Aku masih tidak percaya, melihat jumlah honor sebanyak ini. Saat ini, aku memang sedang membutuhkan banyak uang untuk bisa hidup mandiri tanpa bantuan Mas Seno. Dengan uang ini aku bisa memulai semuanya dari awal. Aku bisa memenuhi kebutuhan ku dan anak-anak.
Tapi, apa bisa aku berakting? Aku sama sekali tidak pernah mengenal dunia hiburan, apa lagi berakting di depan kamera. Untuk sekedar foto selfie saja aku tidak pernah.
"Bu! Bagaimana? Apa Ibu mau menerima tawaran saya?" suara Pak Anwar membangunkan lamunanku.
"Sa-saya… mau pikir-pikir dulu, Pak! Saya takut tidak mampu, dan nantinya malah akan mengecewakan Bapak!" ucapku terbata, aku belum bisa memberi keputusan.
"Ya sudah kalau begitu, jika Bu Dewi masih butuh waktu untuk mempertimbangkan tawaran saya. Saya paham ko Bu, dunia seni peran memang hal baru untuk Bu Dewi, tapi Bu Dewi tidak usah khawatir, saya memiliki banyak kru yang bisa membantu Bu Dewi untuk berlatih. Kebetulan anak saya juga seorang sutradara, saya rasa dia bisa membantu Bu Dewi. Apalagi usia anak saya sebaya dengan Bu Dewi, saya rasa akan lebih gampang untuk berdiskusi," jelasnya panjang lebar padaku.
Setelah lama berbincang mengenai tawaran untuk menjadi pemeran utama di film ini. Kami pun kembali membahas kontrak novel yang harus ku tanda tangani.
"Ini perjanjian kerjasama nya, Bu! Silahkan dibaca dulu! Jika Ibu sudah setuju, tolong ditandatangani di bagian yang sudah bermaterai," ucapnya sambil menunjuk ke arah bagian kertas yang bermaterai.
Setelah membaca seluruh isi perjanjian itu, aku pun segera menandatangani kontrak kerjasamanya. Disusul pemberian cek oleh Pak Anwar.
"Ini cek sisa pembayaran novelnya, Bu! Terimakasih banyak, dan saya sangat berharap Ibu bisa menerima tawaran saya tadi! Jika Ibu berubah pikiran, dan mau menerima tawaran saya, tolong segera hubungi saya ya, Bu! Agar saya tidak perlu mencari artis lain,"
"Baik, Pak! Sekali lagi terimakasih banyak ya, Pak! Kalau begitu saya pamit dulu!" Aku pun segera keluar dari ruangan Pak Anwar setelah berpamitan dengannya.
**
Saat aku berjalan menuju pintu gerbang, aku melihat seorang Nenek yang sudah sepuh berkeliling menjajakan mainan. Entah kenapa tiba-tiba aku teringat almarhum Emak. Pasalnya, dulu almarhum Emak pun sempat berjualan keliling saat aku masih kecil.
"Nek!" ucapku memanggil Nenek yang sudah renta itu. Ia pun berhenti, aku segera berjalan menghampirinya, tubuhnya yang sudah bongkok, membuat ia kesulitan untuk menggendong dagangannya.
"Mau beli Neng?" Tanya Nenek itu dengan raut wajah penuh harap. Aku pun mengangguk mengiyakan.
Ia menjual mainan jadul yang terbuat dari bambu dan kaleng bekas, biasanya dimainkan dengan cara didorong agar berbunyi.
"Ini harganya berapa, Nek?" tanyaku sedikit mendekati telinganya.
"15 ribu Neng! Kalau Eneng mau beli 2, ambil saja 25 ribu!" sahutnya sambil menyeka keringat yang membasahi keningnya. Tubuh rentanya tampak sangat kelelahan. Deru nafasnya pun tidak teratur, sepertinya Nenek ini sudah berjalan sangat jauh.
"Saya beli dua ya, Nek!" ucapku lalu menyodorkan dua lembar uang berwarna merah. Seketika ia menolaknya, namun setelah aku membujuknya ia pun mau menerima.
Dengan haru, Nenek itu menangis dan langsung memeluk erat tubuhku.
Setelah Nenek itu pergi, aku pun segera merogoh ponsel yang ku simpan di dalam tas, aku berniat memesan taxi online untuk pulang. Namun, saat hendak mengeluarkan ponsel, tiba-tiba seseorang menabrakku dari belakang, sehingga ponsel yang sudah ku pegang terlempar ke tempat sampah yang letaknya tepat di sampingku.
"Aw! aduh!" ucapku terkejut dan langsung berusaha mengambil ponsel yang jatuh di dalam tong sampah.
"Woy! Bisa nggak sih, nggak ngalangin jalan orang! Loe tau nggak sih gue ini artis!" suara teriakan seorang wanita yang tidak asing ditelinga ku.
"Dasar pemulung! Nggak tau diri! Liat nih, baju gue jadi kotor!" Aku pun segera menengok ke belakang setelah berhasil mengambil ponselku yang terjatuh.
"Bella?" ucapku terkejut melihat wanita yang menabrakku ternyata Bella.
"De-dewi! Ngapain loe disini?" tanya Bella. Matanya menatap tajam kepadaku.
"Ngapain loe ngobok-ngobok sampah di kantor gue? Loe mau mulung apa mau maling?" teriaknya penuh kebencian.
"Ya Allah, Bel! Hati-hati kalau ngomong! Aku ngobok-ngobok sampah itu gara-gara kamu! Ponselku jatuh ke tong sampah karena kamu nabrak aku dari belakang!"
"Alah, jangan ngeles loe! Loe pikir, gue bakal percaya dengan omongan loe? Emang dasar keluarga gembel! Kasian banget ya' Mas Seno, punya istri pemulung kayak loe! Dia pasti nyesel udah nikahin loe!" Cerocos Bella menghinaku.
"Terserah kamu aja, Bel! Saya nggak punya banyak waktu untuk debat dengan orang yang gak tau terimakasih seperti kamu!"
"Apa loe bilang, hah? Kurang ajar! Dasar pemulung gak tau diri! Orang yang lahir dari rahim seorang pemulung ujung-ujungnya juga akan jadi pemulung!"
"Plak!" sebuah tamparan mendarat di wajah Bella. Aku benar-benar sudah kehilangan kesabaranku. Dia lupa, dulu saat dia masih susah, aku lah yang membantunya! Saat ia sekarat di rumah sakit karena penyakit demam berdarah. Aku lah yang membantu membayar biaya rumah sakitnya. Dan sekarang, mentang-mentang dia sudah jadi artis, dia bisa seenaknya menghinaku.
Lihat saja Bel, aku tidak akan tinggal diam! Aku akan buktikan padamu, aku akan jauh lebih sukses darimu! Dan aku akan membalas semua perlakuan burukmu padaku selama ini.
Tanpa menghiraukan Bella yang masih meringis kesakitan, aku kembali masuk kedalam kantor, dan berjalan menuju ruangan Pak Anwar.
"Bu, Dewi! Ada apa Bu? Ada yang ketinggalan?" tanya Pak Anwar heran.
"Tidak, Pak! Saya datang untuk menerima tawaran Bapak tadi! Saya mau menjadi pemeran utama dalam film yang akan Bapak buat!" ucapku dengan pasti. Seketika Pak Anwar tersenyum senang. Ia begitu terkejut sekaligus bahagia mendengar keputusanku.
"Alhamdulillah, Bu! Akhirnya doa istri saya terkabul! Baru saja saya telponan dengan istri saya, dan istri saya berdoa agar Bu Dewi mau menerima tawaran saya! Dan benar saja, doa istri saya benar-benar terkabul! Tuhan memang mendengar doa orang-orang yang sedang sakit!" ucap Pak Anwar tidak bisa menyembunyikan kebahagiaannya.
"Kalau begitu, ini kontraknya Bu! Tolong segera ditandatangan! Saya takut Ibu berubah pikiran lagi," ujarnya sambil tertawa meledek ku.
Kontrak 500 juta sudah aku tanda tangani. Dan aku akan buktikan kepadamu Bella, anak pemulung yang kau hina ini akan jauh lebih sukses darimu! Dan aku akan pastikan, orang sombong seperti kamu, tidak layak menjadi seorang artis!
***
💗kalau berkenan, bantu kasih ulasan ya di cerita ini. Agar Ottor lebih semangat lagi nulisnya. 💗
Pov Seno Dari tadi entah sudah berapa kali aku menguap sambil menatap layar laptop di depanku. Aku benar-benar ngantuk, tadi malam saat tidur di rumah Ibu, berulang kali aku terbangun untuk menggendong Marsel yang menangis berkali-kali. Padahal biasanya aku selalu tidur nyenyak di rumah. Disaat aku hampir tertidur di atas meja, tiba-tiba ponselku berdering. Sebuah panggilan masuk dari Pak Bimo, atasan ku. Aku terperanjat dan langsung mengusap tombol di layar. "Ha-halo, Pak!" ucapku terbata. "Halo Seno! Bagaimana laporan untuk bulan ini? Sudah selesai? Kamu sudah telat dua hari dari tanggal yang ditentukan!" "Ma-maaf, Pak! Sa-saya belum selesai menyusun laporannya. Tapi saya pastikan besok pagi laporannya saya kirimkan ke email Bapak," ucapku berusaha meyakinkan atasan ku ini. Sudah dua hari ini aku belum juga mengirimkan laporan bulanan yang seharusnya sudah selesai
Pov SenoAku tidak habis pikir dengan tingkah si Dewi, kenapa dia bisa jadi sebar-bar ini. Apa dia kira, setelah dia mengancamku kemarin, dia bisa seenaknya menghina ku dan Ibu.Dengan perasaan yang masih berkecamuk, aku berusaha menenangkan Bella. Aku yakin, saat ini Bella pasti shock berat. Dia pasti begitu ketakutan."Bell, aku antar kamu pulang yah!" tawarku pada Bella. Aku harus segera mengantar Bella pulang, agar aku bisa segera pulang kerumah dan memberi pelajaran pada Dewi.Wajah Bella masih tampak kesal, bahkan kali ini dia berusaha berpaling dariku."Uda dong Bell, jangan sedih gitu! Aku janji, aku akan balas perbuatan Dewi sama kamu! Aku akan buat dia menyesal karena telah mencelakai kamu!" ucapku meyakinkan Bella."Ya uda kalau gitu, t
Aku kembali merapikan brankas ku, kali ini aku memindahkannya ke tempat yang lebih aman. Tempat yang tidak akan diketahui siapapun. Aku harus mulai menyusun semua rencanaku dengan matang. Aku yakin, orang licik seperti Mas Seno pasti akan berkelit saat surat perjanjian ini kusodorkan padanya.Aku segera mengambil berkas-berkas perceraian yang sudah aku persiapkan jauh-jauh hari, nanti malam aku akan menyerahkan semua berkas ini kepada suaminya Renata.***Sore berganti malam, selesai sholat magrib, aku segera bersiap untuk bertemu Renata. Setelah pulang kerja dia akan kesini untuk menjemputku dan anak-anak. Kami akan mengobrol di sebuah restoran, sekalian menyantap makan malam bersama dengan anak-anak.Kulihat, Mas Seno sedang duduk di ruang TV. Matanya begitu fokus menatap layar laptop yang menyala dihadapannya. Sepertinya ia sedang mengerj
Pov SenoTidak ada pilihan lain, selain membujuk Ibu dan Vivian untuk menjual kalungnya. Aku harus segera ke rumah Ibu untuk bicara dengannya.Dengan kecepatan tinggi, aku pun segera melesat menuju rumah Ibu. Kondisi rumah tampak sepi, sepertinya orang-orang di rumah sudah pada tidur. Beberapa kali aku mengetuk pintu, tapi tidak ada satupun yang mendengar. Hingga akhirnya aku berteriak memanggil nama Ibu dan Vivian.Beruntung setelah aku berteriak-teriak, akhirnya Ibu pun bangun dan membukakan pintu untukku."Seno! Ada apa kamu malam-malam datang kesini? Kamu berantem lagi sama si Dewi?" tanya Ibu dengan wajah setengah sadar."Ada hal penting yang ingin Seno bicarakan sama Ibu dan juga Vivian!" ucapku lalu masuk ke dalam rumah di ikuti oleh Ibu yang mengekor ku setelah kembali menutup pintu."Kenapa gak besok saja kamu kesini? Ini uda malam loh, kamu ini, ganggu Ibu lagi istirahat a
Bella mengelap kamera itu dengan blazer nya. Air mata menetes di pelupuk mata ber softlens biru itu."Jika sampai kamera itu rusak, honor mu saya potong!" teriak pria itu berkacak pinggang.Bella mengangguk, lalu menyeka air mata yang terus membasahi wajah menornya."Sekarang semuanya bubar! Kembali ke pekerjaan masing-masing! Dan kamu, cepet berdiri dan gabung dengan para artis lainnya di dalam!" teriaknya lagi, tangannya merebut kamera dari genggaman Bella."Gawat! Jika sampai Bella tahu, aku ada disini, dia pasti akan mengacaukan semuanya. Bisa saja dia berkata yang tidak-tidak pada semua orang disini. Atau bisa saja Bella mengadu pada Mas Seno dan keluarganya. Ini tidak boleh terjadi, aku harus bersembunyi dari Bella. Ini belum saatnya dia tau semuanya!" gumamku dalam hati. Segera aku mengambil masker di dalam tas, lalu menutupi wajahnya dengan naskah yang sedang ku pegang.Aku p
Tak lama kemudian terdengar suara tangisan bayi dari dalam kamarku."Marsel!" teriak Vivian, ia segera bangkit dan berlari menuju kamar.Kemudian ia kembali dengan Marsel dalam gendongannya."Permisi, Bu! Ada yang bisa saya bantu?" ucap Pak satpam yang baru saja datang.Aku segera membuka lebar pintu yang setengah terbuka itu, dan kemudian menyuruh Pak satpam untuk masuk."Silahkan masuk, Pak! Tolong usir mereka dari rumah saya! Mereka berdua ingin membuat keributan di rumah saya!" ucapku dengan pasti. Seketika Ibu bangkit dan hendak menyerangku. Namun, dengan sigap Pak satpam langsung menarik tangan Ibu menjauh dariku."Menantu kurang ajar kamu, Dewi! Mertua sendiri kamu usir! Awas kamu, aku akan laporkan semua ini pada Seno! Biar kamu diusir dari rumah ini!" teriak Ibu. Emosinya semakin menjadi saat Pak satpam menariknya keluar."Awas kamu, Mbak! Aku akan balas
Aku berlari dengan perasaan was-was dan khawatir. Melihat di depan sana sudah banyak orang berkerumun mengelilingi mobil merah yang rusak parah karena membentur pembatas jalan. Tidak hanya itu, sebagian orang bahkan berlari untuk mengambil air, karena terdengar percikan api dari bagian depan mobil. Asap terus keluar dari bagian mesin mobil.Jantungku berdebar, khawatir dengan kondisi Mas Seno. Bagaimanapun juga, dia adalah Ayah dari anak-anak ku. Aku berlari menghampiri mobil yang rusak parah itu. Niat hati ingin membantu orang yang sedang berusaha mengeluarkan Mas Seno dari dalam mobil. Tapi sayang, sepertinya Mas Seno tidak suka jika aku membantunya. Dengan sombong dan angkuhnya, ia mendorongku yang berusaha membantunya. Tidak hanya itu, ia juga menyalahkan aku dengan kejadian yang telah menimpanya ini."Pergi kamu dari sini! Ini semua gara-gara kamu! Dasar istri pembawa sial!" celoteh nya penuh emos
Pov SenoAku terpaku menatap Marsel yang menangis. Ku langkahkan kaki masuk ke dalam rumah, mencari susu untuk Marsel, sepertinya ia kehausan. Dari tadi mulutnya menengok ke kanan dan ke kiri seolah mencari sesuatu.'Keterlaluan Vivian! Yang benar saja, Masa ia tidak menyiapkan susu untuk anaknya yang akan ia tinggal pergi!' batinku menatap botol susu kosong yang tergeletak diatas meja.Aku kembali membuang nafas kasar, lalu mengambil botol yang tampak kotor ini, kemudian membawanya ke dapur setelah menaruh Marsel di dalam box bayi.Aku segera mencuci botol susu dengan sabun cuci piring yang menggantung di samping wastafel. Lalu mencari keberadaan kotak susu milik Marsel. Setelah lama mencari, akhirnya aku pun menemukan toples berisi susu yang Vivian taruh di dalam kulkas.Aku bingung, berapa
Tiga hari sudah aku mempertimbangkan permintaan terakhir Bu Hanum sebelum meninggal. Hingga akhirnya, aku sampai di acara yang sakral ini. Sebuah pernikahan yang tidak pernah kuduga sebelumnya. Bahkan, untuk membayangkannya saja aku tak pernah. "Dewi! Kamu cantik banget! Sumpah, ini pangling banget, Wi!" ucap Renata menghampiri ku di ruang make-up. Renata adalah orang yang terus mendukungku untuk menikah dengan Dion. Ia bilang, cinta itu akan datang dengan sendirinya seiring berjalannya waktu. Sama seperti yang dialaminya dulu saat terpaksa harus menikah dengan Mas Fabian karena dijodohkan kedua orang tua mereka. "Aku gugup, Ren!" ucapku pada Renata. Renata tersenyum dan berkata. "Itu hal biasa, Wi! Namanya juga mau memulai hidup baru! Kamu santai aja! Berdoa dalam hati biar nggak gugup. Sebentar lagi, hidupmu akan berubah jadi Nyonya Dion! Sang pewaris tunggal seluruh perusahaan Dimitra group!" "Ibu Aulia! Mari ikut saya ke depan! Acaranya sudah mau dimulai!" ucap salah satu kru
"Tinggalkan rumah ini sekarang juga! Rumah ini kami sita! Kalau tidak, kalian akan menyesal" ucap salah satu preman itu dengan nada mengancam. Ibu menatap mereka dengan tatapan heran. "Kalian siapa? Jangan ngomong sembarangan, ya! Ini rumah saya! Enak aja kalian usir kami dari rumah ini!" sahut Ibu tak kalah sewot. "Jangan banyak omong! Cepet kemasi barang-barang kalian! Lalu pergi dari rumah ini!" ucap preman berambut gondrong itu mendorong tubuh Ibu. "Saya mohon, tolong jangan usir kami dari sini! Kami mau tinggal dimana jika diusir dari sini! Saya janji, semua hutang akan saya bayar beserta bunganya," ucapku bersimpuh di kaki mereka. "Maksud kamu apa, Seno? Hutang? Hutang apa?" tanya Ibu semakin bingung. "Maafkan Seno, Bu! Seno terpaksa meminjam uang pada rentenir dengan jaminan sertifikat rumah ini!" jelasku membuat Ibu terkejut seketika. "Apa? Ka-kamu pinjam uang pakai jaminan sertifikat rumah?" ucap Ibu tak percaya. "Iya, Bu! Seno terpaksa. Saat itu aku benar-benar kepepe
'Menikah dengan Dion?' yang benar saja! Mana mungkin aku menikah dengannya. Kenal saja belum genap dua bulan. Mana mungkin aku bisa memenuhi permintaan Bu Hanum untuk menikah dengan anaknya yang kaku itu. Ya Tuhan, apa yang harus aku lakukan? Kulihat wajah Bu Hanum seperti menaruh harapan yang besar padaku. Tapi, ini terlalu cepat. Aku baru saja bercerai dengan Mas Seno. Rasa trauma menjalin biduk rumah tangga masih kurasakan sampai saat ini. Monitor terus berbunyi, mereka tampak begitu panik. Dion berlari mencari dokter. Sedangkan Pak Anwar, dia terus berdoa di samping istrinya. "Yang kuat, Mah! Papah yakin Mama bisa melewati semua ini! Kita bisa kumpul lagi dirumah, papah mohon bertahanlah! Bukannya mama ingin menimang cucu dari Dion? Ayo Mah berjuang!" ucap Pak Anwar tidak bisa menyembunyikan kesedihan nya. Ia menangis tergugu di samping Bu Hanum yang semakin melemah. "Bu! Ibu yang kuat, ya! Dion lagi panggil dokter! Sebentar lagi pasti datang, Ibu bertahan!" ucapku. Bu Hanum m
Mataku terus menatap layar ponsel, aku masih tidak percaya melihat pesan beruntun dari mereka. Yang benar saja, bukannya kemarin Bella baik-baik saja? Kenapa tiba-tiba ada kabar duka yang mengatakan Bella telah berpulang. 'Innalillahi wainnalillahi rojiun! Ya Allah, benarkah Bella meninggal?' rasanya tidak dapat dipercaya, Bella orang yang sangat aktif dan enerjik, dia nampak sehat dan baik-baik saja. Tapi, kenapa ia tiba-tiba meninggal?Beribu pertanyaan terus bersarang di benakku. Aku harus mencari tahu kebenarannya. Kubuka aplikasi F******k milikku, melihat profil akun Bella. Benar saja, banyak teman-temannya yang mengucapkan turut berdukacita. Terlebih, status dan foto yang di posting oleh Tante Lili beberapa jam lalu semakin meyakinkan dan membenarkan jika Bella telah tiada. Sebuah foto Bella yang tampak pucat, terbaring diatas kasur dengan caption "selamat jalan Bella sayang! Mama akan selalu merindukan mu!" Foto itu dibanjiri komentar dari saudara maupun teman-teman Bella dan
Sesampainya di rumah mewah milik keluarga Dion, kami langsung turun dari mobil. Anak-anak nampak takjub melihat rumah bak istana yang megah ini."Bu! Rumahnya besar banget! Kayak di film-film yang pernah aku lihat," ucap Nahla padaku. "Ayo masuk!" ajak Dion. Ia menuntun kedua anakku. "Akhirnya kalian datang juga! Ayo sini Aulia!" ucap Bu Hanum menyambut kedatangan kami. "Wah cantik-cantik sekali anakmu Aulia! Sini sayang, duduk di dekat Omah!" seru Bu Hanum pada Nahla dan Nayla. "Yang ini namanya siapa?" tanya Bu Hanum pada Nahla. "Saya Nahla, Omah! Dan ini Nayla, adik saya!" jawab Nahla tersenyum ramah. Mereka terlihat sangat akrab. Bu Hanum dan Pak Anwar begitu antusias melihat kedatangan kedua anakku. Perlakuannya begitu hangat. Kulihat Nayla dan Nahla begitu nyaman berada di samping keluarga ini. Pemandangan seperti ini yang dari dulu tidak pernah aku dapatkan dari keluarga Mas Seno. "Tuan, Nyonya! Makanannya sudah siap!" ucap salah satu pelayan di rumah ini. Bu Hanum dan P
Pov Seno Dengan langkah pasti aku memasuki pekarangan rumah mewah itu setelah memarkirkan mobilku di depan pos penjaga. Tak lupa aku membawa sertifikat berharga ini. "Sudah buat janji dengan bos besar?" tanya preman bertato elang ini padaku. Aku pun mengangguk dengan yakin. Preman itu segera membukakan pintu dan menyuruhku untuk masuk. "Duduklah! Sebentar lagi bos besar akan turun!" ucapnya lagi menyuruhku untuk duduk. Tak lama kemudian, terdengar langkah kaki menuruni anak tangga. Seorang pria paruh baya dengan cerutu di tangan dan topi koboi berwarna hitam yang menutupi wajahnya datang menghampiriku. Pria yang masih ku ingat jelas wajahnya itu, kini duduk di hadapanku. "Berikan sertifikat itu pada anak buahku!" titahnya padaku. Aku pun segera menyerahkan sertifikat rumah ini pada preman yang berdiri disampingku. Preman berwajah sangar itu mengecek isi sertifikat yang kuberikan dengan teliti. Setelah selesai mengeceknya ia pun mengangguk seolah memberikan isyarat kepada bos
Dengan senyum yang masih mengembang, aku segera menyambar map tempat Dewi menyimpan sertifikat rumahnya. Map berwarna merah itu kini ada di genggaman ku. Tak sabar rasanya untuk segera mengambil sertifikat berharga itu. Mataku membulat tak percaya, saat ku buka map dalam keadaan kosong. Lantas dimana Dewi menyembunyikan sertifikat rumahnya? Sialan! Rupanya dia telah memindahkan sertifikatnya. Tapi kemana Dewi memindahkan sertifikat itu? Orang kampung seperti Dewi mana mungkin ngerti menaruh sertifikat seperti itu di bank. Aku yakin, ini semua pasti usul dari Renata. Pasti dia yang menghasut Dewi untuk memindahkan sertifikat rumah. Karena orang bodoh seperti Dewi tidak mungkin sampai berfikir sejauh ini. Argh! Brengsek! Bikin kepalaku tambah pusing saja. *** ~~~ Sudah empat hari aku mondar mandir mencari pinjaman. Tapi, tidak ada seorangpun yang mau meminjamkan uang sebanyak itu. Lantas, dari mana aku bisa mendapatkan uang lima puluh juta yang diminta Om Burhan? Kring! Kring! Seb
••••Di Lokasi Syuting "Cut! Bungkus!" teriak Dion. "Good job! Akting kalian bagus! Untuk malam ini kita break dulu, kita lanjut lagi besok!" Jelasnya. Para kru mulai merapikan alat-alat nya. Pun dengan artisnya, mereka bergegas membereskan barang-barang milik mereka sebelum akhirnya mereka pun pulang meninggalkan lokasi syuting. "Bagaimana hasil syuting malam ini, bos?" tanya Ben pada Dion yang nampak ceria karena syuting berjalan lancar. "Bagus! Jika terus seperti ini, saya rasa kita bisa menyelesaikan proses pembuatan film ini lebih cepat!" sahut Dion. "Cepat pulang, Ben! Segera istirahat, besok kita syuting lebih awal! Jam enam pagi sudah disini!" "Siap, Bos!" jawab Ben. Ia pun kembali merapikan alat-alat nya, meninggalkan Dion yang sudah siap untuk pulang. ** "Aulia!" teriak Dion padaku yang masih fokus menatap layar ponsel. Aku mendongak, melirik ke arahnya, lalu menjawab. "Apa? Kamu memanggilku?". "Ngapain kamu masih disini?" tanya Dion dengan sinis nya. Orang itu memang
Pov SenoAda apa lagi ini? Kenapa Om Burhan tiba-tiba marah padaku. Apa ini karena Bella yang masih belum ditemukan? Argh! Sial! Lama-lama hidupku hancur jika terus begini. Kring! Kring! Ponselku berdering, sebuah panggilan dari bengkel. Syukurlah, mudah-mudahan ada kabar baik mengenai mobilku. "Halo, Pak Seno! Mobilnya sudah selesai, Pak! Sudah bisa diambil!" ucapnya membuat senyumku tiba-tiba mengembang. Akhirnya, setelah beberapa hari ini aku harus menggunakan angkutan umum, sekarang aku bisa kembali menggunakan mobil kesayanganku. "Baik, Pak! Terimakasih informasinya, segera saya ambil!" jawabku kemudian bergegas pergi ke bengkel untuk mengambil mobil. Sepertinya telat sedikit tidak masalah! Toh, aku yakin Bella tidak pergi jauh, dia pasti masih di area sini. Dua puluh menit perjalanan, akhirnya aku pun sampai di bengkel. Tanpa membuang waktu, aku langsung mengambil mobilku dan segera pergi ke rumah Bella setelah menandatangani nota servis. Sepanjang perjalanan, aku terus me