Tekanan batin seorang istri
Part 1
"Sudah cukup, Dewi! Kau itu, terus saja membuatku muak! Apa tidak bisa, sehari saja tidak mengajakku ribut!" ucap Mas Senopati padaku. Lagi-lagi ia marah, saat aku bertanya tentang bukti transferan uang yang dia kirim untuk Vivian. Adik perempuannya yang dua bulan lalu baru melahirkan.
"Aku hanya bertanya, Mas! Apa salah seorang istri bertanya pada suaminya? Terlebih, sudah dua bulan kamu tidak memberikan nafkah untukku dan kedua anak-anak kita!" jawabku sambil menyeka air mata yang terus mengalir tanpa bisa kutahan.
"Kan sudah kubilang, uang gaji ku di pakai untuk biaya persalinan Vivian! Belum lagi biaya cicilan mobil! Kamu kayak gak pernah melahirkan saja! Kamu tau kan, biaya melahirkan sesar itu mahal!" ucap nya kesal. Matanya melotot seolah ingin memakan ku hidup-hidup.
"Tapi Mas, Nahla besok pagi harus kontrol ke rumah sakit, aku sudah tidak punya uang! Seluruh Tabunganku sudah habis untuk biaya makan kita selama dua bulan ini!"
Nahla adalah anak pertama kami, ia memiliki riwayat penyakit jantung sejak lahir. Setiap bulan ia harus rutin kontrol ke rumah sakit untuk mengecek kondisi tubuhnya. Saat ini Nahla berusia delapan tahun, dia kelas dua SD.
"Jual saja kalung yang kau pakai itu! Uangnya bisa kau pakai untuk biaya kontrol Nahla besok!" ucapnya enteng sambil berlalu begitu saja.
Ini adalah kalung peninggalan almarhum Ibuku sebelum meninggal. Hanya kalung ini yang menjadi kenang-kenangan darinya. Jika aku menjual kalung ini, itu berarti tidak ada lagi kenang-kenangan dari mendiang Ibu yang bisa ku simpan.
****
Jam dua belas malam aku terbangun karena mendengar ponsel Mas Senopati yang terus berdering.
Tanganku meraba ponsel yang ia taruh di atas nakas. Sebuah panggilan dari Vivian.
"Untuk apa malam-malam begini Vivian menelpon Mas Seno?" batinku bertanya-tanya.
Aku menggeser tombol hijau di layar dan suara Vivian langsung menyambar di seberang telpon.
"Halo, Mas! Cepet kesini! Marsel nangis terus dari tadi! Dia haus, stock susunya sudah habis!" ucap Vivian. Ia tidak tahu bahwa akulah yang mengangkat telpon.
"Mas Seno sedang tidur! Apa tidak bisa, kamu suruh suamimu untuk membelikan susu untuk anaknya? Kenapa harus jauh-jauh minta tolong Mas Seno hanya untuk membelikan susu untuk Marsel? Bukankah Yanto juga ada disana?" ucapku penuh penekanan.
"Aduh Mbak, aku tuh gak butuh ceramah dari Mbak Dewi, suka-suka aku dong mau minta tolong siapapun! Toh Mas Seno itu Kakak kandung aku! Jadi berhak dong, aku minta tolong dia kapanpun aku mau!" cerocosnya tanpa sopan santun.
"Bukan aku melarang! Tapi ini sudah malam. Jika hanya ingin beli susu, kan bisa kamu minta tolong orang serumah untuk belikan! Disana ada Yanto suamimu, ada Andre juga, yang sama-sama berstatus sebagai Kakakmu! Masa iya salah satu diantara mereka berdua tidak bisa membelikan susu untuk Marsel? Kamu tau kan, jarak dari rumah Mbak ke sana itu 1 jam lebih?" ucapku sedikit kesal. Tanpa mendengar ocehannya yang tanpa jeda, aku segera menutup telpon dan kembali menaruhnya di atas nakas.
**
.
Seperti biasa, selepas sholat subuh, aku langsung masak untuk kita sarapan. Menu pagi ini, sayur bening dan tempe goreng. Kebetulan kemarin sore, Bu Sekar memberiku satu ikat daun bayam yang ia petik dari halaman rumahnya.
Kulihat jam di dinding, sudah pukul enam lewat lima belas. Anak-anak sudah mulai bangun.
.
"Bu! Hari ini Nahla harus sekolah! Ada ulangan di sekolah!" ucap anak sulungku yang sudah membawa handuk di tangannya, bersiap untuk mandi.
"Hari ini Nahla libur dulu ya! Biar nanti Ibu yang telpon Bu guru, Nahla harus kontrol hari ini,"
"Tapi, Bu! Hari ini ada ulangan matematika, kalau Nahla tidak ikut, nanti Nahla tidak dapat nilai! Kontrolnya besok aja ya, Bu!" ucapnya memaksa ingin sekolah.
"Tidak bisa, Nak! Kontrolnya harus hari ini! Nanti Ibu minta ulangan susulan untuk Nahla. Sekarang Nahla mandi, terus sarapan. Nanti setelah sarapan kita ke rumah sakit ya!" ucapku berusaha membujuk Nahla. Ia pun mengangguk dan berjalan ke kamar mandi.
Tak lama kemudian terdengar suara ponsel milik Mas Senopati berdering berulang kali. "Biar sajalah, lagian sudah siang, Mas Seno juga sudah waktunya untuk bangun." batinku mengurungkan niat untuk mengangkatnya.
Aku pun kembali ke meja makan, menyuapi si bungsu Nayla sarapan.
"Brak!!"
Terdengar suara benda jatuh di kamar. Tak lama kemudian Mas Seno keluar dari kamar dan berteriak memanggilku.
"Dewi! Dimana kamu? Dasar lancang! Istri tak tau diri! Apa yang kamu katakan pada Vivian semalam, hah? Kenapa kamu lancang sekali mengangkat panggilan masuk di ponselku!" teriak Mas Senopati. Matanya nyalang seolah ingin menerkam ku.
"Aku tidak bilang apa-apa, Mas! Semalam Vivian telpon, ia memintamu untuk membelikan susu untuk Marsel, aku hanya bilang jika kamu sudah tidur, dan menyuruhnya untuk minta tolong Yanto atau Andre yang beliin!" jelasku apa adanya.
"Kurang ajar! Berani sekali kau bilang seperti itu pada adikku! Asal kau tau, gara-gara ulahmu, semalaman Marsel nangis gara-gara kehausan mau minta susu! Sudah berapa kali aku bilang, kau jangan ikut campur urusan keluargaku! Harusnya semalam kau bangunkan aku. Vivian itu adik perempuanku satu-satunya! Dia menjadi tanggung jawabku! Dan Marsel, dia itu keponakanku yang juga menjadi tanggung jawab ku" ucapnya penuh emosi.
"Ya ampun, Mas! Vivian itu tidak tinggal sendirian, disana ada Ibu, Andre dan juga Yanto suaminya! Kenapa jadi kamu yang repot? Bukannya dulu, saat aku membangunkanmu yang tengah tertidur untuk mengantar Nahla ke rumah sakit, kamu marah besar! Kamu bilang, jangan pernah bangunkan aku kalau sedang nyenyak tidur! Dan sekarang kamu marah-marah karena aku tidak membangunkanmu saat adikmu menelpon hanya untuk minta tolong dibelikan susu untuk anaknya? Aku tidak habis pikir dengan jalan pikiran mu, Mas!" ucapku menahan air mata yang hampir jatuh.
"Bu! Kepala Nahla pusing!" ucap Nahla yang baru keluar dari kamar mandi. Ia memegang kepalanya yang masih basah.
"Nahla, kamu kedinginan sayang! Nahla keramas, ya? Ibu kan sudah bilang. Kalau lagi hujan jangan keramas dulu! Ayo Ibu keringkan rambutnya!" Aku mengajak Nahla dan Nayla ke kamar. Meninggalkan Mas Seno yang masih emosi seorang diri.
Wajah Nahla sangat pucat dan tubuhnya begitu dingin. Aku segera memakaikan baju panjang padanya, lalu mengoleskan minyak kayu putih di tubuhnya. Setelah itu aku mulai mengeringkan rambutnya dengan handuk.
"Nahla, tunggu disini yah! Ibu bikinin teh hangat dulu!" ucapku lalu bergegas pergi ke dapur.
**
"Mas, kamu mau kemana? Bukannya hari ini kamu libur?" tanyaku pada Mas Seno yang nampak sudah bersiap untuk pergi.
"Aku mau ke rumah Ibu! Mau ngecek kondisi Marsel yang rewel semalaman!" ucapnya enteng tanpa memperdulikan aku yang tengah panik dengan kondisi Nahla.
"Tapi, Mas! Hari ini kan jadwalnya Nahla kontrol! Kamu harus antar kami ke rumah sakit,"
"Kamu itu, selalu saja nyusahin, Dewi! Kamu kan bisa pergi ke rumah sakit sendiri! Gak perlu aku yang antar!" sahutnya ketus. Matanya melotot kesal ke arah ku.
"Tapi, Mas! Diluar hujan. Tidak mungkin aku bawa pergi anak-anak naik ojek. Sebaiknya kamu antar kami dulu! Kondisi Nahla memburuk, Mas! Kita harus segera membawanya ke rumah sakit! Apa kamu tidak khawatir pada Nahla, Mas? Dia itu anak kandung kamu," ucapku memelas. Aku sangat berharap Mas Seno mau mengantar kami ke rumah sakit.
"Ah, sudah lah! Itu urusanmu! Aku juga punya urusan sendiri! Nih uang 20 ribu untuk ongkos kamu pergi ke rumah sakit! Aku buru-buru, Ibu pasti sudah menungguku!" ucapnya, lalu pergi meninggalkanku begitu saja.
"Tega kamu Mas! Kamu lupa, siapa yang membuatmu sukses seperti sekarang ini" Batinku.
"Bu! Kakak menangis kesakitan!" ucap si bungsu berlari menghampiri ku.
Aku bergegas ke kamar, mengecek kondisi Nahla yang sudah lemas.
Dengan langkah seribu, aku segera menggendong Nahla dan membawanya ke luar. Tak lupa aku menuntun si bungsu Nayla yang tampak ikut panik.
Di tengah derasnya hujan, aku membawa ke dua anakku ke rumah sakit dengan ojek yang nongkrong di pangkalan dekat komplek.
Sesampainya di rumah sakit, dokter dan perawat langsung memberikan tindakan pada Nahla.
"Bu! Ibu tunggu di luar dulu, ya!" ucap salah satu perawat sebelum ia menutup pintu ruang periksa.
Aku begitu panik dan cemas, pasalnya aku hanya membawa uang 34 ribu. Sisa belanjaku kemarin. Sedangkan uang 20 ribu dari Mas Seno sudah ku pakai untuk bayar ongkos ojek barusan.
"Ting!" Notifikasi pesan di grup w******p keluarga besar suamiku.
Sebuah foto yang memperlihatkan mereka sedang kumpul bersama di rumah Ibu. Disana terlihat Mas Seno sedang asik menggendong Marsel.
Dan yang lainnya sedang menikmati hidangan yang nampak lezat.
[Tinggal Tante Lisa nih yang belum datang! Ayo Tante cepat kesini, mumpung Mas Seno habis gajian, kita semua di traktir nih!] tulis Vivian di grup w******p itu.
Tak lama kemudian sebuah balasan dari Tante lisa masuk ke chat grup.
[Asik… yang baru gajian! Jadi dong ntar siang kita renang bareng! ]
[Harus jadi dong! Wajib itu! Apalagi baru dapat bonus gede!] timpal Om Farhan. Suami Tante lisa.
Jadi Mas Seno baru dapat bonus dari kantor? Kenapa dia tidak memberitahuku. Bahkan dia juga tidak memberi ku uang untuk biaya pengobatan Nahla. Ya Allah, Mas! Tega sekali kamu Mas. Kamu bersenang-senang diatas kesulitan aku dan anak-anak.
"Bu! Silahkan di urus dulu untuk biaya administrasi nya, ya!" ucap perawat yang tadi menyuruhku menunggu diluar. Dengan langkah gontai aku berjalan menuju ruang administrasi.
Petugas menyerahkan selembar kertas dengan total biaya yang harus aku bayar.
"Ini totalnya, Bu! Ini belum termasuk obat ya, Bu! Untuk obatnya nanti Ibu bisa tebus di apotek!"
"Ya Allah dari mana aku bisa mendapat uang sebanyak ini." Batinku. Total biaya yang harus aku bayar sebesar satu juta tiga ratus. Aku segera menghubungi Mas Seno, berulang kali aku menelponnya, tapi ia tidak juga menjawabnya. Padahal ku lihat dia online dan aktif berbalas pesan di grup w******p keluarga.
Aku terus mengirimnya pesan, semuanya centang dua. Namun kenapa dia tidak membaca pesanku.
Di tengah kepanikan ku tiba-tiba sebuah panggilan masuk dari nomor yang tidak ku kenal. Aku pun segera menjawabnya.
"Halo, assalamualaikum!" ucapku mengawali pembicaraan.
"Waalaikumsalam, Bu! Apa benar ini dengan Ibu Dewi Aulia?"
"Iya, Pak! Benar. Maaf, ini dengan Bapak siapa yah?" tanyaku bingung.
"Saya Anwar, Bu! Produser dan juga penerbit buku. Saya tertarik dengan novel yang anda buat. Saya berencana untuk menjadikan novel anda menjadi sebuah film! Saya harap anda mau bekerja sama dengan saya! Jika anda setuju, saya akan mengirim DP sebagai tanda jadi kerjasama kita!" jelasnya membuatku tak percaya. Pasalnya sudah lama sekali aku mengirim novel itu pada penerbit. Namun, sudah hampir tiga bulan aku belum juga menerima kabar. Dan saat ini, aku benar-benar tidak percaya jika ada produser yang tertarik dengan novel ku.
"Halo, Bu! Bagaimana?" ucapnya membangunkan lamunanku.
"I-iya, Pak! Saya setuju!"
"Syukurlah kalau begitu! Tolong kirim nomor rekeningnya ya, Bu! Biar saya segera transfer DP nya. Setelah Ibu menerima DP ini, besok kita bertemu untuk tanda tangan kontrak!"
Aku pun segera mengirim nomor rekening milikku. Dan benar saja, tak lama kemudian sebuah notifikasi uang masuk ke rekening ku.
Mataku membulat sempurna melihat nominal yang aku terima. Uang sebanyak ini setara dengan gaji Mas Seno selama satu tahun.
Tak henti-hentinya aku bersyukur, mendapat rezeki sebanyak ini. Aku segera melakukan pembayaran untuk pengobatan Nahla melalui mesin EDC yang tersedia."Sudah lunas ya, Bu! Ini kwitansi pembayarannya! untuk resep obatnya, Ibu bisa tebus di apotik, ya!" ucap petugas administrasi padaku.Aku segera kembali menuju ruang tempat Nahla diperiksa. Disana perawat sudah menunggu ku di depan pintu."Bagaimana, Ibu? Sudah selesai administrasinya?" tanya perawat itu padaku."Sudah, Sus!" jawabku sambil menyodorkan bukti kwitansi yang ku bawa.Tak lama kemudian, Dokter Tiara keluar menghampiri ku.
Pov SenoDewi melengos begitu saja, meninggalkan aku yang masih tidak percaya dengan yang ia lakukan barusan. Aku menghempaskan bokong ku di atas sofa. Aku benar-benar tidak menyangka, jika Dewi bisa semarah ini. Entah setan apa yang merasuki Dewi. Sampai-sampai dia berani menamparku. Sudah 10 tahun kami menikah, dan baru kali ini dia menampar dan mengancamku.Dia memang begitu sensitif jika menyangkut orang tuanya. Tapi, apa aku salah jika mengingatkan dia dengan statusnya yang hanya anak seorang pemulung? Harus nya dia sadar diri dengan latar belakang keluarganya. Agar dia tidak sombong dan semena-mena di rumah ini. Sebagai seorang istri, seharusnya dia tunduk dan taat pada suami. Bukan malah ngelawan dan membangkang, argh!! Dasar wanita kampung, bisanya cuma bikin kesal saja.Ditengah perasaan ku yang masih kesal pada Dewi, tiba-tiba ponselku berdering. Sebuah panggilan masuk da
"Sampai kapanpun juga, aku tidak akan pernah memperlakukanmu sama seperti aku memperlakukan Ibuku! Asal kau tau Dewi, dari dulu Ibu banting tulang untuk merawat dan membesarkan ku. Dia rela kerja siang dan malam agar aku bisa sekolah. Sedangkan kau Dewi? Apa yang telah kau lakukan untukku? Kau hanya seorang istri yang bisanya hanya minta uang! Apapun yang Ibu minta, pasti akan aku berikan! Berapapun uang yang aku beri padanya, tidak akan bisa membalas budi ku sebagai seorang anak! Jadi, jangan pernah sekalipun kau membanding-bandingkan perlakuanku padamu dan Ibu!" ucapnya menggebu-gebu. Matanya nyalang menatapku penuh kekesalan.Aku benar-benar tidak habis pikir dengan jalan pikirannya. Entah setan apa yang bersemayam di dalam dirinya."Aku tidak pernah melarangmu untuk menghormati dan menafkahi Ibumu, Mas! Aku hanya meminta agar kamu bersikap adil. Kamu harus ingat, statusmu bukan cuma seorang anak. M
Aku masih tidak percaya, melihat jumlah honor sebanyak ini. Saat ini, aku memang sedang membutuhkan banyak uang untuk bisa hidup mandiri tanpa bantuan Mas Seno. Dengan uang ini aku bisa memulai semuanya dari awal. Aku bisa memenuhi kebutuhan ku dan anak-anak.Tapi, apa bisa aku berakting? Aku sama sekali tidak pernah mengenal dunia hiburan, apa lagi berakting di depan kamera. Untuk sekedar foto selfie saja aku tidak pernah."Bu! Bagaimana? Apa Ibu mau menerima tawaran saya?" suara Pak Anwar membangunkan lamunanku."Sa-saya… mau pikir-pikir dulu, Pak! Saya takut tidak mampu, dan nantinya malah akan mengecewakan Bapak!" ucapku terbata, aku belum bisa memberi keputusan."Ya sudah kalau begitu, jika Bu Dewi masih butuh waktu untuk mempertimbangkan tawaran saya. Saya paham ko Bu, dunia seni peran memang hal baru untuk B
Pov Seno Dari tadi entah sudah berapa kali aku menguap sambil menatap layar laptop di depanku. Aku benar-benar ngantuk, tadi malam saat tidur di rumah Ibu, berulang kali aku terbangun untuk menggendong Marsel yang menangis berkali-kali. Padahal biasanya aku selalu tidur nyenyak di rumah. Disaat aku hampir tertidur di atas meja, tiba-tiba ponselku berdering. Sebuah panggilan masuk dari Pak Bimo, atasan ku. Aku terperanjat dan langsung mengusap tombol di layar. "Ha-halo, Pak!" ucapku terbata. "Halo Seno! Bagaimana laporan untuk bulan ini? Sudah selesai? Kamu sudah telat dua hari dari tanggal yang ditentukan!" "Ma-maaf, Pak! Sa-saya belum selesai menyusun laporannya. Tapi saya pastikan besok pagi laporannya saya kirimkan ke email Bapak," ucapku berusaha meyakinkan atasan ku ini. Sudah dua hari ini aku belum juga mengirimkan laporan bulanan yang seharusnya sudah selesai
Pov SenoAku tidak habis pikir dengan tingkah si Dewi, kenapa dia bisa jadi sebar-bar ini. Apa dia kira, setelah dia mengancamku kemarin, dia bisa seenaknya menghina ku dan Ibu.Dengan perasaan yang masih berkecamuk, aku berusaha menenangkan Bella. Aku yakin, saat ini Bella pasti shock berat. Dia pasti begitu ketakutan."Bell, aku antar kamu pulang yah!" tawarku pada Bella. Aku harus segera mengantar Bella pulang, agar aku bisa segera pulang kerumah dan memberi pelajaran pada Dewi.Wajah Bella masih tampak kesal, bahkan kali ini dia berusaha berpaling dariku."Uda dong Bell, jangan sedih gitu! Aku janji, aku akan balas perbuatan Dewi sama kamu! Aku akan buat dia menyesal karena telah mencelakai kamu!" ucapku meyakinkan Bella."Ya uda kalau gitu, t
Aku kembali merapikan brankas ku, kali ini aku memindahkannya ke tempat yang lebih aman. Tempat yang tidak akan diketahui siapapun. Aku harus mulai menyusun semua rencanaku dengan matang. Aku yakin, orang licik seperti Mas Seno pasti akan berkelit saat surat perjanjian ini kusodorkan padanya.Aku segera mengambil berkas-berkas perceraian yang sudah aku persiapkan jauh-jauh hari, nanti malam aku akan menyerahkan semua berkas ini kepada suaminya Renata.***Sore berganti malam, selesai sholat magrib, aku segera bersiap untuk bertemu Renata. Setelah pulang kerja dia akan kesini untuk menjemputku dan anak-anak. Kami akan mengobrol di sebuah restoran, sekalian menyantap makan malam bersama dengan anak-anak.Kulihat, Mas Seno sedang duduk di ruang TV. Matanya begitu fokus menatap layar laptop yang menyala dihadapannya. Sepertinya ia sedang mengerj
Pov SenoTidak ada pilihan lain, selain membujuk Ibu dan Vivian untuk menjual kalungnya. Aku harus segera ke rumah Ibu untuk bicara dengannya.Dengan kecepatan tinggi, aku pun segera melesat menuju rumah Ibu. Kondisi rumah tampak sepi, sepertinya orang-orang di rumah sudah pada tidur. Beberapa kali aku mengetuk pintu, tapi tidak ada satupun yang mendengar. Hingga akhirnya aku berteriak memanggil nama Ibu dan Vivian.Beruntung setelah aku berteriak-teriak, akhirnya Ibu pun bangun dan membukakan pintu untukku."Seno! Ada apa kamu malam-malam datang kesini? Kamu berantem lagi sama si Dewi?" tanya Ibu dengan wajah setengah sadar."Ada hal penting yang ingin Seno bicarakan sama Ibu dan juga Vivian!" ucapku lalu masuk ke dalam rumah di ikuti oleh Ibu yang mengekor ku setelah kembali menutup pintu."Kenapa gak besok saja kamu kesini? Ini uda malam loh, kamu ini, ganggu Ibu lagi istirahat a
Tiga hari sudah aku mempertimbangkan permintaan terakhir Bu Hanum sebelum meninggal. Hingga akhirnya, aku sampai di acara yang sakral ini. Sebuah pernikahan yang tidak pernah kuduga sebelumnya. Bahkan, untuk membayangkannya saja aku tak pernah. "Dewi! Kamu cantik banget! Sumpah, ini pangling banget, Wi!" ucap Renata menghampiri ku di ruang make-up. Renata adalah orang yang terus mendukungku untuk menikah dengan Dion. Ia bilang, cinta itu akan datang dengan sendirinya seiring berjalannya waktu. Sama seperti yang dialaminya dulu saat terpaksa harus menikah dengan Mas Fabian karena dijodohkan kedua orang tua mereka. "Aku gugup, Ren!" ucapku pada Renata. Renata tersenyum dan berkata. "Itu hal biasa, Wi! Namanya juga mau memulai hidup baru! Kamu santai aja! Berdoa dalam hati biar nggak gugup. Sebentar lagi, hidupmu akan berubah jadi Nyonya Dion! Sang pewaris tunggal seluruh perusahaan Dimitra group!" "Ibu Aulia! Mari ikut saya ke depan! Acaranya sudah mau dimulai!" ucap salah satu kru
"Tinggalkan rumah ini sekarang juga! Rumah ini kami sita! Kalau tidak, kalian akan menyesal" ucap salah satu preman itu dengan nada mengancam. Ibu menatap mereka dengan tatapan heran. "Kalian siapa? Jangan ngomong sembarangan, ya! Ini rumah saya! Enak aja kalian usir kami dari rumah ini!" sahut Ibu tak kalah sewot. "Jangan banyak omong! Cepet kemasi barang-barang kalian! Lalu pergi dari rumah ini!" ucap preman berambut gondrong itu mendorong tubuh Ibu. "Saya mohon, tolong jangan usir kami dari sini! Kami mau tinggal dimana jika diusir dari sini! Saya janji, semua hutang akan saya bayar beserta bunganya," ucapku bersimpuh di kaki mereka. "Maksud kamu apa, Seno? Hutang? Hutang apa?" tanya Ibu semakin bingung. "Maafkan Seno, Bu! Seno terpaksa meminjam uang pada rentenir dengan jaminan sertifikat rumah ini!" jelasku membuat Ibu terkejut seketika. "Apa? Ka-kamu pinjam uang pakai jaminan sertifikat rumah?" ucap Ibu tak percaya. "Iya, Bu! Seno terpaksa. Saat itu aku benar-benar kepepe
'Menikah dengan Dion?' yang benar saja! Mana mungkin aku menikah dengannya. Kenal saja belum genap dua bulan. Mana mungkin aku bisa memenuhi permintaan Bu Hanum untuk menikah dengan anaknya yang kaku itu. Ya Tuhan, apa yang harus aku lakukan? Kulihat wajah Bu Hanum seperti menaruh harapan yang besar padaku. Tapi, ini terlalu cepat. Aku baru saja bercerai dengan Mas Seno. Rasa trauma menjalin biduk rumah tangga masih kurasakan sampai saat ini. Monitor terus berbunyi, mereka tampak begitu panik. Dion berlari mencari dokter. Sedangkan Pak Anwar, dia terus berdoa di samping istrinya. "Yang kuat, Mah! Papah yakin Mama bisa melewati semua ini! Kita bisa kumpul lagi dirumah, papah mohon bertahanlah! Bukannya mama ingin menimang cucu dari Dion? Ayo Mah berjuang!" ucap Pak Anwar tidak bisa menyembunyikan kesedihan nya. Ia menangis tergugu di samping Bu Hanum yang semakin melemah. "Bu! Ibu yang kuat, ya! Dion lagi panggil dokter! Sebentar lagi pasti datang, Ibu bertahan!" ucapku. Bu Hanum m
Mataku terus menatap layar ponsel, aku masih tidak percaya melihat pesan beruntun dari mereka. Yang benar saja, bukannya kemarin Bella baik-baik saja? Kenapa tiba-tiba ada kabar duka yang mengatakan Bella telah berpulang. 'Innalillahi wainnalillahi rojiun! Ya Allah, benarkah Bella meninggal?' rasanya tidak dapat dipercaya, Bella orang yang sangat aktif dan enerjik, dia nampak sehat dan baik-baik saja. Tapi, kenapa ia tiba-tiba meninggal?Beribu pertanyaan terus bersarang di benakku. Aku harus mencari tahu kebenarannya. Kubuka aplikasi F******k milikku, melihat profil akun Bella. Benar saja, banyak teman-temannya yang mengucapkan turut berdukacita. Terlebih, status dan foto yang di posting oleh Tante Lili beberapa jam lalu semakin meyakinkan dan membenarkan jika Bella telah tiada. Sebuah foto Bella yang tampak pucat, terbaring diatas kasur dengan caption "selamat jalan Bella sayang! Mama akan selalu merindukan mu!" Foto itu dibanjiri komentar dari saudara maupun teman-teman Bella dan
Sesampainya di rumah mewah milik keluarga Dion, kami langsung turun dari mobil. Anak-anak nampak takjub melihat rumah bak istana yang megah ini."Bu! Rumahnya besar banget! Kayak di film-film yang pernah aku lihat," ucap Nahla padaku. "Ayo masuk!" ajak Dion. Ia menuntun kedua anakku. "Akhirnya kalian datang juga! Ayo sini Aulia!" ucap Bu Hanum menyambut kedatangan kami. "Wah cantik-cantik sekali anakmu Aulia! Sini sayang, duduk di dekat Omah!" seru Bu Hanum pada Nahla dan Nayla. "Yang ini namanya siapa?" tanya Bu Hanum pada Nahla. "Saya Nahla, Omah! Dan ini Nayla, adik saya!" jawab Nahla tersenyum ramah. Mereka terlihat sangat akrab. Bu Hanum dan Pak Anwar begitu antusias melihat kedatangan kedua anakku. Perlakuannya begitu hangat. Kulihat Nayla dan Nahla begitu nyaman berada di samping keluarga ini. Pemandangan seperti ini yang dari dulu tidak pernah aku dapatkan dari keluarga Mas Seno. "Tuan, Nyonya! Makanannya sudah siap!" ucap salah satu pelayan di rumah ini. Bu Hanum dan P
Pov Seno Dengan langkah pasti aku memasuki pekarangan rumah mewah itu setelah memarkirkan mobilku di depan pos penjaga. Tak lupa aku membawa sertifikat berharga ini. "Sudah buat janji dengan bos besar?" tanya preman bertato elang ini padaku. Aku pun mengangguk dengan yakin. Preman itu segera membukakan pintu dan menyuruhku untuk masuk. "Duduklah! Sebentar lagi bos besar akan turun!" ucapnya lagi menyuruhku untuk duduk. Tak lama kemudian, terdengar langkah kaki menuruni anak tangga. Seorang pria paruh baya dengan cerutu di tangan dan topi koboi berwarna hitam yang menutupi wajahnya datang menghampiriku. Pria yang masih ku ingat jelas wajahnya itu, kini duduk di hadapanku. "Berikan sertifikat itu pada anak buahku!" titahnya padaku. Aku pun segera menyerahkan sertifikat rumah ini pada preman yang berdiri disampingku. Preman berwajah sangar itu mengecek isi sertifikat yang kuberikan dengan teliti. Setelah selesai mengeceknya ia pun mengangguk seolah memberikan isyarat kepada bos
Dengan senyum yang masih mengembang, aku segera menyambar map tempat Dewi menyimpan sertifikat rumahnya. Map berwarna merah itu kini ada di genggaman ku. Tak sabar rasanya untuk segera mengambil sertifikat berharga itu. Mataku membulat tak percaya, saat ku buka map dalam keadaan kosong. Lantas dimana Dewi menyembunyikan sertifikat rumahnya? Sialan! Rupanya dia telah memindahkan sertifikatnya. Tapi kemana Dewi memindahkan sertifikat itu? Orang kampung seperti Dewi mana mungkin ngerti menaruh sertifikat seperti itu di bank. Aku yakin, ini semua pasti usul dari Renata. Pasti dia yang menghasut Dewi untuk memindahkan sertifikat rumah. Karena orang bodoh seperti Dewi tidak mungkin sampai berfikir sejauh ini. Argh! Brengsek! Bikin kepalaku tambah pusing saja. *** ~~~ Sudah empat hari aku mondar mandir mencari pinjaman. Tapi, tidak ada seorangpun yang mau meminjamkan uang sebanyak itu. Lantas, dari mana aku bisa mendapatkan uang lima puluh juta yang diminta Om Burhan? Kring! Kring! Seb
••••Di Lokasi Syuting "Cut! Bungkus!" teriak Dion. "Good job! Akting kalian bagus! Untuk malam ini kita break dulu, kita lanjut lagi besok!" Jelasnya. Para kru mulai merapikan alat-alat nya. Pun dengan artisnya, mereka bergegas membereskan barang-barang milik mereka sebelum akhirnya mereka pun pulang meninggalkan lokasi syuting. "Bagaimana hasil syuting malam ini, bos?" tanya Ben pada Dion yang nampak ceria karena syuting berjalan lancar. "Bagus! Jika terus seperti ini, saya rasa kita bisa menyelesaikan proses pembuatan film ini lebih cepat!" sahut Dion. "Cepat pulang, Ben! Segera istirahat, besok kita syuting lebih awal! Jam enam pagi sudah disini!" "Siap, Bos!" jawab Ben. Ia pun kembali merapikan alat-alat nya, meninggalkan Dion yang sudah siap untuk pulang. ** "Aulia!" teriak Dion padaku yang masih fokus menatap layar ponsel. Aku mendongak, melirik ke arahnya, lalu menjawab. "Apa? Kamu memanggilku?". "Ngapain kamu masih disini?" tanya Dion dengan sinis nya. Orang itu memang
Pov SenoAda apa lagi ini? Kenapa Om Burhan tiba-tiba marah padaku. Apa ini karena Bella yang masih belum ditemukan? Argh! Sial! Lama-lama hidupku hancur jika terus begini. Kring! Kring! Ponselku berdering, sebuah panggilan dari bengkel. Syukurlah, mudah-mudahan ada kabar baik mengenai mobilku. "Halo, Pak Seno! Mobilnya sudah selesai, Pak! Sudah bisa diambil!" ucapnya membuat senyumku tiba-tiba mengembang. Akhirnya, setelah beberapa hari ini aku harus menggunakan angkutan umum, sekarang aku bisa kembali menggunakan mobil kesayanganku. "Baik, Pak! Terimakasih informasinya, segera saya ambil!" jawabku kemudian bergegas pergi ke bengkel untuk mengambil mobil. Sepertinya telat sedikit tidak masalah! Toh, aku yakin Bella tidak pergi jauh, dia pasti masih di area sini. Dua puluh menit perjalanan, akhirnya aku pun sampai di bengkel. Tanpa membuang waktu, aku langsung mengambil mobilku dan segera pergi ke rumah Bella setelah menandatangani nota servis. Sepanjang perjalanan, aku terus me