"Kak!"
Aku memanggil Kak Sabiru. Pria itu tidak menghiraukan. Dirinya tetap lunglai berjalan menuju kamar tidur kami. Aku sendiri lekas menaruh Keanu ke dalam boks dan memberinya mainan. Kasihan ... bayi itu harus bermain sendiri saat kedua orang tuanya terlibat cekcok.
"Tolong dengar penjelasan aku dulu, Kak," pintaku dengan sorot pengharapan. Tanganku menghalangi Kak Sabiru yang hendak meraih gagang pintu.
Kak Sabiru menggeleng lemah. Terlihat jelas dari sorot matanya jika pria itu memendam kekecewaan yang teramat. "Baru tadi pagi kamu berjanji dan sore ini kudapati kamu mengingkarinya, Bila," ujarnya getir. Lagi Kak Sabiru menggeleng lemah disertai senyuman miris.
"Makanya dengarkan aku bicara dulu," tukasku cepat. "Kasih aku kesempatan untuk menjelaskan semuanya!"
"Tidak perlu." Kak Sabiru menggeleng tegas. "Kalian berduaan di dalam kamar. Hanya berdua dan kalian pernah saling mencinta."
"Kamu tidak perlu ketakutan seperti itu, Biru!" sergah Zayn datang mendekat. "Aku berbeda dengan kamu. Aku bukan tipe pria yang suka merebut hak milik orang lain," tandasnya seraya menatap dingin pada Kak Sabiru.
"Maksud kamu apa?" Kak Sabiru balas menatap dingin.
Dua bersaudara itu saling bersitatap tajam. Aroma persaingan tercetak jelas pada kedua wajah itu. Sebagai objek dari persaingan mereka aku hanya bisa mendesah resah.
"Aku adalah pria bermoral yang sangat menjunjung tinggi harkat dan martabat seorang wanita," tutur Zayn tenang. "Jadi ... walaupun aku seharian berduaan dengan Nabila, tapi tidak ada secuil pun pikiran kotor yang bersarang di otakku. Berbeda dengan dirimu yang-"
"Zayn! Sudahlah!" sambarku cepat seraya mendekati pemuda itu. "Sebaiknya sekarang kamu pulang!" Aku mengusir pemuda itu dengan sedikit mendorong kasar.
Aku tahu jika Zayn ingin membela. Namun, aku tidak mau permasalahan ini kian runyam jika dia turut berbicara. Bahkan ketegangan antara kami akan tetap membara jika dia tidak sekelasnya angkat kaki dari sini.
"Teruskan bicaramu!" tantang Kak Sabiru pada Zayn.
Zayn tersenyum mengejek. "Ya ... aku bukan pria biadab yang tega merenggut kesucian seorang gadis seperti kamu! Terlebih itu ipar sendiri!" umpat Zayn lantang.
BUGGH
Mataku terbuka lebar saat melihat Kak Sabiru dengan berang meninju muka Zayn. Bogeman mendadak itu tepat mengenai bibir Zayn. Ada darah yang menetes pada bibir yang robek itu.
Zayn mengusapnya dengan kasar. Pemuda itu lalu meludah keras. Air liur bercampur darah itu tepat jatuh di hadapan Kak Sabiru.
"Kamu pikir cuma kamu yang berhak marah?" geram Kak Sabiru masih mengepalkan tangan. "Dulu kamu boleh sepuasnya membuat perhitungan denganku, saat Nabila belum sepenuhnya menyerahkan hati. Tapi sekarang tidak bisa!" Kak Sabiru melarang dengan tatapan elangnya. "Nabila sudah sepenuhnya milikku, jadi jangan pernah kamu menggodanya kembali," pungkasnya garang.
"Persetan!" gertak Zayn tidak mau kalah. Pemuda itu ingin balas menyerang.
"Hentikaaan!" jeritku lantang sekaligus sedih. Kedua pria sedarah itu menoleh bersamaan ke arahku.
"Hei ... ada apa ini?"
Tiba-tiba dari luar masuk Dokter Tama dan Kiara. Di belakangnya ada Tante Santi ikut menyusul.
"Biru? Zayn? Ada apa dengan kalian? tegur Dokter Tama menatap bergantian dua kakak beradik itu dengan heran. Mata Dokter Tama tertuju pada bibir Zayn yang robek.
"Ya ampun ... ini pada bersitegang karena apa sih?" Suara Tante Santi ikut menggelegar. "Ini pasti gara-gara Nabila bawa masuk pria lain, Biru jadi marah. Bener gak?" tebak Tante Santi sok yakin.
Aku, Kak Sabiru, dan Zayn tidak menyahut. Tebakan Tante Santi memang benar. Pertikaian ini terjadi karena kesalahanku telah membawa Zayn masuk.
"Kalo ada permasalahan sebaiknya dibicarakan dengan baik. Bukan main pukul seperti ini," saran Dokter Tama bijak.
"Kalo tante jadi Biru juga pasti marah kok," sela Tante Santi julid, "pasalnya tante lihat mobil dia parkir lama di halamanmu lumayan lama loh, Bir," lanjut Tante Santi sambil menunjuk Zayn. Wanita itu seolah menyiramkan bensin pada kobaran emosi di hatinya Kak Sabiru.
"Tante ... Zayn lama di sini karena kami terjebak di kamar Keanu yang engselnya rusak." Aku memberi tahu.
"Aduuuh! Jadi kalian berduaan di dalam kamar? Astaghfirullah!" Tante Santi menutup mulutnya dengan dramatis.
Dalam hati aku merutuk kenapa bisa keceplosan seperti tadi. Posisiku di mata Tante Santi dan keluarga pasti kian buruk sekali.
Kini semua orang yang ada di rumah ini memandang curiga padaku dan juga pada Zayn. Kecuali Kak Sabiru. Pria itu akan selalu membuang muka jika tanpa sadar mata kami bertemu pandang. Dan itu sungguh menyakitkan hati.
"Tolong tinggalkan rumah ini segera! Aku butuh beristirahat." Akhirnya, Kak Sabiru memungkas masalah ini.
Mendengar itu Zayn langsung menatapku. Sinaran matanya mengisyaratkan pamitnya dia. Pemuda itu lantas melangkah pergi mendapati diamnya aku.
Kiara sendiri lekas menarik lengan sang bunda untuk ikut beranjak pergi. Walau wanita yang masih terlihat modis dengan cat rambut cokelatnya itu sempat menolak, tetapi tarikan kuat dari Kiara membuatnya tidak mampu melawan.
Dokter Tama sendiri justru mendekati suamiku. "Aku tahu kamu marah atau mungkin kecewa saat ini. Tapi, aku berharap marahmu tidak akan sampai menyakiti hati Nabila," ujar Dokter Tama terdengar serius.
Kak Sabiru hanya menanggapi omongan Dokter Tama dengan senyuman kecut.
"Ingat! Bagaimana perjuanganmu dulu saat menaklukkan hati Bila, Biru." Dokter Tama kembali mengingatkan.
"Ya, aku tahu itu, Tam," sahut Kak Sabiru tampak mulai tenang. "Sekarang tolong pergilah!"
"Oke."
Dokter Tama menganguk paham. Pria itu tersenyum dan menepuk pundak Kak Sabiru perlahan. Tepukan persahabatan dari seorang teman yang mendukung.
"Kak," panggilku selepas semua orang pergi.
Kak Sabiru menghadapku dengan raut penuh kemalasan. "Kakak lelah. Kakak mau beristirahat," ujarnya sayu. Dirinya lantas masuk kamar usai cakap seperti itu. Aku sendiri agak terhenyak saat mendengar suara pintu yang terkunci.
Sesak. Dada ini terasa begitu sempit. Aku butuh pasokan oksigen yang banyak. Setelah menghirup udara dalam-dalam, aku masuk ke kamar Keanu.
Bayiku masih tampak asyik bermain sendiri. Keanu menggigiti mainan empuk miliknya. Kupandangi bayi itu dengan hati yang penuh penyesalan.
Kejadian ini tidak akan pernah terjadi jika aku tidak mengizinkan Zayn masuk ke mari. Salah. Ya ... aku terima jika Kak Sabiru marah.
*
Sampai malam menjelang pria itu tidak ke luar juga dari dalam bilik. Berulang kali kuketuk pintu kamar, tidak ada sahutan darinya. Kak Sabiru juga tidak menyentuh makan malam yang kusiapkan. Aku bahkan harus tertidur di kamar Keanu.
Pagi hari pun Kak Sabiru belum menunjukkan gelagat baiknya. Dirinya menolak saat aku hendak memasangkan dasi.
Pria itu juga melewati begitu saja sarapan yang telah kupersiapkan."Kak!"
"Aku akan sarapan di kantor. Ini sudah siang," sela Kak Sabiru cepat memberi alasan. Pria itu melenggang begitu saja tanpa memedulikan aku yang telah menunggunya untuk sarapan pagi bersama.
Malam hari pun sama. Kak Sabiru selalu pulang dengan melewatkan makan malam yang telah susah payah kubuat. Tidak ada sapaan darinya apa lagi candaan. Dingin. Hanya itu yang kurasa.
Sakit? Tentu saja aku sakit diperlakukan seperti ini. Namun, aku sadar dengan kesalahan yang telah kuperbuat. Sehingga jalan satu-satunya untuk mengakhiri perang dingin ini adalah dengan meminta maaf.
*
Malam itu, saat usai bermain catur dengan Tara, Kak Sabiru masuk kamar. Dirinya terlihat lumayan kaget melihat aku duduk menunggunya di ranjang.
"Kenapa belum tidur?" tegurnya datar seolah tidak perlu dijawab. "Tidurlah! Ini sudah malam!" Pria itu lekas merebahkan tubuh dan menarik selimut setinggi leher. Lalu mulai tidur dengan memunggungi aku seperti hari-hari kemarin.
Aku merangkak naik ke pembaringan. Ikut menyelinap masuk ke dalam selimut tebal putih miliknya. Menyampingkan ego, aku memeluk pria itu dari belakang.
"Aku kangen kamu, Kak," ucapku jujur. Kepala ini kusandarkan pada punggung kokoh itu. "Aku tahu aku salah, tapi tolong jangan hukum aku dengan cara seperti ini," pintaku parau.
Mungkin karena mendengar suaraku yang tergetar karena menahan tangis, Kak Sabiru membalikkan badan. Pria itu menatapku lekat.
"Tolong jawab dengan jujur satu pertanyaanku ini, Bila!" pintanya sendu.
"Apa?" tanyaku seraya menghapus embun-embun yang mulai memburamkan mata ini.
"Jujur! Pernah gak kamu mencintai aku?"
"Kenapa kamu bertanya seperti itu?" balasku menatap intens matanya. "Tidak cukupkah perhatianku selama ini?"
"Bukan cuma perhatian yang kubutuhkan, tetapi kesetiaan juga."
"Kamu bicara seperti itu seolah-olah aku baru saja tertangkap basah habis selingkuh," sergahku kesal. Aku bangkit untuk duduk. "Aku tegaskan sekali lagi, aku dan Zayn tidak sengaja terjebak di kamar Keanu. Kamu tahu sendiri kan kalo engsel -"
"Kenapa kamu tidak meminta izin dulu kalo mau mempersilahkan Zayn masuk?" Kak Sabiru ikut bangkit duduk.
"Sudah, Kak!" tukasku frustasi. "Sinyal waktu itu jelek. Suaramu putus-putus. Bahkan kamu me-reject panggilanku," terangku sedetail mungkin.
"Aku sedang ikut meeting waktu itu, makanya aku reject."
"Ya sudah kalo begitu! Apa aku masih salah?!" sergahku lepas kendali.
Kak Sabiru sendiri terkesima mendengar nada tinggi yang ke luar dari mulutku. Tanpa berbicara lagi. Pria itu turun dari ranjang dan berlalu.
"Hey! Aku belum selesai bicara!"
Teriakanku tidak digubrisnya. Pria itu tetap melangkah pergi meninggalkan aku yang kini penuh kedongkolan menatapnya. Perlahan bibir ini mencebik. Pertahankanku jebol. Tanpa bisa dicegah air mata ini luruh begitu saja tanpa suara.
*
Semalaman aku menangis dalam diam sehingga terlambat bangun tidur. Untungnya sedang berhalangan sehingga tidak mengapa melewati waktu subuh. Kebetulan juga ini weekend sehingga aku tidak perlu terburu-buru menyiapkan sarapan pagi. Walau buat makanan juga percuma karena Kak Sabiru masih belum menyentuh olahanku.
Mengabaikan rasa pusing karena kurang tidur, aku menuju kamar mandi untuk membersihkan badan. Aku butuh air segar untuk menyejukkan hati dan pikiran. Setelah merasa cukup bersih dan segar aku ke luar kamar mandi.
Kediaman ini tampak begitu lenggang. Sepertinya Kak Sabiru telah meninggalkan rumah. Hatiku kian mencelos saat mendapati boks Keanu kosong. Ke mana perginya ayah dan anak itu sepagi ini?
Rasa penasaran mendorongku untuk ke luar rumah. Di teras kudapati Nasya tengah duduk berduaan dengan Tara. Kedua sejoli itu tampak bercanda-canda mengajak Keanu main.
"Kamu kapan ke sini, Sya?" tanyaku serilik.
"Eh ... Kak Bila udah bangun." Nasya berujar riang. "Udah dari sejam yang lalu. Dari Kakak masih ngorok," lanjutnya cuek.
Aku sendiri mencebik mendengar itu. "Oya ... lihat Bang Sabir pergi gak?"
"Pergi dengan kakak aku, Mbak." Tara yang menjawab.
"Apaaa?!" Mataku terbelalak. "Maksud kamu Kiara?"
"Kakak aku kan emang cuma satu. Kak Kiara itu," timpal Tara mengulum senyum.
"Mereka ... mereka pergi ke mana?" tanyaku penasaran dan yang pastinya tidak rela.
"Katanya mau main futsal. Bang Tama sih ngajakin tadi."
"Oh ada Tama?"
Aku bersyukur lega mendengarnya. Bahkan kurasakan bibir ini berkedut kecil. Rasa kesal seketika lenyap mendengar ada nama kakak Elma di antara Kak Sabiru dan Kiara.
"Ya udah ... Kakak bikin sarapan dulu, ya. Kamu tolong jaga Keanu dulu," pintaku pada Nasya.
"Oke," sahut Nasya centil. Gadis itu kembali mengajak Keanu main. Tampak pula Tara ikut menciumi bayi kecilku.
Pertikaian semalam harus segera terselesaikan. Walaupun tidak sepenuhnya salah, tapi apa salahnya jika aku mengalah. Demi keutuhan rumah tangga ego memang harus dijaga. Kalau sama-sama gengsi meminta maaf, tidak akan ada penyelesaian. Begitu nasihat Ibu ketika melepas aku ke rumah ini dulu.
Pengalaman juga menempaku menjadi sedikit lebih dewasa. Sekarang sudah sedikit bersabar juga. Jika dulu Kak Sabiru yang selalu mengejar, tidak mengapa kini aku berbalik yang memperjuangkan.
Ketika tengah sibuk mengolah rawon kesukaan Kak Sabiru, ponsel yang kutaruh di meja dapur bergetar. Karena terus saja bergetar dan berdering, mau tak mau harus kuangkat juga.
"Hallo ... Assalamualaikum," sapaku begitu layar pilih itu menempel di telinga.
"Selamat pagi. Maaf apa benar ini dengan Ibu Nabila istri dari Bapak Sabiru?" tanya seorang wanita di seberang ponsel.
"Ya betul saya sendiri," jawabku ramah. Tiba-tiba ada rasa tidak enak menyergap hati.
"Maaf Ibu, mau mengabarkan kalo suami ibu bersama kedua temannya mengalami kecelakaan."
"Apaaah?"
Bibirku kelu mendengar itu. Terasa seperti ada sebuah belati tajam yang menghujam jantung ini dengan begitu kuat. Aku syok. Bahkan karena saking terkejutnya ponsel di tangan terlepas begitu saja.
Next
Jangan lupa subscribe untuk update bab ya. ❤️ dan 🌟 5 juga saya butuhkan. Komen kalian juga vitamin bagi saya untuk membuat lanjutan. Terima kasih 🙏
🌸🌸🌸Napasku tercekat. Seperti ada dua tangan yang menyekik leher. Tak kuhiraukan ponsel yang jatuh dari genggaman. Sambil memejam aku mengigit bibir bawah ini dengan kuat. Berharap apa yang baru saja kudengar adalah halusinasi. Rasa asin akibat setetes darah yang ikut masuk ke mulut menjadi pertanda, bahwa semuanya adalah nyata."Kak Sabir."Lirih aku menyebut nama itu. Lutut ini terasa lemas sehingga tidak mampu menopang badan. Tanpa sadar tubuhku luruh ke lantai."Kami bahkan belum saling memaafkan," sesalku nelangsa. Bibir ini mencebik. Tanpa bisa dicegah air mata pun mulai mengalir.Samar-samar terdengar suara keributan dari luar. Bahkan sebuah lengkingan suara yang kuyakini milik Tante Santi terdengar amat jelas. Apa yang terjadi? Kak Sabiru pergi bermain futsal bersama Kara dan Dokter Tama.
💔💔💔Aku tersedu di pundak Zayn. Lutut ini terasa lemas. Badan pun seperti tidak bertenaga sama sekali. Aku butuh bersandar dan Zayn menawarkan.Pemuda itu menyambut hangat. Bahkan tangannya terusap lembut di rambut. Kekalutan, kegundahan, hingga ketakutanku bermuara pada satu titik. Kutumpahkan segala rasa itu pada pundak Zayn."Tenanglah! Ada aku di sini." Zayn memberi kekuatan.EHEM-EHEMTerdengar gumaman keras. Spontan kutarik kepala ini pada bahu Zayn. Kami berdua menoleh ke belakang. Ada Elma masih dengan mata dan hidung yang merah menatap kami datar."Zayn, tolong kamu antar mama pulang. Dia teramat lemah. Aku takut mama jatuh pingsan di jalan tanpa ada yang menolong kalau pulang sendiri," pinta Elma panjang."Baik," sahut Zayn sigap. "Kamu sendiri tidak ikut pulang?" Zayn menunjukkan kepeduliannya."Aku akan jaga Bang Tama." Suara El
💔💔💔Berita kebutaan Kak Sabiru tentu saja menggegerkan semuanya. Baik itu keluargaku, keluarga dia, juga keluarga Tama. Ibu bahkan jatuh pingsan saat pertama kali mendengar kabar tersebut. Wanita itu sangat terpukul sehingga sepanjang hari hanya bisa menangis pilu.Om Hendri dan Tante Lisa baru datang ke Jakarta setelah sehari Kak Sabiru tersadar. Itu karena Om Hendri sendiri juga tengah dirundung sakit. Sudah seminggu tekan darahnya naik. Menurut dokter yang merawat, Om Hendri harus banyak beristirahat. Namun, papa Zayn itu memaksa ingin melihat keadaan sulungnya.Nasib buruk juga dialami Kiara. Gadis cantik tinggi semampai itu tersadar sehari setelah Kak Sabiru siuman. Namun, ia harus menelan pil pahit karena kaki jenjangnya mendadak tidak dapat digerakkan. Dirinya sama sekali tidak bisa merasakan sesuatu apapun pada kedua kakinya."Tidakkk! Aku tidak mau lumpuh! Aku ingin bisa berjalan sepert
❤️❤️❤️"Bila, aku ... aku mohon!" Mata sayu Tama memindaiku.Aku bergeming. Seenak hati Tama berkata demikian. Apa dia pikir berbagi suami itu semudah berbagi permen?"Bila ...." Lagi Tama memanggil."Maaf, Bang Tama." Aku menangkupkan kedua tangan. "Kamu boleh saja meminta apapun dariku, tapi tolong jangan suruh aku berbagi suami. Itu sulit!" Kutegaskan saat mengucap kata 'sulit'.Tama memejam. Dari sudut matanya meleleh buliran bening. Siapapun yang melihat pasti pilu. "Aku tahu perasaanmu, Bila." Pria itu berucap serak. "Tapi aku tidak bisa pergi tenang jika-""Bila, ayo tinggalkan tempat ini sekarang juga! Persetan dengan semuanya!" sambar Kak Sabiru cepat. Dia bahkan memukul pegangan kursi.Kami semua tercengang mendengar Kak Sabiru berkata lantang seperti itu. Bahkan sedikit tidak percaya jika pria yang hampir satu setengah tahun menema
❤️❤️❤️Tepat di hari ketujuh meninggalkannya Tama, Kak Sabiru menjalani operasi pencangkokan kornea mata. Tadinya pria itu menolak habis-habisan. Karena masih memikirkan amanat Tama. Namun, semua orang membujuk dan memaksa, termasuk diriku."Kornea itu hanya bertahan selama empat belas hari dalam laboratorium, Biru. Jangan buat semuanya sia-sia. Kasihan Tama," kata Tante Mirna di malam ketiga tahlilan Tama."Jangan dengarkan celotehan Santi. Yang terpenting nanti kamu serius menjaga Kiara sesuai amanat Tama." Om Hendri turut menimpali."Bukankah Kakak merindukan senyumku dan Keanu? Jadi tunggu apa lagi?" Aku ikut menambahkan waktu itu.Berbekal nasihat-nasihat tersebut dan juga betapa tersiksanya menjadi tuna netra, akhirnya Kak Sabiru mau juga menjalani operasi tersebut. Satu jam proses pencangkokan itu berlangsung.
Keberhasilan Kak Sabiru menjalani transplantasi kornea menerbitkan kebahagian bagi semua orang. Tidak hanya diriku saja selaku pendamping hidupnya, Om Hendri sebagai ayah pun merasakan hal yang sama. Bahkan lelaki itu mengusulkan untuk mengadakan acara syukuran atas kembalinya penglihatan Kak Sabiru.Seperti biasa, suamiku yang bersahaja dan tidak menyukai keramaian tentu saja menolak. Apalagi kepergian Tama juga belum lama. Dirinya tidak enak hati dengan keluarga Tante Mirna. Takut dikira berpesta di atas duka orang lain. Serta menjaga perasaan Kiara yang masih berselimut lara karena ditinggal kekasih.Om Hendri tidak menyerah. Dirinya terus saja membujuk. Pria paruh baya itu berdalih jika acara tersebut merupakan bentuk syukur dan luapan kegembiraan dari seorang ayah karena putranya telah sehat kembali. Untuk meyakinkan bahwa keinginannya tidak melukai hati keluarga almarhum Tama, Om Hendri meminta izin pada Om Joha
Rumahku sudah mulai ramai. Ibu juga telah datang. Wanita itu sengaja membuka toko bunganya setengah hari saja. Seperti biasa dirinya hadir dengan diantar oleh Paman Hasan. Kebetulan pria itu sudah pulang dari kerja sehingga bisa mengikuti acara syukuran ini.Hari kian beranjak petang. Langit terang telah berganti malam. Paman Hasan, Om Hendri, Kak Sabiru, dan Zayn juga telah kembali dari masjid terdekat selepas menunaikan ibadah sholat tiga rakaat mereka. Tidak lama berselang mobil Om Johan pun telah memasuki halaman.Semua sudah siap. Hidangan dan para tetangga dekat sudah mulai berdatangan. Namun, keluarga Tante Santi tidak ada seorang pun yang menampakkan batang hidungnya. Bahkan Tara yang biasanya wira-wiri ke rumah kali ini pun absen.Merasa penasaran, aku menyuruh Nasya untuk mengingatkan undangan acara syukuran ini pada keluarga Tante Santi. Namun, gadis itu menolak. Dalihnya ogah berurus
"Oh ... tidak! Kiaraaa!"Tante Santi berteriak histeris. Disusul kedua putrinya yang juga ikut meledakkan tangis. Sementara Kak Sabiru dan Tara menerjang ranjang Kiara. Aku sendiri hanya bisa mematung. Sungguh syok melihat pemandangan ini.Kak Sabiru lekas memeriksa nadi Kiara di sekitar leher. Dirinya juga menempelkan jari di hidung Kiara."Tara, cepat angkat kakakmu! Abang akan siapkan mobil," titah Kak Sabiru segera.Tara menganguk tanggap. Pemuda itu lekas membopong tubuh kakaknya yang kian mengurus. Kak Sabiru sendiri gegas berlari kembali ke rumah. Aku mengekor dengan ikut melangkah panjang."Kamu di rumah saja! Kasihan Keanu," perintah Kak Sabiru begitu aku hendak membuka pintu mobilnya."Tapi, Kak, aku juga ingin-""Gak ada tapi-tapian. Keadaan lagi genting. Jangan membantah, ya!" sambar Kak Sabiru tegas. Mata tenangnya menatap serius. Dan itu suda
Sedikit ragu aku melangkah menuju kamar. Membuka laci nakas. Aku memang menyimpan alat tes kehamilan. Usia Keanu genap 18 bulan, aku memang lepas KB.Kak Sabiru menginginkan adik untuk Keanu. Sebenarnya aku kasihan pada Keanu. Dia masih terlalu kecil. Namun, aku juga tidak bisa membantah perintah suami.Langkah pelan kuayun ke kamar mandi sembari membawa cawan kecil di tangan. Hati-hati zaman itu kuisi dengan air seni sendiri. Lalu mulai mencelupkan alat tersebut pada cairan berwarna kuning kecoklatan itu.Beberapa detik kemudian tanda dua garis merah muncul. Mulutku ternganga. Antara bahagia dan galau. Bahagia karena impian Kak Sabiru mendapat momongan lekas terpenuhi. Namun, kalau juga karena Keanu belum lepas ASI."Udah, Bil?" tanya Kak Sabiru dari luar. Sepertinya dia sudah tidak sabar. Aku diam tidak menyahut. Hanya langsung membuka pintu kamar mandi saja. "Bagaimana hasilnya?" tanya Kak Sabiru antusi
"Sedang apa?" Aku dan Elma menyela cepat.Kak Sabiru bergeming. Dia tampak menyesali ucapannya."Ayo katakan, Biru! Apa yang sedang Zayn rencanakan?" desak Elma sambil menarik-narik lengan suamiku. Seperti anak kecil yang merengek pada kakaknya."Aduh gimana ya?" Kak Sabiru mengusap tengkuknya beberapa kali. "Sebenarnya ini tuh rahasia, El. Aku sudah berjanji untuk tidak membocorkannya padamu," tutur Kak Sabiru dengan wajah meragu. "Laki-laki itu yang dipegang adalah omongannya, jadi ... sorry to say. Aku gak bisa." Kak Sabiru angkat bahu, lalu menangkup kedua tangan."Yah ... Biru gak asyik," keluh Elma kecewa. Gadis itu sengaja memanyunkan bibirnya ke depan."Denger, El, percaya deh sama Zayn. Dia itu pemuda yang baik." Suamiku berucap yakin. "Udah yuk lanjut makan!" suruhnya sambil menunjuk makanan dengan matanya.
"Kiara?" sapaku dengan perasaan tidak menentu.Jika aku paling mencemburui Kiara, maka Zayn adalah lelaki paling mencemburui Kak Sabiru cemburui. Sama halnya Zayn yang masih saja perhatian padaku, Kiara bahkan tidak pernah mundur untuk mendapatkan suamiku."Hai, Bila? Baru pulang?" Kiara balas menyambut kalem. Tangannya terulur menjawil pipi Keanu. Bagai sehati bayi itu langsung merengek dijawil oleh wanita yang dicemburui ibunya.Reza menyusul usai mematikan mesin mobil. Pria itu menganguk ramah pada Kiara dan ditanggapi senyuman simpul oleh sang gadis."Iya, nih," sahutku sambil berusaha mendiamkan Keanu, "tumben main? Ada apa?" Aku mencoba santai saat bertanya."Kayaknya kamu gak suka aku menginjakkan kaki di sini deh." Kiara menebak sotoy sembari berkacak pinggang. "Cemburu, ya?" Kiara meledek dengan seringai kecil.Aku mendesah pelan. "Salut ya. Setelah serangkaian ak
Usia sholat Isya bersama, kuajak Kak Sabiru makan malam bareng. Lelaki itu menurut. Walau dia jujur mengaku sudah mampir makan di restoran favorit saat balik ambil laptop."Pantes saja aku nungguinnya lama," balasku dengan sedikit merajuk. Bibir pun sengaja kubuat cemberut. Kak Sabiru paling senang melihat aku bermanja-manja padanya.Begitu sampai di meja makan kubuka tudung saji. Hanya ada menu semur daging dan jamur goreng krispi. Walau begitu ada tatapanmupengyang kulihat dari matanya."Aromanya bikin cacing di perut menggeliat lagi," selorohnya sambil menarik kursi. Pria itu langsung menyomot jamur goreng tersebut. Lantas mengunyahnya perlahan-lahan.Bunyi kriuk-kriuk yang keluar dari mulut membuat aku tersenyum senang. Dengan semangat kuciduk nasi dari dalam rice cooker. Nasi putih pulen dengan asap yang masih mengebul kusiram dengan kuah semur dan potongan dagingnya.
Sambil menunggu kepulangan Kak Sabiru, Keanu aku kompres dengan air hangat. Saat menatap mata mungil Keanu yang terlelap, rasa menyesal menusuk sukma. Hanya karena uang aku mengabaikan anak ini. Padahal Kak Sabiru sudah mencukupi segala kebutuhan. Pantas rasanya jika lelaki itu kesal.Pelan-pelan suhu tubuh Keanu mulai turun. Rasa khawatir ini perlahan luntur. Kutengok jam kotak yang menempel pada dinding. Sudah satu jam lebih Kak Sabiru pergi. Namun, belum ada tanda-tanda ia kembali.Sembari menunggu kedatangan suami kesayangan, aku membersihkan badan. Tidak perlu lama-lama karena malam kian menjelang. Apalagi saat mendengar kumandang adzan Isya, kegiatan ini lekas kusudahi.Ketika melintas untuk kembali ke kamar tampak Ibu tengah menikmati hidangan makan malam sendiri. Wanita itu hanya menengok sekilas tanpa mau menyapa. Mungkin dia masih marah.B
Rasanya seperti maling yang tertangkap basah. Tiba-tiba aku dilanda gugup. Apalagi saat melihat wajah Kak Sabiru yang datar. Tidak ada senyum, tetapi tidak dingin. Di sisi lain Elma pun menampakkan muka yang sama. Dia yang biasanya ceria hanya menatapku sekilas. Lalu langsung mendekati Nasya yang masih betah berbaring. Tatapan dari Zayn, ia acuhkan. "Bagaimana keadaanmu, Sya?" tanya Elma pelan. "Sudah lumayan membaik," sahut Nasya lemah. "Syukurlah. Maaf ya, aku baru datang hari ini. Kalo Biru tidak mengabari kemarin, aku mana tahu," tutur Elma sambil melirik padaku. Aku sendiri agak tertohok mendengar ucapannya. Sungguh ... bukannya tidak mau memberi kabar pada yang lain, kekalutan pada kondisi Nasya membuat aku lupa melakukannya. "Gak papa, Mbak Elma." Nasya mengedip ramah. Elma tersenyum simpul pada Nasya. Kini tatapannya beralih pada sosok menju
Tidak salah lagi. Itu Kiara dan Zayn. Sedang apa mereka berdua di sini? Setahuku keduanya tidak begitu dekat.Baiklah dari pada otak dipenuhi tanya, lebih baik kuhampiri saja mereka. Tanpa berpikir lagi, kaki ini melangkah menuju tempat Zayn duduk. Tangisan kecil dari Keanu menyadarkan Zayn dan Kiara. Keduanya menoleh melihat kedatanganku."Bila ...." Zayn tampak terpana melihat kedatanganku. Bibirnya melengkung indah. Ya ... mana pernah dia cemberut jika ketemu aku. "Bareng Keanu aja?" Dia menebak sambil menyapu sekeliling. Mungkin mencari tahu dengan siapa aku datang."Iya." Aku membalas pelan. Lalu mulai duduk di samping Kiara. Keanu yang rewel kuberi sepotong muffin kudapan dua orang ini. Alhasil bocah itu diam menikmati makanan warna cokelat tersebut."Mau minum apa?" tawar Zayn hangat."Apa saja yang penting dingin. Sama air mineral buat Keanu.""Oke."
"Saya cari Sabiru," balasnya benar-benar datar tanpa senyum."Eum ... saya istrinya." Aku masih bersikap ramah. Bahkan tangan ini terulur. Sayangnya aku dibuat menahan ludah yang pahit, karena wanita itu mengabaikan tangan ini. Dirinya tetap menaikan dagu tanpa mau menjabat.Ini masih terlalu pagi untuk emosi. Dan aku juga mau tersulut karenanya. Oke ... tahan napas sejenak."Kalo boleh tahu apa keperluan Ibu mencari suami saya?" Pertanyaan yang ke luar dari mulut ini tetap kubuat selembut mungkin. Karena bagaimanapun juga melayani tamu dengan baik adalah kewajiban."Tolong pertemukan saya dengan suamimu!" pintanya tegas.Benar-benar wanita batu. Dia yang butuh kenapa lagaknya songong begini?Astaghfirullah hal adzim."Siapa, Bil?"Dari belakang Kak Sabiru datang. Lelaki yang masih santai dengan piyama tidurnya mendekat, sembari menggendong K
"Usir Mas Reza, Kak Bila! Aku mau bercerai dengan dia!' teriak Nasya lantang walau masih lemah. Telunjuknya mengarah pada Reza dengan tatapan sengit. Dan air matanya tetap saja berderai."Nasya Sayang---""Aku bilang pergi!" Nasya menyambar keras. Matanya mendelik marah pada suaminya."Sya ... tolong maafin, Mas. Sumpah---""Kamu dengar gak sih aku bilang pergi!" Nasya kembali menggertak."Sabar, Nak." Ibu Halimah menenangkan sang putri yang dipenuhi arah dengan dekapan lembut."Reza, tolong kamu patuhi perintah Nasya. Biarkan dia beristirahat untuk memulihkan kondisinya." Ibuku pun mulai angkat bicara.Namun, dasar Reza bebal! Seruan Nasya dan nasihat Ibu hanya jadi angin lalu saja baginya. Dia tetap bersikukuh berdiri di ruangan ini."Mas, tolong jangan buat keributan di sini!" Aku yang geregetan akhirnya turun tangan dengan menarik paks