Aku berlari dengan perasaan was-was dan khawatir. Melihat di depan sana sudah banyak orang berkerumun mengelilingi mobil merah yang rusak parah karena membentur pembatas jalan. Tidak hanya itu, sebagian orang bahkan berlari untuk mengambil air, karena terdengar percikan api dari bagian depan mobil. Asap terus keluar dari bagian mesin mobil.
Jantungku berdebar, khawatir dengan kondisi Mas Seno. Bagaimanapun juga, dia adalah Ayah dari anak-anak ku. Aku berlari menghampiri mobil yang rusak parah itu. Niat hati ingin membantu orang yang sedang berusaha mengeluarkan Mas Seno dari dalam mobil. Tapi sayang, sepertinya Mas Seno tidak suka jika aku membantunya. Dengan sombong dan angkuhnya, ia mendorongku yang berusaha membantunya. Tidak hanya itu, ia juga menyalahkan aku dengan kejadian yang telah menimpanya ini.
"Pergi kamu dari sini! Ini semua gara-gara kamu! Dasar istri pembawa sial!" celoteh nya penuh emos
Pov SenoAku terpaku menatap Marsel yang menangis. Ku langkahkan kaki masuk ke dalam rumah, mencari susu untuk Marsel, sepertinya ia kehausan. Dari tadi mulutnya menengok ke kanan dan ke kiri seolah mencari sesuatu.'Keterlaluan Vivian! Yang benar saja, Masa ia tidak menyiapkan susu untuk anaknya yang akan ia tinggal pergi!' batinku menatap botol susu kosong yang tergeletak diatas meja.Aku kembali membuang nafas kasar, lalu mengambil botol yang tampak kotor ini, kemudian membawanya ke dapur setelah menaruh Marsel di dalam box bayi.Aku segera mencuci botol susu dengan sabun cuci piring yang menggantung di samping wastafel. Lalu mencari keberadaan kotak susu milik Marsel. Setelah lama mencari, akhirnya aku pun menemukan toples berisi susu yang Vivian taruh di dalam kulkas.Aku bingung, berapa
Aku menatap layar dengan senyum mengembang. Melihat Mas Seno dengan wajah pucat pasi saat menerima gugatan cerai dari ku.Aku yakin, dia pasti tidak percaya aku bisa melakukan hal ini. Renata mendapatkan foto ini dari ojek online yang ditugaskan untuk mengirim surat gugatan itu pada Mas Seno.Dan benar saja, sesuai dugaanku.Tak selang lama ponselku berdering. Sebuah panggilan dari Mas Seno masuk ke benda pipih milikku."Halo Dewi! Apa-apaan kamu ini, hah? Kamu berani mengirimkan gugatan cerai padaku? Uang siapa yang kamu pakai untuk mengurus perceraian kita, hah? Kamu jual diri? Atau jangan-jangan kamu nyolong uangku?" cerocos Mas Seno memfitnahku."Astaghfirullah, Mas! Picik sekali pikiranmu! Hati-hati kalau bicara, Mas!""Alah, gak usah banyak bicara kamu! Kalau buk
Pov SenoAku bersusah payah menelan saliva, melihat pemandangan yang sangat mengerikan tepat di hadapanku. Keringat dingin tiba-tiba keluar membasahi tubuhku. Ada rasa takut yang seketika muncul begitu saja.Yang benar saja, preman itu terus menyiksa orang yang sudah hampir sekarat. Aku tidak mau bernasib sama seperti pria itu. Aku tidak mau mati sia-sia ditangan mereka."Hey!" teriak salah satu preman yang tadi menyuruhku menunggu diteras."Ngapain kamu disana? Cepat masuk! Bos besar sudah menunggu!" ucapnya menatap tajam ke arahku. Aku pun berjalan menghampirinya dengan perasaan was-was."Jadi pinjam uang apa tidak?" tanya preman itu padaku, saat aku sudah berdiri dihadapannya."Se-sebentar! Sa-saya, tanya dulu orang rumah!" ucapku terbata-bata.
"Ya ampun, Mah! Nggak penting banget sih! Ngapain juga pake minta tanda tangan segala! Dia itu kan artis baru, Mah! Aktingnya juga masih jelek! Nggak penting banget minta tanda tangan sama dia!" cetus nya kesal."Dion! Berhenti ngomong seperti itu! Kamu tau kan, dia itu siapa?" tegur Pak Anwar pada anak lelaki nya itu.Dion membuang nafas kesal mendengar teguran dari Papanya."Dion, Mama pinjam pulpennya sebentar!" ucap Bu Hanum, tangannya menunjuk pulpen yang menggantung di saku baju yang Dion kenakan.Dion menarik ujung pulpen dengan wajah kesal. Ternyata pria dingin ini tidak pandai menyembunyikan perasaan tidak sukanya pada seseorang."Nih!" ucapnya sambil menyodorkan pulpen berwarna hitam ini padaku.Aku pun segera mengambilnya dan menu
"Dion!" ucapku tak percaya melihat sosok Dion berdiri dibelakang Mas Seno dengan balok kayu di tangan kanannya.Dion melempar balok kayu yang tadi dibawa oleh Mas Seno, lalu menarik tubuh Mas Seno yang pingsan menimpaku. Aku segera menutup tubuhku dengan kedua tangan. Aku benar-benar bingung dan kikuk harus berbuat apa. Dion segera memalingkan wajah, dia tak berani menatapku.Aku segera menarik selimut untuk menutupi seluruh tubuhku yang sudah setengah terbuka ini.Kulihat Dion menarik Mas Seno ke lantai, lalu mengambil dasi yang menggantung di belakang pintu dan mengikat kedua tangan Mas Seno dengan dasi berwarna merah marun itu."Cepat pakai bajumu! Aku tunggu diluar!" ucap Dion tanpa menoleh ke arahku. Ia pun segera pergi meninggalkan kamar.Aku bergegas bangkit dari kasur, dan segera merapik
Pov SenoEntah berapa lama aku tak sadarkan diri, aku terbangun karena dinginnya lantai yang menusuk hingga ke sendi-sendi ku. Aku bangkit dengan rasa sakit di pundakku. Kurang ajar! Si Dewi pasti kabur!Entah siapa yang tadi tiba-tiba memukul ku dari belakang, apa jangan-jangan tetangga sebelah yang mendengar teriakan Dewi? Tapi, mana mungkin dia berani masuk ke dalam kamar? Ah … entahlah, aku akan cari tahu siapa pelakunya, aku pastikan akan balas dendam pada orang itu.Aku bangkit dengan kepala yang masing pusing. Berusaha melepaskan tali yang mengikat tanganku ke belakang. Sialan! Semakin aku banyak bergerak, tali ini semakin sulit untuk dilepaskan. Aku harus segera mengambil pisau atau gunting untuk melepaskan tali ini dari tanganku.Aku berjalan keluar dari kamar menuju dapur, mencari letak pisau yang Dewi simpan.&
Pov SenoAku termenung di tepi ranjang, memikirkan ucapan Pak Bimo barusan. Apa yang harus aku lakukan sekarang? Bagaimana jika Pak Bimo sungguh-sungguh dengan ucapannya? Argh! Aku menjambak rambut frustasi."Mas … kamu sudah bangun?" suara Bella tiba-tiba membuyarkan lamunanku."Bell, kamu sudah bangun?" sahutku tanpa menjawab pertanyaannya. Seketika Bella pun mengangguk, ia menggeser tubuhnya mendekatiku lalu melingkarkan tangannya di pinggangku."Mas! Kamu kenapa sih? Ko murung gitu? Barusan telpon dari siapa?" tanya Bella penasaran."Nggak apa-apa, Bell! Biasa--bos ngomel gara-gara aku telat masuk kantor," jelasku berbohong. Bella tidak boleh tau jika aku dipecat dari kantor."Mas mandi dulu, ya 'Bell!" ucapku mengurai pelukan Bella, la
"Wi! Baca pesan dari siapa, sih? Ko, malah bengong?" Suara Renata membuyarkan lamunanku."Dion! Dia bilang, satu jam lagi akan menjemputku!" sahutku."Serius kamu, Wi? Pak Dion mau jemput kamu?" tanya Renata memastikan. Aku pun mengangguk mengiyakan."Ya sudah, cepat! Jangan buang waktu! Kita harus segera ke salon, kamu harus segera di makeover!" ucap Renata. Tanpa basa basi ia langsung menarik tanganku keluar dari toko sepatu setelah membayar sepatu yang ia pilih tadi."Aduh, Ren! Tunggu dong! Jangan cepet-cepet jalannya,""Kamu bilang satu jam lagi Pak Dion jemput? Ini uda mepet, Wi! Make over itu bisa lebih dari 40 menit!" sahutnya sewot."Dasar Renata, aku yang mau pergi, dia yang panik!" gumamku dalam hati.
Tiga hari sudah aku mempertimbangkan permintaan terakhir Bu Hanum sebelum meninggal. Hingga akhirnya, aku sampai di acara yang sakral ini. Sebuah pernikahan yang tidak pernah kuduga sebelumnya. Bahkan, untuk membayangkannya saja aku tak pernah. "Dewi! Kamu cantik banget! Sumpah, ini pangling banget, Wi!" ucap Renata menghampiri ku di ruang make-up. Renata adalah orang yang terus mendukungku untuk menikah dengan Dion. Ia bilang, cinta itu akan datang dengan sendirinya seiring berjalannya waktu. Sama seperti yang dialaminya dulu saat terpaksa harus menikah dengan Mas Fabian karena dijodohkan kedua orang tua mereka. "Aku gugup, Ren!" ucapku pada Renata. Renata tersenyum dan berkata. "Itu hal biasa, Wi! Namanya juga mau memulai hidup baru! Kamu santai aja! Berdoa dalam hati biar nggak gugup. Sebentar lagi, hidupmu akan berubah jadi Nyonya Dion! Sang pewaris tunggal seluruh perusahaan Dimitra group!" "Ibu Aulia! Mari ikut saya ke depan! Acaranya sudah mau dimulai!" ucap salah satu kru
"Tinggalkan rumah ini sekarang juga! Rumah ini kami sita! Kalau tidak, kalian akan menyesal" ucap salah satu preman itu dengan nada mengancam. Ibu menatap mereka dengan tatapan heran. "Kalian siapa? Jangan ngomong sembarangan, ya! Ini rumah saya! Enak aja kalian usir kami dari rumah ini!" sahut Ibu tak kalah sewot. "Jangan banyak omong! Cepet kemasi barang-barang kalian! Lalu pergi dari rumah ini!" ucap preman berambut gondrong itu mendorong tubuh Ibu. "Saya mohon, tolong jangan usir kami dari sini! Kami mau tinggal dimana jika diusir dari sini! Saya janji, semua hutang akan saya bayar beserta bunganya," ucapku bersimpuh di kaki mereka. "Maksud kamu apa, Seno? Hutang? Hutang apa?" tanya Ibu semakin bingung. "Maafkan Seno, Bu! Seno terpaksa meminjam uang pada rentenir dengan jaminan sertifikat rumah ini!" jelasku membuat Ibu terkejut seketika. "Apa? Ka-kamu pinjam uang pakai jaminan sertifikat rumah?" ucap Ibu tak percaya. "Iya, Bu! Seno terpaksa. Saat itu aku benar-benar kepepe
'Menikah dengan Dion?' yang benar saja! Mana mungkin aku menikah dengannya. Kenal saja belum genap dua bulan. Mana mungkin aku bisa memenuhi permintaan Bu Hanum untuk menikah dengan anaknya yang kaku itu. Ya Tuhan, apa yang harus aku lakukan? Kulihat wajah Bu Hanum seperti menaruh harapan yang besar padaku. Tapi, ini terlalu cepat. Aku baru saja bercerai dengan Mas Seno. Rasa trauma menjalin biduk rumah tangga masih kurasakan sampai saat ini. Monitor terus berbunyi, mereka tampak begitu panik. Dion berlari mencari dokter. Sedangkan Pak Anwar, dia terus berdoa di samping istrinya. "Yang kuat, Mah! Papah yakin Mama bisa melewati semua ini! Kita bisa kumpul lagi dirumah, papah mohon bertahanlah! Bukannya mama ingin menimang cucu dari Dion? Ayo Mah berjuang!" ucap Pak Anwar tidak bisa menyembunyikan kesedihan nya. Ia menangis tergugu di samping Bu Hanum yang semakin melemah. "Bu! Ibu yang kuat, ya! Dion lagi panggil dokter! Sebentar lagi pasti datang, Ibu bertahan!" ucapku. Bu Hanum m
Mataku terus menatap layar ponsel, aku masih tidak percaya melihat pesan beruntun dari mereka. Yang benar saja, bukannya kemarin Bella baik-baik saja? Kenapa tiba-tiba ada kabar duka yang mengatakan Bella telah berpulang. 'Innalillahi wainnalillahi rojiun! Ya Allah, benarkah Bella meninggal?' rasanya tidak dapat dipercaya, Bella orang yang sangat aktif dan enerjik, dia nampak sehat dan baik-baik saja. Tapi, kenapa ia tiba-tiba meninggal?Beribu pertanyaan terus bersarang di benakku. Aku harus mencari tahu kebenarannya. Kubuka aplikasi F******k milikku, melihat profil akun Bella. Benar saja, banyak teman-temannya yang mengucapkan turut berdukacita. Terlebih, status dan foto yang di posting oleh Tante Lili beberapa jam lalu semakin meyakinkan dan membenarkan jika Bella telah tiada. Sebuah foto Bella yang tampak pucat, terbaring diatas kasur dengan caption "selamat jalan Bella sayang! Mama akan selalu merindukan mu!" Foto itu dibanjiri komentar dari saudara maupun teman-teman Bella dan
Sesampainya di rumah mewah milik keluarga Dion, kami langsung turun dari mobil. Anak-anak nampak takjub melihat rumah bak istana yang megah ini."Bu! Rumahnya besar banget! Kayak di film-film yang pernah aku lihat," ucap Nahla padaku. "Ayo masuk!" ajak Dion. Ia menuntun kedua anakku. "Akhirnya kalian datang juga! Ayo sini Aulia!" ucap Bu Hanum menyambut kedatangan kami. "Wah cantik-cantik sekali anakmu Aulia! Sini sayang, duduk di dekat Omah!" seru Bu Hanum pada Nahla dan Nayla. "Yang ini namanya siapa?" tanya Bu Hanum pada Nahla. "Saya Nahla, Omah! Dan ini Nayla, adik saya!" jawab Nahla tersenyum ramah. Mereka terlihat sangat akrab. Bu Hanum dan Pak Anwar begitu antusias melihat kedatangan kedua anakku. Perlakuannya begitu hangat. Kulihat Nayla dan Nahla begitu nyaman berada di samping keluarga ini. Pemandangan seperti ini yang dari dulu tidak pernah aku dapatkan dari keluarga Mas Seno. "Tuan, Nyonya! Makanannya sudah siap!" ucap salah satu pelayan di rumah ini. Bu Hanum dan P
Pov Seno Dengan langkah pasti aku memasuki pekarangan rumah mewah itu setelah memarkirkan mobilku di depan pos penjaga. Tak lupa aku membawa sertifikat berharga ini. "Sudah buat janji dengan bos besar?" tanya preman bertato elang ini padaku. Aku pun mengangguk dengan yakin. Preman itu segera membukakan pintu dan menyuruhku untuk masuk. "Duduklah! Sebentar lagi bos besar akan turun!" ucapnya lagi menyuruhku untuk duduk. Tak lama kemudian, terdengar langkah kaki menuruni anak tangga. Seorang pria paruh baya dengan cerutu di tangan dan topi koboi berwarna hitam yang menutupi wajahnya datang menghampiriku. Pria yang masih ku ingat jelas wajahnya itu, kini duduk di hadapanku. "Berikan sertifikat itu pada anak buahku!" titahnya padaku. Aku pun segera menyerahkan sertifikat rumah ini pada preman yang berdiri disampingku. Preman berwajah sangar itu mengecek isi sertifikat yang kuberikan dengan teliti. Setelah selesai mengeceknya ia pun mengangguk seolah memberikan isyarat kepada bos
Dengan senyum yang masih mengembang, aku segera menyambar map tempat Dewi menyimpan sertifikat rumahnya. Map berwarna merah itu kini ada di genggaman ku. Tak sabar rasanya untuk segera mengambil sertifikat berharga itu. Mataku membulat tak percaya, saat ku buka map dalam keadaan kosong. Lantas dimana Dewi menyembunyikan sertifikat rumahnya? Sialan! Rupanya dia telah memindahkan sertifikatnya. Tapi kemana Dewi memindahkan sertifikat itu? Orang kampung seperti Dewi mana mungkin ngerti menaruh sertifikat seperti itu di bank. Aku yakin, ini semua pasti usul dari Renata. Pasti dia yang menghasut Dewi untuk memindahkan sertifikat rumah. Karena orang bodoh seperti Dewi tidak mungkin sampai berfikir sejauh ini. Argh! Brengsek! Bikin kepalaku tambah pusing saja. *** ~~~ Sudah empat hari aku mondar mandir mencari pinjaman. Tapi, tidak ada seorangpun yang mau meminjamkan uang sebanyak itu. Lantas, dari mana aku bisa mendapatkan uang lima puluh juta yang diminta Om Burhan? Kring! Kring! Seb
••••Di Lokasi Syuting "Cut! Bungkus!" teriak Dion. "Good job! Akting kalian bagus! Untuk malam ini kita break dulu, kita lanjut lagi besok!" Jelasnya. Para kru mulai merapikan alat-alat nya. Pun dengan artisnya, mereka bergegas membereskan barang-barang milik mereka sebelum akhirnya mereka pun pulang meninggalkan lokasi syuting. "Bagaimana hasil syuting malam ini, bos?" tanya Ben pada Dion yang nampak ceria karena syuting berjalan lancar. "Bagus! Jika terus seperti ini, saya rasa kita bisa menyelesaikan proses pembuatan film ini lebih cepat!" sahut Dion. "Cepat pulang, Ben! Segera istirahat, besok kita syuting lebih awal! Jam enam pagi sudah disini!" "Siap, Bos!" jawab Ben. Ia pun kembali merapikan alat-alat nya, meninggalkan Dion yang sudah siap untuk pulang. ** "Aulia!" teriak Dion padaku yang masih fokus menatap layar ponsel. Aku mendongak, melirik ke arahnya, lalu menjawab. "Apa? Kamu memanggilku?". "Ngapain kamu masih disini?" tanya Dion dengan sinis nya. Orang itu memang
Pov SenoAda apa lagi ini? Kenapa Om Burhan tiba-tiba marah padaku. Apa ini karena Bella yang masih belum ditemukan? Argh! Sial! Lama-lama hidupku hancur jika terus begini. Kring! Kring! Ponselku berdering, sebuah panggilan dari bengkel. Syukurlah, mudah-mudahan ada kabar baik mengenai mobilku. "Halo, Pak Seno! Mobilnya sudah selesai, Pak! Sudah bisa diambil!" ucapnya membuat senyumku tiba-tiba mengembang. Akhirnya, setelah beberapa hari ini aku harus menggunakan angkutan umum, sekarang aku bisa kembali menggunakan mobil kesayanganku. "Baik, Pak! Terimakasih informasinya, segera saya ambil!" jawabku kemudian bergegas pergi ke bengkel untuk mengambil mobil. Sepertinya telat sedikit tidak masalah! Toh, aku yakin Bella tidak pergi jauh, dia pasti masih di area sini. Dua puluh menit perjalanan, akhirnya aku pun sampai di bengkel. Tanpa membuang waktu, aku langsung mengambil mobilku dan segera pergi ke rumah Bella setelah menandatangani nota servis. Sepanjang perjalanan, aku terus me