.
“Wildan sudah tahu kalo anaknya operasi sekarang?”
“Sudah, Bu. Ini lagi perjalanan pulang.”
Benar-benar panjang umur suamiku itu. Baru saja namanya disebut, kini sosoknya terlihat keluar dari lift. Kuamati dia yang melangkah ke arah kami. Laki-laki ini memang terlihat semakin menawan. Lihatlah alisnya yang tebal. Juga rambut dan cambangnya yang dirapikan dengan model terkini. Namun, mata ini langsung kupejamkan begitu membayangkan dia telah menyentuh perempuan lain, sehingga kepalaku menggeleng-geleng tanpa dibuatnya. Tahan emosimu Alya. Tahan! Ini rumah sakit.
Laki-laki berjaket cokelat itu mengangsurkan tangannya untuk kucium seperti biasa. Aku hanya menatapnya tanpa berkata apa-apa. "Aku pilih naik pesawat ini tadi. Biar bisa segera melihat Rheza," ucap Mas Wildan. Dia seolah memberi penjelasan atas pandanganku yang mengintimidasinya. Padahal, bukan hal itu yang ingin kudengar darinya.
“Keluarga Anak Rheza!” panggil perawat yang muncul dari balik pintu ruang pemulihan pasca operasi.
“Ya, Mbak!” Aku segera berdiri diikuti Ibu dan Mas Wildan.
“Anak Rheza sudah selesai operasinya, tapi sekarang belum sadar. Silakan salah satu anggota keluarga menunggu di dalam!”
Mas Wildan meminta untuk melihat Rheza terlebih dahulu. Kemudian disusul Ibu dan kakak perempuanku secara bergantian, setelah itu barulah aku masuk. Kususuri ranjang pasien yang berjejer, sehingga kudapati wajah anakku di sana. Tubuhnya masih terbungkus baju pasien warna hijau muda. Di hidungnya ada alat bantu penyuplai kebutuhan oksigen. Kubuka kain yang menutupi raga mungil itu. Ada perban di bagian bawah perut sebelah kirinya, kira-kira sepanjang sepuluh centi meter.
Aku pandangi lekat muka anakku. Wajah selucu ini, ternyata tak cukup mengalihkan hasrat bapaknya dari pesona perempuan di luar sana. Apa yang harus bunda lakukan sekarang, Nak? Apakah memisahkanmu dari seorang ayah yang telah berkhianat adalah pilihan tepat? Kuraih tangan mungilnya. Lalu kuhujani kecupan. Bahuku terguncang oleh isakan. Tiba-tiba kurasakan tangan seseorang memegang dan setengah memijit.
“Dik, kamu istirahat saja dulu. Ibu ingin gantiin jaga Rheza.” Perhatiannya masih sama, tetapi kali ini aku merasa muak.
Dengan berat hati kutinggalkan Rheza. Kemudian mengikuti langkah Mas Wildan hingga kami ke luar dari ruang pemulihan.
“Dik, kamu belum makan ya? Ayo kita cari makan di kantin!”
“Aku enggak lapar, Mas!”
“Jangan begitu. Nanti kalo kamu sakit siapa yang bakal jagain anak-anak?”
“Oh, jadi bagimu keberadaanku hanya seperti baby sitter sekarang?” Emosiku mulai meninggi.
“Kok ngomong gitu?”
“Enggak apa-apa. Lupakan! Ayo kita cari makan!”
Hampir saja aku tak bisa mengendalikan amarah. Kutenangkan jantungku yang berdetak lebih cepat. Aku ingin tahu sampai kapan Mas Wildan bersandiwara di depanku. Sementara perempuan itu sudah tak tahan ingin menunjukkan permainannya.
Kantin rumah sakit cukup lengang. Mas Wildan sedang memesan makanan. Sementara aku dibuat penasaran dengan bunyi notifikasi pesan masuk yang beruntun. Siapa mengirim pesan sebanyak ini? Setelah kucek, ternyata perempuan itu lagi. Kali ini ia mengirim 25 buah foto. Kuklik tanda plus di antara gambar yang tertindih itu. Kini setiap gambar seolah mengejekku satu persatu. Oh, rupanya mereka telah mengunjungi banyak tempat. Luar biasa. Jadi, sudah berapa lama mereka bermain di belakangku? Siapa perempuan yang telah menaklukkanmu itu, Mas?
.
.
[Bersambung]
Mas Wildan datang membawa dua mangkuk Soto Lamongan dalam nampan. Kuahnya mengeluarkan kepulan uap ke udara, menimbulkan aroma yang menggugah selera.“Ini, Dik. Ayo makan! Ada koyanya kesukaanmu.”Diangsurkannya salah satu mangkuk ke hadapanku. Tampaknya rasanya memang lezat. Tercium dari aroma gurihnya yang mengundang rasa lapar, sebuah kebutuhan jasmani yang harus dipenuhi. Jika tidak, bisa mengantarkan pada kematian.“Mas, sejak tadi sore aku menghubungimu tapi HP mati melulu. Kamu kemana?” Aku ingin mengetes kejujurannya.“Oh, HP-nya kehabisan baterai.”“Terus, kamunya ke mana?”“Keluar beli sabun sama cari makan.”“Sama siapa?”“Tar saja ngobrolnya, nanti keburu dingin sotonya. Ayo habiskan dulu!”Aku sudah tak selera melanjutkan makan malam ini. Sebenarnya makanannya enak, hanya saja pikiranku lagi kacau. Benar kata orang, selera ma
Entah dapat kekuatan dari mana. Aku justru tertantang untuk membuktikan bahwa sikap Nely itu hanya modus belaka. “Oke, mari kita lihat sampai kapan si Nely itu kuat membayar biaya hotel tiap kapal sandar.”Aku tidak boleh terlihat gentar. Jangan karena informasi sepihak dari Mas Wildan, aku langsung percaya begitu saja pada sosok Nely yang diceritakannya. Bisa saja itu semua hoax, bukan?“Aku mau balik ke rumah sakit sekarang, Mas. Kamu mau ikut atau istirahat di sini terserah!” Kusiapkan juga baju-baju Rheza, perlengkapan mandi, dan skincare.“Aku mau mandi dulu. Nanti aku nyusul. Oh ya, besok pagi aku harus balik. Karena sore kapal sudah muat. Aku enggak bisa ngajukan libur mendadak karena semua sudah terjadwal,” jelas Mas Wildan dengan tenang.“Kamu bilang enggak bisa libur utuk jagain Rheza, tapi kamu liburan di tempat lain aku juga enggak tahu, Mas.” Biasanya ak
Saat kita tertimpa musibah, kunjungan dari keluarga dan kerabat memang cukup menjadi obat pelipur lara. Makanya Rasulullah menganjurkan kita melaksanakan salah satu ibadah ghairu mahdhah ini. Beliau sampai menggambarkan bahwa siapa saja yang menjenguk orang sakit, maka ia akan berjalan di taman surga sampai ia kembali.Alhamdulillah keluargaku juga berduyun-duyun menjenguk Rheza. Setelah Kakak laki-lakiku pamit, kini ada ibu mertua dan suaminya berkunjung. Kebetulan sekali, ada yang ingin kusampaikan kepada ibu mertua perihal anaknya. Apakah beliau tahu jika Mas Wildan telah menikah lagi? Jika ibu mertua tahu, tetapi tetap diam, berarti mereka telah bersekongkol.Hanya saja, jika harus bicara di kamar ini rasanya tidak tepat. Sebab di sebelah juga ada pasien yang hanya disekat tirai. Tentu mereka akan mendengar apa yang kami bicarakan nantinya. Maka, aku harus mengajak ibu mertua bicara di luar. Ternyata Rheza sangat pengertian, setelah minum susu, kini
Aku rasanya sudah tak sabar ingin menunjukkan kelakuan Nely kepada Mila. “Mil, kamu pingin tahu Si Nely itu kek gimana? Nih!” Kuberikan gawaiku kepadanya. Tepat pada foto-foto yang dikirim Nely yang tersimpan di galery. Termasuk foto di kamar hotel itu.“Astaghfirullaha‘adzim….Ya Allah, mimpi apa aku semalam?” Mila mengelus-elus dadanya.“Ini beneran Pak Wildan? Kok aku masih enggak percaya ya. Ya Allah…kamu sabar banget, Say.” Mila masih mengamati foto itu satu persatu. Diklik terus di-zoom.“Ini kan di Kawah Putih Bandung, Say. Kapan mereka ke sananya? Hm … gayanya Nely. Nempel terus. Pingin kujotos rasanya.” Mila masih terus memelototi foto-foto itu dan sesekali keluar kata-kata kasar dari mulutnya.“Maaf ya, Say. Aku jadi enggak ngefans lagi sama Pak Wildan kalo begini ceritanya. Padahal dulu aku itu kagum loh
Pesan yang kukirim lewat inbox kepada mantan suaminya Nely belum mendapat tanggapan. Begitu pun kepada Imelda. Sepertinya mereka adalah pasangan yang kurang aktif di dunia maya. Baru saja kubatin, tak lama kemudian ada notifikasi masuk dari messenger. Alhamdulillah dari Pak Rifki. Segera kubaca isi balasannya. Wa’alaikumussalam. Mohon maaf saya sudah tidak ada hubungan lagi dengan Nely. Sehingga saya pun tidak mau terlibat dengan kehidupan pribadinya lagi. Urusan saya dengan dia tidak lebih hanya karena anak-anak masih dalam pengasuhannya. Selebihnya saya tidak mau ikut campur. Balasan dari Pak Rifki itu sedikit membuatku putus asa. Memang benar sih dia sudah tidak ada urusan lagi dengan mantan istrinya, tetapi tidak adakah sedikit empati untukku yang sekadar ingin menggali informasi? Maka, sebelum Imelda menjawab balasan serupa sebagaimana yang dilakukan suaminya, aku mengirimkan pesan la
Pagi ini aku harus check lock finger print ke kantor. Sejenak kukesampingkan masalah dengan Mas Wildan. Sebab menjadi abdi negara tak bisa menjadikanku seenaknya bolos kerja. Meski memang ada alasan kuat sebenarnya, anak sakit. Namun, sekarang aturan kepegawaian lebih ketat. Tidak ada izin menjaga anak sakit. Jika keadaan memaksa tidak masuk, maka harus mengajukan cuti.Saat mengajukan cuti, konsekuensinya tunjangan akan dikurangi. Belum lagi mengurus kelengkapan administrasinya cukup menyita waktu. Untungnya pimpinanku pengertian. Aku hanya diminta datang pagi untuk absen digital -finger print- lalu mengecek berkas-berkas yang perlu dibubuhi tanda tanganku. Setelah itu aku diizinkan kembali mengurus keperluan Rheza yang rencananya akan pulang dari rumah sakit hari ini. Baru nanti sore aku kembali ke kantor untuk melakukan absen pulang melalui mesin sidik jari lagi.Kendaraan kupacu lebih kencang agar bergegas kembali ke rumah sakit. Meski su
Pesan dari Nely kuabaikan. Kini balon percakapan dari Imelda kuklik. Wa’alaikumussalam. Mohon maaf Mbak Alya, aku membalasnya lama. Karena sempat beda pendapat sama Mas Rifki. Namun, aku berhasil yakinkan dia. Akhirnya diizinkan juga membalas pesan Mbak Alya. Sebelumnya terima kasih sudah berbagi cerita. Aku ikut prihatin dengan rumah tangga Mbak Alya. Meski aku enggak kaget dengan perangai Nely. Pesanku hati-hati saja menghadapinya. Dia itu tipe orang bermuka dua. Dia bisa menyamar jadi perempuan yang lembut dengan suara yang mendayu-dayu, tetapi di sisi lain dia juga bisa sangat kasar kata-katanya. Aku sudah kenyang dapat terornya. Bahkan sampai sekarang. Semoga suami Mbak Alya segera tersadarkan siapa Nely sebenarnya. Tentang kelakuan Nely yang suka meninggalkan anak-anak itu bukan perkara baru, Mbak. Dari dulu dia memang suka pergi-pergi. Itulah yang jadi salah satu alasan mengapa Mas Rifki sampai hati menceraikannya padahal
“Say, kok bengong, sih!” Panggilan Mila mengembalikan kesadaranku dari lamunan. “Iya Mil, sorry. Aku hari ini mau ke rumah Nely.” “Wah…bagus itu. Sama siapa?” “Mbak sama Mas iparku.” “Kudoakan lancar ya. Oya, jangan lupa bawa KTP, KK, sama buku nikah ya!” “Buat apa? Lengkap banget! Kayak mau ngelamar kerja saja.” “Wis ta bawa saja. Siapa tahu ntar butuh. Bapakku mudin, aku sudah hafal kasus-kasus kayak gini.” “Oke, makasih ya.” “Tar saling up-date kabar ya. Kutunggu hasil dari rumahnya Nely." “Siap,” jawabku mantap. Telepon kami akhiri. Kusiapkan apa yang disarankan Mila. Saat kuambil buku nikah, tanganku gemetar. Ya Allah, sampai kapan buku ini bertahan? Kubuka isinya, terpampang fotoku dan Mas Wildan. Kupejamkan mata hingga buliran bening ini menet
Sebuah mobil jenis MPV berhenti tepat di rumah lantai dua dengan pagar warna putih. “Hati-hati ya Sayang, yang patuh sama Bapak Ibu Guru di sekolah,” pesan Alya kepada Rohim.“Iya, Bunda. Assalamu’alaikum.”Alya pun segera menjawab salamnya Rohim. Kemudian anak itu mencium pungung tangan Alya dan Alya balik mencium keningnya. Sejak Alya mengambil cuti melahirkan, Rohim diikutkan travel sekolah sebab Akmal sendiri tidak bisa dipastikan dapat mengantar jemput setiap pagi. Termasuk pada hari ini. Bakda Subuh Akmal bersama timnya harus pergi ke luar kota sebab ada agenda pembebasan lahan untuk proyek pembangunan perumahan baru.Saat Rohim hendak naik ke mobil, suara motor berhenti di depan rumah Alya. Menghalangi laju mobil yang akan berangkat.“Rohim!”Panggilan itu memalingkan Rohim juga Alya.“Mas Wildan!”
Lantunan kalimat tahlil terdengar menggema di rumah Pak Danu. Kali ini tidak ada kaitannya dengan ritual selamatan kematian. Pak Danu mendapat giliran tahlil dari rumah ke rumah. Acara rutin yang diadakan warga kampung. Di tengah acara, datang laki-laki bercelana hitam dan berbaju koko putih. Dia ikut duduk di teras dan mengikuti bacaan tahlil. Lima belas menit kemudian bacaan tahlil telah usai dilakukan. Suguhan lontong sayur mulai diedarkan kepada seluruh warga yang datang. Setelah selesai menyantap suguhan, mereka semua pamit dengan membawa berkat nasi dan kue. Kecuali laki-laki berbaju koko putih dan bercelana hitam itu tetap di tempat. Sosok itu lalu berdiri dan mendekati Pak Danu begitu semua anggota jemaah tahlil sudah angkat kaki.“Assalamu’alaik
“Yang … jangan tinggalin aku.” Nely setengah berteriak memanggil Wildan. Dia sedang berjuang mengapung agar tak tenggelam. Tangan dan kakinya bergerak tak tentu arah. Mulutnya megap-megap sebab air laut mulai masuk ke dalamnya.“Yang …” Panggilan itu terus terulang.Namun, sosok yang dipanggil sama sekali tak bergerak mendekat. Situasi ini sangat berbeda saat Nely terjatuh dari kapal karena selfie dulu. Nely kian frustasi. Satu-satunya harapan dia selamat adalah pertolongan laki-laki yang pernah tergila-gila padanya itu. Harapan tinggal harapan. Wildan hanya memejamkan mata dan menggerakkan kedua kakinya ke kiri dan ke kanan agar memperoleh keseimbangan. Saat ini yang ada dalam benaknya adalah ibunya yang meninggal lantaran ulah wanita yang kini berteriak meminta tolong kepadanya. Ada pergul
Di sebuah baby shop, terdapat pakaian bayi dan anak-anak yang lucu. Sebagian terlipat rapi dalam rak. Sebagian lain digantung. Hari ini Akmal sekeluarga jalan-jalan ke pusat perbelanjaan. Begitu melihat baju bayi terpampang di balik kaca, Alya spontan membelokkan kakinya.“Mas, ini bagus, enggak?” Alya mengambil satu baju motif bunga warna merah muda.Akmal hanya mengacungkan dua jempolnya. “Tapi itu baju anak cewek, Yang. Kita kan belum tahu jenis kelaminnya?” Tangan Akmal mengelus perut Alya perlahan.“Feeling-ku mengatakan anak kita perempuan, Mas.”“Aku pingin laki-laki,” sahut Akmal.“Kalo yang lahir cewek?”“Ya kita bikin lagi,” jawab Akmal sambil nyengir.“Sampai dapet baby boy?” Alya mempertegas maksud suaminya.
“Mau kemana, Bro? Dah rapi banget. Pake baju koko macam ustaz saja.” Joseph yang sedang tidur-tiduran keheranan melihat teman sekamarnya.“Aku rencananya tiap kapal sandar di Penang akan ke pondok Syaikh Saleh, Jo. Itu, orang yang nolong aku.”“Oh, baguslah. Oya, soal Nita. Gue minta maaf ya, Bro,” ucap Joseph sambil menepuk-nepuk punggung lelaki yang saat ini mengenakan peci warna putih. Benda yang sudah lama tersimpan di dalam lemari.“Malam itu sebenarnya gue lihat Nita yang lepasin baju lo. Dia minta bantuan gue tuk dapetin lo. Makanya gue disuruh cerita yang baik-baik tentang Nita,” jelas Joseph.“Aku sudah lupain semunanya kok, Jo. Dah, enggak usah dibahas. Aku berangkat dulu, ya. Mau, ikut?” tawar Wildan serius. Barangkali saja temannya itu ikut tobat.“Thanks, Bro! Tar deh kalo gue dah tobat,” sahutny
“Pak, aku mau nyari Nely.” Perempuan yang sudah mempunyai lima cucu itu hanya membolak-balik tempe goreng yang sudah tercampur bumbu pecel.“Mau nyari ke mana toh, Buk’e?”“Aku tak ke rumah Wildan iku, Pak. Mestinya Nely di sana.”“Lah emange ngerti rumahnya?”“Ngerti, Pak. Dulu ‘kan pas Nely jatuh dari sepeda terus keguguran, aku dampingin dia pulang ke rumah Wildan,” ucap Bu Danu yang sudah tak kuat menanggung rindu.“Oalah, Buk, Buk. Nanti malah bikin masalah.”“Ora, Pak. Atiku enggak tenang iki,” kilah Bu Danu sambil mencak-mencak. “Assalamu’alaikum!” Perempuan berwajah ayu mengucapkan salam di pintu pagar. Pak Danu dan istrinya yang sedang menikmati
“Mas, aku mau cerita tapi kamu jangan marah, ya?” Alya sedang duduk di kursi goyang. Pemandangan taman mini di halaman rumahnya yang baru menjadi tempat favorit menghabiskan sore.“Ngomong saja. Mau minta rujak cingur lagi?” Akmal memperlihatkan giginya yang rapi. Selama hamil istrinya itu memang sering minta dibelikan beraneka ragam rujak. Mulai dari rujak kikil, rujak cingur, rujak manis, dan rujak gobet.“Hm … bukan.” Wanita yang perutnya mulai buncit itu menggulung-gulung ujung kerudungnya.“Lalu?”“Aku mimpi Rohim sama Rheza diajak ayahnya pergi sholat jama’ah ke masjid. Lain waktu lagi mereka main bola di sebelah,” ucap Alya sambil menggigit bibir bawahnya. Bersiap Akmal mungkin akan marah atau cemburu.Perumahan garapan tangan dingin Akmal ini memang kelasnya diperuntukkan kalangan menengah ke atas. Sehingga, dised
“Semua peristiwa yang kita alami di dunia ini hakikatnya hanyalah ujian untuk mengetahui siapa yang terbaik cara mengabdinya.” Syaikh Saleh sedang berdiri di atas mimbar. Beliau ceramah dengan logat melayunya. Tiap Ahad bakda Subuh pekan pertama dan kedua di masjid pesantren diadakan pengajian umum. Warga sekitar atau wali santri yang bermalam saat menjenguk anaknya pasti tidak akan melewatkan kegiatan ini. Di antara ratusan jemaah itu ada lelaki beralis tebal yang juga ikut menyimak. “Sebagaimana firman Allah dalam surat al-Mulk ayat 2. Alladzi kholaqol mauta wal hayaata liyabluwakum ayyukum ahsanu ‘amala…..” Syaikh Saleh melafadzkan ayat tersebut dengan fasih. 
“Saya ragu, Syaikh. Haruskah saya kembali bekerja di kapal? Sepertinya pekerjaan itu menjauhkan saya dari jalan Tuhan.” Syaikh Saleh terbatuk mendengar pernyataan laki-laki di depannya itu. Kemudian beliau menyilangkan kedua kakinya dari yang semula duduk berselonjor.“Tidak ada pekerjaan yang menjauhkkan dari Jalan Tuhan selama yang dilakukan itu halal, Mas. Apakah menjalankan kapal itu haram?” Pertanyaan retoris Syaikh Saleh itu tak memerlukan jawaban. “Tapi lingkungannya, Syaikh.” “Lingkungan itu diciptakan oleh penghuninya,