Setelah mengantarkan Elvio pulang, menungguinya mandi dan mengganti pakaiannya, Arvin kembali ke rumah sakit. Pria itu juga juga sudah memastikan Kaindra ada di rumah dan mewanti-wantinya agar tidak mengalihkan pandangan dari Elvio.Kembali ke bangunan besar yang akhir-akhir ini selalu didatanginya, Arvin menghela napas berat. Memasuki lobi, pemuda itu langsung menuju resepsionis dan menanyakan tentang salah satu dokter bedah yang merupakan ibu kandung Zoya."Saat ini dokter Vanya sedang melakukan operasi dan akan selesai sekitar empat jam lagi. Kalau Anda ingin bertemu, saya akan berikan nomor telepon pribadinya."Kata-kata petugas administrasi di hadapannya membuat Arvin mengeratkan rahang. Seharusnya tidak boleh memberitahukan jadwal dan keberadaan seseorang tanpa membuat janji terlebih dahulu, apalagi sampai memberikan nomor telepon pribadi.Arvin yakin Vanya sudah memberitahu pada setiap dokter dan perawat di rumah sakit ini untuk langsung memberikan nomor teleponnya saat Arvin b
Tidak ada yang salah dari kata-kata Arvin. Meski lelaki itu tidak tahu dan mungkin tidak akan mengerti alasan Narendra membiarkan anak-anaknya berada dalam pengasuhan orang tuanya. "Aku akan memegang janjiku, Tuan Kalandra. Terima kasih sudah memberikan izin padaku. Apa aku bisa memulainya dari malam ini?" Vanya mengerjap penuh harap, rasa rindu dan keinginan kuat untuk bicara pada putrinya membuat dadanya bergemuruh.Arvin menggeleng. "Sudah sangat larut sekarang, sebaiknya kau pulang dan beristirahat. Biar aku yang menjaga Lovania malam ini." Meski sedikit kecewa, tapi Vanya memahami maksud baik pria di hadapannya. Ia telah melihat bagaimana Arvin tenggelam dalam tangis dan selalu tampak kosong setiap kali berpapasan dengannya. Tapi, tidak sekali pun pria itu menunjukkan kesedihan dan kekosongannya di depan Elvio. Vanya sempat berandai-andai ketika melihat bagaimana Arvin tetap menjaga putranya dengan baik dan memeluknya lembut. Kalau saja Narendra memiliki sedikit saja rasa cint
Wanita itu, yang memiliki nama asli Threya Varsya merupakan seorang yatim piatu yang sejak kecil sudah dididik untuk menjadi seorang pembunuh. "Aku melewati masa kecil hingga remajaku dalam pelatihan intens dan misi ke berbagai negara, tentu saja untuk membunuh seseorang." Vanya menghela napas, menatap mesin-mesin yang menopang kehidupan putrinya sebelum melanjutkan kata-katanya. "Misiku selalu sukses, Love, aku dikenal sebagai Perempuan Seribu Wajah yang telah berhasil membunuh ratusan orang penting. Ada banyak darah di tangan ibumu ini, Lovania, sangat banyak sampai aku takut untuk menyentuh kalian yang berharga dengan tangan kotorku." Threya Varsya tidak hanya mendapat julukan Perempuan Seribu Wajah, tapi banyak juga yang memanggilnya Black Magician hanya karena wanita itu tidak pernah tertangkap atau tercium keberadaannya. Varsya adalah pembunuh paling sempurna yang pernah diciptakan organisasi."Lalu, suatu hari, ada petunjuk tentang orang tua kandungku. Aku baru mengetahui jik
Langitnya menghilang, begitu pun laut di bawah kakinya. Zoya menoleh ke arah air terjun yang juga perlahan memudar dan menyayangkan saat taman di sisi kirinya juga turut menghilang. Zoya hanya bisa melihat kabut putih di sekitarnya kini, mirip seperti ruang hampa di mana tidak ada yang bisa dilihat maupun didengar. Wanita itu juga tidak duduk di kursi, tubuhnya berdiri di tengah ruang putih tak terbatas."Apa aku bisa berjalan sekarang?" Zoya bergumam sembari mulai melangkah ke depan, entah bagaimana tidak ada kekhawatiran akan menabrak sesuatu yang tidak terlihat di depan. Perjalanannya jauh dan Zoya tidak tahu kapan ia harus berhenti atau sampai di tempat tujuan, tapi sama seperti saat ia duduk di kursi sebelumnya, tubuhnya tidak mau berhenti berjalan meski Zoya ingin berhenti."Aku benar-benar akan ke akhirat?" Zoya berguman entah untuk yang ke berapa kali, keningnya mengernyit setelah beberapa saat. "Kenapa aku bisa ada di sini, ya?" Pikiran wanita itu kosong, jangankan menging
Zoya kembali tertidur setelah melalui beberapa pemeriksaan, alat-alat di tubuhnya juga sudah dilepas dan hanya menyisakan infus. Kondisinya jauh lebih baik dari beberapa bulan terakhir, seolah kondisi kritisnya selama ini hanyalah candaan.Arvin datang satu jam setelah Vanya meneleponnya, bersama Elvio dan Mia. Tapi, mereka tidak sempat bertemu karena Zoya harus kembali beristirahat. "Kalau gitu, Mama akan bangun sebentar lagi, kan?" Elvio yang sejak datang selalu duduk di samping ranjang ibunya, bertanya setelah mendengarkan obrolan para orang dewasa tentang kondisi terkini Zoya.Meski Elvio tidak mengenal wanita baya yang kini turut berada di ruangan ibunya, ia bisa menebak dengan yakin tentang status wanita itu. Sepertinya Arvin benar-benar mendengarkan kata-katanya tentang hubungan anak dan orang tua."Iya, sayang, Mama akan segera bangun setelah beristirahat sebentar. Tapi, dokter bilang, karena pengaruh obat, Mama mungkin baru akan bangun tengah malam nanti." Arvin menjawab den
Arvin tercengang melihat wanita yang selama tiga bulan terakhir tidak bisa melakukan apa-apa dan hanya tertidur, sekarang malah meneriaki setelah menjewer telinganya. Apa Arvin sebenarnya sudah tidur dan sedang bermimpi saat ini? Dia yakin dokter bilang Zoya baru akan bangun lagi tengah malam nanti saat obat biusnya habis."Wow, aku tidak tahu bisa mengalami mimpi yang sangat nyata seperti ini." Arvin bergumam takjub, masih merasakan sisa-sisa rasa panas dari jeweran Zoya."Mimpi?! Kamu pikir ini mimpi? Oh, baik kalau begitu!"Buagh!Arvin yang tidak sempat memahami kekesalan dalam nada suara istrinya langsung menerima bantal yang dilemparkan tepat mengenai wajahnya. Tidak sakit, tapi cukup membuatnya kaget. Pria itu berkedip, matanya berbinar melihat sikap bar-bar istrinya. Oh, apakah karena ini adalah mimpi, makanya Zoya bertingkah sangat galak begini?"Kamu masih belum sadar?! Masih berpikir ini adalah mimpi?!" Zoya mendesah jengkel, apalagi melihat raut bodoh suaminya. "Kalau bu
Setelah menautkan jari kelingking dan saling bersumpah untuk tidak pernah menyerah satu sama lain, Arvin dan Zoya tertidur di ranjang pasien. Untungnya Zoya berada di kamar VIP yang ukuran ranjangnya juga lumayan besar.Dalam tidurnya, Arvin tidak lagi bermimpi. Pria itu akhirnya bisa tidur sangat nyenyak tanpa bermimpi melihat Zoya bangun dari koma lagi. Seolah hari-hari itu hanyalah mimpi buruk. Zoya terbangun beberapa jam setelahnya, ketika merasakan kehadiran seseorang di sisi ranjang. Wanita itu menyipitkan mata, rasa kantuk membuat pandangannya masih buram dan sedikit sulit mengenali sosok jangkung yang sedang berdiri."Kenapa bangun? Tidurlah lagi, Love." Zoya merasakan usapan lembut di kepalanya sebelum tangan besar itu menutup kedua mata Zoya, mengisyaratkan agar ia kembali melanjutkan tidurnya. Zoya tidak bisa menolak saat rasa nyaman dari tangan hangat yang tengah menutup matanya kembali membuatnya terbuai dan terlelap. "Papa ...." Zoya bergumam pelan sebelum benar-benar
Pria itu tersenyum, sama seperti hari-hari lalu ketika datang dan menyapa seseorang yang kini gemetar. "Kenapa tidak menjawab? Bukankah aku, kekasihmu ini, sedang menyapamu?" Arvin memiringkan kepala, menatap dingin pada wanita yang saat ini berusaha membalas tatapannya. Mata yang dipenuhi ketakutan dan keputusasaan itu tidak memuaskan Arvin, sebenarnya tidak peduli berapa banyak ia membalas apa yang sudah istri dan anaknya terima, pria itu tetap tidak puas. Padahal selama tiga bulan sejak Arvin menangkapnya, Aileen tidak lagi terlihat seperti manusia. Tidak ada lagi sosok wanita berpendidikan dengan gelar tinggi dan penampilan anggun juga cerdas, yang sedang menatap Arvin saat ini hanyalah seseorang yang tidak punya lagi harapan hidup. "Maahhaakhuu ...."Arvin menaikkan sebelah alis saat akhirnya Aileen bicara dengan susah payah, sayang sekali usahanya sia-sia karena Arvin tidak mengerti apa yang wanita itu katakan."Katakan dengan jelas, Aileen, jangan bicara seperti sedang kumu