Tak henti-hentinya aku bersyukur, mendapat rezeki sebanyak ini. Aku segera melakukan pembayaran untuk pengobatan Nahla melalui mesin EDC yang tersedia.
"Sudah lunas ya, Bu! Ini kwitansi pembayarannya! untuk resep obatnya, Ibu bisa tebus di apotik, ya!" ucap petugas administrasi padaku.
Aku segera kembali menuju ruang tempat Nahla diperiksa. Disana perawat sudah menunggu ku di depan pintu.
"Bagaimana, Ibu? Sudah selesai administrasinya?" tanya perawat itu padaku.
"Sudah, Sus!" jawabku sambil menyodorkan bukti kwitansi yang ku bawa.
Tak lama kemudian, Dokter Tiara keluar menghampiri ku.
"Ibu Dewi, silahkan masuk! Adeknya sudah boleh dilihat!" ucap Dokter Tiara padaku.
"Terimakasih ya, Dok!" ucapku, lalu bergegas mengajak Nayla untuk masuk menemui Kakaknya.
"Kakak… . " teriak Nayla berlari menghampiri Kakaknya yang masih terbaring di atas ranjang rumah sakit.
"Kakak udah nggak pusing lagi?" tanya Nayla khawatir. Dia memang sangat perhatian kepada Kakaknya. Ia paham betul dengan kondisi Kakak nya yang sakit-sakitan.
"Enggak dong, Dek! Kakak kan uda di periksa!" jawabnya tersenyum.
"Bu! Nahla boleh minta sesuatu nggak?" ucapnya berusaha bangun dari ranjang.
"Nahla mau minta apa?" jawabku sambil membantunya untuk duduk.
"Nahla mau makan ayam goreng! Ibu punya uang gak untuk beli? Tapi kalau Ibu tidak punya uang, gak apa-apa. Nanti aja makan ayam goreng nya kalau Ibu sudah punya uang!" ucap Nahla hati-hati.
Aku tersenyum mendengar permintaan Nahla. Sudah dua bulan ini, semenjak Mas Seno tidak memberiku nafkah, anak-anak tidak pernah makan ayam.
“Alhamdulilah, hari ini Ibu sedang dapat rezeki. Jadi Nahla sama Nay boleh minta makanan apapun yang kalian mau,”
“Yang bener, Bu? Ibu tidak bohong, kan?” tegas Nahla padaku. Mereka berdua nampak begitu antusias mendengar jawabanku. Aku pun mengangguk mengiyakan.
**
“Bu, Dewi! Adek Nahla sudah boleh pulang!” ucap Dokter Tiara kepadaku.
“Iya, Dok! Terimakasih,”
“Nahla, jangan sampai kecapean, ya 'Bu! Dia harus banyak istirahat. Kalau perlu belajarnya untuk sementara waktu di rumah aja! Jangan dulu ke sekolah, sampai kondisi Nahla benar-benar stabil!” jelas Dokter Tiara padaku. Dokter Tiara paham betul dengan kondisi Nahla, dia adalah Dokter yang menangani Nahla dari usia 2 tahun.
“Baik, Dok! Saya akan coba bujuk Nahla untuk libur sekolah dulu!” Dokter Tiara mengangguk, dia mengerti jika Nahla anak yang rajin masuk sekolah, dia pasti akan menolak jika disuruh untuk libur sekolah, walaupun kondisi dia lagi sakit, Nahla paling tidak mau untuk bolos sekolah. Dari kelas satu Nahla selalu menjadi juara kelas.
“Kalau begitu, kami pamit pulang dulu ya, Dok!” ucapku sambil berusaha untuk menggendong Nahla. Tapi dengan cepat Nahla menolaknya.
“Tidak usah di gendong, Bu! Aku jalan sendiri aja! Aku kan uda baikan. Iya kan, Dok?”
“Iya, sayang! Tapi Nahla janji ya sama Dokter, Nahla jangan sampai kecapean! Terus jangan lupa minum obat, biar badan Nahla tetap kuat! Oke!”
“Oke, Dokter! Siap” jawab Nahla sambil mengacungkan jempolnya kearah Dokter Tiara.
Kami bertiga pun segera keluar dari ruangan, berjalan menuju ATM yang terletak di sebelah apotek. Setelah mengambil uang, dan menebus obat Nahla. Kami pun pergi menuju rumah makan siap saji.
**
"Nay, mau makan apa?" tanyaku pada Nayla yang masih bengong melihat gambar aneka makanan yang terpampang di depan.
"Nay mau ini aja, Bu!" ucap Nayla. Tangannya menunjuk ke arah gambar spageti.
"Terus apa lagi?"
"Sama ini Bu! Sama yang ini!" kali ini tangannya menunjuk ke arah ice cream rasa strawberry.
"Kalau begitu, Nay sama Kakak tunggu disana dulu ya! Kalian berdua duduk dulu di kursi! Biar Ibu pesan kan dulu!" Mereka berdua mengangguk, lalu duduk di kursi yang kutunjuk.
"Ting!" Notifikasi pesan masuk berderet di grup w******p keluarga Mas Seno.
Foto-foto yang dikirim oleh Tante Lili dan Vivian beruntun mereka kirim ke WA grup.
Rupanya mereka sedang berenang di kolam renang sebuah hotel berbintang. Terlihat dari foto yang dikirim oleh Vivian.
[Besok-besok ajak kesini lagi ya, Mas!] tulis Vivian di sebuah caption foto yang ia kirim. Tak lupa ia menandai nomor suamiku.
[Beres! Nanti sekalian ajak Bella juga! Mentang-mentang sudah jadi artis, sombong nih] balas Mas Seno. Kali ini giliran Mas Seno yang menandai nomor Bella di chatnya.
Tanpa menunggu lama, Bella pun membalas chat dari Mas Seno.
[Kenapa manggil-manggil? Kangen yah? Uda, ngaku aja kalau kangen!]
[Iya kangen! Pengen nyubit!] balas Mas Seno di barengi emot hati dan tertawa lebar. Membuat hati ini semakin memanas.
[Mas, Jangan lupa loh! Dua hari lagi ulang tahun aku! Awas loh, kalau janjinya gak ditepatin] tulis Bella. Tak lama kemudian ia pun mengirim sebuah foto tas branded berwarna merah maroon.
Bella adalah anak Tante Lili. Usianya lebih muda dua tahun dariku. Dia begitu terobsesi menjadi seorang artis.
"Ini pesanannya, Bu! Totalnya 78 ribu!" ucap kasir rumah makan siap saji itu membangunkan lamunanku.
Setelah membayar, aku pun kembali ke kursi menghampiri kedua anakku.
"Hore! Makanan nya datang!" teriak Nayla kegirangan.
Mereka berdua nampak antusias menikmati makanan yang mereka pesan. Bahkan Nahla menghabiskan ayam goreng nya dengan cepat.
"Bu! Besok makan disini lagi yah!" ucap Nayla yang asik menikmati ice cream sampai mulutnya belepotan.
"Iya sayang! Besok kita kesini lagi! Tapi sekarang kita pulang dulu, yuk! Makannya kan sudah selesai!" ajakku pada mereka berdua. Kami pun bergegas pulang menggunakan taxi online yang sudah ku pesan sebelumnya.
Sesampainya di rumah, kulihat tidak ada mobil yang terparkir di halaman. Sepertinya Mas Seno belum pulang ke rumah.
**
~~~sore hari
Terdengar suara mesin mobil masuk ke pekarangan. Sepertinya Mas Seno sudah datang. Tak lama kemudian suara teriakannya menggema memanggil namaku.
"Dewi! Dewi dimana kamu?"
"Suami pulang bukannya disambut, malah diem dikamar!" teriaknya penuh emosi.
"Ada apa sih, Mas! Datang-datang langsung marah-marah!" sahut ku berjalan menghampirinya.
"Dari mana aja kamu! Dipanggil dari tadi gak nyaut! Ambilkan aku minum!" titahnya padaku. Aku pun mengambilkan segelas air putih dan menyodorkannya pada Mas Seno.
Dengan cepat ia menenggak habis air yang ku sodorkan.
"Kamu masak apa? Aku lapar mau makan!" tanya Mas Seno padaku.
"Aku tidak masak, Mas! Kamu kan tau, tadi aku mengantar Nahla ke rumah sakit! Bukannya kamu tadi sudah makan di restoran bintang lima?" sahut ku menatapnya penuh tanya.
"Alasan saja kamu ini! Makannya kalau di rumah itu jangan malas-malasan! Masak saja sampai tidak sempat!"
"Beras dan minyak goreng sudah habis, Mas! Apa kamu lupa, sudah dua bulan ini kamu tidak memberiku uang belanja? Lagian kamu aneh banget, baru pulang jalan-jalan, ko repot nyari makan di rumah! Padahal tadi kulihat, Vivian posting foto kalian sedang makan bersama di restoran!"
"Sudahlah, jangan banyak bicara! Cepat ambilkan aku makanan yang ada di dapur!" Celotehnya kesal.
"Tidak ada apa-apa di dapur, Mas! Kan sudah aku bilang, aku tidak masak! Kalau kamu lapar, beli aja diluar!" ucapku berlalu meninggalkannya.
"Dewi! Lancang sekali kamu! Suami minta makan malah pergi begitu saja! Dasar istri tidak tahu diri! Mana hormat kamu pada suami, hah!" teriak Mas Seno penuh emosi.
"Dasar cewek kampung! Gak tau sopan santun! Menyesal aku menikahi anak seorang pemulung! Anak sama Bapak sama aja! Sama-sama gak berguna!" ucapan Mas Seno kali ini membuatku menghentikan langkah kakiku, dan berbalik badan menghampirinya.
"Apa kamu bilang, Mas? Kamu menyesal menikahi anak seorang pemulung?" ucapku menatap tajam ke arah laki-laki yang sudah 10 tahun menjadi suamiku ini.
"Iya! Aku menyesal telah menikahi anak pemulung sepertimu! Gak berguna kamu menjadi seorang istri! Melayani suami saja tidak becus! Ibu, Bapak dan anak sama aja! Sama-sama nyusahin!"
"Plak!" Sebuah tamparan mendarat di wajahnya. Untuk pertama kalinya aku punya keberanian melawan Mas Seno.
"Cukup, Mas! Selama ini aku hanya diam saat kamu mencaci dan menghinaku! Tapi aku tidak akan tinggal diam saat kau menghina almarhum Abah dan Emak! Apa kau lupa, Mas! Kau yang berulang kali datang ke rumah untuk melamarku! Sudah lima kali aku menolakmu, tapi kau tetap saja berusaha meyakinkan Abah agar dia mau menerima mu! Dan sekarang--sekarang kau bilang menyesal telah menikahi aku? Harusnya kau ngaca, Mas! Siapa yang harusnya menyesal. Aku, atau kamu?" ucapku tak bisa menahan emosi yang berkecamuk di dalam dada.
"Lancang sekali kamu menamparku, Dewi! Kamu pikir kamu itu siapa, hah? Kamu itu tidak lebih dari anak seorang pemulung!" sahut Mas Seno mengusap pipi kanannya yang memerah.
"Iya, Mas. Aku memang anak seorang pemulung! … Pemulung yang rela banting tulang agar bisa memberimu tempat tinggal yang nyaman! Tempat tinggal yang kamu tempati sekarang! Apa kau lupa, Abah yang menyumbang 75% biaya untuk pembuatan rumah ini, Mas! Tidak hanya itu Mas, saat adikmu Andre menikah dua tahun lalu, Abah merelakan sapinya untuk dijual, agar kamu bisa membiayai pesta pernikahannya! Dan sekarang, dengan sombongnya kamu menghina almarhum Abah dan Emak! Kamu benar-benar keterlaluan, Mas! Ingat Mas, rumah ini atas namaku. Sekali lagi kamu menghina almarhum Abah dan Emak, aku tak segan-segan mengusirmu dari rumah ini!" Mendengar ucapanku, wajah Mas Seno yang semula penuh amarah, seketika berubah pucat.
"Sudah terlalu lama aku diam, Mas! Kini saatnya aku bertindak!" gumamku dalam hati.
Pov SenoDewi melengos begitu saja, meninggalkan aku yang masih tidak percaya dengan yang ia lakukan barusan. Aku menghempaskan bokong ku di atas sofa. Aku benar-benar tidak menyangka, jika Dewi bisa semarah ini. Entah setan apa yang merasuki Dewi. Sampai-sampai dia berani menamparku. Sudah 10 tahun kami menikah, dan baru kali ini dia menampar dan mengancamku.Dia memang begitu sensitif jika menyangkut orang tuanya. Tapi, apa aku salah jika mengingatkan dia dengan statusnya yang hanya anak seorang pemulung? Harus nya dia sadar diri dengan latar belakang keluarganya. Agar dia tidak sombong dan semena-mena di rumah ini. Sebagai seorang istri, seharusnya dia tunduk dan taat pada suami. Bukan malah ngelawan dan membangkang, argh!! Dasar wanita kampung, bisanya cuma bikin kesal saja.Ditengah perasaan ku yang masih kesal pada Dewi, tiba-tiba ponselku berdering. Sebuah panggilan masuk da
"Sampai kapanpun juga, aku tidak akan pernah memperlakukanmu sama seperti aku memperlakukan Ibuku! Asal kau tau Dewi, dari dulu Ibu banting tulang untuk merawat dan membesarkan ku. Dia rela kerja siang dan malam agar aku bisa sekolah. Sedangkan kau Dewi? Apa yang telah kau lakukan untukku? Kau hanya seorang istri yang bisanya hanya minta uang! Apapun yang Ibu minta, pasti akan aku berikan! Berapapun uang yang aku beri padanya, tidak akan bisa membalas budi ku sebagai seorang anak! Jadi, jangan pernah sekalipun kau membanding-bandingkan perlakuanku padamu dan Ibu!" ucapnya menggebu-gebu. Matanya nyalang menatapku penuh kekesalan.Aku benar-benar tidak habis pikir dengan jalan pikirannya. Entah setan apa yang bersemayam di dalam dirinya."Aku tidak pernah melarangmu untuk menghormati dan menafkahi Ibumu, Mas! Aku hanya meminta agar kamu bersikap adil. Kamu harus ingat, statusmu bukan cuma seorang anak. M
Aku masih tidak percaya, melihat jumlah honor sebanyak ini. Saat ini, aku memang sedang membutuhkan banyak uang untuk bisa hidup mandiri tanpa bantuan Mas Seno. Dengan uang ini aku bisa memulai semuanya dari awal. Aku bisa memenuhi kebutuhan ku dan anak-anak.Tapi, apa bisa aku berakting? Aku sama sekali tidak pernah mengenal dunia hiburan, apa lagi berakting di depan kamera. Untuk sekedar foto selfie saja aku tidak pernah."Bu! Bagaimana? Apa Ibu mau menerima tawaran saya?" suara Pak Anwar membangunkan lamunanku."Sa-saya… mau pikir-pikir dulu, Pak! Saya takut tidak mampu, dan nantinya malah akan mengecewakan Bapak!" ucapku terbata, aku belum bisa memberi keputusan."Ya sudah kalau begitu, jika Bu Dewi masih butuh waktu untuk mempertimbangkan tawaran saya. Saya paham ko Bu, dunia seni peran memang hal baru untuk B
Pov Seno Dari tadi entah sudah berapa kali aku menguap sambil menatap layar laptop di depanku. Aku benar-benar ngantuk, tadi malam saat tidur di rumah Ibu, berulang kali aku terbangun untuk menggendong Marsel yang menangis berkali-kali. Padahal biasanya aku selalu tidur nyenyak di rumah. Disaat aku hampir tertidur di atas meja, tiba-tiba ponselku berdering. Sebuah panggilan masuk dari Pak Bimo, atasan ku. Aku terperanjat dan langsung mengusap tombol di layar. "Ha-halo, Pak!" ucapku terbata. "Halo Seno! Bagaimana laporan untuk bulan ini? Sudah selesai? Kamu sudah telat dua hari dari tanggal yang ditentukan!" "Ma-maaf, Pak! Sa-saya belum selesai menyusun laporannya. Tapi saya pastikan besok pagi laporannya saya kirimkan ke email Bapak," ucapku berusaha meyakinkan atasan ku ini. Sudah dua hari ini aku belum juga mengirimkan laporan bulanan yang seharusnya sudah selesai
Pov SenoAku tidak habis pikir dengan tingkah si Dewi, kenapa dia bisa jadi sebar-bar ini. Apa dia kira, setelah dia mengancamku kemarin, dia bisa seenaknya menghina ku dan Ibu.Dengan perasaan yang masih berkecamuk, aku berusaha menenangkan Bella. Aku yakin, saat ini Bella pasti shock berat. Dia pasti begitu ketakutan."Bell, aku antar kamu pulang yah!" tawarku pada Bella. Aku harus segera mengantar Bella pulang, agar aku bisa segera pulang kerumah dan memberi pelajaran pada Dewi.Wajah Bella masih tampak kesal, bahkan kali ini dia berusaha berpaling dariku."Uda dong Bell, jangan sedih gitu! Aku janji, aku akan balas perbuatan Dewi sama kamu! Aku akan buat dia menyesal karena telah mencelakai kamu!" ucapku meyakinkan Bella."Ya uda kalau gitu, t
Aku kembali merapikan brankas ku, kali ini aku memindahkannya ke tempat yang lebih aman. Tempat yang tidak akan diketahui siapapun. Aku harus mulai menyusun semua rencanaku dengan matang. Aku yakin, orang licik seperti Mas Seno pasti akan berkelit saat surat perjanjian ini kusodorkan padanya.Aku segera mengambil berkas-berkas perceraian yang sudah aku persiapkan jauh-jauh hari, nanti malam aku akan menyerahkan semua berkas ini kepada suaminya Renata.***Sore berganti malam, selesai sholat magrib, aku segera bersiap untuk bertemu Renata. Setelah pulang kerja dia akan kesini untuk menjemputku dan anak-anak. Kami akan mengobrol di sebuah restoran, sekalian menyantap makan malam bersama dengan anak-anak.Kulihat, Mas Seno sedang duduk di ruang TV. Matanya begitu fokus menatap layar laptop yang menyala dihadapannya. Sepertinya ia sedang mengerj
Pov SenoTidak ada pilihan lain, selain membujuk Ibu dan Vivian untuk menjual kalungnya. Aku harus segera ke rumah Ibu untuk bicara dengannya.Dengan kecepatan tinggi, aku pun segera melesat menuju rumah Ibu. Kondisi rumah tampak sepi, sepertinya orang-orang di rumah sudah pada tidur. Beberapa kali aku mengetuk pintu, tapi tidak ada satupun yang mendengar. Hingga akhirnya aku berteriak memanggil nama Ibu dan Vivian.Beruntung setelah aku berteriak-teriak, akhirnya Ibu pun bangun dan membukakan pintu untukku."Seno! Ada apa kamu malam-malam datang kesini? Kamu berantem lagi sama si Dewi?" tanya Ibu dengan wajah setengah sadar."Ada hal penting yang ingin Seno bicarakan sama Ibu dan juga Vivian!" ucapku lalu masuk ke dalam rumah di ikuti oleh Ibu yang mengekor ku setelah kembali menutup pintu."Kenapa gak besok saja kamu kesini? Ini uda malam loh, kamu ini, ganggu Ibu lagi istirahat a
Bella mengelap kamera itu dengan blazer nya. Air mata menetes di pelupuk mata ber softlens biru itu."Jika sampai kamera itu rusak, honor mu saya potong!" teriak pria itu berkacak pinggang.Bella mengangguk, lalu menyeka air mata yang terus membasahi wajah menornya."Sekarang semuanya bubar! Kembali ke pekerjaan masing-masing! Dan kamu, cepet berdiri dan gabung dengan para artis lainnya di dalam!" teriaknya lagi, tangannya merebut kamera dari genggaman Bella."Gawat! Jika sampai Bella tahu, aku ada disini, dia pasti akan mengacaukan semuanya. Bisa saja dia berkata yang tidak-tidak pada semua orang disini. Atau bisa saja Bella mengadu pada Mas Seno dan keluarganya. Ini tidak boleh terjadi, aku harus bersembunyi dari Bella. Ini belum saatnya dia tau semuanya!" gumamku dalam hati. Segera aku mengambil masker di dalam tas, lalu menutupi wajahnya dengan naskah yang sedang ku pegang.Aku p
Tiga hari sudah aku mempertimbangkan permintaan terakhir Bu Hanum sebelum meninggal. Hingga akhirnya, aku sampai di acara yang sakral ini. Sebuah pernikahan yang tidak pernah kuduga sebelumnya. Bahkan, untuk membayangkannya saja aku tak pernah. "Dewi! Kamu cantik banget! Sumpah, ini pangling banget, Wi!" ucap Renata menghampiri ku di ruang make-up. Renata adalah orang yang terus mendukungku untuk menikah dengan Dion. Ia bilang, cinta itu akan datang dengan sendirinya seiring berjalannya waktu. Sama seperti yang dialaminya dulu saat terpaksa harus menikah dengan Mas Fabian karena dijodohkan kedua orang tua mereka. "Aku gugup, Ren!" ucapku pada Renata. Renata tersenyum dan berkata. "Itu hal biasa, Wi! Namanya juga mau memulai hidup baru! Kamu santai aja! Berdoa dalam hati biar nggak gugup. Sebentar lagi, hidupmu akan berubah jadi Nyonya Dion! Sang pewaris tunggal seluruh perusahaan Dimitra group!" "Ibu Aulia! Mari ikut saya ke depan! Acaranya sudah mau dimulai!" ucap salah satu kru
"Tinggalkan rumah ini sekarang juga! Rumah ini kami sita! Kalau tidak, kalian akan menyesal" ucap salah satu preman itu dengan nada mengancam. Ibu menatap mereka dengan tatapan heran. "Kalian siapa? Jangan ngomong sembarangan, ya! Ini rumah saya! Enak aja kalian usir kami dari rumah ini!" sahut Ibu tak kalah sewot. "Jangan banyak omong! Cepet kemasi barang-barang kalian! Lalu pergi dari rumah ini!" ucap preman berambut gondrong itu mendorong tubuh Ibu. "Saya mohon, tolong jangan usir kami dari sini! Kami mau tinggal dimana jika diusir dari sini! Saya janji, semua hutang akan saya bayar beserta bunganya," ucapku bersimpuh di kaki mereka. "Maksud kamu apa, Seno? Hutang? Hutang apa?" tanya Ibu semakin bingung. "Maafkan Seno, Bu! Seno terpaksa meminjam uang pada rentenir dengan jaminan sertifikat rumah ini!" jelasku membuat Ibu terkejut seketika. "Apa? Ka-kamu pinjam uang pakai jaminan sertifikat rumah?" ucap Ibu tak percaya. "Iya, Bu! Seno terpaksa. Saat itu aku benar-benar kepepe
'Menikah dengan Dion?' yang benar saja! Mana mungkin aku menikah dengannya. Kenal saja belum genap dua bulan. Mana mungkin aku bisa memenuhi permintaan Bu Hanum untuk menikah dengan anaknya yang kaku itu. Ya Tuhan, apa yang harus aku lakukan? Kulihat wajah Bu Hanum seperti menaruh harapan yang besar padaku. Tapi, ini terlalu cepat. Aku baru saja bercerai dengan Mas Seno. Rasa trauma menjalin biduk rumah tangga masih kurasakan sampai saat ini. Monitor terus berbunyi, mereka tampak begitu panik. Dion berlari mencari dokter. Sedangkan Pak Anwar, dia terus berdoa di samping istrinya. "Yang kuat, Mah! Papah yakin Mama bisa melewati semua ini! Kita bisa kumpul lagi dirumah, papah mohon bertahanlah! Bukannya mama ingin menimang cucu dari Dion? Ayo Mah berjuang!" ucap Pak Anwar tidak bisa menyembunyikan kesedihan nya. Ia menangis tergugu di samping Bu Hanum yang semakin melemah. "Bu! Ibu yang kuat, ya! Dion lagi panggil dokter! Sebentar lagi pasti datang, Ibu bertahan!" ucapku. Bu Hanum m
Mataku terus menatap layar ponsel, aku masih tidak percaya melihat pesan beruntun dari mereka. Yang benar saja, bukannya kemarin Bella baik-baik saja? Kenapa tiba-tiba ada kabar duka yang mengatakan Bella telah berpulang. 'Innalillahi wainnalillahi rojiun! Ya Allah, benarkah Bella meninggal?' rasanya tidak dapat dipercaya, Bella orang yang sangat aktif dan enerjik, dia nampak sehat dan baik-baik saja. Tapi, kenapa ia tiba-tiba meninggal?Beribu pertanyaan terus bersarang di benakku. Aku harus mencari tahu kebenarannya. Kubuka aplikasi F******k milikku, melihat profil akun Bella. Benar saja, banyak teman-temannya yang mengucapkan turut berdukacita. Terlebih, status dan foto yang di posting oleh Tante Lili beberapa jam lalu semakin meyakinkan dan membenarkan jika Bella telah tiada. Sebuah foto Bella yang tampak pucat, terbaring diatas kasur dengan caption "selamat jalan Bella sayang! Mama akan selalu merindukan mu!" Foto itu dibanjiri komentar dari saudara maupun teman-teman Bella dan
Sesampainya di rumah mewah milik keluarga Dion, kami langsung turun dari mobil. Anak-anak nampak takjub melihat rumah bak istana yang megah ini."Bu! Rumahnya besar banget! Kayak di film-film yang pernah aku lihat," ucap Nahla padaku. "Ayo masuk!" ajak Dion. Ia menuntun kedua anakku. "Akhirnya kalian datang juga! Ayo sini Aulia!" ucap Bu Hanum menyambut kedatangan kami. "Wah cantik-cantik sekali anakmu Aulia! Sini sayang, duduk di dekat Omah!" seru Bu Hanum pada Nahla dan Nayla. "Yang ini namanya siapa?" tanya Bu Hanum pada Nahla. "Saya Nahla, Omah! Dan ini Nayla, adik saya!" jawab Nahla tersenyum ramah. Mereka terlihat sangat akrab. Bu Hanum dan Pak Anwar begitu antusias melihat kedatangan kedua anakku. Perlakuannya begitu hangat. Kulihat Nayla dan Nahla begitu nyaman berada di samping keluarga ini. Pemandangan seperti ini yang dari dulu tidak pernah aku dapatkan dari keluarga Mas Seno. "Tuan, Nyonya! Makanannya sudah siap!" ucap salah satu pelayan di rumah ini. Bu Hanum dan P
Pov Seno Dengan langkah pasti aku memasuki pekarangan rumah mewah itu setelah memarkirkan mobilku di depan pos penjaga. Tak lupa aku membawa sertifikat berharga ini. "Sudah buat janji dengan bos besar?" tanya preman bertato elang ini padaku. Aku pun mengangguk dengan yakin. Preman itu segera membukakan pintu dan menyuruhku untuk masuk. "Duduklah! Sebentar lagi bos besar akan turun!" ucapnya lagi menyuruhku untuk duduk. Tak lama kemudian, terdengar langkah kaki menuruni anak tangga. Seorang pria paruh baya dengan cerutu di tangan dan topi koboi berwarna hitam yang menutupi wajahnya datang menghampiriku. Pria yang masih ku ingat jelas wajahnya itu, kini duduk di hadapanku. "Berikan sertifikat itu pada anak buahku!" titahnya padaku. Aku pun segera menyerahkan sertifikat rumah ini pada preman yang berdiri disampingku. Preman berwajah sangar itu mengecek isi sertifikat yang kuberikan dengan teliti. Setelah selesai mengeceknya ia pun mengangguk seolah memberikan isyarat kepada bos
Dengan senyum yang masih mengembang, aku segera menyambar map tempat Dewi menyimpan sertifikat rumahnya. Map berwarna merah itu kini ada di genggaman ku. Tak sabar rasanya untuk segera mengambil sertifikat berharga itu. Mataku membulat tak percaya, saat ku buka map dalam keadaan kosong. Lantas dimana Dewi menyembunyikan sertifikat rumahnya? Sialan! Rupanya dia telah memindahkan sertifikatnya. Tapi kemana Dewi memindahkan sertifikat itu? Orang kampung seperti Dewi mana mungkin ngerti menaruh sertifikat seperti itu di bank. Aku yakin, ini semua pasti usul dari Renata. Pasti dia yang menghasut Dewi untuk memindahkan sertifikat rumah. Karena orang bodoh seperti Dewi tidak mungkin sampai berfikir sejauh ini. Argh! Brengsek! Bikin kepalaku tambah pusing saja. *** ~~~ Sudah empat hari aku mondar mandir mencari pinjaman. Tapi, tidak ada seorangpun yang mau meminjamkan uang sebanyak itu. Lantas, dari mana aku bisa mendapatkan uang lima puluh juta yang diminta Om Burhan? Kring! Kring! Seb
••••Di Lokasi Syuting "Cut! Bungkus!" teriak Dion. "Good job! Akting kalian bagus! Untuk malam ini kita break dulu, kita lanjut lagi besok!" Jelasnya. Para kru mulai merapikan alat-alat nya. Pun dengan artisnya, mereka bergegas membereskan barang-barang milik mereka sebelum akhirnya mereka pun pulang meninggalkan lokasi syuting. "Bagaimana hasil syuting malam ini, bos?" tanya Ben pada Dion yang nampak ceria karena syuting berjalan lancar. "Bagus! Jika terus seperti ini, saya rasa kita bisa menyelesaikan proses pembuatan film ini lebih cepat!" sahut Dion. "Cepat pulang, Ben! Segera istirahat, besok kita syuting lebih awal! Jam enam pagi sudah disini!" "Siap, Bos!" jawab Ben. Ia pun kembali merapikan alat-alat nya, meninggalkan Dion yang sudah siap untuk pulang. ** "Aulia!" teriak Dion padaku yang masih fokus menatap layar ponsel. Aku mendongak, melirik ke arahnya, lalu menjawab. "Apa? Kamu memanggilku?". "Ngapain kamu masih disini?" tanya Dion dengan sinis nya. Orang itu memang
Pov SenoAda apa lagi ini? Kenapa Om Burhan tiba-tiba marah padaku. Apa ini karena Bella yang masih belum ditemukan? Argh! Sial! Lama-lama hidupku hancur jika terus begini. Kring! Kring! Ponselku berdering, sebuah panggilan dari bengkel. Syukurlah, mudah-mudahan ada kabar baik mengenai mobilku. "Halo, Pak Seno! Mobilnya sudah selesai, Pak! Sudah bisa diambil!" ucapnya membuat senyumku tiba-tiba mengembang. Akhirnya, setelah beberapa hari ini aku harus menggunakan angkutan umum, sekarang aku bisa kembali menggunakan mobil kesayanganku. "Baik, Pak! Terimakasih informasinya, segera saya ambil!" jawabku kemudian bergegas pergi ke bengkel untuk mengambil mobil. Sepertinya telat sedikit tidak masalah! Toh, aku yakin Bella tidak pergi jauh, dia pasti masih di area sini. Dua puluh menit perjalanan, akhirnya aku pun sampai di bengkel. Tanpa membuang waktu, aku langsung mengambil mobilku dan segera pergi ke rumah Bella setelah menandatangani nota servis. Sepanjang perjalanan, aku terus me