"Katakan dengan jelas, Love, jangan menangis." Suara berat Kaindra membuat Zoya menarik napas pelan, berusaha agar tangisnya berhenti dan gemetarnya berkurang. Dia harus lebih tenang kalau ingin kata-katanya dimengerti."Mia menghilang!" pekik Zoya pada akhirnya, suaranya terdengar sangat panik. Mana mungkin dia bisa tenang saat memikirkan Mia yang entah di mana sekarang. Suara keras Zoya membuat Elvio terbangun, terkejut dengan teriakan dan tangis ibunya."Jelaskan," ucap Kaindra dingin. Dada Zoya bergemuruh saat mendengar suara dingin dan berbahaya Kaindra."Mia menghilang. Dia tidak ada di kamar, aku hanya menemukan Freya dan ponselnya tertinggal. Sepertinya dia membuka pintu kamar saat Sera datang, padahal harusnya para pelayan yang benar-benar melayani Kalandra sudah kembali ke kamar atas perintah Arvin." Zoya menghela napas gusar, suaranya terdengar semakin gemetar. Trauma kehilangan Elvio tepat di depan matanya membuat wanita itu sulit bertindak tenang."Tunggu di sana, kami
"Sudah hampir enam jam sejak Mia menghilang dan kalian belum menemukan apa-apa?!" Suara tajam Kaindra langsung disambut pecahan kaca saat lelaki itu melemparkan vas bunga di dekatnya, membuat seseorang yang menjadi lampiasan kemarahannya meringis saat cairan merah mengalir pelan di dahinya."Sebenarnya apa saja kerja kalian? Tidak hanya kehilangan Mia dengan mudah, kalian bahkan tidak bisa menemukan lokasinya!" Kaindra menggertakkan gigi, kemarahannya tidak bisa dibendung saat belum ada satu pun berita pasti tentang keberadaan wanitanya.Padahal Kaindra sudah menempatkan beberapa orangnya di sekitar kediaman Kalandra sejak Mia kembali ke rumah ini, demi menjaga wanita itu dari gangguan Thrixx mau pun Axton, tapi Kaindra malah menemukan orang-orang yang dia tugaskan menjaga Mia sedang pingsan dengan keadaan terikat di dalam mobil--kendaraan yang harusnya selalu siap mengikuti Mia kemana pun.Hasil kamera pengawas di sekitar gerbang Kalandra memperlihatkan bagaimana sebuah van hitam tid
"Hmm ... sepertinya aku mengerti kenapa Zhian sangat menyukaimu." Wanita yang mengaku bernama Azalea Elvina itu mengetuk pegangan kursi. "Kau terlihat sangat tenang meski sedang menghadapi situasi berbahaya. Entah kenapa bagian ini sangat mirip dengan si jalang itu?" Mia menelan ludah. Memangnya apa lagi yang bisa ia lakukan selain tenang? Tangan dan kakinya diborgol, mata ditutup dan mulut juga tidak bisa bersuara. Bukannya benar-benar tenang, Mia hanya tidak diizinkan memberontak. Wanita asing yang menculiknya pasti tahu, tapi masih mengejek tentang betapa tenang Mia."Sebenarnya aku ingin langsung bermain denganmu. Aku bosan setelah menunggumu selama dua puluh tahun, tapi bukankah tidak seru kalau kau mati dengan mudah?"Mia ingin bertanya sinetron mana yang sedang wanita itu mainkan, kata-katanya terlalu klise dan mudah ditebak. Tapi, mendengarnya mengatakan tentang penantian selama dua puluh tahun, bukankah artinya wanita itu tahu jika Mia baru saja kembali ke kediaman Kalandra?
"Love, sebaiknya kamu pindah ke kamar, ya? Aku pasti akan membangunkanmu kalau ada informasi tentang Mia." Arvin mendekat pada Zoya yang sedang tertidur sambil menekuk lutut di sofa, dadanya sakit saat melihat mata wanita itu sembab dan memerah.Zoya mendongak, menatap penuh harap pada Arvin. "Di mana Mia?" tanyanya serak, suaranya nyaris habis karena menangis selama berjam-jam. Tidak hanya mata yang memerah, wajahnya juga terlihat bengkak dan berantakan.Arvin menghela napas, memegang bahu Zoya dan mengecup keningnya. "Kita akan segera menemukannya. Aku janji," ucapnya, mengernyit saat melihat Zoya meringis pelan. Kakinya pasti kebas setelah lama ditekuk."Jawab dulu pertanyaanku, Tuan Kalandra. Mia ada di mana? Ini sudah sangat lama, dia pasti ketakutan!" Zoya bahkan mengggunakan panggilan formal pada Arvin. Dia tidak sedang berada di situasi di mana panggilan sayang harus tetap dipertahankan. Zoya hanya menatap Arvin sebagai kakak dari temannya yang kini hilang."Kami belum menemuk
"Aku tidak mengerti kenapa dia terus memberi pertanyaan aneh seperti ini. Memang apa bedanya Mia dan Zhea? Mereka orang yang sama!" Kaindra berujar kesal. Pemuda itu berdiri, melepas sarung tangan dan memasukkannya lagi ke saku jaket. "Tapi, tidak ada ancaman lagi." Zoya memberitahu sedikit perbedaan dari surat sebelumnya. Arvin menghela napas. "Apa artinya tidak ada batas waktu? Kita bisa terus mencari keberadaan Mia karena tidak ada ancaman untuk menentukan?" Arvin mengambil surat kaleng yang ditemukan Kaindra, kembali melipatnya perlahan sebelum mengantonginya."Bisa kau hubungi Prazta? Mungkin saja ada informasi baru yang kita lewatkan." Kaindra menatap Arvin, berusaha keras untuk tetap tenang setelah tidak berhasil menemukan Mia."Dia bilang akan langsung menghubungiku kalau ada sinyal terbaru dari Mia. Dia tidak menelepon, berarti Prazta pun belum tahu lokasi terbarunya."Arvin, Zoya dan Kaindra keluar dari bangunan rusak itu beriringan, wajah ketiganya tampak lelah karena se
Di tempat lain, sebuah sedan hitam melewati kelokan tajam sebelum sopir kembali menginjak gas, memaksakan mobil itu segera menjauh dari tempat itu. Di dalamnya, dua wanita berbeda usia sedang duduk berdampingan. Wanita yang rambutnya digelung rapi itu menatap keluar jendela, pada pohon-pohon yang dengan cepat terlewati. "Azalea," panggil Sera pada gadis yang duduk di sisinya. Wanita bersurai panjang yang dipanggil dengan nama Azalea itu menoleh. "Ya, Bu?""Semua yang kuperintahkan padamu, apa sudah disiapkan?" "Sudah, tentu saja. Saya akan bergerak saat Ibu memberi perintah selanjutnya," jawab Azalea patuh.Sera menyeringai kecil, tidak sabar membuat wanita yang beberapa saat lalu tidak berdaya di dalam truk menjadi menderita lebih hebat. Pada akhirnya Miaa akan kembali padanya dan menjadi mainan yang bisa dirusak setiap hari."Bagus," puji Sera singkat, menatap ke luar jendela mobil yang hanya berisi pohon-pohon sejauh mata memandang. Bertahun-tahun Sera menunggu kesempatan untuk
"Kamu pernah berpikir ingin mengejar matahari?" tanya Mia suatu pagi, masih mengenakan piyama biru dengan motif polkadot. Gadis remaja yang sedang duduk dilantai itu menyandarkan kepalanya ke sofa, bertanya pada Zoya yang tengah membaca buku sembari merebahkan kepalanya di pangkuan Mia.Zoya mengangkat alis, "Kenapa random sekali?" tanyanya.Mia mengendikkan bahu. "Hanya tiba-tiba kepikiran," katanya. "Jadi, apa kamu pernah memikirkannya juga, mengejar matahari?" tanya Mia lagi.Zoya mendesah, menurunkan bukunya dan meletakkannya di dada. "Aku tidak pernah memikirkan hal yang tidak mungkin kulakukan," jawab Zoya singkat. Yah, dia sudah pusing dengan berbagai tugas dari oma dan opa, mana mungkin punya waktu memikirkan untuk mengejar matahari."Bagaimana kalau aku yang jadi matahari?"Pertanyaan Mia membuat Zoya terkekeh, "Aku tidak akan membiarkanmu menjadi matahari, yang jaraknya 146,9 juta km dari bumi. Jangan berpikir aku akan mengizinkanmu melarikan diri sejauh itu setelah semua ya
"Ayo pulang!!" seru Kaindra seraya berdiri, bersiap berlari ke arah mobil. Arvin mengusap kasar wajahnya, mengikuti Kaindra berdiri. "Apa maksudmu pulang?" tanyanya gusar."Apa ada info terbaru? Apa yang Prazta katakan?!" Zoya ikut bertanya, sama paniknya dengan Arvin."Hannes bilang mereka menemukan boneka kelici berwarna hitam di kamar tidur Sera!" ujar Kaindra cepat, berusaha agar kata-katanya bisa dimengerti. "Kita dipermainkan, berputar-putar. Entah bagaimana mereka yakin kalau kita akan menemukan lokasi Mia. Tapi, mereka selalu selangkah lebih cepat."Arvin dan Zoya mendengarkan dengan seksama. Pertama, surat yang mereka temukan meminta memilih antara Mia dan Zhea dengan ancaman berbatas waktu. Ketika mereka menemukan lokasi Mia dan mendatangi bangunan bekas pabrik tidak terpakai, sebuah surat yang meminta mereka memilih antara Mia dan Zhea juga kembali ditemukan."Entah bagaimana mereka menggiring kita berpikir untuk menemukan tempat yang disukai Mia dan Zhea. Sulit membawa se
Gelap. Arvin menyadari jika matanya ditutup oleh sesuatu ketika ia tidak bisa membuka kedua matanya meski kesadarannya perlahan pulih. Pria itu menggeliat pelan, hanya untuk menyadari bahwa tubuhnya terikat. Meski tidak tahu pasti posisinya, Arvin yakin saat ini ia diikat pada sebuah kursi, tangan dan kakinya tidak bisa bergerak. “Sepertinya kau mulai sadar.”Suara itu membuat Arvin menegakkan tubuh siaga. Meski baru sekali mendengar suaranya, tapi Arvin yakin itu milik pria yang sama dengan yang menodongkan pistol pada Arvin, seseorang yang dipanggil Zayn. Sial, apa Arvin terjebak di sarang musuh?!‘Bagaimana bisa aku masih diculik di usia segini?’ Arvin membatin jengkel, menyalahkan dirinya yang masih lemah dan tidak ada bedanya dengan masa kecilnya dulu. Hanya saja, dulu tidak ada yang Arvin pedulikan, karena ia percaya anak buah kakeknya akan segera datang menyelamatkan.Tapi, situasinya berbeda saat ini! Arvin memiliki orang-orang yang ingin ia lindungi. Kalau ia terjebak di tem
"Kalian sengaja melakukan ini, kan? Katakan padaku, sejak kapan kalian merencanakan pengkhianatan seperti ini?" Kaindra menatap galak pada wanita yang tengah duduk dengan tenang. "Kamu bahkan tidak punya rasa bersalah, Lova! Bagaimana kamu tega melakukan ini pada adikmu?" Kaindra kembali mengejar dengan pertanyaan, kaki yang sebelumnya sempat terhenti hanya untuk menatap penuh permusuhan pada Zoya, kembali melangkah gusar mengelilingi ruangan."Jangan mengerutkan keningmu," ucap salah satu wanita di hadapan Zoya.Hari ini adalah hari pernikahan Zoya dan Arvin dilaksanakan, jaraknya hanya satu minggu dari pernikahan Kaindra dan Mia.Zoya yang sejak seminggu terakhir terus mendengar omelan Kaindra tentang pengkhianatan hanya bisa menghela napas dan mengabaikan tingkah kekanakkan saudara kembarnya.Hari ini adalah hari di mana Zoya akan menikah dengan seseorang yang dicintai dan mencintainya. Dalam pernikahannya kali ini, Zoya tidak sendirian. Meski tidak dimulai dengan mengucap janji su
"Dia memang sudah agak besar, tapi-- kenapa senyummu terlihat mencurigakan, Tuan Kalandra? Jangan bilang kamu belum pamit pada El?!" Zoya mengerutkan kening sejak pemuda di sisinya tampak tersenyum kikuk."Aku tidak melakukan kesalahan sama sekali," ucap Arvin membela diri, tapi jawabannya justru membuat kening Zoya semakin berkerut dalam. "Ma-maksudku ... yah, aku lupa. Tapi, bisakah sekarang kamu fokus saja ke depan?" pintanya seraya mengusap punggung wanitanya.Zoya memilih mengikuti apa yang diminta Arvin, menelan kembali kata-katanya untuk mendebat pemuda itu."Wah!" Zoya tidak bisa menahan rasa kagum melihat pemandangan di hadapannya. Lampu-lampu yang berasal dari seluruh kota di bawah sana, dipadukan dengan gemerlap bintang di langit serta keheningan di sekitarnya membuat Zoya tersenyum cerah.Dia tidak tahu apa yang Arvin persiapkan, tapi sudah bisa menebak beberapa hal. Bukankah adegan seperti ini sudah sangat biasa di akhir sebuah novel? Zoya mengulum bibir, menahan senyum h
Arvin terkekeh saat Zoya memukul bahunya. Arvin meletakkan bunga di atas meja sebelum meraih Zoya ke dalam pelukan."Bisa ditahan dulu tidak menangisnya? Kita pindah ke tempat di mana tidak ada orang lain, setelah itu kamu boleh menangis lagi." Arvin berucap lembut, tangannya mengusap punggung istrinya dengan perlahan. Arvin berhasil membawa Zoya menjauh dari tempat pesta setelah wanita itu lebih tenang. Meski sempat dipelototi Kaindra dan Narendra, pemuda itu akhirnya bisa membawa wanitanya ke tempat lebih privat."Kita mau ke mana?" Zoya bertanya ketika Arvin terus menuntunnya keluar dari gedung. Pestanya belum selesai dan Zoya belum sempat berpamitan pada ibunya atau Elvio."Ke tempat di mana kita bisa bicara berdua tanpa gangguan," ucap Arvin sembari membukakan pintu mobil, senyumnya tidak pernah lepas.Zoya memasuki mobil tanpa bertanya lagi. Mereka mungkin memang perlu bicara berdua di tempat yang tenang. Sepanjang perjalanan, Zoya hanya diam, menahan diri untuk membicarakan b
"Apa kau keberatan kalau aku duduk di sini?"Zoya menoleh saat seseorang mendekat, pria yang menjadi topik hangat karena menjadi best man hari ini tampak tersenyum, bertanya dengan suara lembut pada Zoya. "Ah ya, silakan, tidak apa-apa." Zoya menggeser sedikit kursinya, memberi jarak pada kursi kosong di sampingnya. "Terima kasih. Ngomong-ngomong, bagaimana kabarmu?"Hm? Zoya sedikit mengernyit saat pria di sisinya, aktor yang mendapat julukan sebagai pria tertampan di dunia, bertanya santai seolah mereka sudah saling mengenal cukup lama."Aku ... baik," ucap Zoya tidak yakin. "Anda sendiri ... Tuan Ragava, bagaimana bisa mengenal Kaindra?" Pria yang dipanggil Ragava menaikkan satu alis sebelum bibirnya naik, tawanya terdengar renyah dan sedikit menggelitik di telinga Zoya. Untuk sesaat wanita itu terpesona, sedikitnya mengerti alasan pria di sampingnya disebut sebagai yang tertampan dan terseksi. "Yah, hanya kebetulan bertemu saat kami sedang di luar negeri. Tapi, kau benar-benar
"Memangnya saat kamu dan Tuan Arvin menikah, kalian tidak melempar bunga?" Grace bertanya dengan kening berkerut, setahunya pernikahan di mana-mana sama. Sayang sekali ia tidak bisa datang ke resepsi pernikahan Zoya dan Arvin karena harus menyiapkan banyak hal di kediaman utama Kalandra untuk menyambut nyonya baru.Zoya memiringkan kepala saat mengingat kembali hari pernikahannya. "Kami juga melakukannya, tapi aku tidak ingat siapa yang dapat bunga itu. Yah, waktu itu pikiranku sedikit kacau."Pernikahan pertama Zoya tidak dihadiri oleh orang tuanya, Kaindra juga tidak ada. Saat itu Zoya juga tidak punya seseorang yang bisa disebut teman selain Mia.Grace meletakkan karangan bunga lili ke atas meja kaca di sampingnya. "Maaf, seharusnya saat itu aku berusaha lebih keras untuk lebih dekat denganmu."Zoya tersenyum saat Grace menggenggam tangannya. Perasaan tulus sosok di sampingnya membuat Zoya merasa cukup. "Tidak apa-apa, semuanya sudah jadi masa lalu. Jangan memasang wajah seperti it
Zoya menyambut paginya dengan ketukan keras di pintu kamar. Masih subuh, tapi orang-orang di sekitarnya sudah sangat sibuk. Wanita itu duduk melamun di atas ranjang, membiarkan pelayan mondar-mandir di sekitar kamarnya.Ini adalah hari yang penting. Hari pernikahan Kaindra dan Mia digelar. Padahal yang menjadi pengantin hari ini bukan Zoya, tapi pelayan malah sangat sibuk mempersiapkan banyak hal untuknya. Ini bukan pertama kali Zoya menerima perlakuan seperti Tuan Putri. Saat masih di kediaman utama Aldara, setiap kali ada pesta perusahaan yang akan dilaksanakan, Zoya tidak pernah berdandan sendiri. Setiap kali dandanannya tidak sesuai selera sang Oma, wanita itu akan memarahi para pelayan karena tidak memperhatikan dengan benar saat merawat Zoya.Kalau sudah seperti itu, Zoya akan kembali ke depan cermin dan membiarkan pelayan memperbaiki riasannya. Padahal saat itu ia bahkan masih remaja yang harusnya tidak menggunakan make up terlalu tebal.Menghela napas, Zoya beranjak dari ranj
"Sudah tidur, ya?" Kaindra bertanya pelan sembari menatap pada Freya yang tengah terlelap, tampak beberapa bulir keringat di wajahnya. Mia yang baru selesai meletakkan guling dan bantal di sekitar Freya sedikit terkejut ketika Kaindra tiba-tiba sudah berdiri tepat di belakangnya. Wanita itu memberi isyarat agar Kaindra tidak berisik dengan meletakkan jari telunjuknya di bibir. Freya baru tertidur setelah meminum obat penurun panas.Kaindra mengecup kilat jari telunjuk Mia yang masih berada di bibir, tersenyum jahil melihat kening berkerut wanita di hadapannya sebelum kembali melayangkan kecupan lain di pipi wanitanya.Mia segera menarik Kaindra keluar dari kamar. Sepasang manusia itu berpapasan dengan Zoya yang juga ingin memeriksa kondisi Freya."Wah, si tidak tahu malu ini benar-benar menyusul ke sini!" Zoya mencubit lengan saudara kembarnya. "Bagaimana kondisi Freya?" tanyanya pada Mia setelah mengabaikan ringisan Kaindra."Dia tidur setelah minum obat, aku juga sudah memasang ple
"Selamat siang, Putri Tidur!" Sapaan itu membuat Zoya yang baru sampai di ruang keluarga sambil menguap, menggaruk kepalanya seraya tertawa canggung. Ia ingin menyalahkan Arvin yang mengajaknya begadang hingga membuatnya kesiangan, tapi pria itu bahkan sudah tidak ada di sisinya saat Zoya membuka mata."Halo, Ma!""Hai, Tante!"Zoya terkekeh gemas saat Elvio dan Freya juga turut menyapa."Selamat siang, anak-anak! Hehe ... selamat siang juga, Mama tersayang!" Zoya membalas sapaan sang ibu dengan senyum lebar. "Di mana yang lain?" tanya Zoya sembari berjalan mendekati ibunya."Arvin di taman belakang bersama Prazta dan Hannes." Vanya menjawab lembut pertanyaan putrinya. "Kamu makan dulu sana! Jangan sampai terlambat bangun membuatmu mengabaikan makan," peringatnya sembari memberi isyarat Zoya untuk pergi.Zoya hampir menanyakan apakah putranya dan Freya sudah makan, tapi segera menutup mulutnya saat mengingat jika matahari sudah cukup tinggi sekarang."Papa pasti ke kantor, kan? Tapi,