Dalam ruangan yang cukup terang, Arthur duduk terdiam dengan kepala yang menunduk. Berkali-kali dia memeriksa ponselnya untuk melihat apakah Shela mau membalas pesan darinya. Sayangnya sampai saat ini perempuan itu tidak memberinya pesan apa pun.
Perasaannya menjadi tidak nyaman. Dia takut Shela benar-benar marah padanya. Dia sangat paham bagaimana sikap Shela jika sedang marah. Mungkin perempuan itu akan mendiamkannya selama berhari-hari sampai dia merasa jengah sendiri.Selain merasa cemas, Arthur juga merasa tidak enak jika harus meninggalkan Neva seorang diri. Meskipun kondisinya tidak terlalu parah, namun tidak ada siapa pun yang menemaninya. Dia sudah bertanya tentang keluarganya, namun Neva hanya mengatakan jika orang tuanya sedang dalam perjalanan bisnis ke luar negeri.Entah itu kebenaran atau kebohongan Arthur tidak bisa melakukan banyak hal. Sebenarnya dia berharap jika Shela akan datang ke sana untuk melihat kondisi Neva. Sekalian untuk menemaninya di sini agar dia tidak hanya berdua dengan Neva. Tapi itu sepertinya tidak mungkin terjadi mengingat bagaimana sikap Shela dalam telepon."Kenapa kamu diem aja, Arthur? Lagi mikirin Shela, yah?" tanya Neva untuk memecah kesunyian. Dia sudah memperhatikan Arthur sejak lama, namun Arthur sama sekali tidak terganggu. Lelaki itu sepertinya sedang memiliki sesuatu yang mengganggu pikirannya."Nggak tau kenapa kayaknya Shela marah sama aku," jawab Arthur dengan nada yang sedikit khawatir."Kamu mau ketemu dia? Kalo mau pergi ya pergi aja, aku nggak papa kok. Soalnya nanti Sarah mau kesini juga katanya, sih." Neva tersenyum pada Arthur. Namun ketika Arthur melihat senyum itu, entah kenapa dia merasakan jika Neva tidak baik-baik saja. Sepertinya dia menyimpan beban yang tidak bisa dikatakan.Arthur merasa bimbang. Setelah berpikir beberapa saat akhirnya dia memutuskan untuk menunggu sampai Sarah datang. "Kamu temenan sama Sarah?"Neva mengangguk. "Ya, aku cukup deket sama dia. Sebenernya dia nggak jutek banget, tapi kalo sama orang yang nggak deket dia emng suka ya ... gitu deh. Kamu tau sendiri, 'kan?"Arthur hanya mengangguk menanggapi ucapan Neva. Dia tidak terlalu peduli dengan urusan para wanita lain yang tidak memiliki hubungan apa pun dengannya. Paling-paling dia hanya menanggapi seadanya saja.Neva mencoba bergerak untuk duduk, tapi sepertinya dia mengalami sedikit kesulitan. Akhirnya Arthur mendekatinya dan membantunya untuk duduk. "Nggak usah banyak gerak dulu.""Nggak papa kok. Soalnya aku pengen ke kamar mandi," jawan Neva dengan senyum yang menempel di bibir merahnya.Setelah itu dia sedikit meraba kepalanya yang diperban karena luka benturan. Wajahnya sedikit pucat sehingga membuat Arthur merasa tidak tenang."Kamu beneran baik-baik aja? Pucat gitu, loh," ucap Arthur."Nggak papa. Masa iya kamu mau temenin cewek ke kamar mandi." Neva sedikit terkekeh."Aku anterin aja sampe depan pintu," ucap Arthur sambil memegang tangan Neva untuk menuntunnya. Dia tidak mau jika nanti sesuatu yang merepotkan terjadi pada perempuan itu."Makasih." Neva tersenyum pada Arthur, lalu dia mulai berjalan dengan tangan yang digandeng oleh Arthur. Tapi tiba-tiba dia memegang kepalanya dengan tangan yang bergetar. Wajahnya yang pucat menjadi semakin tidak berwarna.Arthur menyadari perubahan Neva. Dia langsung menatapnya dengan hati-hati. Tiba-tiba tubuh Neva melemas dan hampir terjatuh begitu saja. Untungnya dia sudah menyadari terlebih dahulu sehingga dia bisa menangkapnya dengan sigap.***Shela berjalan dengan langkah yang cepat. Saat ini dia berjalan di koridor rumah sakit untuk menjenguk Neva. Awalnya dia enggan melakukannya, namun pikirannya berubah ketika mengingat Arthur ada di sana.Setelah dia memikirkan dengan hati-hati, akhirnya dia memutuskan untuk datang ke rumah sakit. Bukan hanya karena khawatir dengan kondisi Neva, namun dia juga memiliki pikiran lain yang cukup egois.Dia tidak mau membiarkan Neva tinggal berdua di ruangan yang sama dengan Arthur dalam waktu yang lama. Dia benar-benar tidak ingin hal seperti ini terjadi.Ceklek!Shela membuka pintu yang bertuliskan nomor 16F di pintunya, namun apa yang dia lihat pertama kali membuat hatinya tenggelam. Langkahnya yang cepat langsung berhenti begitu saja."Shela, kenapa kamu datang ke sini? Oh, tunggu sebentar ya, aku mau manggil dokter dulu. Kamu tunggu aja dulu di sini." Arthur berkata dengan cepat sambil berjalan keluar dari ruangan. Dia sama sekali tidak menyadari ekspresi Shela yang berubah menjadi kekecewaan.**"Arthur," panggil Shela dengan lirih. Dia membalikkan badannya dan melihat punggung Arthur menghilang di ujung koridor rumah sakit.Shela masih terpaku di tempatnya. Menatap gamang pada Neva yang kini tegeletak yang memang seakan benar-benar sakit.Mengapa dia tak memanggil keluarganya? Jika tidak, bukankah setidaknya dia memiliki seorang kerabat di Jogja?!Shela tak ingin berlama-lama di sana. Dia melangkahkan kaki dan segera pergi dari kamar Neva. Bahkan dia tak ingin menatap wajah temannya itu terlalu lama.Di koridor dia sempat berpapasan dengan Sarah yang juga teman Neva. Namun dia menghiraukannya karena sedang dalam suasana hati yang buruk.Shela: Aku pulang. Sepertinya kamu sibuk sama Neva.Pesan itu terkirim untuk Arthur. Shela memasukkan ponselnya ke dalam tasnya lagi setelah seorang ojek online tiba di depan lobi rumah sakit.**Setengah jam kemudian Shela sudah tiba di kost-nya. Dia menjatuhkan tubuhnya di kasur empuknya. Memejamkan mata sambil memutar kembali kejadian tadi yang berlalu begitu cepat.Suara napasnya yang seakan ingin meluapkan emosinya ia tahan begitu melihat ponselnya bergetar. Nama Arthur memanggilnya. Tapi sayangnya, Shela sudah agak kecewa pada Arthur.Apakah Arthur harus sebegitu perhatiannya pada Neva?Shela langsung menggelengkan kepalanya. Membuang jauh pikiran anehnya. Arthur bukan laki-laki seperti itu. Lagipula Arthur tak mungkin menyukai Neva. Bahkan dia sudah mengatakannya sendiri dengan blak-blakan kemarin.Ponsel Shela bergetar lagi. Tapi kali ini bukan dari Arthur melainkan dari grup chat mereka.Sarah nampak mengambil foto Neva dan Arthur yang sedang berdua secara diam-diam. Dan mengirimkannya ke grup chat.Sarah: Lihat dong, pasangan baru kampus kita. Cocok banget 'kan?!Roni: Lho bukannya harusnya Arthur lagi sama Shela sekarang? Tadi dia nanyain Arthur si Shela.SFarah: Arthur lagi sama Neva tuh!Desi: Wah pasangan baru. Selamat ya!!!Agus: Cie ... Neva mangsa baru?!Shela langsung mematikan ponselnya, dia seakan malas membaca pesan dari grup chat yang ia rasa sangat berlebihan tersebut.**Pagi hari.Shela membuka matanya yang nampak berat. Dia mengingat-ingat jika semalam dia tidak menangis. Namun mengapa matanya sangat berat?Bahkan kepalanya pun terasa pusing saat dia terbangun pagi itu. Setelah mengurut keningnya sebentar, ia meraih ponsel di atas nakas yang terletak di samping tempat tidurnya.Dan benar saja. Banyak chat dari grup yang rame sejak semalam, juga ada pesan Arthur.Arthur: Shel? Kamu pulang?Arthur: Shel, udah sampai rumah belum?Arthur: Maaf ya, tadi keadaan Neva lagi nggak bagus.Arthur: Marah ya? Besok pagi aku jemput ya. Tapi jangan marah lagi sama aku.Arthur: Besok aku jemput jam tujuh ya.Arthur: Met malem aja deh buat kamu Shel.Shela langsung melirik jam di ponselnya. Sekarang sudah menunjukkan pukul enam lewat tujuh menit. Ini berarti masih ada kesempatan untuknya menghindar dari Arthur.Dia turun dari tempat tidurnya dan meraih handuk. Shel tidak menyadari jika dirinya saat ini sedang demam karena semalam kehujanan saat naik ojek online."Pokoknya aku nggak mau ketemu sama kamu!!" gumamnya sambil mengguyur tubuhnya dengan air yang pagi itu masih terasa dingin.Itu sudah menjadi kebiasaan Shela, untuk menghindar dari Arthur jika dia sedang bertengkar dengannya. Bukan karena apa, melainkan ia tak ingin beradu mulut dan argumen dengan Arthur yang ujung-ujungnya dia akan menangis.Natalie mengetuk pintu dengan keras. Dan mengatakan jika sudah ada Arthur di ruang tamu.Sepertinya Shela salah memprediksikannya. Jika Arthur mengatakan jam tujuh itu berarti waktunya lebih cepat setengah jam dari yang ia janjikan.Shela sangat malas berdandan. Dia hanya memakai bedak tipis dan lipgloss natural untuk menutup bibirnya yang sedikit terlihat pucat. Meskipun dia merasa sedikit tidak nyaman dengan kondisinya, namun itu tidak menghalangi niatnya dari pergi kuliah.Arthur sudah menunggu di ruang tamu. Sementara Shela sangat malas untuk menemui pria itu tapi juga tidak tega jika harus membiarkannya. Akhirnya dengan langkah yang malas dia menghampiri Arthur yang sedang menundukkan kepala."Ehm!" Shela berdehem untuk memberitahukan Arthur bahwa dia sudah ada di sana.Benar saja Arthur langsung mendongak. Saat itu juga dia langsung bangkit dan mendekatinya. "Shel, kamu masih marah? Maaf, aku bener-bener nggak ada maksud buat lebih peduli ke Neva."Shela hanya terdiam tanpa mengatakan apa pun. Tatapannya berpaling ke arah lain, tidak memperhatikan Arthur sama sekali. Bukannya dia manja, tapi dia masih merasa tidak senang dengan kejadian kemarin. Benar-benar membuatnya kehilangan mood baik.Apalagi jika meng
Manis.Itulah yang dirasakan oleh Arthur. Setelah menyimpan perasaan selama hampir empat tahun, akhirnya dia memberanikan diri untuk mencoba lebih dekat. Dia ingin melebihi batas pertemanan mereka.Arthur ingat bagaimana dia pertama kali bertemu dengan Shela. Melihatnya duduk di kursi pinggiran lapangan dengan pakaian putih khas milik pengibar bendera di upacara kemerdekaan.Wajahnya yang manis memiliki butiran keringat di dahinya. Secara mandiri dia menyekanya dengan tissu kecil. Dia akan tertawa ketika temannya melontarkan lelucon, lalu akan bergidik ketika orang lain menakutinya.Entahlah. Sejak pertama melihat, Arthur sudah menyukai karakter riangnya. Semakin hari berjalan, ternyata dia memiliki kesempatan untuk mengenalnya lebih dekat. Tidak mau membuang peluang, akhirnya mereka dipertemukan dalam kegiatan rutin sekolah.Dia tidak ingat lagi bagaimana dia bisa menjadi dekat dengan Shela. Menyaksikannya tumbuh, dari gadis polos sampai menjadi perempuan yang cukup dewasa. Dan sekar
Shela tersenyum manis sambil menatap Arthur. "Ya, aku tahu."Itu adalah kebenaran. Arthur menyukainya dan dia tahu hal itu dengan cukup jelas. Tapi dia masih belum bisa membuat mereka bersama. Ada saja hal-hal yang membuatnya menggantungkan hubungan mereka. Lebih dari teman tapi bukan kekasih.Apa dia terlalu kejam?"Makasih," ucap Arthur lalu dia memberanikan diri untuk mencium kening Shela. "Jangan lupa minum obat lagi ya kalau panasnya belum turun."Shela mengangguk mengerti. Lalu dia melihat kepergian Arthur dengan senyum yang tersungging. Seandainya matahari akan tetap bersinar atau jika bumi masih terus berputar, bisakah dia tetap menyimpannya?Sebelumnya dia tidak pernah merasakannya. Jantung yang berdetak tidak normal atau pipi yang memerah hangat. Ini seperti cinta yang orang-orang katakan. Menjadi bahagia.Namun semuanya memiliki resiko. Lalu apa yang terjadi jika dia tetap seperti ini?***Arthur keluar dari tempat kost Shela dan menjalankan sepeda motornya. Hari ini dia bo
Arthur memandangi ponsel yang terus-terusan berdering, bingung mau menjawab atau mengabaikan. Akan tetapi mengingat ancaman Neva, mau tidak mau dia tetap menjawab telepon itu."Halo, Arthur." Suara dari seberang sana terdengar sangat antusias."Iya Nev, kenapa?""Besok aku mau ngajak kamu nemenin belanja, bisa nggak?"Arthur mengurut keningnya, kembali merasa pusing dengan permintaan Neva. Dia sudah memiliki janji dengan Shela, tidak mungkin jika dia membatalkannya bukan? Apalagi kemarin dia sempat membatalkan janjinya juga gara-gara dia menolong Neva.Jika sekarang dia membatalkan pertemuannya besok pasti Shela akan kembali marah, tapi bagaimana dengan Neva? Dia sudah banyak mendengar tentang Neva yang seringkali serius dengan ucapannya."Aku sudah ada janji sama Shela besok." Arthur menjawab dengan hati-hati. Dia takut menyinggung Neva atau membuatnya marah."Janji ke mana? Kamu masih ingat 'kan apa yang aku bilang?"Arthur mengembuskan napasnya dengan kasar. "Oke, besok kita pergi.
Shela sudah berada di depan counter pembelian tiket. Dua tiket sudah dipegangnya tinggal menunggu Desi datang menemuinya.Ada sedikit perasaan kecewa dalam hati Shela. Mungkin karena Arthur mendadak tak bisa menepati janjinya. Namun ia harus kembali mengingat pada status yang mereka jalani. Jika mereka hanyalah teman. Ya, hanya teman."Shel!" seru Desi dari kejauhan, dia nampak setengah berlari menuju tempat Shela berdiri."Sorry, aku telat. Tadi kehabisan bensin motornya.""Oh ya udah nggak apa-apa." Shela tampak memaklumi, dia mengedarkan matanya untuk mencari tempat duduk sebelum film dimulai."Shel..." ucap Desi pelan. Dia tampak ragu melanjutkan kalimatnya."Kenapa Des?!""Emang bener ya, Arthur sama Neva pacaran?"Pertanyaan yang cukup membuat ekspresi Shela berubah 180 derajat. Bagaimana Desi bisa berpikir seperti itu?"Setahuku, enggak Des.""Oh, tadi aku salah lihat kali ya. Soalnya tadi nggak sengaja ketemu sama orang yang wajahnya mirip banget Arthur sama Neva di toko baju
Seorang wanita tampak menunggu temannya di depan sebuah gedung pernikahan. Sudah setengah jam dia menunggunya untuk mengurus gedung yang akan dipakainya nanti. Sebulan lagi temannya akan menikah.Namun ada sedikit yang mengganjal di hati wanita yang bernama Shela tersebut. Karena temannya akan menikah dengan seorang pria yang pernah mengisi hidupnya. Namanya adalah Arthur.Shela berteman dengannya sudah cukup lama. Kurang lebih mungkin ada sepuluh tahun.Dia dan Arthur sudah seperti saudara, sahabat atau mungkin lebih. Kadang terbesit dalam benaknya menyesal karena telah mengenalkannya pada Neva.Tapi mungkin itu sudah jalan mereka seperti ini. Shela menghela napas panjang, saat melihat Neva keluar dari gedung. Wanita bermata cokelat itu mencoba tersenyum senormal mungkin. Agar Neva tidak curiga kepadanya."Shel, boleh minta tolong nggak?" Dia menggamit lengan Shela dengan manja. Entah sejak kapan dia menjadi seperti itu pada sahabat Arthur tersebut."Minta tolong apa Nev?" tanyanya,
Kembali pada tahun-tahun kuliah, Shela adalah pribadi yang rajin menyapa teman-temannya. Seringkali senyum riangnya membuat wajahnya yang cantik semakin terlihat memesona. Meskipun begitu tetap saja ada orang-orang yang tidak menyukainya.Seperti apa yang terjadi siang ini ketika dia tanpa sengaja menabrak rekan sekelasnya. Hanya masalah kecil, namun pada dasarnya orang itu memang tidak menyukainya."Eh, maaf, nggak sengaja," ucap Shela dengan rasa bersalah. Tangannya terulur untuk membantu Sarah bangkit."Gimana, sih? Kamu kalo jalan yang bener, dong!" Sarah menepis tangan Shela dengan kasar, tidak mau untuk bersentuhan dengannya lebih lama.Shela hendak mengatakan sesuatu tapi tangannya tiba-tiba ditarik dari belakang. Dia menoleh dan mendapati pria tampan yang sedang menatapnya dengan senyum hangat."Udah, biarin aja dia. Yang penting kamu udah minta maaf," ucap pria itu sambil menggandeng Shela pergi.Namanya Arthur, teman akrab Shela sedari SMA. Dia hampir tidak ingat sejak kapan
Setelah selesai membeli buku, Shela dan Arthur kembali ke motor. Mereka tidak langsung pulang melainkan mampir terlebih dahulu ke warung bakso kesukaan mereka.Arthur mengendarai motornya dengan santai. Bukan karena dia tidak berani bermain dengan kecepatan, namun karena dia sedang menikmati momen seperti ini. Saat-saat ketika dia bisa begitu dekat dengan Shela.Setelah beberapa saat akhirnya mereka sampai di warung bakso yang cukup ramai, lalu terdapat tulisan 'Gepeng' di bagian depannya.Shela dan Arthur segera masuk dan memesan porsi bakso seperti biasa. Mereka juga memilih duduk di tempat kesukaan mereka yaitu tepat di bawah kipas angin."Besok weekend, ada rencana mau kemana?" tanya Arthur."Kosong. Kenapa? Mau ngajak jalan?" Shela tersenyum kuda sambil menatap Arthur. Dia sudah paham jika Arthur bertanya seperti itu pasti ia akan mengajaknya keluar.Arthur mengacak puncak kepala Shela. "Bagus, deh. Aku mau ngajak kamu ke rumah. Udah lama nggak main, 'kan?""Em ... gimana ya?" Sh
Shela sudah berada di depan counter pembelian tiket. Dua tiket sudah dipegangnya tinggal menunggu Desi datang menemuinya.Ada sedikit perasaan kecewa dalam hati Shela. Mungkin karena Arthur mendadak tak bisa menepati janjinya. Namun ia harus kembali mengingat pada status yang mereka jalani. Jika mereka hanyalah teman. Ya, hanya teman."Shel!" seru Desi dari kejauhan, dia nampak setengah berlari menuju tempat Shela berdiri."Sorry, aku telat. Tadi kehabisan bensin motornya.""Oh ya udah nggak apa-apa." Shela tampak memaklumi, dia mengedarkan matanya untuk mencari tempat duduk sebelum film dimulai."Shel..." ucap Desi pelan. Dia tampak ragu melanjutkan kalimatnya."Kenapa Des?!""Emang bener ya, Arthur sama Neva pacaran?"Pertanyaan yang cukup membuat ekspresi Shela berubah 180 derajat. Bagaimana Desi bisa berpikir seperti itu?"Setahuku, enggak Des.""Oh, tadi aku salah lihat kali ya. Soalnya tadi nggak sengaja ketemu sama orang yang wajahnya mirip banget Arthur sama Neva di toko baju
Arthur memandangi ponsel yang terus-terusan berdering, bingung mau menjawab atau mengabaikan. Akan tetapi mengingat ancaman Neva, mau tidak mau dia tetap menjawab telepon itu."Halo, Arthur." Suara dari seberang sana terdengar sangat antusias."Iya Nev, kenapa?""Besok aku mau ngajak kamu nemenin belanja, bisa nggak?"Arthur mengurut keningnya, kembali merasa pusing dengan permintaan Neva. Dia sudah memiliki janji dengan Shela, tidak mungkin jika dia membatalkannya bukan? Apalagi kemarin dia sempat membatalkan janjinya juga gara-gara dia menolong Neva.Jika sekarang dia membatalkan pertemuannya besok pasti Shela akan kembali marah, tapi bagaimana dengan Neva? Dia sudah banyak mendengar tentang Neva yang seringkali serius dengan ucapannya."Aku sudah ada janji sama Shela besok." Arthur menjawab dengan hati-hati. Dia takut menyinggung Neva atau membuatnya marah."Janji ke mana? Kamu masih ingat 'kan apa yang aku bilang?"Arthur mengembuskan napasnya dengan kasar. "Oke, besok kita pergi.
Shela tersenyum manis sambil menatap Arthur. "Ya, aku tahu."Itu adalah kebenaran. Arthur menyukainya dan dia tahu hal itu dengan cukup jelas. Tapi dia masih belum bisa membuat mereka bersama. Ada saja hal-hal yang membuatnya menggantungkan hubungan mereka. Lebih dari teman tapi bukan kekasih.Apa dia terlalu kejam?"Makasih," ucap Arthur lalu dia memberanikan diri untuk mencium kening Shela. "Jangan lupa minum obat lagi ya kalau panasnya belum turun."Shela mengangguk mengerti. Lalu dia melihat kepergian Arthur dengan senyum yang tersungging. Seandainya matahari akan tetap bersinar atau jika bumi masih terus berputar, bisakah dia tetap menyimpannya?Sebelumnya dia tidak pernah merasakannya. Jantung yang berdetak tidak normal atau pipi yang memerah hangat. Ini seperti cinta yang orang-orang katakan. Menjadi bahagia.Namun semuanya memiliki resiko. Lalu apa yang terjadi jika dia tetap seperti ini?***Arthur keluar dari tempat kost Shela dan menjalankan sepeda motornya. Hari ini dia bo
Manis.Itulah yang dirasakan oleh Arthur. Setelah menyimpan perasaan selama hampir empat tahun, akhirnya dia memberanikan diri untuk mencoba lebih dekat. Dia ingin melebihi batas pertemanan mereka.Arthur ingat bagaimana dia pertama kali bertemu dengan Shela. Melihatnya duduk di kursi pinggiran lapangan dengan pakaian putih khas milik pengibar bendera di upacara kemerdekaan.Wajahnya yang manis memiliki butiran keringat di dahinya. Secara mandiri dia menyekanya dengan tissu kecil. Dia akan tertawa ketika temannya melontarkan lelucon, lalu akan bergidik ketika orang lain menakutinya.Entahlah. Sejak pertama melihat, Arthur sudah menyukai karakter riangnya. Semakin hari berjalan, ternyata dia memiliki kesempatan untuk mengenalnya lebih dekat. Tidak mau membuang peluang, akhirnya mereka dipertemukan dalam kegiatan rutin sekolah.Dia tidak ingat lagi bagaimana dia bisa menjadi dekat dengan Shela. Menyaksikannya tumbuh, dari gadis polos sampai menjadi perempuan yang cukup dewasa. Dan sekar
Shela sangat malas berdandan. Dia hanya memakai bedak tipis dan lipgloss natural untuk menutup bibirnya yang sedikit terlihat pucat. Meskipun dia merasa sedikit tidak nyaman dengan kondisinya, namun itu tidak menghalangi niatnya dari pergi kuliah.Arthur sudah menunggu di ruang tamu. Sementara Shela sangat malas untuk menemui pria itu tapi juga tidak tega jika harus membiarkannya. Akhirnya dengan langkah yang malas dia menghampiri Arthur yang sedang menundukkan kepala."Ehm!" Shela berdehem untuk memberitahukan Arthur bahwa dia sudah ada di sana.Benar saja Arthur langsung mendongak. Saat itu juga dia langsung bangkit dan mendekatinya. "Shel, kamu masih marah? Maaf, aku bener-bener nggak ada maksud buat lebih peduli ke Neva."Shela hanya terdiam tanpa mengatakan apa pun. Tatapannya berpaling ke arah lain, tidak memperhatikan Arthur sama sekali. Bukannya dia manja, tapi dia masih merasa tidak senang dengan kejadian kemarin. Benar-benar membuatnya kehilangan mood baik.Apalagi jika meng
Dalam ruangan yang cukup terang, Arthur duduk terdiam dengan kepala yang menunduk. Berkali-kali dia memeriksa ponselnya untuk melihat apakah Shela mau membalas pesan darinya. Sayangnya sampai saat ini perempuan itu tidak memberinya pesan apa pun.Perasaannya menjadi tidak nyaman. Dia takut Shela benar-benar marah padanya. Dia sangat paham bagaimana sikap Shela jika sedang marah. Mungkin perempuan itu akan mendiamkannya selama berhari-hari sampai dia merasa jengah sendiri.Selain merasa cemas, Arthur juga merasa tidak enak jika harus meninggalkan Neva seorang diri. Meskipun kondisinya tidak terlalu parah, namun tidak ada siapa pun yang menemaninya. Dia sudah bertanya tentang keluarganya, namun Neva hanya mengatakan jika orang tuanya sedang dalam perjalanan bisnis ke luar negeri.Entah itu kebenaran atau kebohongan Arthur tidak bisa melakukan banyak hal. Sebenarnya dia berharap jika Shela akan datang ke sana untuk melihat kondisi Neva. Sekalian untuk menemaninya di sini agar dia tidak ha
"Bodoh! Udah lah kamu nggak usah nemuin aku lagi. Buat apa? Apa kamu mau ngasih luka lagi?"Shela berbalik untuk meninggalkan Brian. Dia masih ingat bagaimana dia dulu sangat mencintainya. Sempat dia merasa jatuh setelah mengetahui siapa Brian yang sebenarnya. Untungnya saat itu dia memiliki Arthur.Ya, lagi-lagi Arthur yang terbaik untuknya. Dia tahu bagaimana perasaan Arthur untuknya. Dia sendiri juga memiliki perasaan yang lebih. Tapi entahlah, dia masih merasa takut.Bagaimana jika mereka menjalin hubungan tapi harus kandas di tengah jalan? Lalu pasti setelah itu mereka tidak akan menjadi sedekat sekarang. Sudah banyak kasus seperti itu. Yang awalnya sahabat, lalu berubah menjadi musuh gara-gara putus hubungan.Tidak, itu bukan hal yang dia inginkan. Dia masih nyaman seperti ini. Hanya saja kadang-kadang dia juga merasa takut kalau-kalau nanti Arthur akan memilih wanita lain hanya karena prinsip konyol yang dia pegang.Tapi untuk saat ini dia masih tidak ingin memikirkannya. Biark
Setelah selesai membeli buku, Shela dan Arthur kembali ke motor. Mereka tidak langsung pulang melainkan mampir terlebih dahulu ke warung bakso kesukaan mereka.Arthur mengendarai motornya dengan santai. Bukan karena dia tidak berani bermain dengan kecepatan, namun karena dia sedang menikmati momen seperti ini. Saat-saat ketika dia bisa begitu dekat dengan Shela.Setelah beberapa saat akhirnya mereka sampai di warung bakso yang cukup ramai, lalu terdapat tulisan 'Gepeng' di bagian depannya.Shela dan Arthur segera masuk dan memesan porsi bakso seperti biasa. Mereka juga memilih duduk di tempat kesukaan mereka yaitu tepat di bawah kipas angin."Besok weekend, ada rencana mau kemana?" tanya Arthur."Kosong. Kenapa? Mau ngajak jalan?" Shela tersenyum kuda sambil menatap Arthur. Dia sudah paham jika Arthur bertanya seperti itu pasti ia akan mengajaknya keluar.Arthur mengacak puncak kepala Shela. "Bagus, deh. Aku mau ngajak kamu ke rumah. Udah lama nggak main, 'kan?""Em ... gimana ya?" Sh
Kembali pada tahun-tahun kuliah, Shela adalah pribadi yang rajin menyapa teman-temannya. Seringkali senyum riangnya membuat wajahnya yang cantik semakin terlihat memesona. Meskipun begitu tetap saja ada orang-orang yang tidak menyukainya.Seperti apa yang terjadi siang ini ketika dia tanpa sengaja menabrak rekan sekelasnya. Hanya masalah kecil, namun pada dasarnya orang itu memang tidak menyukainya."Eh, maaf, nggak sengaja," ucap Shela dengan rasa bersalah. Tangannya terulur untuk membantu Sarah bangkit."Gimana, sih? Kamu kalo jalan yang bener, dong!" Sarah menepis tangan Shela dengan kasar, tidak mau untuk bersentuhan dengannya lebih lama.Shela hendak mengatakan sesuatu tapi tangannya tiba-tiba ditarik dari belakang. Dia menoleh dan mendapati pria tampan yang sedang menatapnya dengan senyum hangat."Udah, biarin aja dia. Yang penting kamu udah minta maaf," ucap pria itu sambil menggandeng Shela pergi.Namanya Arthur, teman akrab Shela sedari SMA. Dia hampir tidak ingat sejak kapan