"Lho, kalian mau ke mana?" Zoya bertanya saat melihat penampilan Arvin dan Mia sudah sangat rapi. Mia yang tampak manis dengan sweater abu-abu dan celana jin hitam menyenggol lengan Arvin di sisinya."Mau jalan-jalan sore, Love. Mia bilang butuh udara segar setelah keluar rumah sakit," jawab Arvin sembari merapikan rambutnya yang terlihat agak basah. Lelaki itu juga mengenakan pakaian santai, tampak serasi dengan yang digunakan Mia. "Kamu mau ikut? Pasti lebih seru kalau kamu juga bergabung.""Ah, maaf, aku khawatir El akan mencariku saat bangun. Tapi, sebentar lagi waktunya makan malam, lho," ucap Zoya mengingatkan, pasalnya waktu sudah menunjukkan pukul lima. Dia tidak yakin dua orang itu akan ingat pulang setelah main ke luar."Ingat, kok, Lova! Aku sebenarnya kasihan dengan Kak Arvin, setiap hari sibuk sampai tidak sempat main. Kami hanya akan jalan-jalan sebentar, mungkin pergi ke restaurant atau kafe terdekat, melihat taman dan mencari udara segar. Boleh, ya?" Mia memasang seny
Mia tahu kalau kakaknya sedang stress akhir-akhir ini. Pekerjaannya menumpuk setiap hari, permasalahan dengan Axton, Throxx dan Sera yang belum bisa diselesaikan, rasa bersalah terhadap Mia serta kondisi mental Elvio yang tidak baik-baik saja. Benar, Mia memahami bahwa Arvin sedang butuh udara segar demi menghilangkan stress. Tapi, bagaimana wanita itu bisa tidak menyadari kalau kakaknya ternyata benar-benar sedang gila?!"Aku akan mengutukmu tujuh turunan kalau hari ini aku jatuh dan mati," ancam Mia terus terang.Arvin yang sudah selesai dengan persiapannya, tertawa cukup keras. "Kamu akan menyukainya setelah ini, Mia. Aku biasa berolahraga di sini kalau sedang suntuk," ucapnya meyakinkan.Mau tidak mau Mia menatap ke bawah, pada tanah yang terlihat sangat jauh. Sial! Padahal dia tidak memiliki fobia terhadap ketinggian, tapi kondisi yang sedang dia hadapi sekarang membuat tubuhnya gemetar.Bersepeda yang dimaksud Arvin adalah menyebrang dari gedung tempat mereka berada menuju gedu
Arvin yang awalnya ingin meminta agar mereka mencarikan gaun yang lebih bagus dan sesuai selera Mia, menggertakkan gigi saat menyadari bahwa dua karyawan di hadapannya tidak melayani dengan benar. Bagaimana mereka berani berbohong? Arvin memang tidak tahu tentang gaun atau koleksi busana dari butik mana pun. Lelaki itu biasa terima jadi. Bukan urusannya untuk memperhatikan apakah pakaian itu desain baru atau koleksi lama, tapi pasti penting untuk wanita seperti Zoya dan Mia."Tuan Kalandra?" Mia ikut menoleh saat mendengar panggilan yang terdengar ragu. Wah! Mia berdecak melihat siapa yang baru saja ke luar dari sebuah pintu yang pasti menghubungkan dengan bagian dalam butik sesungguhnya. "Oh, kebetulan kau di sini, Red!"Seorang wanita yang baru saja memanggil Arvin, berjalan mendekat. Mia hanya bisa tersenyum kikuk dan membungkuk sedikit. Mia menaikkan sebelah alis saat wanita yang dipanggil Red langsung kembali menatap Arvin, matanya tidak bisa berbohong kalau dia penasaran.Ten
Haah! Pekerjaannya menumpuk, tapi Arvin terus menghela napas. Percakapannya dengan Hannes kemarin tidak menghasilkan apa-apa. Pria tua itu tidak tahu sama sekali di mana tepatnya lukisan dengan nama 'Zhian' itu dibeli oleh nyonya Kalandra sebelumnya."Aku mungkin harus memeriksa catatan puluhan tahun lalu." Arvin baru akan melanjutkan pekerjaan setelah menegakkan tubuh saat netra gelapnya melihat sesuatu menyembul dari dalam berkas di meja.Mengerutkan kening, Arvin menemukan kertas kecil berwarna kuning cerah di dalam berkas berisi laporan yang harusnya sudah dia berikan pada Allea."M?" Arvin menatap bingung pada satu huruf yang tertulis di kertas itu. Sejak kapan ada catatan kecil yang bertuliskan huruf M terselip di dalam laporan yang sudah Arvin selesaikan semalam?Arvin baru akan membuang kertas itu ketika menyadari bahwa ada tulisan lain di baliknya. Pria itu mengerutkan kening, membaca berulang sebuah kata yang ditulis kecil di bawah kanan. Jas. Satu kata yang Arvin temukan
"Pak Presdir?"Arvin tersenyum pada sapaan yang tidak terdengar tulus itu saat tiba di lantai delapan, tempat di mana divisi personalia berada. Well, tentu saja semua orang melirik ke arahnya. "Selamat datang di Divisi Personalia, Pak. Apa Pak Presdir membutuhkan sesuatu?" Pemuda berkacamata yang menyambut Arvin di depan lift bertanya."Tidak, aku hanya ingin mengambil sesuatu di sini." Pemuda itu mengangguk, sedikit gugup saat Arvin menatap sekeliling. "Kalau begitu saya permisi dulu, Pak, mau ke lantai lima," ucapnya sembari membungkuk sopan dan memasuki lift.Arvin menghela napas, matanya tampak awas memperhatikan sekitar. Para karyawan di sini mungkin berpikir Arvin sedang melakukan inspeksi dadakan seperti kebiasaannya dulu.Pria bersurai gelap itu tersenyum dan menyapa para pekerja yang tampak sibuk di depan komputer masing-masing, beberapa orang berdiri dan membungkuk sopan, yang lainnya memasang wajah suram. Arvin tahu kehadirannya hanya mengganggu pekerjaan mereka yang sema
"Kenapa?" Zoya bertanya setelah Arvin yang sejak pulang dari kantor terus menempel dan menidurkan kepala di pangkuannya, menghela napas berkali-kali."Tidak apa-apa. Sepertinya aku bekerja terlalu keras. Rasanya melelahkan," aku Arvin, wajahnya sedikit murung.Sulit menghadapi hal yang cukup menakutkan sendirian, tapi Arvin tidak mau melibatkan istrinya dan membuat wanita itu khawatir. Tidak hanya dibuat kejar-kejaran mencari keberadaan Mia, sekarang Arvin bahkan menerima pesan untuk menemukan seseorang.Yang merepotkan adalah Arvin tidak tahu harus mulai dari mana! Ia sudah melihat kamera pengawas di ruangan Prazta, juga pada lantai delapan, atap serta lobi gedung. Arvin juga memeriksa tempat parkir. Tidak ada satu pun yang terlihat mencurigakan.Satu-satunya masalah yang pria itu temukan adalah ada kesalahan teknis yang terjadi kemarin sehingga seluruh kamera pengawas di lantai tempat ruangan Presdir berada, tidak berfungsi selama sekitar sepuluh menit.Arvin sudah mengirim file ber
"Jadi, tidak akan diizinkan, ya?" Pertanyaan Mia membuat Zoya yang sedang menyusun buku-buku milik Elvio di rak menghela napas. Semalam ia dan Arvin sudah bicara, ada baiknya untuk menemui psikolog dan memeriksa kondisi Elvio dulu sebelum mengizinkannya pergi ke tempat seperti taman bermain."Untuk saat ini tidak dulu, nanti setelah aku merasa lebih percaya diri, kita pasti akan pergi main bersama-sama." Zoya menghentikan kegiatannya, menghampiri Mia yang sedang duduk di sofa."Maaf ya, Lova, aku tidak bermaksud mengingatkan kamu tentang kejadian itu. Tapi, ayo kita main lagi setelah kamu dan El lebih baik!" Zoya tersenyum dan mengusak gemas surai kelam Mia. "Jadi, apa Kai sudah menghubungimu?" "Oh ya, Lova, kudengar Kak Arvin akan merekrut sekretaris baru? Kapan?" "Akan dilaksanakan akhir bulan ini katanya." Zoya berkata pelan, tidak menyangka bahwa Mia akan mengalihkan pembicaraan dengan cara yang sangat kentara.Wanita bersurai gelap di hadapan Zoya mengangguk, mulutnya kini dip
"Ngomong-ngomong, Nona Lova, waktu itu kita jauh-jauh membeli kue strawberi di sini karena Anda benar-benar suka, kan? Bukan karena letaknya tidak jauh dari perusahaan Tuan Kalandra?" Pertanyaan Mia tepat setelah mereka duduk membuat Zoya yang mendengarkan sambil membantu Elvio duduk dengan benar, sedikit tersipu. "Tentu saja karena rasanya yang enak!" Zoya menatap Mia yang sedang memberikan tatapan 'apa kau yakin' dengan wajah menyebalkan. "Aku serius! Kamu tidak lupa kita ke sini bahkan sebelum aku mengenal Arvin, kan?"Mia mengendikkan bahu. "Tentu saja aku ingat, Lova. Waktu itu kamu bilang tempat ini terlalu norak karena semuanya berwarna pink. Merah muda itu beban, katamu. Aku juga ingat tuan muda Kaindra tidak terima dengan kata-katamu dan kalian bertengkar."Ugh! Terkadang ingatan Mia terlalu tajam untuk hal-hal yang tidak seharusnya diingat. Zoya berdecak malas. "Makan saja kuemu, Mia!" Zoya menunjuk pada nampan di atas meja. "Kenapa merah muda itu beban?" Elvio yang mend