Arvin langsung memasuki ruangannya setelah sampai di rumah dan meminta Hannes untuk memanggil Elvio, diikuti seorang pemuda yang menjinjing tas laptop. "Jadi, bagaimana situasinya?" tanya Arvin langsung setelah duduk di singgasananya, menatap pemuda yang tampak tenang di hadapannya."Kami memastikan bahwa tulisan Sera yang ditemukan, tidak sama dengan tulisan di surat yang ditemukan dalam sedan tempat Nona Mia berada. Persentase mencapai delapan puluh persen, jadi kami memutuskan bahwa mereka adalah orang yang berbeda. Kesimpulannya adalah Sera menyewa orang dan hanya memerintah tanpa ikut menulis surat-surat itu."Arvin menghela napas. Pria itu mengetuk meja, suara ketukannya pelan dan teratur, membuat leher pemuda yang berdiri dengan tubuh tegap di hadapannya meremang. Suasana hati Arvin sedang sangat tidak baik."Kalian tidak menemukan sidik jari sama sekali?"Gelengan pemuda di hadapannya membuat Arvin hampir mengumpat. Bagaimana ada orang yang amat sangat teliti seperti itu? Sed
"Tante Mia, selamat datang!" "Tante Mia! Ada Ayyen, lho!" Mia disambut oleh seruan riang Elvio dan Freya ketika memasuki rumah. Melihat gelagat Elvio yang menatapnya dengan penuh kelegaan membuat Mia yakin jika anak itu benar-benar mengetahui apa yang telah terjadi.Berbeda dengan Freya yang terlihat sangat senang dan bersemangat, kini menarik tangan Mia agar segera mengikutinya.Meski sedikit meringis karena Freya menekan luka di pergelangan tangannya, Mia tetap melangkah mengikuti kaki kecil Freya yang terlihat tidak sabar."Pelan-pelan, Frey! Tante Mia baru pulang, lho!" peringat Elvio pelan, mengusak surai kelam sepupunya yang langsung mendongak, menatap pada wajah Mia yang memang masih sedikit pucat."Tante Mia cakit?"Pertanyaan polos yang dilontar Freya dengan pandangan imut membuat Mia tersenyum gemas. "Sehat, kok. Ayo, Tante juga mau ketemu dengan Allen."Mia memberi isyarat pada Elvio untuk tidak mengatakan apa-apa lagi. Dia merindukan senyum, binar dan celoteh Freya, jad
Seruan itu membuat Zoya dan Mia menoleh, Arvin datang dengan senyum lebar. "Halo, Cantik! Bagaimana kabarmu? Pasti sulit karena harus berpisah dengan Grace beberapa hari kemarin." Arvin berjongkok, mengusak lembut surai Allen yang dengan cepat menggeleng. Senyum Allen melebar setelah Arvin membalas kata-katanya menggunakan bahasa isyarat juga.Diam-diam, Zoya menyikut Mia yang juga sedang mengerjap di tempat, jelas tampak iri dengan kepiawaian kakaknya dalam menggunakan bahasa isyarat."Kamu tidak bilang kalau kakakmu sangat pintar," bisik Zoya setelah mengalihkan atensi Mia padanya."Bagaimana aku bisa bilang kalau aku juga tidak tau?" Mia balas berbisik, sedikit memaklumi pertanyaan bodoh Zoya. Memang, kadang-kadang melihat seseorang yang kau cintai bisa melakukan sesuatu yang jarang bisa dilakukan orang lain membuatmu jadi bodoh karena terpesona. Mia sungguh memaklumi hal itu."Kamu baru saja berpikir kalau aku bodoh, kan?" "Mana mungkin, Nona Lova!" Mia terkikik pelan saat Zoya
"Lho, kalian mau ke mana?" Zoya bertanya saat melihat penampilan Arvin dan Mia sudah sangat rapi. Mia yang tampak manis dengan sweater abu-abu dan celana jin hitam menyenggol lengan Arvin di sisinya."Mau jalan-jalan sore, Love. Mia bilang butuh udara segar setelah keluar rumah sakit," jawab Arvin sembari merapikan rambutnya yang terlihat agak basah. Lelaki itu juga mengenakan pakaian santai, tampak serasi dengan yang digunakan Mia. "Kamu mau ikut? Pasti lebih seru kalau kamu juga bergabung.""Ah, maaf, aku khawatir El akan mencariku saat bangun. Tapi, sebentar lagi waktunya makan malam, lho," ucap Zoya mengingatkan, pasalnya waktu sudah menunjukkan pukul lima. Dia tidak yakin dua orang itu akan ingat pulang setelah main ke luar."Ingat, kok, Lova! Aku sebenarnya kasihan dengan Kak Arvin, setiap hari sibuk sampai tidak sempat main. Kami hanya akan jalan-jalan sebentar, mungkin pergi ke restaurant atau kafe terdekat, melihat taman dan mencari udara segar. Boleh, ya?" Mia memasang seny
Mia tahu kalau kakaknya sedang stress akhir-akhir ini. Pekerjaannya menumpuk setiap hari, permasalahan dengan Axton, Throxx dan Sera yang belum bisa diselesaikan, rasa bersalah terhadap Mia serta kondisi mental Elvio yang tidak baik-baik saja. Benar, Mia memahami bahwa Arvin sedang butuh udara segar demi menghilangkan stress. Tapi, bagaimana wanita itu bisa tidak menyadari kalau kakaknya ternyata benar-benar sedang gila?!"Aku akan mengutukmu tujuh turunan kalau hari ini aku jatuh dan mati," ancam Mia terus terang.Arvin yang sudah selesai dengan persiapannya, tertawa cukup keras. "Kamu akan menyukainya setelah ini, Mia. Aku biasa berolahraga di sini kalau sedang suntuk," ucapnya meyakinkan.Mau tidak mau Mia menatap ke bawah, pada tanah yang terlihat sangat jauh. Sial! Padahal dia tidak memiliki fobia terhadap ketinggian, tapi kondisi yang sedang dia hadapi sekarang membuat tubuhnya gemetar.Bersepeda yang dimaksud Arvin adalah menyebrang dari gedung tempat mereka berada menuju gedu
Arvin yang awalnya ingin meminta agar mereka mencarikan gaun yang lebih bagus dan sesuai selera Mia, menggertakkan gigi saat menyadari bahwa dua karyawan di hadapannya tidak melayani dengan benar. Bagaimana mereka berani berbohong? Arvin memang tidak tahu tentang gaun atau koleksi busana dari butik mana pun. Lelaki itu biasa terima jadi. Bukan urusannya untuk memperhatikan apakah pakaian itu desain baru atau koleksi lama, tapi pasti penting untuk wanita seperti Zoya dan Mia."Tuan Kalandra?" Mia ikut menoleh saat mendengar panggilan yang terdengar ragu. Wah! Mia berdecak melihat siapa yang baru saja ke luar dari sebuah pintu yang pasti menghubungkan dengan bagian dalam butik sesungguhnya. "Oh, kebetulan kau di sini, Red!"Seorang wanita yang baru saja memanggil Arvin, berjalan mendekat. Mia hanya bisa tersenyum kikuk dan membungkuk sedikit. Mia menaikkan sebelah alis saat wanita yang dipanggil Red langsung kembali menatap Arvin, matanya tidak bisa berbohong kalau dia penasaran.Ten
Haah! Pekerjaannya menumpuk, tapi Arvin terus menghela napas. Percakapannya dengan Hannes kemarin tidak menghasilkan apa-apa. Pria tua itu tidak tahu sama sekali di mana tepatnya lukisan dengan nama 'Zhian' itu dibeli oleh nyonya Kalandra sebelumnya."Aku mungkin harus memeriksa catatan puluhan tahun lalu." Arvin baru akan melanjutkan pekerjaan setelah menegakkan tubuh saat netra gelapnya melihat sesuatu menyembul dari dalam berkas di meja.Mengerutkan kening, Arvin menemukan kertas kecil berwarna kuning cerah di dalam berkas berisi laporan yang harusnya sudah dia berikan pada Allea."M?" Arvin menatap bingung pada satu huruf yang tertulis di kertas itu. Sejak kapan ada catatan kecil yang bertuliskan huruf M terselip di dalam laporan yang sudah Arvin selesaikan semalam?Arvin baru akan membuang kertas itu ketika menyadari bahwa ada tulisan lain di baliknya. Pria itu mengerutkan kening, membaca berulang sebuah kata yang ditulis kecil di bawah kanan. Jas. Satu kata yang Arvin temukan
"Pak Presdir?"Arvin tersenyum pada sapaan yang tidak terdengar tulus itu saat tiba di lantai delapan, tempat di mana divisi personalia berada. Well, tentu saja semua orang melirik ke arahnya. "Selamat datang di Divisi Personalia, Pak. Apa Pak Presdir membutuhkan sesuatu?" Pemuda berkacamata yang menyambut Arvin di depan lift bertanya."Tidak, aku hanya ingin mengambil sesuatu di sini." Pemuda itu mengangguk, sedikit gugup saat Arvin menatap sekeliling. "Kalau begitu saya permisi dulu, Pak, mau ke lantai lima," ucapnya sembari membungkuk sopan dan memasuki lift.Arvin menghela napas, matanya tampak awas memperhatikan sekitar. Para karyawan di sini mungkin berpikir Arvin sedang melakukan inspeksi dadakan seperti kebiasaannya dulu.Pria bersurai gelap itu tersenyum dan menyapa para pekerja yang tampak sibuk di depan komputer masing-masing, beberapa orang berdiri dan membungkuk sopan, yang lainnya memasang wajah suram. Arvin tahu kehadirannya hanya mengganggu pekerjaan mereka yang sema