"Aku tidak mengerti kenapa dia terus memberi pertanyaan aneh seperti ini. Memang apa bedanya Mia dan Zhea? Mereka orang yang sama!" Kaindra berujar kesal. Pemuda itu berdiri, melepas sarung tangan dan memasukkannya lagi ke saku jaket. "Tapi, tidak ada ancaman lagi." Zoya memberitahu sedikit perbedaan dari surat sebelumnya. Arvin menghela napas. "Apa artinya tidak ada batas waktu? Kita bisa terus mencari keberadaan Mia karena tidak ada ancaman untuk menentukan?" Arvin mengambil surat kaleng yang ditemukan Kaindra, kembali melipatnya perlahan sebelum mengantonginya."Bisa kau hubungi Prazta? Mungkin saja ada informasi baru yang kita lewatkan." Kaindra menatap Arvin, berusaha keras untuk tetap tenang setelah tidak berhasil menemukan Mia."Dia bilang akan langsung menghubungiku kalau ada sinyal terbaru dari Mia. Dia tidak menelepon, berarti Prazta pun belum tahu lokasi terbarunya."Arvin, Zoya dan Kaindra keluar dari bangunan rusak itu beriringan, wajah ketiganya tampak lelah karena se
Di tempat lain, sebuah sedan hitam melewati kelokan tajam sebelum sopir kembali menginjak gas, memaksakan mobil itu segera menjauh dari tempat itu. Di dalamnya, dua wanita berbeda usia sedang duduk berdampingan. Wanita yang rambutnya digelung rapi itu menatap keluar jendela, pada pohon-pohon yang dengan cepat terlewati. "Azalea," panggil Sera pada gadis yang duduk di sisinya. Wanita bersurai panjang yang dipanggil dengan nama Azalea itu menoleh. "Ya, Bu?""Semua yang kuperintahkan padamu, apa sudah disiapkan?" "Sudah, tentu saja. Saya akan bergerak saat Ibu memberi perintah selanjutnya," jawab Azalea patuh.Sera menyeringai kecil, tidak sabar membuat wanita yang beberapa saat lalu tidak berdaya di dalam truk menjadi menderita lebih hebat. Pada akhirnya Miaa akan kembali padanya dan menjadi mainan yang bisa dirusak setiap hari."Bagus," puji Sera singkat, menatap ke luar jendela mobil yang hanya berisi pohon-pohon sejauh mata memandang. Bertahun-tahun Sera menunggu kesempatan untuk
"Kamu pernah berpikir ingin mengejar matahari?" tanya Mia suatu pagi, masih mengenakan piyama biru dengan motif polkadot. Gadis remaja yang sedang duduk dilantai itu menyandarkan kepalanya ke sofa, bertanya pada Zoya yang tengah membaca buku sembari merebahkan kepalanya di pangkuan Mia.Zoya mengangkat alis, "Kenapa random sekali?" tanyanya.Mia mengendikkan bahu. "Hanya tiba-tiba kepikiran," katanya. "Jadi, apa kamu pernah memikirkannya juga, mengejar matahari?" tanya Mia lagi.Zoya mendesah, menurunkan bukunya dan meletakkannya di dada. "Aku tidak pernah memikirkan hal yang tidak mungkin kulakukan," jawab Zoya singkat. Yah, dia sudah pusing dengan berbagai tugas dari oma dan opa, mana mungkin punya waktu memikirkan untuk mengejar matahari."Bagaimana kalau aku yang jadi matahari?"Pertanyaan Mia membuat Zoya terkekeh, "Aku tidak akan membiarkanmu menjadi matahari, yang jaraknya 146,9 juta km dari bumi. Jangan berpikir aku akan mengizinkanmu melarikan diri sejauh itu setelah semua ya
"Ayo pulang!!" seru Kaindra seraya berdiri, bersiap berlari ke arah mobil. Arvin mengusap kasar wajahnya, mengikuti Kaindra berdiri. "Apa maksudmu pulang?" tanyanya gusar."Apa ada info terbaru? Apa yang Prazta katakan?!" Zoya ikut bertanya, sama paniknya dengan Arvin."Hannes bilang mereka menemukan boneka kelici berwarna hitam di kamar tidur Sera!" ujar Kaindra cepat, berusaha agar kata-katanya bisa dimengerti. "Kita dipermainkan, berputar-putar. Entah bagaimana mereka yakin kalau kita akan menemukan lokasi Mia. Tapi, mereka selalu selangkah lebih cepat."Arvin dan Zoya mendengarkan dengan seksama. Pertama, surat yang mereka temukan meminta memilih antara Mia dan Zhea dengan ancaman berbatas waktu. Ketika mereka menemukan lokasi Mia dan mendatangi bangunan bekas pabrik tidak terpakai, sebuah surat yang meminta mereka memilih antara Mia dan Zhea juga kembali ditemukan."Entah bagaimana mereka menggiring kita berpikir untuk menemukan tempat yang disukai Mia dan Zhea. Sulit membawa se
Dua pemuda berpakaian serba hitam dengan masker dan topi menutup wajah itu berjalan menjauh, meninggalkan Mia yang masih meringkuk dalam keadaan diborgol dan mata serta mulut tertutup.Menarik napas panjang, Mia mencoba mempertahankan kesadarannya, menanti entah siapa pun yang mungkin lewat. Dia harus bisa membuat sedikit suara.Dua orang yang berjalan cepat itu sama-sama menunduk, tidak membiarkan wajah mereka terekam kamera pengawas di sekitar. Meski pun sudah mengenakan masker dan topi, berhati-hati dengan segala kemungkinan selalu membuat mereka lolos dari setiap kejahatan yang dilakukan."Ngomong-ngomong, Zayn, aku masih tidak mengerti kenapa Nyonya tidak langsung menghabisi wanita itu. Dia juga tidak ditahan seperti anak-anak lain, ah ... dia bahkan bukan anak-anak."Pemuda yang dipanggil Zayn mengendikkan bahu. "Aku tidak peduli apa pun alasannya. Penting bagi kita untuk menjalankan perintah Nyonya tanpa kesalahan. Bekerjalah seperti biasa, Dei, jangan mempertanyakan apa pun."
"Kamu tahu kupu-kupu Monarch, kan?" Mia yang sedang duduk di atas rumput beralaskan tikar menoleh setelah mendengar pertanyaan yang tiba-tiba dilontar Zoya. "Aku hanya tahu kupu-kupu, tapi tidak tahu jenisnya." Mia kembali menatap hamparan jernih di hadapannya. Danau yang dikelilingi oleh pohon-pohon rindang dan rumput hijau itu tampak menakjubkan."Serangga ini ditemukan pertama kali pada tahun 1871 di Australia dan Selandia baru," ucap Zoya, ikut menatap danau yang terbentang. "Kamu tahu ... kupu-kupu ini mampu terbang bermigrasi sejauh ratusan kilometer," katanya melanjutkan."Terima kasih informasinya yang bermanfaat, Nona Pintar."Zoya terkekeh mendengar sindiran Mia. Senyumnya terbentuk saat menatap wajah putih yang sedikit memerah karena udara dingin. "Maksudku ... kalau kamu nanti menikah dengan Kai, aku akan mengajakmu melihat migrasi kupu-kupu Monarch.""Sepertinya kamu sangat terobsesi untuk menikahiku dengan tuan muda Kai ya, Nona Lova!" sindir Mia lagi, kali ini sambil
Arvin mengerutkan alis, kembali mengingat cerita yang Mia sampaikan pada Zoya. "Kenapa dengan orang itu?" Meski Arvin sudah meminta Kaindra dan Veuster untuk mencari tahu tentang Zhian dan Gabriel, juga Sera dan wanita yang mengaku bernama Azalea Elvina, masih belum ada informasi berarti.Mia menghela napas. "Aku pernah melihat nama itu di sebuah lukisan yang ada di galeri, Hannes bilang itu salah satu lukisan yang Mama beli. Kalau tidak salah ingat, nama yang tertulis di bawah kanan lukisan adalah Zhian. Tapi, lukisannya agak menyeramkan.""Apa maksudmu menyeramkan? Aku tidak ingat pernah melihat lukisan seram di antara koleksi Mama.""Kakak tidak mengerti seni!" ujar Mia terus terang. "Bahkan Hannes bilang kalau lukisan itu sangat gelap dan menyedihkan!"Ugh! Arvin menghela napas pelan, patut diakui kalau ia memang tidak mengerti apa-apa tentang lukisan. "Begini deh, Kak, akan kuberi contoh!" Mia menatap lekat wajah Arvin. "Saat kita pertama bertemu, apa menurut Kak Arvin aku terl
"Aku pulang, Lovania."Zoya langsung menggeleng tegas mendengar ajakan Arvin. Jarinya menunjuk pada layar ponsel yang menampilkan angka kosong sembilan empat lima, belum terlalu malam untuk pulang."Tidak ada penolakan, Lova. Lagipula Kak Arvin juga harus segera pulang dan istirahat," ucap Mia tanpa bisa dibantah, sengaja membantu Arvin agar Zoya mau cepat pulang."Aku akan kembali ke sini setelah mengantar Lovania." Arvin menyela. Kenapa juga dia merasa sedang diusir?"Tidak perlu kembali!" ujar Mia sambil menekan kata 'tidak'. "Kakak harus pulang dan beristirahat. Ada Tuan Muda Kaindra yang menjagaku," katanya saat melihat ekspresi tidak terima Arvin."Jadi, maksudmu aku hanya akan mengganggu kalian berdua?" tanya Arvin, netranya melebar tidak percaya, seolah kenyataan yang baru saja dia katakan adalah sebuah pengkhianatan. "Aku senang kalau kau mengerti, Kakak Ipar!" Kaindra berujar sembari memasang wajah menyebalkan.Arvin mengerutkan kening, tidak terima dengan pengusiran yang a