"Sampai kapanpun juga, aku tidak akan pernah memperlakukanmu sama seperti aku memperlakukan Ibuku! Asal kau tau Dewi, dari dulu Ibu banting tulang untuk merawat dan membesarkan ku. Dia rela kerja siang dan malam agar aku bisa sekolah. Sedangkan kau Dewi? Apa yang telah kau lakukan untukku? Kau hanya seorang istri yang bisanya hanya minta uang! Apapun yang Ibu minta, pasti akan aku berikan! Berapapun uang yang aku beri padanya, tidak akan bisa membalas budi ku sebagai seorang anak! Jadi, jangan pernah sekalipun kau membanding-bandingkan perlakuanku padamu dan Ibu!" ucapnya menggebu-gebu. Matanya nyalang menatapku penuh kekesalan.
Aku benar-benar tidak habis pikir dengan jalan pikirannya. Entah setan apa yang bersemayam di dalam dirinya.
"Aku tidak pernah melarangmu untuk menghormati dan menafkahi Ibumu, Mas! Aku hanya meminta agar kamu bersikap adil. Kamu harus ingat, statusmu bukan cuma seorang anak. Melainkan seorang suami dan Ayah!" ucapku menahan sakit di relung hati terdalam.
Butiran bening mulai menumpuk di pelupuk mata, hingga akhirnya jatuh membasahi pipiku. Berulang kali aku mengucap istighfar dalam hati, aku harus kuat. Aku tidak boleh menangisi laki-laki yang tidak bertanggung jawab seperti Mas Seno. Aku tidak boleh lemah.
"Sudahlah, aku capek bertengkar denganmu! Pulang ke rumah niatnya mau istirahat, malah di ajak ribut! Lebih baik aku nginep di rumah Ibu. Daripada tidur dirumah yang sudah seperti neraka ini!" ucapnya lalu pergi membanting pintu dengan keras. Membuat Nayla terbangun karena terkejut.
"Ibu! Barusan bunyi apa?" suara Nayla berlari menghampiriku yang masih berderai air mata. Dengan cepat tanganku mengusap pipi yang masih basah.
"Loh, Ibu kenapa menangis?"
"Nay, ko uda bangun?" tanyaku mengalihkan pembicaraan.
"Ibu kenapa nangis? Ada yang jahatin Ibu yah?" tanya Nayla semakin penasaran.
"Siapa yang nangis? Ibu nggak nangis kok! Tadi Ibu habis ngiris bawang. Nay pasti masih ngantuk, tidur lagi yuk! Ibu antar ke kamar," ajakku pada Nayla. Seketika ia menggelengkan kepala menolaknya.
"Nggak! Nay udah nggak ngantuk! Nay mau nonton TV aja!" ucapnya berlari ke ruang tengah, tangan kecilnya langsung mengambil remot TV yang tergeletak di atas sofa.
***
Sore berganti malam, sepertinya Mas Seno memang tidak akan pulang ke rumah malam ini. Biar saja lah, mungkin itu lebih baik. Aku jadi bisa leluasa memesan makan malam untuk anak-anak melalui ojek online.
Dengan cepat aku pun memesan tiga bungkus nasi goreng seafood, beserta roti bakar untuk camilan anak-anak.
Setelah pesanan datang, kami bertiga makan dengan lahap. Menikmati malam tanpa suara teriakan dari Mas Seno yang selalu menggema di rumah ini. Aku begitu bahagia melihat anak-anak bisa tertawa riang tanpa ada yang marah karena terganggu dengan suara mereka saat bermain.
**
Malam semakin larut, Nahla dan Nayla tertidur di atas sofa. Aku mulai mengangkat mereka satu per satu dan memindahkannya ke dalam kamar.
Aku pun harus segera tidur, karena besok pagi aku harus bertemu dengan Pak Anwar untuk tanda tangani kontrak.
**
Adzan subuh berkumandang, membangunkanku dari tidur. Selepas sholat subuh, aku segera membuat sarapan untuk anak-anak. Hari ini aku akan menitipkan anak-anak di rumah Bi Narsih, adik kandung almarhum Emak. Aku tidak mungkin membawa mereka berdua ke kantor Pak Anwar.
"Kakak sama Nay uda bangun? Ayo mandi dulu! Ibu udah bikinin air hangat untuk kalian mandi! Nanti setelah mandi kita sarapan," ajak ku pada mereka berdua.
Selesai mandi dan ganti baju, kami pun bergegas untuk sarapan.
"Bu! Hari ini kita mau kemana?" tanya Nahla penasaran.
"Kita mau ke rumah Nenek Narsih! Nahla masih ingat kan? Dulu kan waktu Nahla kelas satu, Nahla sering main kesana!"
"Ingat dong, Bu! Nenek Narsih kan Neneknya Nahla yang palingggg baik!" ucapnya tersenyum senang.
Mereka nampak begitu antusias. Kulihat jam di dinding sudah pukul tujuh lewat lima belas menit. Kami bertiga segera keluar dari rumah, menghampiri taxi online yang sudah parkir di halaman rumah.
"Hore kita naik mobil lagi!" teriak Nayla kegirangan. Iya, walaupun Ayahnya memiliki mobil, tapi Nayla dan Nahla sangat jarang menaikinya. Mas Seno tidak pernah mengajak anak-anaknya untuk naik mobil bersama. Seingatku dari awal mobil itu datang ke rumah ini, baru dua kali anak-anak menaiki mobil Ayahnya. Itu pun tujuannya ke rumah sakit, saat Nahla anfal.
Satu setengah jam perjalanan, akhirnya kami pun sampai di rumah Bi Narsih. Rumah bilik yang terlihat begitu hangat dan nyaman.
Setelah turun dari mobil, anak-anak berhamburan menuju kolam ikan yang terletak di sebelah rumah Bi Narsih.
"Assalamu'alaikum," ucapku mengucap salam.
"Waalaikumsalam," jawab Bi Narsih membuka pintu.
"Dewi! Sama siapa kamu kesini, Nak? Gimana kabar kamu? Bibi kangen banget sama kamu, Wi!" teriak Bi Narsih, tangannya memeluk erat tubuhku.
"Dewi juga kangen, Bi! Maaf Dewi jarang main kesini! Dewi kesini sama anak-anak, Bi! Mereka berdua sedang melihat ikan di kolam!" ucapku sambil menunjuk ke arah Nahla dan Nayla yang tengah asik melihat ikan.
Aku memanggil mereka berdua untuk bersalaman pada Neneknya. Mereka pun berlari menghampiriku.
"Kakak sama Nay, apa kabar?" tanya Bi Narsih pada kedua anakku.
"Kabar Nay baik, Nek! Kalau Kakak masih sakit! Kemarin baru pulang dari rumah sakit!" sahut Nayla. Ia begitu fasih menjawab pertanyaan Bi Narsih.
"Oh, Kakak masih sakit yah! Ya sudah, ayo masuk dulu! Nanti Nenek buatin teh manis di dalam! Nenek juga punya singkong rebus yang masih anget! Nahla sama Nay suka kan sama singkong rebus?"
"Suka, Nek! Suka!" jawab mereka bersamaan.
***
"Wi, bagaimana kabar suamimu?" tanya Bi Narsih mengawali percakapan.
"Alhamdulillah baik, Bi! Oh iya, Mang Yayan sama Tisna kemana Bi?"
"Mereka berdua ke kebun, Wi! Lagi panen singkong!" jawab Bi Narsih.
Bi Narsih tinggal bersama suami dan Anaknya yang bernama Tisna. Sama seperti Almarhum Ibu, Bi Narsih juga hanya memiliki satu orang anak, usia anaknya lebih muda dua tahun dariku.
"Bi, Dewi mau nitip anak-anak sebentar! Dewi ada urusan, bisa kan Bi?" ucapku mengutarakan tujuan utama ku.
"Bisa dong, Wi! Bibi seneng malah, kalau ada anak-anak disini! Rumah ini jadi gak sepi, kalau kamu mau pergi, pergi aja. Gak usah khawatir dengan anak-anak! Bibi akan menjaga mereka," jawab Bi Narsih membuatku lega.
"Terimakasih banyak ya, Bi! Kalau begitu Dewi berangkat dulu!" ucapku pada Bi Narsih.
Aku pun segera berangkat setelah berpamitan pada kedua anakku. Tak lupa aku titipkan uang untuk jajan Nayla dan dan Nahla pada Bi Narsih.
***
Hampir dua jam perjalanan dari rumah Bi Narsih ke kantor Pak Anwar. Bersyukur jalanan Ibu kota tidak sepadat biasanya. Aku pun bisa sampai tepat waktu.
"Silahkan masuk, Bu Dewi!" ucap sekertaris Pak Anwar, tangannya membukakan pintu untukku.
Di dalam ruangan, duduk seorang laki-laki paruh baya, dengan penampilan yang sederhana namun berkelas.
"Bu Dewi, kenalkan saya Anwar! silahkan duduk, Bu!" ucapnya mempersilahkan ku untuk duduk.
Pak Anwar adalah seorang produser ternama di kota ini. Dia juga pemilik salah satu agensi artis yang terkenal. Sudah banyak artis-artis baru yang ia orbitkan dan menjadi arti besar.
Kami mengobrol cukup lama. Nampaknya Pak Anwar sangat tertarik dan begitu menyukai novel yang kubuat. Berulang kali ia memuji novel ku, bahkan ia ingin sekali bekerja sama denganku untuk menggarap film ini.
"Bagaimana Bu Dewi? Apakah Ibu mau menerima tawaran saya? Saya sangat berharap anda mau bekerja sama untuk pembuatan film ini. Saya yakin, selain jago menulis, anda juga pasti jago dalam beradu peran," ucapnya terus membujukku agar mau menjadi peran utama dalam film ini.
"Tapi, Pak! Saya sama sekali tidak berbakat untuk berakting di depan kamera. Lebih baik saya bantu di balik layar saja, Pak! Saya ini orang kampung Pak, mana bisa berakting seperti artis pada umumnya! Lebih baik Bapak cari artis yang profesional saja,"
"Tapi, keyakinan saya begitu kuat, Bu! Sudah lama saya berkecimpung di dunia seni peran dan teater, dan entah kenapa setelah saya membaca novel yang Ibu buat, saya sangat yakin jika sang penulis bisa menjadi peran utama dalam film ini. Terlebih setelah saya bertemu langsung dengan Ibu. Keyakinan saya semakin bertambah!"
"Tapi Pak, saya… ." Belum sempat aku menyelesaikan ucapanku, Pak Anwar sudah memotongnya.
"Saya mohon tolong dipikirkan terlebih dahulu tawaran saya! Untuk honornya ibu tidak usah khawatir! Sebagai rasa terimakasih saya pada Ibu, saya akan membayar Ibu sama seperti artis-artis yang sudah terkenal! Bagaimana Bu Dewi? Ibu bersedia kan?"
Aku terdiam, bingung harus bagaimana lagi aku menolaknya. Pak Anwar berjalan mendekati sebuah rak. Dia mengambil sebuah map berwarna hijau, kemudian menunjukan sebuah kertas perjanjian kerjasama seorang artis ternama di kota ini.
"Jika Ibu bersedia, honor Ibu akan saya samakan dengan artis ini!" ucapnya sambil menyodorkan sebuah kontrak kerja yang ditandatangani artis film yang sedang naik daun itu. Disana tertulis jelas berapa honor yang ia terima untuk berperang dalam sebuah film yang sedang ia bintangi saat ini.
Mataku terbelalak tak percaya, melihat jumlah angka yang tertulis. Li-lima ratus juta!
bersambung...
sambil nunggu update bab baru, yuk baca cerbung Ottor yang udah tamat. Judulnya 'Vonis mandul ditengah kehamilan istriku' warning!! ada adegan dewasa đź¤đź¤
Aku masih tidak percaya, melihat jumlah honor sebanyak ini. Saat ini, aku memang sedang membutuhkan banyak uang untuk bisa hidup mandiri tanpa bantuan Mas Seno. Dengan uang ini aku bisa memulai semuanya dari awal. Aku bisa memenuhi kebutuhan ku dan anak-anak.Tapi, apa bisa aku berakting? Aku sama sekali tidak pernah mengenal dunia hiburan, apa lagi berakting di depan kamera. Untuk sekedar foto selfie saja aku tidak pernah."Bu! Bagaimana? Apa Ibu mau menerima tawaran saya?" suara Pak Anwar membangunkan lamunanku."Sa-saya… mau pikir-pikir dulu, Pak! Saya takut tidak mampu, dan nantinya malah akan mengecewakan Bapak!" ucapku terbata, aku belum bisa memberi keputusan."Ya sudah kalau begitu, jika Bu Dewi masih butuh waktu untuk mempertimbangkan tawaran saya. Saya paham ko Bu, dunia seni peran memang hal baru untuk B
Pov Seno Dari tadi entah sudah berapa kali aku menguap sambil menatap layar laptop di depanku. Aku benar-benar ngantuk, tadi malam saat tidur di rumah Ibu, berulang kali aku terbangun untuk menggendong Marsel yang menangis berkali-kali. Padahal biasanya aku selalu tidur nyenyak di rumah. Disaat aku hampir tertidur di atas meja, tiba-tiba ponselku berdering. Sebuah panggilan masuk dari Pak Bimo, atasan ku. Aku terperanjat dan langsung mengusap tombol di layar. "Ha-halo, Pak!" ucapku terbata. "Halo Seno! Bagaimana laporan untuk bulan ini? Sudah selesai? Kamu sudah telat dua hari dari tanggal yang ditentukan!" "Ma-maaf, Pak! Sa-saya belum selesai menyusun laporannya. Tapi saya pastikan besok pagi laporannya saya kirimkan ke email Bapak," ucapku berusaha meyakinkan atasan ku ini. Sudah dua hari ini aku belum juga mengirimkan laporan bulanan yang seharusnya sudah selesai
Pov SenoAku tidak habis pikir dengan tingkah si Dewi, kenapa dia bisa jadi sebar-bar ini. Apa dia kira, setelah dia mengancamku kemarin, dia bisa seenaknya menghina ku dan Ibu.Dengan perasaan yang masih berkecamuk, aku berusaha menenangkan Bella. Aku yakin, saat ini Bella pasti shock berat. Dia pasti begitu ketakutan."Bell, aku antar kamu pulang yah!" tawarku pada Bella. Aku harus segera mengantar Bella pulang, agar aku bisa segera pulang kerumah dan memberi pelajaran pada Dewi.Wajah Bella masih tampak kesal, bahkan kali ini dia berusaha berpaling dariku."Uda dong Bell, jangan sedih gitu! Aku janji, aku akan balas perbuatan Dewi sama kamu! Aku akan buat dia menyesal karena telah mencelakai kamu!" ucapku meyakinkan Bella."Ya uda kalau gitu, t
Aku kembali merapikan brankas ku, kali ini aku memindahkannya ke tempat yang lebih aman. Tempat yang tidak akan diketahui siapapun. Aku harus mulai menyusun semua rencanaku dengan matang. Aku yakin, orang licik seperti Mas Seno pasti akan berkelit saat surat perjanjian ini kusodorkan padanya.Aku segera mengambil berkas-berkas perceraian yang sudah aku persiapkan jauh-jauh hari, nanti malam aku akan menyerahkan semua berkas ini kepada suaminya Renata.***Sore berganti malam, selesai sholat magrib, aku segera bersiap untuk bertemu Renata. Setelah pulang kerja dia akan kesini untuk menjemputku dan anak-anak. Kami akan mengobrol di sebuah restoran, sekalian menyantap makan malam bersama dengan anak-anak.Kulihat, Mas Seno sedang duduk di ruang TV. Matanya begitu fokus menatap layar laptop yang menyala dihadapannya. Sepertinya ia sedang mengerj
Pov SenoTidak ada pilihan lain, selain membujuk Ibu dan Vivian untuk menjual kalungnya. Aku harus segera ke rumah Ibu untuk bicara dengannya.Dengan kecepatan tinggi, aku pun segera melesat menuju rumah Ibu. Kondisi rumah tampak sepi, sepertinya orang-orang di rumah sudah pada tidur. Beberapa kali aku mengetuk pintu, tapi tidak ada satupun yang mendengar. Hingga akhirnya aku berteriak memanggil nama Ibu dan Vivian.Beruntung setelah aku berteriak-teriak, akhirnya Ibu pun bangun dan membukakan pintu untukku."Seno! Ada apa kamu malam-malam datang kesini? Kamu berantem lagi sama si Dewi?" tanya Ibu dengan wajah setengah sadar."Ada hal penting yang ingin Seno bicarakan sama Ibu dan juga Vivian!" ucapku lalu masuk ke dalam rumah di ikuti oleh Ibu yang mengekor ku setelah kembali menutup pintu."Kenapa gak besok saja kamu kesini? Ini uda malam loh, kamu ini, ganggu Ibu lagi istirahat a
Bella mengelap kamera itu dengan blazer nya. Air mata menetes di pelupuk mata ber softlens biru itu."Jika sampai kamera itu rusak, honor mu saya potong!" teriak pria itu berkacak pinggang.Bella mengangguk, lalu menyeka air mata yang terus membasahi wajah menornya."Sekarang semuanya bubar! Kembali ke pekerjaan masing-masing! Dan kamu, cepet berdiri dan gabung dengan para artis lainnya di dalam!" teriaknya lagi, tangannya merebut kamera dari genggaman Bella."Gawat! Jika sampai Bella tahu, aku ada disini, dia pasti akan mengacaukan semuanya. Bisa saja dia berkata yang tidak-tidak pada semua orang disini. Atau bisa saja Bella mengadu pada Mas Seno dan keluarganya. Ini tidak boleh terjadi, aku harus bersembunyi dari Bella. Ini belum saatnya dia tau semuanya!" gumamku dalam hati. Segera aku mengambil masker di dalam tas, lalu menutupi wajahnya dengan naskah yang sedang ku pegang.Aku p
Tak lama kemudian terdengar suara tangisan bayi dari dalam kamarku."Marsel!" teriak Vivian, ia segera bangkit dan berlari menuju kamar.Kemudian ia kembali dengan Marsel dalam gendongannya."Permisi, Bu! Ada yang bisa saya bantu?" ucap Pak satpam yang baru saja datang.Aku segera membuka lebar pintu yang setengah terbuka itu, dan kemudian menyuruh Pak satpam untuk masuk."Silahkan masuk, Pak! Tolong usir mereka dari rumah saya! Mereka berdua ingin membuat keributan di rumah saya!" ucapku dengan pasti. Seketika Ibu bangkit dan hendak menyerangku. Namun, dengan sigap Pak satpam langsung menarik tangan Ibu menjauh dariku."Menantu kurang ajar kamu, Dewi! Mertua sendiri kamu usir! Awas kamu, aku akan laporkan semua ini pada Seno! Biar kamu diusir dari rumah ini!" teriak Ibu. Emosinya semakin menjadi saat Pak satpam menariknya keluar."Awas kamu, Mbak! Aku akan balas
Aku berlari dengan perasaan was-was dan khawatir. Melihat di depan sana sudah banyak orang berkerumun mengelilingi mobil merah yang rusak parah karena membentur pembatas jalan. Tidak hanya itu, sebagian orang bahkan berlari untuk mengambil air, karena terdengar percikan api dari bagian depan mobil. Asap terus keluar dari bagian mesin mobil.Jantungku berdebar, khawatir dengan kondisi Mas Seno. Bagaimanapun juga, dia adalah Ayah dari anak-anak ku. Aku berlari menghampiri mobil yang rusak parah itu. Niat hati ingin membantu orang yang sedang berusaha mengeluarkan Mas Seno dari dalam mobil. Tapi sayang, sepertinya Mas Seno tidak suka jika aku membantunya. Dengan sombong dan angkuhnya, ia mendorongku yang berusaha membantunya. Tidak hanya itu, ia juga menyalahkan aku dengan kejadian yang telah menimpanya ini."Pergi kamu dari sini! Ini semua gara-gara kamu! Dasar istri pembawa sial!" celoteh nya penuh emos
Tiga hari sudah aku mempertimbangkan permintaan terakhir Bu Hanum sebelum meninggal. Hingga akhirnya, aku sampai di acara yang sakral ini. Sebuah pernikahan yang tidak pernah kuduga sebelumnya. Bahkan, untuk membayangkannya saja aku tak pernah. "Dewi! Kamu cantik banget! Sumpah, ini pangling banget, Wi!" ucap Renata menghampiri ku di ruang make-up. Renata adalah orang yang terus mendukungku untuk menikah dengan Dion. Ia bilang, cinta itu akan datang dengan sendirinya seiring berjalannya waktu. Sama seperti yang dialaminya dulu saat terpaksa harus menikah dengan Mas Fabian karena dijodohkan kedua orang tua mereka. "Aku gugup, Ren!" ucapku pada Renata. Renata tersenyum dan berkata. "Itu hal biasa, Wi! Namanya juga mau memulai hidup baru! Kamu santai aja! Berdoa dalam hati biar nggak gugup. Sebentar lagi, hidupmu akan berubah jadi Nyonya Dion! Sang pewaris tunggal seluruh perusahaan Dimitra group!" "Ibu Aulia! Mari ikut saya ke depan! Acaranya sudah mau dimulai!" ucap salah satu kru
"Tinggalkan rumah ini sekarang juga! Rumah ini kami sita! Kalau tidak, kalian akan menyesal" ucap salah satu preman itu dengan nada mengancam. Ibu menatap mereka dengan tatapan heran. "Kalian siapa? Jangan ngomong sembarangan, ya! Ini rumah saya! Enak aja kalian usir kami dari rumah ini!" sahut Ibu tak kalah sewot. "Jangan banyak omong! Cepet kemasi barang-barang kalian! Lalu pergi dari rumah ini!" ucap preman berambut gondrong itu mendorong tubuh Ibu. "Saya mohon, tolong jangan usir kami dari sini! Kami mau tinggal dimana jika diusir dari sini! Saya janji, semua hutang akan saya bayar beserta bunganya," ucapku bersimpuh di kaki mereka. "Maksud kamu apa, Seno? Hutang? Hutang apa?" tanya Ibu semakin bingung. "Maafkan Seno, Bu! Seno terpaksa meminjam uang pada rentenir dengan jaminan sertifikat rumah ini!" jelasku membuat Ibu terkejut seketika. "Apa? Ka-kamu pinjam uang pakai jaminan sertifikat rumah?" ucap Ibu tak percaya. "Iya, Bu! Seno terpaksa. Saat itu aku benar-benar kepepe
'Menikah dengan Dion?' yang benar saja! Mana mungkin aku menikah dengannya. Kenal saja belum genap dua bulan. Mana mungkin aku bisa memenuhi permintaan Bu Hanum untuk menikah dengan anaknya yang kaku itu. Ya Tuhan, apa yang harus aku lakukan? Kulihat wajah Bu Hanum seperti menaruh harapan yang besar padaku. Tapi, ini terlalu cepat. Aku baru saja bercerai dengan Mas Seno. Rasa trauma menjalin biduk rumah tangga masih kurasakan sampai saat ini. Monitor terus berbunyi, mereka tampak begitu panik. Dion berlari mencari dokter. Sedangkan Pak Anwar, dia terus berdoa di samping istrinya. "Yang kuat, Mah! Papah yakin Mama bisa melewati semua ini! Kita bisa kumpul lagi dirumah, papah mohon bertahanlah! Bukannya mama ingin menimang cucu dari Dion? Ayo Mah berjuang!" ucap Pak Anwar tidak bisa menyembunyikan kesedihan nya. Ia menangis tergugu di samping Bu Hanum yang semakin melemah. "Bu! Ibu yang kuat, ya! Dion lagi panggil dokter! Sebentar lagi pasti datang, Ibu bertahan!" ucapku. Bu Hanum m
Mataku terus menatap layar ponsel, aku masih tidak percaya melihat pesan beruntun dari mereka. Yang benar saja, bukannya kemarin Bella baik-baik saja? Kenapa tiba-tiba ada kabar duka yang mengatakan Bella telah berpulang. 'Innalillahi wainnalillahi rojiun! Ya Allah, benarkah Bella meninggal?' rasanya tidak dapat dipercaya, Bella orang yang sangat aktif dan enerjik, dia nampak sehat dan baik-baik saja. Tapi, kenapa ia tiba-tiba meninggal?Beribu pertanyaan terus bersarang di benakku. Aku harus mencari tahu kebenarannya. Kubuka aplikasi F******k milikku, melihat profil akun Bella. Benar saja, banyak teman-temannya yang mengucapkan turut berdukacita. Terlebih, status dan foto yang di posting oleh Tante Lili beberapa jam lalu semakin meyakinkan dan membenarkan jika Bella telah tiada. Sebuah foto Bella yang tampak pucat, terbaring diatas kasur dengan caption "selamat jalan Bella sayang! Mama akan selalu merindukan mu!" Foto itu dibanjiri komentar dari saudara maupun teman-teman Bella dan
Sesampainya di rumah mewah milik keluarga Dion, kami langsung turun dari mobil. Anak-anak nampak takjub melihat rumah bak istana yang megah ini."Bu! Rumahnya besar banget! Kayak di film-film yang pernah aku lihat," ucap Nahla padaku. "Ayo masuk!" ajak Dion. Ia menuntun kedua anakku. "Akhirnya kalian datang juga! Ayo sini Aulia!" ucap Bu Hanum menyambut kedatangan kami. "Wah cantik-cantik sekali anakmu Aulia! Sini sayang, duduk di dekat Omah!" seru Bu Hanum pada Nahla dan Nayla. "Yang ini namanya siapa?" tanya Bu Hanum pada Nahla. "Saya Nahla, Omah! Dan ini Nayla, adik saya!" jawab Nahla tersenyum ramah. Mereka terlihat sangat akrab. Bu Hanum dan Pak Anwar begitu antusias melihat kedatangan kedua anakku. Perlakuannya begitu hangat. Kulihat Nayla dan Nahla begitu nyaman berada di samping keluarga ini. Pemandangan seperti ini yang dari dulu tidak pernah aku dapatkan dari keluarga Mas Seno. "Tuan, Nyonya! Makanannya sudah siap!" ucap salah satu pelayan di rumah ini. Bu Hanum dan P
Pov Seno Dengan langkah pasti aku memasuki pekarangan rumah mewah itu setelah memarkirkan mobilku di depan pos penjaga. Tak lupa aku membawa sertifikat berharga ini. "Sudah buat janji dengan bos besar?" tanya preman bertato elang ini padaku. Aku pun mengangguk dengan yakin. Preman itu segera membukakan pintu dan menyuruhku untuk masuk. "Duduklah! Sebentar lagi bos besar akan turun!" ucapnya lagi menyuruhku untuk duduk. Tak lama kemudian, terdengar langkah kaki menuruni anak tangga. Seorang pria paruh baya dengan cerutu di tangan dan topi koboi berwarna hitam yang menutupi wajahnya datang menghampiriku. Pria yang masih ku ingat jelas wajahnya itu, kini duduk di hadapanku. "Berikan sertifikat itu pada anak buahku!" titahnya padaku. Aku pun segera menyerahkan sertifikat rumah ini pada preman yang berdiri disampingku. Preman berwajah sangar itu mengecek isi sertifikat yang kuberikan dengan teliti. Setelah selesai mengeceknya ia pun mengangguk seolah memberikan isyarat kepada bos
Dengan senyum yang masih mengembang, aku segera menyambar map tempat Dewi menyimpan sertifikat rumahnya. Map berwarna merah itu kini ada di genggaman ku. Tak sabar rasanya untuk segera mengambil sertifikat berharga itu. Mataku membulat tak percaya, saat ku buka map dalam keadaan kosong. Lantas dimana Dewi menyembunyikan sertifikat rumahnya? Sialan! Rupanya dia telah memindahkan sertifikatnya. Tapi kemana Dewi memindahkan sertifikat itu? Orang kampung seperti Dewi mana mungkin ngerti menaruh sertifikat seperti itu di bank. Aku yakin, ini semua pasti usul dari Renata. Pasti dia yang menghasut Dewi untuk memindahkan sertifikat rumah. Karena orang bodoh seperti Dewi tidak mungkin sampai berfikir sejauh ini. Argh! Brengsek! Bikin kepalaku tambah pusing saja. *** ~~~ Sudah empat hari aku mondar mandir mencari pinjaman. Tapi, tidak ada seorangpun yang mau meminjamkan uang sebanyak itu. Lantas, dari mana aku bisa mendapatkan uang lima puluh juta yang diminta Om Burhan? Kring! Kring! Seb
••••Di Lokasi Syuting "Cut! Bungkus!" teriak Dion. "Good job! Akting kalian bagus! Untuk malam ini kita break dulu, kita lanjut lagi besok!" Jelasnya. Para kru mulai merapikan alat-alat nya. Pun dengan artisnya, mereka bergegas membereskan barang-barang milik mereka sebelum akhirnya mereka pun pulang meninggalkan lokasi syuting. "Bagaimana hasil syuting malam ini, bos?" tanya Ben pada Dion yang nampak ceria karena syuting berjalan lancar. "Bagus! Jika terus seperti ini, saya rasa kita bisa menyelesaikan proses pembuatan film ini lebih cepat!" sahut Dion. "Cepat pulang, Ben! Segera istirahat, besok kita syuting lebih awal! Jam enam pagi sudah disini!" "Siap, Bos!" jawab Ben. Ia pun kembali merapikan alat-alat nya, meninggalkan Dion yang sudah siap untuk pulang. ** "Aulia!" teriak Dion padaku yang masih fokus menatap layar ponsel. Aku mendongak, melirik ke arahnya, lalu menjawab. "Apa? Kamu memanggilku?". "Ngapain kamu masih disini?" tanya Dion dengan sinis nya. Orang itu memang
Pov SenoAda apa lagi ini? Kenapa Om Burhan tiba-tiba marah padaku. Apa ini karena Bella yang masih belum ditemukan? Argh! Sial! Lama-lama hidupku hancur jika terus begini. Kring! Kring! Ponselku berdering, sebuah panggilan dari bengkel. Syukurlah, mudah-mudahan ada kabar baik mengenai mobilku. "Halo, Pak Seno! Mobilnya sudah selesai, Pak! Sudah bisa diambil!" ucapnya membuat senyumku tiba-tiba mengembang. Akhirnya, setelah beberapa hari ini aku harus menggunakan angkutan umum, sekarang aku bisa kembali menggunakan mobil kesayanganku. "Baik, Pak! Terimakasih informasinya, segera saya ambil!" jawabku kemudian bergegas pergi ke bengkel untuk mengambil mobil. Sepertinya telat sedikit tidak masalah! Toh, aku yakin Bella tidak pergi jauh, dia pasti masih di area sini. Dua puluh menit perjalanan, akhirnya aku pun sampai di bengkel. Tanpa membuang waktu, aku langsung mengambil mobilku dan segera pergi ke rumah Bella setelah menandatangani nota servis. Sepanjang perjalanan, aku terus me