Pov Seno
Aku tidak habis pikir dengan tingkah si Dewi, kenapa dia bisa jadi sebar-bar ini. Apa dia kira, setelah dia mengancamku kemarin, dia bisa seenaknya menghina ku dan Ibu.
Dengan perasaan yang masih berkecamuk, aku berusaha menenangkan Bella. Aku yakin, saat ini Bella pasti shock berat. Dia pasti begitu ketakutan.
"Bell, aku antar kamu pulang yah!" tawarku pada Bella. Aku harus segera mengantar Bella pulang, agar aku bisa segera pulang kerumah dan memberi pelajaran pada Dewi.
Wajah Bella masih tampak kesal, bahkan kali ini dia berusaha berpaling dariku.
"Uda dong Bell, jangan sedih gitu! Aku janji, aku akan balas perbuatan Dewi sama kamu! Aku akan buat dia menyesal karena telah mencelakai kamu!" ucapku meyakinkan Bella.
"Ya uda kalau gitu, tapi sebelum antar Bella pulang, Mas Seno beliin dulu Bella tas! Kemarin kan, Mas udah janji mau ngasih aku kado tas keluaran terbaru!" rengek Bella bersandar di dadaku. Membuat jantungku berdetak lebih cepat dari biasanya.
"Ta-tapi Bell, Mas harus segera balik ke kantor! Masih ada kerjaan di kantor, beli tasnya besok aja yah! Mas janji deh, besok pulang kerja Mas jemput kamu ke rumah. Kita belanja tas yang kamu mau, gimana? Kamu setuju kan?" ucapku berusaha membujuk Bella. Akan berabe jika Bella minta dibelikan tas saat ini juga. Aku sama sekali sudah tidak memiliki uang, kemarin uang sisa jalan-jalan, sudah aku berikan pada Ibu 1 juta.
"Ya udah kalau gitu! Tapi Mas janji ya! Awas kalau bohong!"
"Iya, Mas janji! Kalau begitu, ayo Mas antar pulang!" aku pun menggandeng tangan Bella dan mengajaknya pulang.
***
Setelah mengantar Bella pulang sampai kerumahnya, aku segera meluncur dengan cepat menuju rumahku. Aku harus segera bertemu dengan Dewi! Rasanya tangan ini sudah gatal, ingin sekali memberinya pelajaran agar tidak kurang ajar lagi pada Bella. Dia tidak boleh dibiarkan begitu saja, lama-lama dia akan ngelunjak. Dan menghina harga diriku!
Sesampainya dirumah, aku langsung turun dari mobil, dan bergegas masuk ke dalam rumah. Tapi sayang, rumah dalam keadaan terkunci. Aku terus berteriak memanggil namanya. Namun sama sekali tidak ada jawaban. Kemana perginya wanita kampung itu?
Aku berusaha menelponnya, tapi tidak diangkat. Kurang ajar! Berani-beraninya dia mengabaikan panggilan ku.
Sudah hampir satu jam aku berdiri di teras rumah, tapi Dewi belum juga datang. Sialnya aku tidak membawa kunci cadangan, jadi aku tidak bisa masuk ke dalam rumah. Pintu belakang pun dikunci dari dalam. Hingga aku tidak bisa membukanya. Awas kau Dewi, habis kau setelah ini! Batinku geram.
******
Pov Dewi
Setelah menandatangani kontrak dengan Pak Anwar, aku pun bergegas pulang ke rumah Bi Narsih.
Sesampainya di rumah Bi Narsih, ku lihat anak-anak sedang asik bermain di kolam dengan Mang Yayan.
"Assalamualaikum!" ucapku memberi salam.
"Waalaikumsalam!" Jawab mereka bersamaan.
"Ibu! Hore Ibu datang! Bu, sini Bu! Kita lagi mancing ikan!" Teriak Nayla berlari menghampiriku.
"Nay sama Kakak lagi apa?" tanyaku merunduk sejajar dengan Nayla.
"Nay lagi mancing ikan sama Kakek!" ucap Nayla girang. Ia memperlihatkan lidi yang sudah diikat tali padaku.
"Apa kabar, Mang!" tanyaku pada Mang Yayan. Lalu mencium tangannya takzim.
"Kabar baik, Neng! Ayo masuk, kita ngobrol di dalam saja!" ucapnya padaku. Aku pun masuk lebih dulu, dan ia pun menyusulku setelah mengajak anak-anak mencuci tangan.
Kami pun ngobrol bersama, sambil menikmati singkong goreng dan teh manis yang disediakan oleh Bi Narsih. Mereka adalah keluarga satu-satunya yang kupunya. Setelah ini, aku pasti akan banyak membutuhkan bantuan mereka. Karena bagaimanapun, mereka sudah seperti orang tuaku sendiri. Jika waktunya sudah tepat, aku akan menceritakan semua pada mereka.
Setelah hampir satu jam mengobrol, aku pun memutuskan untuk segera pulang. Karena Nahla harus segera istirahat dan minum obat.
"Ayo Nay, kita pulang!" ajakku pada Nayla yang dari tadi menolak untuk pulang. Sedangkan Nahla sudah bersiap dan bersalaman dengan Kakek dan Neneknya.
Setelah lama membujuk Nayla, akhirnya ia pun mau diajak pulang. Taxi online yang ku pesan sudah menunggu di depan rumah Bi Narsih. Tak lupa aku membawa setengah karung singkong yang diberi oleh Bi Narsih.
Mang Yayan membantu memasukan singkong ini ke dalam bagasi taxi online.
"Makasih ya, Mang! Pake repot-repot segala bawain oleh-oleh untuk Dewi," ucapku berterimakasih pada Mang Yayan yang baru selesai memasukkan karung ke dalam mobil.
"Kamu ini ngomong apa sih, Wi! Cuma singkong gini doang ko di bilang repot-repot! Ya sudah kamu hati-hati yah! Sering-sering main kesini, agar Bibi mu itu ada temen, dia sering kesepian kalau Mamang dan Tisna sibuk di ladang!"
"Iya, Mang! Dewi pasti akan sering main kesini," ucapku pasti.
Aku pun akhirnya masuk ke dalam mobil taxi mengikuti kedua anakku, setelah memberikan amplop berisi uang untuk Bi Narsih, uang itu bisa ia pakai untuk belanja kebutuhan sehari-hari. Walaupun awalnya ia menolak, tapi setelah aku membujuknya, ia pun mau menerimanya.
*****
Dalam perjalanan pulang, Nayla dan Nahla tertidur di mobil, mereka tampak begitu pulas. Bahkan aku mendengar Nayla mendengkur. Sepertinya mereka berdua kecapean setelah bermain bersama Mang Yayan.
Setelah menempuh perjalanan yang cukup lama, karena terjebak kemacetan. Akhirnya kami pun tiba di rumah. Aku melihat mobil Mas Seno sudah terparkir di halaman. "Tumben Mas Seno sudah pulang jam segini!" batinku bertanya-tanya.
Aku langsung turun dari mobil menggendong Nayla dan menuntun Nahla yang terpaksa harus aku bangunkan dari tidurnya. Sedangkan sopir taxi online itu langsung pulang setelah membantuku menurunkan karung yang beri singkong dan menaruhnya di teras.
Dan baru saja aku melangkahkan kakiku ke teras, tiba-tiba..."byurr!" Seluruh bajuku dan Nayla basah kuyup terkena guyuran air. Nayla terperanjat bangun, ia begitu terkejut. Seluruh wajah dan badannya basah. Beruntung Nahla berjalan lebih dulu di depan ku, hingga ia tidak terkena siraman air.
"Kurang ajar! Dari mana saja kau Dewi!" Teriak Mas Seno sambil membanting ember di tangannya, matanya nyalang, menatapku penuh kebencian.
"Keterlaluan kamu, Mas! Tega sekali kamu menyiram kami seperti ini," ucapku lalu menurunkan Nayla dari gendongan ku, setelah aku berhasil mengelap wajahnya dengan tangan.
"Itu belum seberapa dibandingkan dengan apa yang telah kau lakukan pada Bella!" ucapnya berkacak pinggang.
"Lancang sekali kau jadi istri! Suami kerja banting tulang, kau malah pergi seenaknya tanpa pamit! Dari mana saja kamu Dewi?" kali ini suara teriakannya semakin kencang.
"Apa tidak bisa kamu bicara baik-baik,Mas! Tidak perlu dengan cara seperti ini! Lagian, sejak kapan kamu peduli kemana kami pergi, Mas! " jawabku menatap lekat wajahnya yang dipenuhi amarah.
"Dasar pemulung gak tau diri! Apa yang kau lakukan pada Bella? Jawab! Apa yang telah kau lakukan pada Bella di kantornya?" teriak Mas Seno semakin emosi. Deru nafasnya terdengar memburu. Wajahnya memerah dibakar amarah. Membuat anak-anak memelukku ketakutan.
"Rupanya, sepupumu itu telah mengadu padamu, Mas! Apa yang Bella katakan padamu, hingga kamu se murka ini padaku, Mas?" tanyaku yang masih berdiri memegang kedua anakku yang menggelayut di kaki ketakutan.
"Kurang ajar! Ditanya malah balik nanya! Apa urat malu mu sudah putus Dewi? Untuk apa kau mulung di kantor tempat Bella bekerja, hah? Jadi itu sampah hasil mulung yang kau bawa pulang?" ucapnya sambil menunjuk karung berisi singkong yang kubawa dari rumah Bi Narsih.
"Jangan seenaknya kamu bicara,Mas! Aku tidak mulung! Dan di dalam karung itu bukan sampah! Jadi, jangan sembarangan kau bicara! Jika kamu mau ngajak ribut, jangan di luar! Tidak enak dilihat oleh tetangga!" ucapku segera membuka kunci dan berlalu meninggalkan Mas Seno yang masih emosi.
"Hey Dewi! Langcang sekali kau ini! Suami sedang bicara malah pergi begitu saja!" teriak Mas Seno. Ia pun berjalan mengekor ku.
"Dewi!" Teriaknya lagi. Aku pun menghentikan langkahku.
Aku segera menyuruh Nahla dan Nayla masuk ke dalam kamar. Aku tidak ingin mereka melihat pertengkaran ku dengan Ayahnya.
"Ada apa lagi, Mas? Apa masih belum puas kau menyiramku? Apa yang ingin kau katakan, katakanlah sekarang! Aku tidak punya banyak waktu untuk berdebat denganmu!" ucapku melipat kedua tangan di dada.
"Sudah mulai berani kau menantangku, hah! Dasar kurang ajar!" Seketika tangannya mengayun ke udara. Namun, dengan cepat aku bisa menghindar dari pukulannya.
"Jika kamu berani menamparku, aku tidak segan-segan mengusirmu dari rumah ini, Mas!"
"Awas aja kau Dewi! Aku akan menceraikanmu! Kau pikir kau ini siapa? Dasar anak pemulung, Siap-siap kau jadi janda!" ucapnya mengancamku.
"Tidak perlu repot-repot, Mas! Memang sudah lama aku ingin bercerai dengan mu! Aku sudah mempersiapkannya semua berkas-berkasnya. Kau tunggu saja, gugatan cerai yang akan kukirimkan padamu!" jawabku penuh percaya diri. Tentu saja aku sudah mempersiapkannya semuanya semenjak ia tidak pernah lagi menafkahi ku. Dulu aku tidak bisa bertindak karena terkendala biaya, tapi sekarang disaat aku sudah memiliki uang, aku akan segera menggugat nya ke pengadilan agama. Aku sudah muak hidup dengan laki-laki yang hanya mementingkan keluarganya, tapi menelantarkan anak dan istrinya.
"Istri tidak tahu diri, kampungan! Sudah untung ada yang mau nikahin! Dasar anak pemulung!" Hardik nya kesal. Sepertinya dia tidak suka dengan apa yang aku katakan.
"Terserah kamu mau ngomong apa, Mas! Yang jelas sebentar lagi kamu harus segera angkat kaki dari rumah ini!" Gumamku dalam hati, aku pun berlalu meninggalkannya.
Aku masuk ke dalam kamar anak-anak dan menguncinya dari dalam. Setelah mengeringkan badanku dan Nayla. Aku segera menghubungi Renata. Temanku semasa SMA. Dia yang selalu meminjamkan aku uang disaat Mas Seno tidak memberikan nafkah.
"Halo, Re! Aku butuh bantuanmu!" ucapku to the point.
"Bantuan apa?" tanya Rena penasaran.
"Suamimu seorang pengacara, kan? Bisakah dia membantuku mempercepat proses perceraian ku dengan Mas Seno? Aku akan menggugat cerai Mas Seno!" ucapku membuat Renata terkejut. Pasalnya dari dulu Renata menyuruhku untuk bercerai dengan Mas Seno. Tapi aku selalu menolaknya dengan alasan anak-anak.
"Aku tidak salah dengar kan, Wi? Kamu beneran mau bercerai dengan suamimu?" tanya Rena memastikan.
"Iya, Ren! Aku serius! Aku akan bercerai dengannya! Aku sudah muak dengan tingkahnya!"
"Alhamdulillah ya Allah, akhirnya kau bukakan pintu hati sahabatku ini!" ucap Renata bersyukur. Sepertinya ia begitu senang mendengar kabar dari ku.
"Kalau begitu, kapan kita bisa bertemu, Ren?"
"Nanti malam saja, Wi! Nanti malam kita bertemu!"
"Baiklah, Terimakasih ya, Ren! sampai bertemu nanti malam!" ucapku sebelum memutus panggilan.
**
Aku membuka brankas rahasia yang ku taruh di kolong ranjang anak-anak. Sebuah surat perjanjian yang ditandatangani oleh almarhum Abah dan juga Mas Seno. Disana tertulis, jika Mas Seno meminjam uang sebesar 50 juta, beserta sertifikat sawah milik Abah untuk ia gadaikan tanpa sepengetahuanku. Beruntung, sebelum Abah meninggal ia memberikan surat perjanjian ini padaku. Kalau tidak, aku yakin Mas Seno tidak akan membayar hutangnya pada almarhum Abah yang selalu ia hina. Dan sekarang, aku akan menagih nya! Kamu harus membayar semua hutang-hutangmu, Mas!
"Bersiaplah, Mas! Permainan akan segera dimulai!"
Aku kembali merapikan brankas ku, kali ini aku memindahkannya ke tempat yang lebih aman. Tempat yang tidak akan diketahui siapapun. Aku harus mulai menyusun semua rencanaku dengan matang. Aku yakin, orang licik seperti Mas Seno pasti akan berkelit saat surat perjanjian ini kusodorkan padanya.Aku segera mengambil berkas-berkas perceraian yang sudah aku persiapkan jauh-jauh hari, nanti malam aku akan menyerahkan semua berkas ini kepada suaminya Renata.***Sore berganti malam, selesai sholat magrib, aku segera bersiap untuk bertemu Renata. Setelah pulang kerja dia akan kesini untuk menjemputku dan anak-anak. Kami akan mengobrol di sebuah restoran, sekalian menyantap makan malam bersama dengan anak-anak.Kulihat, Mas Seno sedang duduk di ruang TV. Matanya begitu fokus menatap layar laptop yang menyala dihadapannya. Sepertinya ia sedang mengerj
Pov SenoTidak ada pilihan lain, selain membujuk Ibu dan Vivian untuk menjual kalungnya. Aku harus segera ke rumah Ibu untuk bicara dengannya.Dengan kecepatan tinggi, aku pun segera melesat menuju rumah Ibu. Kondisi rumah tampak sepi, sepertinya orang-orang di rumah sudah pada tidur. Beberapa kali aku mengetuk pintu, tapi tidak ada satupun yang mendengar. Hingga akhirnya aku berteriak memanggil nama Ibu dan Vivian.Beruntung setelah aku berteriak-teriak, akhirnya Ibu pun bangun dan membukakan pintu untukku."Seno! Ada apa kamu malam-malam datang kesini? Kamu berantem lagi sama si Dewi?" tanya Ibu dengan wajah setengah sadar."Ada hal penting yang ingin Seno bicarakan sama Ibu dan juga Vivian!" ucapku lalu masuk ke dalam rumah di ikuti oleh Ibu yang mengekor ku setelah kembali menutup pintu."Kenapa gak besok saja kamu kesini? Ini uda malam loh, kamu ini, ganggu Ibu lagi istirahat a
Bella mengelap kamera itu dengan blazer nya. Air mata menetes di pelupuk mata ber softlens biru itu."Jika sampai kamera itu rusak, honor mu saya potong!" teriak pria itu berkacak pinggang.Bella mengangguk, lalu menyeka air mata yang terus membasahi wajah menornya."Sekarang semuanya bubar! Kembali ke pekerjaan masing-masing! Dan kamu, cepet berdiri dan gabung dengan para artis lainnya di dalam!" teriaknya lagi, tangannya merebut kamera dari genggaman Bella."Gawat! Jika sampai Bella tahu, aku ada disini, dia pasti akan mengacaukan semuanya. Bisa saja dia berkata yang tidak-tidak pada semua orang disini. Atau bisa saja Bella mengadu pada Mas Seno dan keluarganya. Ini tidak boleh terjadi, aku harus bersembunyi dari Bella. Ini belum saatnya dia tau semuanya!" gumamku dalam hati. Segera aku mengambil masker di dalam tas, lalu menutupi wajahnya dengan naskah yang sedang ku pegang.Aku p
Tak lama kemudian terdengar suara tangisan bayi dari dalam kamarku."Marsel!" teriak Vivian, ia segera bangkit dan berlari menuju kamar.Kemudian ia kembali dengan Marsel dalam gendongannya."Permisi, Bu! Ada yang bisa saya bantu?" ucap Pak satpam yang baru saja datang.Aku segera membuka lebar pintu yang setengah terbuka itu, dan kemudian menyuruh Pak satpam untuk masuk."Silahkan masuk, Pak! Tolong usir mereka dari rumah saya! Mereka berdua ingin membuat keributan di rumah saya!" ucapku dengan pasti. Seketika Ibu bangkit dan hendak menyerangku. Namun, dengan sigap Pak satpam langsung menarik tangan Ibu menjauh dariku."Menantu kurang ajar kamu, Dewi! Mertua sendiri kamu usir! Awas kamu, aku akan laporkan semua ini pada Seno! Biar kamu diusir dari rumah ini!" teriak Ibu. Emosinya semakin menjadi saat Pak satpam menariknya keluar."Awas kamu, Mbak! Aku akan balas
Aku berlari dengan perasaan was-was dan khawatir. Melihat di depan sana sudah banyak orang berkerumun mengelilingi mobil merah yang rusak parah karena membentur pembatas jalan. Tidak hanya itu, sebagian orang bahkan berlari untuk mengambil air, karena terdengar percikan api dari bagian depan mobil. Asap terus keluar dari bagian mesin mobil.Jantungku berdebar, khawatir dengan kondisi Mas Seno. Bagaimanapun juga, dia adalah Ayah dari anak-anak ku. Aku berlari menghampiri mobil yang rusak parah itu. Niat hati ingin membantu orang yang sedang berusaha mengeluarkan Mas Seno dari dalam mobil. Tapi sayang, sepertinya Mas Seno tidak suka jika aku membantunya. Dengan sombong dan angkuhnya, ia mendorongku yang berusaha membantunya. Tidak hanya itu, ia juga menyalahkan aku dengan kejadian yang telah menimpanya ini."Pergi kamu dari sini! Ini semua gara-gara kamu! Dasar istri pembawa sial!" celoteh nya penuh emos
Pov SenoAku terpaku menatap Marsel yang menangis. Ku langkahkan kaki masuk ke dalam rumah, mencari susu untuk Marsel, sepertinya ia kehausan. Dari tadi mulutnya menengok ke kanan dan ke kiri seolah mencari sesuatu.'Keterlaluan Vivian! Yang benar saja, Masa ia tidak menyiapkan susu untuk anaknya yang akan ia tinggal pergi!' batinku menatap botol susu kosong yang tergeletak diatas meja.Aku kembali membuang nafas kasar, lalu mengambil botol yang tampak kotor ini, kemudian membawanya ke dapur setelah menaruh Marsel di dalam box bayi.Aku segera mencuci botol susu dengan sabun cuci piring yang menggantung di samping wastafel. Lalu mencari keberadaan kotak susu milik Marsel. Setelah lama mencari, akhirnya aku pun menemukan toples berisi susu yang Vivian taruh di dalam kulkas.Aku bingung, berapa
Aku menatap layar dengan senyum mengembang. Melihat Mas Seno dengan wajah pucat pasi saat menerima gugatan cerai dari ku.Aku yakin, dia pasti tidak percaya aku bisa melakukan hal ini. Renata mendapatkan foto ini dari ojek online yang ditugaskan untuk mengirim surat gugatan itu pada Mas Seno.Dan benar saja, sesuai dugaanku.Tak selang lama ponselku berdering. Sebuah panggilan dari Mas Seno masuk ke benda pipih milikku."Halo Dewi! Apa-apaan kamu ini, hah? Kamu berani mengirimkan gugatan cerai padaku? Uang siapa yang kamu pakai untuk mengurus perceraian kita, hah? Kamu jual diri? Atau jangan-jangan kamu nyolong uangku?" cerocos Mas Seno memfitnahku."Astaghfirullah, Mas! Picik sekali pikiranmu! Hati-hati kalau bicara, Mas!""Alah, gak usah banyak bicara kamu! Kalau buk
Pov SenoAku bersusah payah menelan saliva, melihat pemandangan yang sangat mengerikan tepat di hadapanku. Keringat dingin tiba-tiba keluar membasahi tubuhku. Ada rasa takut yang seketika muncul begitu saja.Yang benar saja, preman itu terus menyiksa orang yang sudah hampir sekarat. Aku tidak mau bernasib sama seperti pria itu. Aku tidak mau mati sia-sia ditangan mereka."Hey!" teriak salah satu preman yang tadi menyuruhku menunggu diteras."Ngapain kamu disana? Cepat masuk! Bos besar sudah menunggu!" ucapnya menatap tajam ke arahku. Aku pun berjalan menghampirinya dengan perasaan was-was."Jadi pinjam uang apa tidak?" tanya preman itu padaku, saat aku sudah berdiri dihadapannya."Se-sebentar! Sa-saya, tanya dulu orang rumah!" ucapku terbata-bata.
Tiga hari sudah aku mempertimbangkan permintaan terakhir Bu Hanum sebelum meninggal. Hingga akhirnya, aku sampai di acara yang sakral ini. Sebuah pernikahan yang tidak pernah kuduga sebelumnya. Bahkan, untuk membayangkannya saja aku tak pernah. "Dewi! Kamu cantik banget! Sumpah, ini pangling banget, Wi!" ucap Renata menghampiri ku di ruang make-up. Renata adalah orang yang terus mendukungku untuk menikah dengan Dion. Ia bilang, cinta itu akan datang dengan sendirinya seiring berjalannya waktu. Sama seperti yang dialaminya dulu saat terpaksa harus menikah dengan Mas Fabian karena dijodohkan kedua orang tua mereka. "Aku gugup, Ren!" ucapku pada Renata. Renata tersenyum dan berkata. "Itu hal biasa, Wi! Namanya juga mau memulai hidup baru! Kamu santai aja! Berdoa dalam hati biar nggak gugup. Sebentar lagi, hidupmu akan berubah jadi Nyonya Dion! Sang pewaris tunggal seluruh perusahaan Dimitra group!" "Ibu Aulia! Mari ikut saya ke depan! Acaranya sudah mau dimulai!" ucap salah satu kru
"Tinggalkan rumah ini sekarang juga! Rumah ini kami sita! Kalau tidak, kalian akan menyesal" ucap salah satu preman itu dengan nada mengancam. Ibu menatap mereka dengan tatapan heran. "Kalian siapa? Jangan ngomong sembarangan, ya! Ini rumah saya! Enak aja kalian usir kami dari rumah ini!" sahut Ibu tak kalah sewot. "Jangan banyak omong! Cepet kemasi barang-barang kalian! Lalu pergi dari rumah ini!" ucap preman berambut gondrong itu mendorong tubuh Ibu. "Saya mohon, tolong jangan usir kami dari sini! Kami mau tinggal dimana jika diusir dari sini! Saya janji, semua hutang akan saya bayar beserta bunganya," ucapku bersimpuh di kaki mereka. "Maksud kamu apa, Seno? Hutang? Hutang apa?" tanya Ibu semakin bingung. "Maafkan Seno, Bu! Seno terpaksa meminjam uang pada rentenir dengan jaminan sertifikat rumah ini!" jelasku membuat Ibu terkejut seketika. "Apa? Ka-kamu pinjam uang pakai jaminan sertifikat rumah?" ucap Ibu tak percaya. "Iya, Bu! Seno terpaksa. Saat itu aku benar-benar kepepe
'Menikah dengan Dion?' yang benar saja! Mana mungkin aku menikah dengannya. Kenal saja belum genap dua bulan. Mana mungkin aku bisa memenuhi permintaan Bu Hanum untuk menikah dengan anaknya yang kaku itu. Ya Tuhan, apa yang harus aku lakukan? Kulihat wajah Bu Hanum seperti menaruh harapan yang besar padaku. Tapi, ini terlalu cepat. Aku baru saja bercerai dengan Mas Seno. Rasa trauma menjalin biduk rumah tangga masih kurasakan sampai saat ini. Monitor terus berbunyi, mereka tampak begitu panik. Dion berlari mencari dokter. Sedangkan Pak Anwar, dia terus berdoa di samping istrinya. "Yang kuat, Mah! Papah yakin Mama bisa melewati semua ini! Kita bisa kumpul lagi dirumah, papah mohon bertahanlah! Bukannya mama ingin menimang cucu dari Dion? Ayo Mah berjuang!" ucap Pak Anwar tidak bisa menyembunyikan kesedihan nya. Ia menangis tergugu di samping Bu Hanum yang semakin melemah. "Bu! Ibu yang kuat, ya! Dion lagi panggil dokter! Sebentar lagi pasti datang, Ibu bertahan!" ucapku. Bu Hanum m
Mataku terus menatap layar ponsel, aku masih tidak percaya melihat pesan beruntun dari mereka. Yang benar saja, bukannya kemarin Bella baik-baik saja? Kenapa tiba-tiba ada kabar duka yang mengatakan Bella telah berpulang. 'Innalillahi wainnalillahi rojiun! Ya Allah, benarkah Bella meninggal?' rasanya tidak dapat dipercaya, Bella orang yang sangat aktif dan enerjik, dia nampak sehat dan baik-baik saja. Tapi, kenapa ia tiba-tiba meninggal?Beribu pertanyaan terus bersarang di benakku. Aku harus mencari tahu kebenarannya. Kubuka aplikasi F******k milikku, melihat profil akun Bella. Benar saja, banyak teman-temannya yang mengucapkan turut berdukacita. Terlebih, status dan foto yang di posting oleh Tante Lili beberapa jam lalu semakin meyakinkan dan membenarkan jika Bella telah tiada. Sebuah foto Bella yang tampak pucat, terbaring diatas kasur dengan caption "selamat jalan Bella sayang! Mama akan selalu merindukan mu!" Foto itu dibanjiri komentar dari saudara maupun teman-teman Bella dan
Sesampainya di rumah mewah milik keluarga Dion, kami langsung turun dari mobil. Anak-anak nampak takjub melihat rumah bak istana yang megah ini."Bu! Rumahnya besar banget! Kayak di film-film yang pernah aku lihat," ucap Nahla padaku. "Ayo masuk!" ajak Dion. Ia menuntun kedua anakku. "Akhirnya kalian datang juga! Ayo sini Aulia!" ucap Bu Hanum menyambut kedatangan kami. "Wah cantik-cantik sekali anakmu Aulia! Sini sayang, duduk di dekat Omah!" seru Bu Hanum pada Nahla dan Nayla. "Yang ini namanya siapa?" tanya Bu Hanum pada Nahla. "Saya Nahla, Omah! Dan ini Nayla, adik saya!" jawab Nahla tersenyum ramah. Mereka terlihat sangat akrab. Bu Hanum dan Pak Anwar begitu antusias melihat kedatangan kedua anakku. Perlakuannya begitu hangat. Kulihat Nayla dan Nahla begitu nyaman berada di samping keluarga ini. Pemandangan seperti ini yang dari dulu tidak pernah aku dapatkan dari keluarga Mas Seno. "Tuan, Nyonya! Makanannya sudah siap!" ucap salah satu pelayan di rumah ini. Bu Hanum dan P
Pov Seno Dengan langkah pasti aku memasuki pekarangan rumah mewah itu setelah memarkirkan mobilku di depan pos penjaga. Tak lupa aku membawa sertifikat berharga ini. "Sudah buat janji dengan bos besar?" tanya preman bertato elang ini padaku. Aku pun mengangguk dengan yakin. Preman itu segera membukakan pintu dan menyuruhku untuk masuk. "Duduklah! Sebentar lagi bos besar akan turun!" ucapnya lagi menyuruhku untuk duduk. Tak lama kemudian, terdengar langkah kaki menuruni anak tangga. Seorang pria paruh baya dengan cerutu di tangan dan topi koboi berwarna hitam yang menutupi wajahnya datang menghampiriku. Pria yang masih ku ingat jelas wajahnya itu, kini duduk di hadapanku. "Berikan sertifikat itu pada anak buahku!" titahnya padaku. Aku pun segera menyerahkan sertifikat rumah ini pada preman yang berdiri disampingku. Preman berwajah sangar itu mengecek isi sertifikat yang kuberikan dengan teliti. Setelah selesai mengeceknya ia pun mengangguk seolah memberikan isyarat kepada bos
Dengan senyum yang masih mengembang, aku segera menyambar map tempat Dewi menyimpan sertifikat rumahnya. Map berwarna merah itu kini ada di genggaman ku. Tak sabar rasanya untuk segera mengambil sertifikat berharga itu. Mataku membulat tak percaya, saat ku buka map dalam keadaan kosong. Lantas dimana Dewi menyembunyikan sertifikat rumahnya? Sialan! Rupanya dia telah memindahkan sertifikatnya. Tapi kemana Dewi memindahkan sertifikat itu? Orang kampung seperti Dewi mana mungkin ngerti menaruh sertifikat seperti itu di bank. Aku yakin, ini semua pasti usul dari Renata. Pasti dia yang menghasut Dewi untuk memindahkan sertifikat rumah. Karena orang bodoh seperti Dewi tidak mungkin sampai berfikir sejauh ini. Argh! Brengsek! Bikin kepalaku tambah pusing saja. *** ~~~ Sudah empat hari aku mondar mandir mencari pinjaman. Tapi, tidak ada seorangpun yang mau meminjamkan uang sebanyak itu. Lantas, dari mana aku bisa mendapatkan uang lima puluh juta yang diminta Om Burhan? Kring! Kring! Seb
••••Di Lokasi Syuting "Cut! Bungkus!" teriak Dion. "Good job! Akting kalian bagus! Untuk malam ini kita break dulu, kita lanjut lagi besok!" Jelasnya. Para kru mulai merapikan alat-alat nya. Pun dengan artisnya, mereka bergegas membereskan barang-barang milik mereka sebelum akhirnya mereka pun pulang meninggalkan lokasi syuting. "Bagaimana hasil syuting malam ini, bos?" tanya Ben pada Dion yang nampak ceria karena syuting berjalan lancar. "Bagus! Jika terus seperti ini, saya rasa kita bisa menyelesaikan proses pembuatan film ini lebih cepat!" sahut Dion. "Cepat pulang, Ben! Segera istirahat, besok kita syuting lebih awal! Jam enam pagi sudah disini!" "Siap, Bos!" jawab Ben. Ia pun kembali merapikan alat-alat nya, meninggalkan Dion yang sudah siap untuk pulang. ** "Aulia!" teriak Dion padaku yang masih fokus menatap layar ponsel. Aku mendongak, melirik ke arahnya, lalu menjawab. "Apa? Kamu memanggilku?". "Ngapain kamu masih disini?" tanya Dion dengan sinis nya. Orang itu memang
Pov SenoAda apa lagi ini? Kenapa Om Burhan tiba-tiba marah padaku. Apa ini karena Bella yang masih belum ditemukan? Argh! Sial! Lama-lama hidupku hancur jika terus begini. Kring! Kring! Ponselku berdering, sebuah panggilan dari bengkel. Syukurlah, mudah-mudahan ada kabar baik mengenai mobilku. "Halo, Pak Seno! Mobilnya sudah selesai, Pak! Sudah bisa diambil!" ucapnya membuat senyumku tiba-tiba mengembang. Akhirnya, setelah beberapa hari ini aku harus menggunakan angkutan umum, sekarang aku bisa kembali menggunakan mobil kesayanganku. "Baik, Pak! Terimakasih informasinya, segera saya ambil!" jawabku kemudian bergegas pergi ke bengkel untuk mengambil mobil. Sepertinya telat sedikit tidak masalah! Toh, aku yakin Bella tidak pergi jauh, dia pasti masih di area sini. Dua puluh menit perjalanan, akhirnya aku pun sampai di bengkel. Tanpa membuang waktu, aku langsung mengambil mobilku dan segera pergi ke rumah Bella setelah menandatangani nota servis. Sepanjang perjalanan, aku terus me