Hari ini aku dan Kak Sabiru resmi meninggalkan rumah Ibu. Kami sepakat memulai hidup mandiri. Walau Ibu terlihat sedih dengan kepindahan kami, tapi perempuan itu mengikhlaskan.
Bagaimanapun juga aku telah lama bersuami. Sudah menjadi kewajiban seorang istri jika harus menuruti perintah ataupun keinginan sang suami. Seperti perintah Kak Sabiru ini.
Bukan tanpa alasan Kak Sabiru menginginkan kepindahan. Dirinya juga telah nyaman tinggal di rumah Ibu. Sudah lebih tiga tahun pria itu bermukim di situ dari semenjak menikah dengan almarhum Kamila dulu.
Namun, Kak Sabiru menginginkan kemandirian dalam rumah tangganya. Pria itu ingin sepenuhnya mengimani keluarga kecilnya di rumah sendiri. Apalagi sekarang rumah kecil Ibu telah ramai penghuni. Kamar tidurnya sudah terisi orang semua. Walau Bu Halimah sudah mudik dari dua hari yang lalu, tetapi Ibu tidak akan kesepian lagi jika ditinggal oleh kami. Sudah ada Paman dan Nasya yang akan menemani hari-harinya ke depan.
*
Semua barang-barang keperluan sehari-hariku, Keanu, dan Kak Sabiru telah diangkut Kemarin. Jadi hari ini kami tinggal berangkat saja. Nasya ngotot minta ikut. Gadis itu ingin melihat hunian kami. Tadinya kularang habis-habisan, tetapi Kak Sabiru justru mengizinkan.
"Biarkan saja. Toh dia cuma main sebentar. Tapi setelah mulai sibuk kuliah, Nasya harus tinggal di rumah Ibu."Begitu alasan Kak Sabiru.
Tentu saja Nasya girang bukan kepalang mendengarnya. Gadis itu menjulurkan lidah padaku begitu dirinya mendapat izin dari sang ipar. Aku yang dongkol melihatnya ingin menjambak gadis tengil itu. Lagi-lagi Kak Sabiru menahan.
"Sudah-sudah jangan berantem terus! Gak baik kakak dan adik saling konflik gitu! Kalian itu bersaudara. Harus saling sayang." tegur Kak Sabiru menengahi. Kemudian pria itu menghadapku. "Bila sayang, tolong jangan mudah terpancing emosi. Nanti darah tinggi lho kalo dikit-dikit marah." Kak Sabiru mengingatkan. Pria itu lantas membuka pintu mobil dan langsung duduk di belakang kemudi.
"Ya habisnya dia ngeselin banget," tukasku sebal seraya menuding Nasya.
Kemudian aku pun ikut masuk mobil bersama Keanu dan duduk di sebelahnya.
"Tau ni Kak Bila ... dikit-dikit marah. Apa gak takut nanti kena stroke," timpal Nasya usai menutup pintu mobil.
"Nasya!" Aku yang dongkol langsung menengok ke belakang untuk melototi gadis tengil itu.
"Sudah-sudah!" Lagi Kak Sabiru menengahi. "Sekarang aku mau jalanin mobil. Kalian berdua diam. Jangan buat konsentrasiku ambyar," tegas pria itu kemudian.
Aku dan Nasya terdiam. Kami berdua patuh pada perintah pria itu. Kak Sabiru sendiri fokus mengemudi. Namun, sesekali dia mengajak Keanu bercanda. Karena kebetulan jalanan lenggang kami pun sampai di tujuan tepat waktu.
"Mari masuk!" ajak Kak Sabiru dengan mengulum senyum saat pertama kali membuka pintu rumah.
Aku dan Nasya lekas masuk begitu jempol Kak Sabiru mempersilahkan masuk. Sederhana. Itu kesan pertama yang kulihat dari rumah peninggalan kakek Kak Sabiru ini. Luasnya tidak lebih besar dari rumah Ibu. Tampak foto Kak Sabiru kecil bersama almarhum ibu dan kakeknya terpampang besar di ruang tamu.
Rumah ini baru saja ditinggalkan penyewanya seminggu lalu. Jadi keadaannya masih bersih dan rapi. Seperti halnya aku, mata Nasya pun menyapu seluruh penjuru ruangan.
"Kamar aku mana, Bang?" tanya Nasya mempererat tas ransel yang digendong.
"Di sini ada empat kamar. Yang paling besar itu kamar utama Abang dengan kak Bila. Nasya bebas mau pilih kamar yang mana?" jawab Kak Sabiru menerangkan.
"Oke." Nasya mengangguk paham. "Kenapa pilih tinggal di rumah ini, Bang? Kenapa gak ninggalin rumah yang dari Om Hendri? Kan itu jauh lebih besar. Ada kolam renangnya lagi." Gadis itu berujar dengan enteng. "Atau nempatin apartemen yang masih dipakai dokter Tama. Kan itu hak milik Abang. Kenapa dipakai dia?" tanya Nasya beruntun.
Ada kelancangan yang kutangkap dari pertanyaan itu. Ketika aku hendak menjawab, Kak Sabiru menahan.
"Rumah yang ada di Pondok Indah itu masih disewa orang. Gak boleh dong seenaknya main usir. Kalo apartemen itu kan sekarang dihuni oleh Zayn. Adik abang sendiri," terang Kak Sabiru panjang.
"Oh," sahut Nasya pendek. Tanpa bertanya lagi gadis itu melangkah ke salah satu kamar yang terletak di seberang kamar utama.
Kak Sabiru pun menggeret dua buah koper berisi pakaianku dan Keanu ke kamar pribadi kami. Sementara pakaian dirinya masih di ada di bagasi mobil. Aku yang lelah memilih duduk di sofa ruang tamu sembari mengajak Keanu bermain.
"Assalamualaikum ...."
"Walaikum salam," jawabku spontan.
Dari pintu yang masih terbuka, tampak seorang wanita sepantaran Ibu datang. Wanita itu masuk diikuti oleh seorang yang pemuda lumayan jangkung di belakangnya, serta dua gadis belia yang kutaksir masih duduk di bangku sekolah. Mereka semua mempunyai garis muka yang mirip dengan Kiara. Sudah bisa ditebak pasti mereka itu ibu dan adik-adik dari Kiara.
"Wahhhh ... Biru balik lagi ke rumah ini ... Senangnya!" Wanita itu berseru senang.
Ibu dan anak-anaknya itu langsung saja masuk. Lalu lekas menjumpai Kak Sabiru yang baru saja ke luar dari kamar. Mereka sama sekali tidak mengindahkan kehadiranku.
"Tante senang kamu balik lagi ke sini, Biru," ungkap wanita itu terlihat menepuk-nepuk pundak Kak Sabiru dengan sayang. Sementara anak-anaknya tampak tersenyum semringah.
Sebagai calon tetangga yang baik, aku bangkit dari duduk untuk menghampiri mereka.
"Assalamualaikum, Tante. Kenalkan saya istrinya Kak Biru." Penuh kesantunan aku mengenalkan diri. Tanganku terulur pada wanita berambut ikal diikat itu.
Ibu Kiara yang kuketahui bernama Santi itu menatapku. Wanita yang amat mirip dengan putri sulungnya itu memindaiku dari atas ke bawah.
"Oh ini adiknya almarhumah Kamila itu?" tanya wanita itu pada Kak Sabiru. Dan suamiku itu hanya mengangguk untuk mengiyakan. Tante Santi memang tidak pernah hadir di hari pernikahan kami. Entah alasan apa Kak Sabiru tidak mengundang wanita itu. "Kok lebih manisan almarhumah istrimu, Bir. Lebih shalihah dia juga."
"Iya, almarhumah Mbak Mila manis banget. Kalem juga. Kalian sangat serasi banget dulu," timpal salah satu putrinya yang lebih besar.
Mendengar itu tentu saja kuping dan hatiku menjadi sedikit panas. Namun, sorot mata Kak Sabiru yang mengisyaratkan agar aku tetap tenang, membuat aku hanya bisa terdiam.
"Ya udah ... hari tante mau masak rawon, empal goreng, pekerdel, dan semua makanan kesukaan Biru," tutur Tante Santi dengan wajah semringah. Mata ketiga anaknya langsung berbinar cerah mendengarnya. Pun dengan Kak Sabiru, pria itu ikut mengulum senyum. "Tante undang kamu makan malam di rumah ya, Bir! Itung-itung penyambutan kepulangan kamu di perumahan ini kembali. Ingat kamu harus datang lho!" undang Tante Santi antusias.
"Insya Allah aku akan datang kalo Tante ngundang istriku juga," balas Kak Sabiru kalem. Ucapannya itu seperti guyuran es yang menyejukkan hatiku yang lumayan kering ini. Melihat aksi keluarga Kiara itu.
Tante Santi terbatuk-batuk kecil mendengar jawaban dari Kak Sabiru. Wanita yang mengenakan blouse bunga-bunga itu tersenyum kecut. "Ya maksudnya kamu sama istrimu, Bir" ujarnya kemudian.
Ada gurat ketidak relaan yang kutangkap dari wajah ayu itu. Entahlah. Atau mungkin karena hatiku yang sedang sensitif. Sehingga kurasakan Ibu Kiara ini sepertinya tidak menginginkan kehadiranku pada jamuan makan malam itu.
"Kalo Bang Biru sama Kak Bila nanti makan malam di luar, aku gimana dong?" celetuk Nasya tiba-tiba.
Gadis itu baru saja ke luar dari kamar barunya. Sepertinya kebanyakan gadis pada umumnya, rambut hitamnya ia cepol asal ke atas. Memperlihatkan lehernya yang jenjang. Kaos ketat lengan pendek dengan warna hitam terlihat sangat kontras dengan kulitnya. Itu semakin menambah kesan bersih pada wajahnya.
Kulihat adik cowok Kiara memandang takjub pada Nasya. Bahkan bibir pemuda itu sedikit melongo. Seperti tidak pernah lihat gadis cantik saja.
"Aku gak mau ditinggal sendirian. Takut. Ini kan rumah baru," ujarnya seraya mendekat padaku.
"Bagaimana, Tante? Adik iparku boleh diundang juga tidak?" Pertanyaan dari Kak Sabiru seolah mewakili hati Nasya.
"Emmm ... ya udah tante akan masak lebih," jawab Tante Santi sembari mengusap-usap tengkuknya. "Adik iparmu boleh ikutan juga kok," lanjutnya lemah. Kentara sekali wanita itu tidak ikhlas.
"Makasih kalo begitu, Tante," ucap Kak Sabiru kalem. "Insya Allah kami semua akan datang," lanjutnya tenang.
"Ya udah ... tante permisi kalo begitu," pamit Tante Desi kemudian. "Ayo anak-anak kita pulang!"
Wanita itu berlalu usai mendapat anggukan setuju dari Kak Sabiru. Aku bernapas lega melihatnya. Ketiga anaknya mengekori.
Pemuda jangkung adik Kiara itu masih saja memandangi Nasya. Sehingga membuat jalannya meleng. Alhasil dirinya kejedot pintu.
"Aduuuh!" pekiknya kesakitan.
Tampak pemuda itu meringis memegangi jidatnya. Melihat itu refleks aku dan Nasya terpingkal geli. Sementara Tante Santi dan dua anak gadisnya spontan menghentikan langkah. Mereka balik arah dan langsung menghampiri pemuda itu.
"Ya ampun, Taraa! Kok bisa meleng gitu?!" tegur Tante Santi gemas. Wanita itu mengusap kening anaknya yang terlihat benjol. Dan itu membuat sang putra kian mengaduh.
"Abisnya ngeliatin adik iparnya Bang Biru terus sih," timpal putri bungsu Tante Santi.
Tante Santi pun langsung menatap tidak suka pada Nasya. Masih dengan tatapan aneh wanita itu mendekat kembali ke arah kami.
"Biru, tante kasih tahu, tolong kamu jangan pelihara ipar di rumahmu! Bahaya!" saran Tante Santi langsung pada sasaran. Bagiku itu bukan saran, tapi lebih tepatnya lagi adalah perintah buat Kak Sabiru.
"Ipar adalah maut. Jangan sampai kejadian yang kamu alami terulang kembali." Tante Santi melanjutkan.
"Nauzubillah!" Aku, Kak Sabiru, dan Nasya menyahut bersamaan.
"Makanya jangan dipelihara!" sambar Tante Santi cepat.
"Dipelihara-dipelihara! Emangnya aku kambing," protes Nasya tidak terima.
"Seandainya mantan adik iparmu ini tidak datang ke kehidupanmu, mungkin Kamila masih hidup sampai sekarang," lanjut Tante Santi dengan seenaknya.
Otomatis aku dan Nasya menatap heran Ibu Kiara itu. Enteng sekali mulutnya berbicara.
"Tolong jangan berandai-andai seperti itu, Tante!" pinta Kak tegas. "Itu sama saja menolak takdir Allah. Kematian Kamila dan pernikahan aku dengan Nabila itu sudah menjadi kehendak-Nya," lanjut lugas dan tetap tenang.
"Ya, tapi kalo misal istrimu uang sekarang ini tidak-"
"Bun, jadi masaknya gak sih?" sambar adik Kiara yang bernama Tara. Pemuda yang kejedot pintu tadi. "Tar gak keburu lho, kalo kelamaan ngobrol di sini."
Pemuda itu menarik lengan ibunya menjauh dari kami. Ketika sang ibu masih ingin bicara, dirinya terus saja membawa sang ibu hingga ke luar dari rumah ini.
"Gak nyangka ya? Kiara yang pelit ngomong gitu punya ibu yang super lemes," kesalku begitu satu keluarga itu hengkang dari rumah ini.
"Kiara nurun dari ayahnya. Pendiam. Sama kayak Tara tadi." Kak Sabiru memberi tahu.
"Aku malas menghadiri undangan orang comel seperti itu," putusku sebal.
"Jangan gitu dong, Sayang!" Kak Sabiru langsung melarang. Pria itu lekas merangkul pundakku. "Memenuhi undangan kan wajib. Apalagi disampaikan langsung seperti tadi."
"Tapi, sikapnya dan omongannya tadi benar-benar menyulut emosi, Kak," keluhku kesal.
"Jangan diambil hati," suruh Kak Sabiru. "Udah Keanu sini sama ayah. Bunda beresin baju ke lemari saja sana!"
Aku diam. Kak Sabiru mengambil Keanu dari gendongan. Selanjutnya pria itu beranjak pergi. Nasya mengikuti sembari meledek-ledek bayi kecil kami.
Usai menghela napas. Aku pun memenuhi perintah suami, yaitu mengemasi baju-baju. Dalam hati berdoa semoga nanti malam hujan turun dengan derasnya. Bila perlu disertai petir. Biar kami batal memenuhi undangan tersebut.
Next.
Kasih tahu kalo ada typo
Doa selama seharian ini tidak didengar Tuhan. Semesta justru seolah mendukung. Petang ini langit tampak begitu cerah. Begitu bersih tanpa awan dan bertabur bintang.Sedari maghrib tadi keluarga Kiara bolak-balik menelepon. Mengingatkan pada kami tentang jamuan makan malamnya. Bahkan adik bungsu Kiara sengaja disuruh untuk menjemput kami oleh ibunya."Tunggu sebentar, ya. Kak Biru lagi jemaah isya di mushola." Aku memberi tahu remaja imut itu.Gadis itu mengangguk paham. Tanpa membantah dirinya balik lagi ke rumahnya yang tepat berhadapan dengan rumah ini. Namun, di pintu pagar pemudi itu berpapasan dengan Kak Sabiru.Dari ruang tamu kulihat Kak Sabiru dan gadis itu terlibat perbincangan sejenak. Usai menyampaikan sesu
Memuliakan tetangga memang wajib. Bukan sunnah. Namun, jika tetangganya seperti Tante Santi, aku tidak yakin apakah akan mampu melakukannya. Pasalnya wanita paruh baya yang masih terlihat ayu itu terlalu rempong.Menurutku, Tante Santi agak lancang karena terlalu sering mencampuri urusan rumah tangga yang kubina dengan Kak Sabiru. Padahal memang siapa dia? Dirinya tidak lebih dari orang luar saja. Tetangga dekat yang kebetulan pernah meluangkan waktunya untuk ikut mengasuh Kak Sabiru. Ketika suamiku itu baru saja ditinggal pergi selama-lamanya oleh sang ibu.Menurutku pula, karena alasan tersebut Tante Santi jadi seolah punya senjata yang ampuh. Wanita itu akan mengungkit kebaikan kecilnya di masa lalu untuk memeras Kak Sabiru. Kukatakan memeras karena setiap hari selalu saja ada barang atau uang yang dia pinjam.Kak Sabiru yang memang sangat menghindari keributan akan selalu memenuhi permintaan wanita itu.
💐💐💐Salah. Aku tahu apa yang baru saja kuucap memang salah. Namun, hati siapa yang tidak iba? Melihat sosok pria yang pernah bertahta lama di hati berdiri tergetar karena menahan dinginnya hawa. Apalagi dengan wajah pucat dan bibir yang biru, aku yakin banyak hati yang akan tersentuh untuk menolongnya."Ya, masuklah!"Akhirnya, kupersilahkan Zayn masuk. Senyum tipis seketika terbit dari bibir biru itu. Zayn meletakan bungkusan yang ia bawa di meja ruang tamu. Terlihat dia mengedarkan pandangan, lalu manik hitam nan teduh yang dulu begitu kurindu kini beralih menatapku."Duduklah! Aku akan ambilkan baju ganti," suruhku canggung. Bahkan mungkin cenderung kaku atau kikuk. Entahlah aku tidak peduli. Karena aku harus menjaga sikap. Namun, Zayn menggeleng lemah. "Bajuku basah kuyup. Kalo aku duduk kursi ini akan basah semua," tolaknya pen
"Kak!"Aku memanggil Kak Sabiru. Pria itu tidak menghiraukan. Dirinya tetap lunglai berjalan menuju kamar tidur kami. Aku sendiri lekas menaruh Keanu ke dalam boks dan memberinya mainan. Kasihan ... bayi itu harus bermain sendiri saat kedua orang tuanya terlibat cekcok."Tolong dengar penjelasan aku dulu, Kak," pintaku dengan sorot pengharapan. Tanganku menghalangi Kak Sabiru yang hendak meraih gagang pintu.Kak Sabiru menggeleng lemah. Terlihat jelas dari sorot matanya jika pria itu memendam kekecewaan yang teramat. "Baru tadi pagi kamu berjanji dan sore ini kudapati kamu mengingkarinya, Bila," ujarnya getir. Lagi Kak Sabiru menggeleng lemah disertai senyuman miris."Makanya dengarkan aku bicara dulu," tukasku cepat. "Kasih aku kesempatan untuk menjelaskan semuanya!""Tidak perlu." Kak Sabiru menggeleng tegas. "Kalian berduaan di dalam kamar. Hanya berdua dan kalian pernah saling mencinta
🌸🌸🌸Napasku tercekat. Seperti ada dua tangan yang menyekik leher. Tak kuhiraukan ponsel yang jatuh dari genggaman. Sambil memejam aku mengigit bibir bawah ini dengan kuat. Berharap apa yang baru saja kudengar adalah halusinasi. Rasa asin akibat setetes darah yang ikut masuk ke mulut menjadi pertanda, bahwa semuanya adalah nyata."Kak Sabir."Lirih aku menyebut nama itu. Lutut ini terasa lemas sehingga tidak mampu menopang badan. Tanpa sadar tubuhku luruh ke lantai."Kami bahkan belum saling memaafkan," sesalku nelangsa. Bibir ini mencebik. Tanpa bisa dicegah air mata pun mulai mengalir.Samar-samar terdengar suara keributan dari luar. Bahkan sebuah lengkingan suara yang kuyakini milik Tante Santi terdengar amat jelas. Apa yang terjadi? Kak Sabiru pergi bermain futsal bersama Kara dan Dokter Tama.
💔💔💔Aku tersedu di pundak Zayn. Lutut ini terasa lemas. Badan pun seperti tidak bertenaga sama sekali. Aku butuh bersandar dan Zayn menawarkan.Pemuda itu menyambut hangat. Bahkan tangannya terusap lembut di rambut. Kekalutan, kegundahan, hingga ketakutanku bermuara pada satu titik. Kutumpahkan segala rasa itu pada pundak Zayn."Tenanglah! Ada aku di sini." Zayn memberi kekuatan.EHEM-EHEMTerdengar gumaman keras. Spontan kutarik kepala ini pada bahu Zayn. Kami berdua menoleh ke belakang. Ada Elma masih dengan mata dan hidung yang merah menatap kami datar."Zayn, tolong kamu antar mama pulang. Dia teramat lemah. Aku takut mama jatuh pingsan di jalan tanpa ada yang menolong kalau pulang sendiri," pinta Elma panjang."Baik," sahut Zayn sigap. "Kamu sendiri tidak ikut pulang?" Zayn menunjukkan kepeduliannya."Aku akan jaga Bang Tama." Suara El
💔💔💔Berita kebutaan Kak Sabiru tentu saja menggegerkan semuanya. Baik itu keluargaku, keluarga dia, juga keluarga Tama. Ibu bahkan jatuh pingsan saat pertama kali mendengar kabar tersebut. Wanita itu sangat terpukul sehingga sepanjang hari hanya bisa menangis pilu.Om Hendri dan Tante Lisa baru datang ke Jakarta setelah sehari Kak Sabiru tersadar. Itu karena Om Hendri sendiri juga tengah dirundung sakit. Sudah seminggu tekan darahnya naik. Menurut dokter yang merawat, Om Hendri harus banyak beristirahat. Namun, papa Zayn itu memaksa ingin melihat keadaan sulungnya.Nasib buruk juga dialami Kiara. Gadis cantik tinggi semampai itu tersadar sehari setelah Kak Sabiru siuman. Namun, ia harus menelan pil pahit karena kaki jenjangnya mendadak tidak dapat digerakkan. Dirinya sama sekali tidak bisa merasakan sesuatu apapun pada kedua kakinya."Tidakkk! Aku tidak mau lumpuh! Aku ingin bisa berjalan sepert
❤️❤️❤️"Bila, aku ... aku mohon!" Mata sayu Tama memindaiku.Aku bergeming. Seenak hati Tama berkata demikian. Apa dia pikir berbagi suami itu semudah berbagi permen?"Bila ...." Lagi Tama memanggil."Maaf, Bang Tama." Aku menangkupkan kedua tangan. "Kamu boleh saja meminta apapun dariku, tapi tolong jangan suruh aku berbagi suami. Itu sulit!" Kutegaskan saat mengucap kata 'sulit'.Tama memejam. Dari sudut matanya meleleh buliran bening. Siapapun yang melihat pasti pilu. "Aku tahu perasaanmu, Bila." Pria itu berucap serak. "Tapi aku tidak bisa pergi tenang jika-""Bila, ayo tinggalkan tempat ini sekarang juga! Persetan dengan semuanya!" sambar Kak Sabiru cepat. Dia bahkan memukul pegangan kursi.Kami semua tercengang mendengar Kak Sabiru berkata lantang seperti itu. Bahkan sedikit tidak percaya jika pria yang hampir satu setengah tahun menema
Sedikit ragu aku melangkah menuju kamar. Membuka laci nakas. Aku memang menyimpan alat tes kehamilan. Usia Keanu genap 18 bulan, aku memang lepas KB.Kak Sabiru menginginkan adik untuk Keanu. Sebenarnya aku kasihan pada Keanu. Dia masih terlalu kecil. Namun, aku juga tidak bisa membantah perintah suami.Langkah pelan kuayun ke kamar mandi sembari membawa cawan kecil di tangan. Hati-hati zaman itu kuisi dengan air seni sendiri. Lalu mulai mencelupkan alat tersebut pada cairan berwarna kuning kecoklatan itu.Beberapa detik kemudian tanda dua garis merah muncul. Mulutku ternganga. Antara bahagia dan galau. Bahagia karena impian Kak Sabiru mendapat momongan lekas terpenuhi. Namun, kalau juga karena Keanu belum lepas ASI."Udah, Bil?" tanya Kak Sabiru dari luar. Sepertinya dia sudah tidak sabar. Aku diam tidak menyahut. Hanya langsung membuka pintu kamar mandi saja. "Bagaimana hasilnya?" tanya Kak Sabiru antusi
"Sedang apa?" Aku dan Elma menyela cepat.Kak Sabiru bergeming. Dia tampak menyesali ucapannya."Ayo katakan, Biru! Apa yang sedang Zayn rencanakan?" desak Elma sambil menarik-narik lengan suamiku. Seperti anak kecil yang merengek pada kakaknya."Aduh gimana ya?" Kak Sabiru mengusap tengkuknya beberapa kali. "Sebenarnya ini tuh rahasia, El. Aku sudah berjanji untuk tidak membocorkannya padamu," tutur Kak Sabiru dengan wajah meragu. "Laki-laki itu yang dipegang adalah omongannya, jadi ... sorry to say. Aku gak bisa." Kak Sabiru angkat bahu, lalu menangkup kedua tangan."Yah ... Biru gak asyik," keluh Elma kecewa. Gadis itu sengaja memanyunkan bibirnya ke depan."Denger, El, percaya deh sama Zayn. Dia itu pemuda yang baik." Suamiku berucap yakin. "Udah yuk lanjut makan!" suruhnya sambil menunjuk makanan dengan matanya.
"Kiara?" sapaku dengan perasaan tidak menentu.Jika aku paling mencemburui Kiara, maka Zayn adalah lelaki paling mencemburui Kak Sabiru cemburui. Sama halnya Zayn yang masih saja perhatian padaku, Kiara bahkan tidak pernah mundur untuk mendapatkan suamiku."Hai, Bila? Baru pulang?" Kiara balas menyambut kalem. Tangannya terulur menjawil pipi Keanu. Bagai sehati bayi itu langsung merengek dijawil oleh wanita yang dicemburui ibunya.Reza menyusul usai mematikan mesin mobil. Pria itu menganguk ramah pada Kiara dan ditanggapi senyuman simpul oleh sang gadis."Iya, nih," sahutku sambil berusaha mendiamkan Keanu, "tumben main? Ada apa?" Aku mencoba santai saat bertanya."Kayaknya kamu gak suka aku menginjakkan kaki di sini deh." Kiara menebak sotoy sembari berkacak pinggang. "Cemburu, ya?" Kiara meledek dengan seringai kecil.Aku mendesah pelan. "Salut ya. Setelah serangkaian ak
Usia sholat Isya bersama, kuajak Kak Sabiru makan malam bareng. Lelaki itu menurut. Walau dia jujur mengaku sudah mampir makan di restoran favorit saat balik ambil laptop."Pantes saja aku nungguinnya lama," balasku dengan sedikit merajuk. Bibir pun sengaja kubuat cemberut. Kak Sabiru paling senang melihat aku bermanja-manja padanya.Begitu sampai di meja makan kubuka tudung saji. Hanya ada menu semur daging dan jamur goreng krispi. Walau begitu ada tatapanmupengyang kulihat dari matanya."Aromanya bikin cacing di perut menggeliat lagi," selorohnya sambil menarik kursi. Pria itu langsung menyomot jamur goreng tersebut. Lantas mengunyahnya perlahan-lahan.Bunyi kriuk-kriuk yang keluar dari mulut membuat aku tersenyum senang. Dengan semangat kuciduk nasi dari dalam rice cooker. Nasi putih pulen dengan asap yang masih mengebul kusiram dengan kuah semur dan potongan dagingnya.
Sambil menunggu kepulangan Kak Sabiru, Keanu aku kompres dengan air hangat. Saat menatap mata mungil Keanu yang terlelap, rasa menyesal menusuk sukma. Hanya karena uang aku mengabaikan anak ini. Padahal Kak Sabiru sudah mencukupi segala kebutuhan. Pantas rasanya jika lelaki itu kesal.Pelan-pelan suhu tubuh Keanu mulai turun. Rasa khawatir ini perlahan luntur. Kutengok jam kotak yang menempel pada dinding. Sudah satu jam lebih Kak Sabiru pergi. Namun, belum ada tanda-tanda ia kembali.Sembari menunggu kedatangan suami kesayangan, aku membersihkan badan. Tidak perlu lama-lama karena malam kian menjelang. Apalagi saat mendengar kumandang adzan Isya, kegiatan ini lekas kusudahi.Ketika melintas untuk kembali ke kamar tampak Ibu tengah menikmati hidangan makan malam sendiri. Wanita itu hanya menengok sekilas tanpa mau menyapa. Mungkin dia masih marah.B
Rasanya seperti maling yang tertangkap basah. Tiba-tiba aku dilanda gugup. Apalagi saat melihat wajah Kak Sabiru yang datar. Tidak ada senyum, tetapi tidak dingin. Di sisi lain Elma pun menampakkan muka yang sama. Dia yang biasanya ceria hanya menatapku sekilas. Lalu langsung mendekati Nasya yang masih betah berbaring. Tatapan dari Zayn, ia acuhkan. "Bagaimana keadaanmu, Sya?" tanya Elma pelan. "Sudah lumayan membaik," sahut Nasya lemah. "Syukurlah. Maaf ya, aku baru datang hari ini. Kalo Biru tidak mengabari kemarin, aku mana tahu," tutur Elma sambil melirik padaku. Aku sendiri agak tertohok mendengar ucapannya. Sungguh ... bukannya tidak mau memberi kabar pada yang lain, kekalutan pada kondisi Nasya membuat aku lupa melakukannya. "Gak papa, Mbak Elma." Nasya mengedip ramah. Elma tersenyum simpul pada Nasya. Kini tatapannya beralih pada sosok menju
Tidak salah lagi. Itu Kiara dan Zayn. Sedang apa mereka berdua di sini? Setahuku keduanya tidak begitu dekat.Baiklah dari pada otak dipenuhi tanya, lebih baik kuhampiri saja mereka. Tanpa berpikir lagi, kaki ini melangkah menuju tempat Zayn duduk. Tangisan kecil dari Keanu menyadarkan Zayn dan Kiara. Keduanya menoleh melihat kedatanganku."Bila ...." Zayn tampak terpana melihat kedatanganku. Bibirnya melengkung indah. Ya ... mana pernah dia cemberut jika ketemu aku. "Bareng Keanu aja?" Dia menebak sambil menyapu sekeliling. Mungkin mencari tahu dengan siapa aku datang."Iya." Aku membalas pelan. Lalu mulai duduk di samping Kiara. Keanu yang rewel kuberi sepotong muffin kudapan dua orang ini. Alhasil bocah itu diam menikmati makanan warna cokelat tersebut."Mau minum apa?" tawar Zayn hangat."Apa saja yang penting dingin. Sama air mineral buat Keanu.""Oke."
"Saya cari Sabiru," balasnya benar-benar datar tanpa senyum."Eum ... saya istrinya." Aku masih bersikap ramah. Bahkan tangan ini terulur. Sayangnya aku dibuat menahan ludah yang pahit, karena wanita itu mengabaikan tangan ini. Dirinya tetap menaikan dagu tanpa mau menjabat.Ini masih terlalu pagi untuk emosi. Dan aku juga mau tersulut karenanya. Oke ... tahan napas sejenak."Kalo boleh tahu apa keperluan Ibu mencari suami saya?" Pertanyaan yang ke luar dari mulut ini tetap kubuat selembut mungkin. Karena bagaimanapun juga melayani tamu dengan baik adalah kewajiban."Tolong pertemukan saya dengan suamimu!" pintanya tegas.Benar-benar wanita batu. Dia yang butuh kenapa lagaknya songong begini?Astaghfirullah hal adzim."Siapa, Bil?"Dari belakang Kak Sabiru datang. Lelaki yang masih santai dengan piyama tidurnya mendekat, sembari menggendong K
"Usir Mas Reza, Kak Bila! Aku mau bercerai dengan dia!' teriak Nasya lantang walau masih lemah. Telunjuknya mengarah pada Reza dengan tatapan sengit. Dan air matanya tetap saja berderai."Nasya Sayang---""Aku bilang pergi!" Nasya menyambar keras. Matanya mendelik marah pada suaminya."Sya ... tolong maafin, Mas. Sumpah---""Kamu dengar gak sih aku bilang pergi!" Nasya kembali menggertak."Sabar, Nak." Ibu Halimah menenangkan sang putri yang dipenuhi arah dengan dekapan lembut."Reza, tolong kamu patuhi perintah Nasya. Biarkan dia beristirahat untuk memulihkan kondisinya." Ibuku pun mulai angkat bicara.Namun, dasar Reza bebal! Seruan Nasya dan nasihat Ibu hanya jadi angin lalu saja baginya. Dia tetap bersikukuh berdiri di ruangan ini."Mas, tolong jangan buat keributan di sini!" Aku yang geregetan akhirnya turun tangan dengan menarik paks