"Bodoh! Udah lah kamu nggak usah nemuin aku lagi. Buat apa? Apa kamu mau ngasih luka lagi?"
Shela berbalik untuk meninggalkan Brian. Dia masih ingat bagaimana dia dulu sangat mencintainya. Sempat dia merasa jatuh setelah mengetahui siapa Brian yang sebenarnya. Untungnya saat itu dia memiliki Arthur.Ya, lagi-lagi Arthur yang terbaik untuknya. Dia tahu bagaimana perasaan Arthur untuknya. Dia sendiri juga memiliki perasaan yang lebih. Tapi entahlah, dia masih merasa takut.Bagaimana jika mereka menjalin hubungan tapi harus kandas di tengah jalan? Lalu pasti setelah itu mereka tidak akan menjadi sedekat sekarang. Sudah banyak kasus seperti itu. Yang awalnya sahabat, lalu berubah menjadi musuh gara-gara putus hubungan.Tidak, itu bukan hal yang dia inginkan. Dia masih nyaman seperti ini. Hanya saja kadang-kadang dia juga merasa takut kalau-kalau nanti Arthur akan memilih wanita lain hanya karena prinsip konyol yang dia pegang.Tapi untuk saat ini dia masih tidak ingin memikirkannya. Biarkan dia merasakan kebahagiaan ini lebih lama. Dan untuk Brian, dia sudah lama membuang perasaan itu. Cukup sekali dia menjadi bodoh."Jadi kamu benar-benar menyukai Arthur 'kan?" Suara Brian memasuki telinganya dari jauh."Siapa yang aku sukai bukan urusanmu," jawab Shela dengan datar.Brian terkekeh dengan keras. "Oke, jangan salahkan aku jika aku melakukan sesuatu yang akan membuatmu jatuh lebih dalam."Setelah itu dia pergi dengan bibir yang menyeringai. Dia hampir selalu memiliki apa pun yang diinginkan, jika dia tidak mendapatkannya maka tidak ada yang boleh mendapatkannya juga. Tidak peduli siapa dan apa pun itu.***Arthur merapikan pakaiannya. Menyemprotkan sedikit parfum di leher dan pakaiannya. Setelah itu dia mengambil ponselnya untuk menghubungi Shela."Halo, Shel. Udah siap belom? Aku otw sekarang ya," ucapnya dalam telepon."Udah siap, tinggal nunggu kamu aja." Begitulah jawaban Shela.Sudah bisa ditebak, mungkin perempuan itu sudah bersiap-siap sedari subuh. Perempuan biasa seperti itu, jika akan pergi dengan seseorang yang spesial pasti akan mempersiapkan diri dengan baik. Tapi apa dia juga spesial di matanya? Ya, sepertinya seperti itu.Arthur tersenyum samar sembari menyambar tasnya. Lalu dia keluar kamar kost, tidak lupa mengunci pintu dengan teliti. Dia menghampiri sepeda motornya yang terparkir parkiran motor. Setelah itu dia langsung berangkat ke tempat kost Shela.Kali ini dia sedikit bermain dengan kecepatan karena tidak mau membuat Shela menunggu lebih lama. Namun dia merasa ada yang aneh dengan motornya. Sedikit menunduk untuk mengecek apa yang terjadi.Tidak menemukan sesuatu yang salah, tapi perasaannya tidak enak. Dia berniat untuk berhenti, namun tiba-tiba sebuah mobil yang melaju dengan tidak teratur bergerak cepat ke arahnya. Saat dia berniat untuk menepikan motor, ternyata mobil itu sudah memutar arah dengan cepat.Cciiitt!Brraakk!!Mobil itu menabrak pohon yang ada di pinggir jalan. Arthur cepat-cepat turun dari motor dan berlari menghampiri mobil itu untuk memeriksanya penghuninya.Arthur mencoba membuka pintu mobil tapi tidak bisa. Akhirnya dia mencari batu di sekitar untuk memecahkan kaca mobil. Setelah mendapatkannya, dia langsung memukul kaca mobil dengan keras.Setelah beberapa kali mencoba, akhirnya dia berhasil. Ketika melihat siapa yang ada di dalam, dia sedikit enggan namun dia juga tidak bisa membiarkannya begitu saja."Uhuk!"Neva terbatuk sambil memegang kepalanya yang terbentur kemudi mobilnya. Dia menengok dan mendapati Arthur yang melihatnya dengan ragu."Arthur? Aku nggak papa kok, kamu nggak usah khawatir," ucap Neva dengan senyum yang dipaksakan. Namun jelas sekali dia sedang menahan sakit.Melihat Neva seperti itu justru membuat Arthur sedikit luluh. Mungkin dia harus membantunya, jika tidak Shela akan marah padanya karena membiarkan sahabatnya dibiarkan begitu saja dalam keadaan terluka."Nggak papa. Aku anterin kamu ke rumah sakit aja dulu," ucap Arthur sambil membuka pintu mobil dengan paksa.**Jam sudah menunjukkan pukul sembilan malam. Namun Arthur belum juga muncul di depan kost Shela.Sudah dua jam Shela mondar-mandir menunggu bayangan temannya itu, hingga membuatnya cemas jika ada sesuatu hal terjadi padanya.Bahkan telepon darinya tak dia angkat. Hal itu semakin menambah kekhawatiran pada Shela."Ke mana sih Arthur?!" gumamnya, dia melirik jam di dinding sambil menelepon Arthur. Hanya nada sambung yang ia dengar.Shela mengetuk-ngetukkan sepatunya di lantai. Sepertinya dia mulai tidak sabar dan harus melakukan hal lain untuk mengetahui keadaan Arthur.Akhirnya dia teringat dengan teman Arthur yaitu Roni. Shela untung saja memiliki nomor ponsel teman satu kost Arthur itu.Dan, tak perlu menunggu lama. Telepon dari Shela langsung diangkat oleh Roni."Halo, Ron," ucapnya sedikit gugup, dia tak bisa menyembunyikannya saat suaranya bergetar karena cemas."Kenapa Shel?!" sahut dari ujung telepon. Itu adalah kali pertama Shela menelponnya."Arthur, ada di sana nggak?""Arthur? Dia udah berangkat ke tempat kamu jam lima tadi. Emang kenapa Shel?""Tapi dia belum sampai di kost ku lho Ron," bahu Shela merosot, ia merasakan hal yang berat seakan menekan pundaknya."Serius Shel?! Tunggu dulu deh, coba aku telepon si Arthur.""Aku udah telepon. Tapi nggak dia angkat."Tak lama kemudian dia melihat sebuah panggilan lain, dan itu adalah dari Arthur. Shela segera menutup telepon Roni dan mengucapkan terima kasih padanya sebelum ia menerima panggilan dari Arthur."Shel, maaf..." Terdengar suara Arthur yang tampak melemas dari ujung.Seakan Shela hanya diam terpaku di tempatnya. Sambil mencoba mendengarkan penjelasan dari Arthur.Dan betapa terkejutnya dia ketika Arthur mengatakan jika saat ini dia sedang bersama dengan Neva, temannya.Shela seakan tak percaya ketika mendengar jika Neva mengalami kecelakaan saat Arthur akan ke tempatnya.Hal itu sepertinya nampak tak asing di telinga Shela. Sebuah skenario lama yang sering dipakai oleh Neva untuk mendapatkan seorang laki-laki.Shela mengembuskan napas kasarnya. Dia hanya bertanya bagaimana keadaan Neva saat ini. Dan benar saja. Jika wanita itu tak ingin ditinggal oleh Arthur."Ya udah kamu temenin aja Neva." Akhirnya Shela memutuskan untuk berbicara pada Arthur."Kamu nggak marah 'kan?" tanya Arthur dengan sedikit ragu."Ngapain marah? Lagian juga ada temen yang kecelakaan. Masa iya kamu malah seneng-seneng sama aku."Sebenarnya hati Shela tak bisa menerima jika Arthur harus menemani temannya itu. Jika dia bukan Neva mungkin Shela tak akan mempermasalahkannya. Namun kali ini berbeda. Dia adalah Neva, perempuan yang akan melakukan apa saja demi mendapatkan keinginannya."Lain kali aja ya?!" bujuk Arthur yang sebenarnya dia tahu jika Shela tengah marah padanya."Terserah aja." Shela langsung menutup telepon dari Arthur, membuat yang di ujung telepon mengacak rambut cokelatnya dengan kesal.Arthur tak ada pilihan lain, selain membantu Neva. Namun dia juga tak ingin mengabaikan Shela. Dia tidak serakah bukan?!**Shela melepaskan sepatu pemberian dari Arthur dan melemparkannya ke sudut ruangan. Ia merasakan gejolak emosi yang meletup-letup di hatinya.Kenapa? Dia masih tak tahu mengapa ia menjadi seperti itu. Shela menarik napasnya pelan dan terus mengatakan jika dirinya hanyalah teman Arthur. Hanya teman.Seharusnya dia tak bisa bersikap seperti itu karena dialah yang memberikan batas antara Arthur dan dirinya."Dasar bodoh!!!" rutuknya pada diri sendiri.Dalam ruangan yang cukup terang, Arthur duduk terdiam dengan kepala yang menunduk. Berkali-kali dia memeriksa ponselnya untuk melihat apakah Shela mau membalas pesan darinya. Sayangnya sampai saat ini perempuan itu tidak memberinya pesan apa pun.Perasaannya menjadi tidak nyaman. Dia takut Shela benar-benar marah padanya. Dia sangat paham bagaimana sikap Shela jika sedang marah. Mungkin perempuan itu akan mendiamkannya selama berhari-hari sampai dia merasa jengah sendiri.Selain merasa cemas, Arthur juga merasa tidak enak jika harus meninggalkan Neva seorang diri. Meskipun kondisinya tidak terlalu parah, namun tidak ada siapa pun yang menemaninya. Dia sudah bertanya tentang keluarganya, namun Neva hanya mengatakan jika orang tuanya sedang dalam perjalanan bisnis ke luar negeri.Entah itu kebenaran atau kebohongan Arthur tidak bisa melakukan banyak hal. Sebenarnya dia berharap jika Shela akan datang ke sana untuk melihat kondisi Neva. Sekalian untuk menemaninya di sini agar dia tidak ha
Shela sangat malas berdandan. Dia hanya memakai bedak tipis dan lipgloss natural untuk menutup bibirnya yang sedikit terlihat pucat. Meskipun dia merasa sedikit tidak nyaman dengan kondisinya, namun itu tidak menghalangi niatnya dari pergi kuliah.Arthur sudah menunggu di ruang tamu. Sementara Shela sangat malas untuk menemui pria itu tapi juga tidak tega jika harus membiarkannya. Akhirnya dengan langkah yang malas dia menghampiri Arthur yang sedang menundukkan kepala."Ehm!" Shela berdehem untuk memberitahukan Arthur bahwa dia sudah ada di sana.Benar saja Arthur langsung mendongak. Saat itu juga dia langsung bangkit dan mendekatinya. "Shel, kamu masih marah? Maaf, aku bener-bener nggak ada maksud buat lebih peduli ke Neva."Shela hanya terdiam tanpa mengatakan apa pun. Tatapannya berpaling ke arah lain, tidak memperhatikan Arthur sama sekali. Bukannya dia manja, tapi dia masih merasa tidak senang dengan kejadian kemarin. Benar-benar membuatnya kehilangan mood baik.Apalagi jika meng
Manis.Itulah yang dirasakan oleh Arthur. Setelah menyimpan perasaan selama hampir empat tahun, akhirnya dia memberanikan diri untuk mencoba lebih dekat. Dia ingin melebihi batas pertemanan mereka.Arthur ingat bagaimana dia pertama kali bertemu dengan Shela. Melihatnya duduk di kursi pinggiran lapangan dengan pakaian putih khas milik pengibar bendera di upacara kemerdekaan.Wajahnya yang manis memiliki butiran keringat di dahinya. Secara mandiri dia menyekanya dengan tissu kecil. Dia akan tertawa ketika temannya melontarkan lelucon, lalu akan bergidik ketika orang lain menakutinya.Entahlah. Sejak pertama melihat, Arthur sudah menyukai karakter riangnya. Semakin hari berjalan, ternyata dia memiliki kesempatan untuk mengenalnya lebih dekat. Tidak mau membuang peluang, akhirnya mereka dipertemukan dalam kegiatan rutin sekolah.Dia tidak ingat lagi bagaimana dia bisa menjadi dekat dengan Shela. Menyaksikannya tumbuh, dari gadis polos sampai menjadi perempuan yang cukup dewasa. Dan sekar
Shela tersenyum manis sambil menatap Arthur. "Ya, aku tahu."Itu adalah kebenaran. Arthur menyukainya dan dia tahu hal itu dengan cukup jelas. Tapi dia masih belum bisa membuat mereka bersama. Ada saja hal-hal yang membuatnya menggantungkan hubungan mereka. Lebih dari teman tapi bukan kekasih.Apa dia terlalu kejam?"Makasih," ucap Arthur lalu dia memberanikan diri untuk mencium kening Shela. "Jangan lupa minum obat lagi ya kalau panasnya belum turun."Shela mengangguk mengerti. Lalu dia melihat kepergian Arthur dengan senyum yang tersungging. Seandainya matahari akan tetap bersinar atau jika bumi masih terus berputar, bisakah dia tetap menyimpannya?Sebelumnya dia tidak pernah merasakannya. Jantung yang berdetak tidak normal atau pipi yang memerah hangat. Ini seperti cinta yang orang-orang katakan. Menjadi bahagia.Namun semuanya memiliki resiko. Lalu apa yang terjadi jika dia tetap seperti ini?***Arthur keluar dari tempat kost Shela dan menjalankan sepeda motornya. Hari ini dia bo
Arthur memandangi ponsel yang terus-terusan berdering, bingung mau menjawab atau mengabaikan. Akan tetapi mengingat ancaman Neva, mau tidak mau dia tetap menjawab telepon itu."Halo, Arthur." Suara dari seberang sana terdengar sangat antusias."Iya Nev, kenapa?""Besok aku mau ngajak kamu nemenin belanja, bisa nggak?"Arthur mengurut keningnya, kembali merasa pusing dengan permintaan Neva. Dia sudah memiliki janji dengan Shela, tidak mungkin jika dia membatalkannya bukan? Apalagi kemarin dia sempat membatalkan janjinya juga gara-gara dia menolong Neva.Jika sekarang dia membatalkan pertemuannya besok pasti Shela akan kembali marah, tapi bagaimana dengan Neva? Dia sudah banyak mendengar tentang Neva yang seringkali serius dengan ucapannya."Aku sudah ada janji sama Shela besok." Arthur menjawab dengan hati-hati. Dia takut menyinggung Neva atau membuatnya marah."Janji ke mana? Kamu masih ingat 'kan apa yang aku bilang?"Arthur mengembuskan napasnya dengan kasar. "Oke, besok kita pergi.
Shela sudah berada di depan counter pembelian tiket. Dua tiket sudah dipegangnya tinggal menunggu Desi datang menemuinya.Ada sedikit perasaan kecewa dalam hati Shela. Mungkin karena Arthur mendadak tak bisa menepati janjinya. Namun ia harus kembali mengingat pada status yang mereka jalani. Jika mereka hanyalah teman. Ya, hanya teman."Shel!" seru Desi dari kejauhan, dia nampak setengah berlari menuju tempat Shela berdiri."Sorry, aku telat. Tadi kehabisan bensin motornya.""Oh ya udah nggak apa-apa." Shela tampak memaklumi, dia mengedarkan matanya untuk mencari tempat duduk sebelum film dimulai."Shel..." ucap Desi pelan. Dia tampak ragu melanjutkan kalimatnya."Kenapa Des?!""Emang bener ya, Arthur sama Neva pacaran?"Pertanyaan yang cukup membuat ekspresi Shela berubah 180 derajat. Bagaimana Desi bisa berpikir seperti itu?"Setahuku, enggak Des.""Oh, tadi aku salah lihat kali ya. Soalnya tadi nggak sengaja ketemu sama orang yang wajahnya mirip banget Arthur sama Neva di toko baju
Seorang wanita tampak menunggu temannya di depan sebuah gedung pernikahan. Sudah setengah jam dia menunggunya untuk mengurus gedung yang akan dipakainya nanti. Sebulan lagi temannya akan menikah.Namun ada sedikit yang mengganjal di hati wanita yang bernama Shela tersebut. Karena temannya akan menikah dengan seorang pria yang pernah mengisi hidupnya. Namanya adalah Arthur.Shela berteman dengannya sudah cukup lama. Kurang lebih mungkin ada sepuluh tahun.Dia dan Arthur sudah seperti saudara, sahabat atau mungkin lebih. Kadang terbesit dalam benaknya menyesal karena telah mengenalkannya pada Neva.Tapi mungkin itu sudah jalan mereka seperti ini. Shela menghela napas panjang, saat melihat Neva keluar dari gedung. Wanita bermata cokelat itu mencoba tersenyum senormal mungkin. Agar Neva tidak curiga kepadanya."Shel, boleh minta tolong nggak?" Dia menggamit lengan Shela dengan manja. Entah sejak kapan dia menjadi seperti itu pada sahabat Arthur tersebut."Minta tolong apa Nev?" tanyanya,
Kembali pada tahun-tahun kuliah, Shela adalah pribadi yang rajin menyapa teman-temannya. Seringkali senyum riangnya membuat wajahnya yang cantik semakin terlihat memesona. Meskipun begitu tetap saja ada orang-orang yang tidak menyukainya.Seperti apa yang terjadi siang ini ketika dia tanpa sengaja menabrak rekan sekelasnya. Hanya masalah kecil, namun pada dasarnya orang itu memang tidak menyukainya."Eh, maaf, nggak sengaja," ucap Shela dengan rasa bersalah. Tangannya terulur untuk membantu Sarah bangkit."Gimana, sih? Kamu kalo jalan yang bener, dong!" Sarah menepis tangan Shela dengan kasar, tidak mau untuk bersentuhan dengannya lebih lama.Shela hendak mengatakan sesuatu tapi tangannya tiba-tiba ditarik dari belakang. Dia menoleh dan mendapati pria tampan yang sedang menatapnya dengan senyum hangat."Udah, biarin aja dia. Yang penting kamu udah minta maaf," ucap pria itu sambil menggandeng Shela pergi.Namanya Arthur, teman akrab Shela sedari SMA. Dia hampir tidak ingat sejak kapan
Shela sudah berada di depan counter pembelian tiket. Dua tiket sudah dipegangnya tinggal menunggu Desi datang menemuinya.Ada sedikit perasaan kecewa dalam hati Shela. Mungkin karena Arthur mendadak tak bisa menepati janjinya. Namun ia harus kembali mengingat pada status yang mereka jalani. Jika mereka hanyalah teman. Ya, hanya teman."Shel!" seru Desi dari kejauhan, dia nampak setengah berlari menuju tempat Shela berdiri."Sorry, aku telat. Tadi kehabisan bensin motornya.""Oh ya udah nggak apa-apa." Shela tampak memaklumi, dia mengedarkan matanya untuk mencari tempat duduk sebelum film dimulai."Shel..." ucap Desi pelan. Dia tampak ragu melanjutkan kalimatnya."Kenapa Des?!""Emang bener ya, Arthur sama Neva pacaran?"Pertanyaan yang cukup membuat ekspresi Shela berubah 180 derajat. Bagaimana Desi bisa berpikir seperti itu?"Setahuku, enggak Des.""Oh, tadi aku salah lihat kali ya. Soalnya tadi nggak sengaja ketemu sama orang yang wajahnya mirip banget Arthur sama Neva di toko baju
Arthur memandangi ponsel yang terus-terusan berdering, bingung mau menjawab atau mengabaikan. Akan tetapi mengingat ancaman Neva, mau tidak mau dia tetap menjawab telepon itu."Halo, Arthur." Suara dari seberang sana terdengar sangat antusias."Iya Nev, kenapa?""Besok aku mau ngajak kamu nemenin belanja, bisa nggak?"Arthur mengurut keningnya, kembali merasa pusing dengan permintaan Neva. Dia sudah memiliki janji dengan Shela, tidak mungkin jika dia membatalkannya bukan? Apalagi kemarin dia sempat membatalkan janjinya juga gara-gara dia menolong Neva.Jika sekarang dia membatalkan pertemuannya besok pasti Shela akan kembali marah, tapi bagaimana dengan Neva? Dia sudah banyak mendengar tentang Neva yang seringkali serius dengan ucapannya."Aku sudah ada janji sama Shela besok." Arthur menjawab dengan hati-hati. Dia takut menyinggung Neva atau membuatnya marah."Janji ke mana? Kamu masih ingat 'kan apa yang aku bilang?"Arthur mengembuskan napasnya dengan kasar. "Oke, besok kita pergi.
Shela tersenyum manis sambil menatap Arthur. "Ya, aku tahu."Itu adalah kebenaran. Arthur menyukainya dan dia tahu hal itu dengan cukup jelas. Tapi dia masih belum bisa membuat mereka bersama. Ada saja hal-hal yang membuatnya menggantungkan hubungan mereka. Lebih dari teman tapi bukan kekasih.Apa dia terlalu kejam?"Makasih," ucap Arthur lalu dia memberanikan diri untuk mencium kening Shela. "Jangan lupa minum obat lagi ya kalau panasnya belum turun."Shela mengangguk mengerti. Lalu dia melihat kepergian Arthur dengan senyum yang tersungging. Seandainya matahari akan tetap bersinar atau jika bumi masih terus berputar, bisakah dia tetap menyimpannya?Sebelumnya dia tidak pernah merasakannya. Jantung yang berdetak tidak normal atau pipi yang memerah hangat. Ini seperti cinta yang orang-orang katakan. Menjadi bahagia.Namun semuanya memiliki resiko. Lalu apa yang terjadi jika dia tetap seperti ini?***Arthur keluar dari tempat kost Shela dan menjalankan sepeda motornya. Hari ini dia bo
Manis.Itulah yang dirasakan oleh Arthur. Setelah menyimpan perasaan selama hampir empat tahun, akhirnya dia memberanikan diri untuk mencoba lebih dekat. Dia ingin melebihi batas pertemanan mereka.Arthur ingat bagaimana dia pertama kali bertemu dengan Shela. Melihatnya duduk di kursi pinggiran lapangan dengan pakaian putih khas milik pengibar bendera di upacara kemerdekaan.Wajahnya yang manis memiliki butiran keringat di dahinya. Secara mandiri dia menyekanya dengan tissu kecil. Dia akan tertawa ketika temannya melontarkan lelucon, lalu akan bergidik ketika orang lain menakutinya.Entahlah. Sejak pertama melihat, Arthur sudah menyukai karakter riangnya. Semakin hari berjalan, ternyata dia memiliki kesempatan untuk mengenalnya lebih dekat. Tidak mau membuang peluang, akhirnya mereka dipertemukan dalam kegiatan rutin sekolah.Dia tidak ingat lagi bagaimana dia bisa menjadi dekat dengan Shela. Menyaksikannya tumbuh, dari gadis polos sampai menjadi perempuan yang cukup dewasa. Dan sekar
Shela sangat malas berdandan. Dia hanya memakai bedak tipis dan lipgloss natural untuk menutup bibirnya yang sedikit terlihat pucat. Meskipun dia merasa sedikit tidak nyaman dengan kondisinya, namun itu tidak menghalangi niatnya dari pergi kuliah.Arthur sudah menunggu di ruang tamu. Sementara Shela sangat malas untuk menemui pria itu tapi juga tidak tega jika harus membiarkannya. Akhirnya dengan langkah yang malas dia menghampiri Arthur yang sedang menundukkan kepala."Ehm!" Shela berdehem untuk memberitahukan Arthur bahwa dia sudah ada di sana.Benar saja Arthur langsung mendongak. Saat itu juga dia langsung bangkit dan mendekatinya. "Shel, kamu masih marah? Maaf, aku bener-bener nggak ada maksud buat lebih peduli ke Neva."Shela hanya terdiam tanpa mengatakan apa pun. Tatapannya berpaling ke arah lain, tidak memperhatikan Arthur sama sekali. Bukannya dia manja, tapi dia masih merasa tidak senang dengan kejadian kemarin. Benar-benar membuatnya kehilangan mood baik.Apalagi jika meng
Dalam ruangan yang cukup terang, Arthur duduk terdiam dengan kepala yang menunduk. Berkali-kali dia memeriksa ponselnya untuk melihat apakah Shela mau membalas pesan darinya. Sayangnya sampai saat ini perempuan itu tidak memberinya pesan apa pun.Perasaannya menjadi tidak nyaman. Dia takut Shela benar-benar marah padanya. Dia sangat paham bagaimana sikap Shela jika sedang marah. Mungkin perempuan itu akan mendiamkannya selama berhari-hari sampai dia merasa jengah sendiri.Selain merasa cemas, Arthur juga merasa tidak enak jika harus meninggalkan Neva seorang diri. Meskipun kondisinya tidak terlalu parah, namun tidak ada siapa pun yang menemaninya. Dia sudah bertanya tentang keluarganya, namun Neva hanya mengatakan jika orang tuanya sedang dalam perjalanan bisnis ke luar negeri.Entah itu kebenaran atau kebohongan Arthur tidak bisa melakukan banyak hal. Sebenarnya dia berharap jika Shela akan datang ke sana untuk melihat kondisi Neva. Sekalian untuk menemaninya di sini agar dia tidak ha
"Bodoh! Udah lah kamu nggak usah nemuin aku lagi. Buat apa? Apa kamu mau ngasih luka lagi?"Shela berbalik untuk meninggalkan Brian. Dia masih ingat bagaimana dia dulu sangat mencintainya. Sempat dia merasa jatuh setelah mengetahui siapa Brian yang sebenarnya. Untungnya saat itu dia memiliki Arthur.Ya, lagi-lagi Arthur yang terbaik untuknya. Dia tahu bagaimana perasaan Arthur untuknya. Dia sendiri juga memiliki perasaan yang lebih. Tapi entahlah, dia masih merasa takut.Bagaimana jika mereka menjalin hubungan tapi harus kandas di tengah jalan? Lalu pasti setelah itu mereka tidak akan menjadi sedekat sekarang. Sudah banyak kasus seperti itu. Yang awalnya sahabat, lalu berubah menjadi musuh gara-gara putus hubungan.Tidak, itu bukan hal yang dia inginkan. Dia masih nyaman seperti ini. Hanya saja kadang-kadang dia juga merasa takut kalau-kalau nanti Arthur akan memilih wanita lain hanya karena prinsip konyol yang dia pegang.Tapi untuk saat ini dia masih tidak ingin memikirkannya. Biark
Setelah selesai membeli buku, Shela dan Arthur kembali ke motor. Mereka tidak langsung pulang melainkan mampir terlebih dahulu ke warung bakso kesukaan mereka.Arthur mengendarai motornya dengan santai. Bukan karena dia tidak berani bermain dengan kecepatan, namun karena dia sedang menikmati momen seperti ini. Saat-saat ketika dia bisa begitu dekat dengan Shela.Setelah beberapa saat akhirnya mereka sampai di warung bakso yang cukup ramai, lalu terdapat tulisan 'Gepeng' di bagian depannya.Shela dan Arthur segera masuk dan memesan porsi bakso seperti biasa. Mereka juga memilih duduk di tempat kesukaan mereka yaitu tepat di bawah kipas angin."Besok weekend, ada rencana mau kemana?" tanya Arthur."Kosong. Kenapa? Mau ngajak jalan?" Shela tersenyum kuda sambil menatap Arthur. Dia sudah paham jika Arthur bertanya seperti itu pasti ia akan mengajaknya keluar.Arthur mengacak puncak kepala Shela. "Bagus, deh. Aku mau ngajak kamu ke rumah. Udah lama nggak main, 'kan?""Em ... gimana ya?" Sh
Kembali pada tahun-tahun kuliah, Shela adalah pribadi yang rajin menyapa teman-temannya. Seringkali senyum riangnya membuat wajahnya yang cantik semakin terlihat memesona. Meskipun begitu tetap saja ada orang-orang yang tidak menyukainya.Seperti apa yang terjadi siang ini ketika dia tanpa sengaja menabrak rekan sekelasnya. Hanya masalah kecil, namun pada dasarnya orang itu memang tidak menyukainya."Eh, maaf, nggak sengaja," ucap Shela dengan rasa bersalah. Tangannya terulur untuk membantu Sarah bangkit."Gimana, sih? Kamu kalo jalan yang bener, dong!" Sarah menepis tangan Shela dengan kasar, tidak mau untuk bersentuhan dengannya lebih lama.Shela hendak mengatakan sesuatu tapi tangannya tiba-tiba ditarik dari belakang. Dia menoleh dan mendapati pria tampan yang sedang menatapnya dengan senyum hangat."Udah, biarin aja dia. Yang penting kamu udah minta maaf," ucap pria itu sambil menggandeng Shela pergi.Namanya Arthur, teman akrab Shela sedari SMA. Dia hampir tidak ingat sejak kapan