"Mungkin di kamar mandi?" ucap Zoya tak yakin, menuntun putranya untuk mendekat pada ranjang. "Biar Mama lihat ke kamar mandi dulu," tuturnya sebelum meninggalkan Elvio menuju pintu lain yang ada di sebelah kanan ruangan."Mia?" Zoya mengetuk pintu kamar mandi, tapi tidak mendapat sahutan apa pun. Wanita itu memutuskan untuk mendorong pintu dan menjadi lebih gelisah saat ternyata pintu itu tidak terkunci. Zoya hanya menemukan kamar mandi yang kosong, begitu pun di walk in closet, tidak terlihat sedikit pun tanda-tanda keberadaan Mia. Zoya merasa jantungnya yang tadi sudah lega, kembali terpacu dengan detak cepat yang membuatnya sesak."Nggak ada ya, Tantenya?" Elvio bertanya ketika ibunya kembali dengan wajah sedikit pucat. "Mungkin lagi ke luar untuk ngambil minum atau nyari camilan, Ma."Zoya segera tersenyum mendengar kata-kata penenang yang dilontarkan putranya. Kalau sekarang bukan situasi yang mengkhawatirkan, Zoya pasti akan berpikir seperti Elvio, tapi kali ini, ketidakberada
"Katakan dengan jelas, Love, jangan menangis." Suara berat Kaindra membuat Zoya menarik napas pelan, berusaha agar tangisnya berhenti dan gemetarnya berkurang. Dia harus lebih tenang kalau ingin kata-katanya dimengerti."Mia menghilang!" pekik Zoya pada akhirnya, suaranya terdengar sangat panik. Mana mungkin dia bisa tenang saat memikirkan Mia yang entah di mana sekarang. Suara keras Zoya membuat Elvio terbangun, terkejut dengan teriakan dan tangis ibunya."Jelaskan," ucap Kaindra dingin. Dada Zoya bergemuruh saat mendengar suara dingin dan berbahaya Kaindra."Mia menghilang. Dia tidak ada di kamar, aku hanya menemukan Freya dan ponselnya tertinggal. Sepertinya dia membuka pintu kamar saat Sera datang, padahal harusnya para pelayan yang benar-benar melayani Kalandra sudah kembali ke kamar atas perintah Arvin." Zoya menghela napas gusar, suaranya terdengar semakin gemetar. Trauma kehilangan Elvio tepat di depan matanya membuat wanita itu sulit bertindak tenang."Tunggu di sana, kami
"Sudah hampir enam jam sejak Mia menghilang dan kalian belum menemukan apa-apa?!" Suara tajam Kaindra langsung disambut pecahan kaca saat lelaki itu melemparkan vas bunga di dekatnya, membuat seseorang yang menjadi lampiasan kemarahannya meringis saat cairan merah mengalir pelan di dahinya."Sebenarnya apa saja kerja kalian? Tidak hanya kehilangan Mia dengan mudah, kalian bahkan tidak bisa menemukan lokasinya!" Kaindra menggertakkan gigi, kemarahannya tidak bisa dibendung saat belum ada satu pun berita pasti tentang keberadaan wanitanya.Padahal Kaindra sudah menempatkan beberapa orangnya di sekitar kediaman Kalandra sejak Mia kembali ke rumah ini, demi menjaga wanita itu dari gangguan Thrixx mau pun Axton, tapi Kaindra malah menemukan orang-orang yang dia tugaskan menjaga Mia sedang pingsan dengan keadaan terikat di dalam mobil--kendaraan yang harusnya selalu siap mengikuti Mia kemana pun.Hasil kamera pengawas di sekitar gerbang Kalandra memperlihatkan bagaimana sebuah van hitam tid
"Hmm ... sepertinya aku mengerti kenapa Zhian sangat menyukaimu." Wanita yang mengaku bernama Azalea Elvina itu mengetuk pegangan kursi. "Kau terlihat sangat tenang meski sedang menghadapi situasi berbahaya. Entah kenapa bagian ini sangat mirip dengan si jalang itu?" Mia menelan ludah. Memangnya apa lagi yang bisa ia lakukan selain tenang? Tangan dan kakinya diborgol, mata ditutup dan mulut juga tidak bisa bersuara. Bukannya benar-benar tenang, Mia hanya tidak diizinkan memberontak. Wanita asing yang menculiknya pasti tahu, tapi masih mengejek tentang betapa tenang Mia."Sebenarnya aku ingin langsung bermain denganmu. Aku bosan setelah menunggumu selama dua puluh tahun, tapi bukankah tidak seru kalau kau mati dengan mudah?"Mia ingin bertanya sinetron mana yang sedang wanita itu mainkan, kata-katanya terlalu klise dan mudah ditebak. Tapi, mendengarnya mengatakan tentang penantian selama dua puluh tahun, bukankah artinya wanita itu tahu jika Mia baru saja kembali ke kediaman Kalandra?
"Love, sebaiknya kamu pindah ke kamar, ya? Aku pasti akan membangunkanmu kalau ada informasi tentang Mia." Arvin mendekat pada Zoya yang sedang tertidur sambil menekuk lutut di sofa, dadanya sakit saat melihat mata wanita itu sembab dan memerah.Zoya mendongak, menatap penuh harap pada Arvin. "Di mana Mia?" tanyanya serak, suaranya nyaris habis karena menangis selama berjam-jam. Tidak hanya mata yang memerah, wajahnya juga terlihat bengkak dan berantakan.Arvin menghela napas, memegang bahu Zoya dan mengecup keningnya. "Kita akan segera menemukannya. Aku janji," ucapnya, mengernyit saat melihat Zoya meringis pelan. Kakinya pasti kebas setelah lama ditekuk."Jawab dulu pertanyaanku, Tuan Kalandra. Mia ada di mana? Ini sudah sangat lama, dia pasti ketakutan!" Zoya bahkan mengggunakan panggilan formal pada Arvin. Dia tidak sedang berada di situasi di mana panggilan sayang harus tetap dipertahankan. Zoya hanya menatap Arvin sebagai kakak dari temannya yang kini hilang."Kami belum menemuk
"Aku tidak mengerti kenapa dia terus memberi pertanyaan aneh seperti ini. Memang apa bedanya Mia dan Zhea? Mereka orang yang sama!" Kaindra berujar kesal. Pemuda itu berdiri, melepas sarung tangan dan memasukkannya lagi ke saku jaket. "Tapi, tidak ada ancaman lagi." Zoya memberitahu sedikit perbedaan dari surat sebelumnya. Arvin menghela napas. "Apa artinya tidak ada batas waktu? Kita bisa terus mencari keberadaan Mia karena tidak ada ancaman untuk menentukan?" Arvin mengambil surat kaleng yang ditemukan Kaindra, kembali melipatnya perlahan sebelum mengantonginya."Bisa kau hubungi Prazta? Mungkin saja ada informasi baru yang kita lewatkan." Kaindra menatap Arvin, berusaha keras untuk tetap tenang setelah tidak berhasil menemukan Mia."Dia bilang akan langsung menghubungiku kalau ada sinyal terbaru dari Mia. Dia tidak menelepon, berarti Prazta pun belum tahu lokasi terbarunya."Arvin, Zoya dan Kaindra keluar dari bangunan rusak itu beriringan, wajah ketiganya tampak lelah karena se
Di tempat lain, sebuah sedan hitam melewati kelokan tajam sebelum sopir kembali menginjak gas, memaksakan mobil itu segera menjauh dari tempat itu. Di dalamnya, dua wanita berbeda usia sedang duduk berdampingan. Wanita yang rambutnya digelung rapi itu menatap keluar jendela, pada pohon-pohon yang dengan cepat terlewati. "Azalea," panggil Sera pada gadis yang duduk di sisinya. Wanita bersurai panjang yang dipanggil dengan nama Azalea itu menoleh. "Ya, Bu?""Semua yang kuperintahkan padamu, apa sudah disiapkan?" "Sudah, tentu saja. Saya akan bergerak saat Ibu memberi perintah selanjutnya," jawab Azalea patuh.Sera menyeringai kecil, tidak sabar membuat wanita yang beberapa saat lalu tidak berdaya di dalam truk menjadi menderita lebih hebat. Pada akhirnya Miaa akan kembali padanya dan menjadi mainan yang bisa dirusak setiap hari."Bagus," puji Sera singkat, menatap ke luar jendela mobil yang hanya berisi pohon-pohon sejauh mata memandang. Bertahun-tahun Sera menunggu kesempatan untuk
"Kamu pernah berpikir ingin mengejar matahari?" tanya Mia suatu pagi, masih mengenakan piyama biru dengan motif polkadot. Gadis remaja yang sedang duduk dilantai itu menyandarkan kepalanya ke sofa, bertanya pada Zoya yang tengah membaca buku sembari merebahkan kepalanya di pangkuan Mia.Zoya mengangkat alis, "Kenapa random sekali?" tanyanya.Mia mengendikkan bahu. "Hanya tiba-tiba kepikiran," katanya. "Jadi, apa kamu pernah memikirkannya juga, mengejar matahari?" tanya Mia lagi.Zoya mendesah, menurunkan bukunya dan meletakkannya di dada. "Aku tidak pernah memikirkan hal yang tidak mungkin kulakukan," jawab Zoya singkat. Yah, dia sudah pusing dengan berbagai tugas dari oma dan opa, mana mungkin punya waktu memikirkan untuk mengejar matahari."Bagaimana kalau aku yang jadi matahari?"Pertanyaan Mia membuat Zoya terkekeh, "Aku tidak akan membiarkanmu menjadi matahari, yang jaraknya 146,9 juta km dari bumi. Jangan berpikir aku akan mengizinkanmu melarikan diri sejauh itu setelah semua ya