Pertanyaan Freya membuat atensi semua orang teralih, termasuk Mia dan Elvio yang baru menyadari jika perut wanita bernama Allea itu memang besar.Allea tersenyum lembut pada pertanyaan yang diajukan. "Karena aku sedang hamil. Ada adik bayi di perutku, jadi terlihat besar begini." Freya mengerjap. "Hamil? Oh, wow ... ada adik nanti, ya?" Allea terkekeh pelan, kepalanya mengangguk ringan. "Eh, bagaimana kalau kalian lanjutkan makan kuenya? Tidak perlu terburu-buru, aku yakin Tuan Arvin akan membawa Nyonya Zoya ke tempat lain."Perkataan Allea memang benar, sudah terlambat jika ingin mengejar Arvin dan Zoya. Lagipula, baik pengawal mau pun sopir pasti masih menunggu di luar karena mereka tidak mungkin mengikuti Zoya dan Arvin."Sepertinya memang lebih baik begitu. Nah, anak-anak, kembalilah duduk dan habiskan kue kalian dengan benar." Mia kembali ke tempatnya semula, segera membantu Freya dan Elvio untuk duduk juga."Apa aku boleh bergabung bersama kalian? Jadwal istirahatku masih ters
"Kenapa ke sini?" tanya Zoya saat mobil Arvin memasuki sebuah bangunan sangat megah yang merupakan lingkungan apartement termahal di seluruh Indonesia."Ayo turun, kita bicara di tempat yang lebih privasi." Arvin membukakan pintu mobil setelah memarkirkannya di basement, menyambut tangan wanita yang masih terlihat bingung. "Aku menerima tempat ini sebagai hadiah atas peresmian posisiku sebagai pewaris," jelasnya singkat.Zoya hanya mengikuti dalam diam. Ketika Arvin ditetapkan sebagai ahli waris Kalan's Company adalah saat mereka bertemu pertama kali, ketika Zoya langsung melamar Arvin detik itu juga. Wanita itu mengerjap saat menyadari bahwa Arvin mungkin lebih sering tinggal di tempat lain hanya untuk menghindarinya selama pernikahan mereka, padahal jelas kalau kediaman utama Kalandra adalah rumahnya, tapi Arvin bersikap seolah dia yang sedang menumpang di sana hanya untuk membuat Zoya nyaman. Padahal, tindakan itu justru yang membuat Zoya tidak nyaman.Wanita bersurai panjang yang
Zoya mengerjap pelan, menampilkan netra gelap jernih yang terlihat masih sangat berat. Wanita itu mengernyit pada dering ponsel yang mengganggu jam tidurnya sejak beberapa saat lalu.Masih dalam keadaan setengah sadar, Zoya bangkit dan duduk, mencari benda pipih yang meraung di suatu tempat. Perlahan ketika kesadarannya pulih dengan utuh, wanita itu terpekur melihat keadaan di sekitarnya.Gaun hijau lumut yang dikenakannya saat berangkat ke kafe tadi, teronggok di lantai. Pakaian dalam merk ternama yang baru dibeli wanita itu beberapa hari lalu juga terlihat menyedihkan tidak jauh dari pakaiannya.Zoya menutup wajah saat melihat pakaian yang dikenakan Arvin sebelumnya juga tampak kusut di lantai. Melirik pada pemuda yang masih tidur pulas tanpa terganggu dengan dering ponselnya sendiri, Zoya tidak bisa menahan senyum.Mendekatkan diri pada tubuh polos Arvin yang hanya ditutup selimut, Zoya mengecup singkat pipi lelaki itu. Melihat tidak ada respon, senyum di bibir merah muda yang sedi
Zoya tersenyum lebar melihat wajah merengut sosok yang berdiri sambil menenteng beberapa paper bag di tangan."Silahkan masuk dulu, Tuan Putri." Mia menghela napas mendengar nada sok manis Zoya, melangkah memasuki kediaman yang baru pertama kali ia kunjungi, meski letak penthouse ini bersebelahan dengan gedung di mana penthouse miliknya berada. Wanita itu langsung berjalan menuju ruang tengah setelah menyerahkan barang bawaannya pada Zoya."Wah, aku bahkan dibawakan makanan!" seru Zoya antusias, meletakkan paper bag berisi pakaian yang dia minta dan membawa sisanya menuju dapur."Kebetulan sekali aku juga lapar. Terima kasih, Adikku tersayang!" Arvin yang memang sedang berada di dapur berseru cukup keras, tertawa saat mendengar Mia membuat suara seolah sedang muntah."Aku ganti baju dulu," ucap Zoya setelah meletakkan paper bag berisi makanan itu ke konter dapur. Ia memang hanya mengenakan baju mandi saat membuka pintu. Meski begitu, rambutnya sudah kering sejak ia dan Arvin mengobr
Setelah telepon dengan Grace dimatikan, Arvin bergegas memeriksa panggilan tak terjawab lain. Seperti yang Zoya katakan, ada banyak panggilan tak terjawab dari Prazta. Pria itu langsung menghubungi wakilnya dan menarik napas pelan setelah panggilannya dijawab pada dering pertama."Katakan, ada masalah apa?" "Zoya tidak memberitahumu?" Arvin berdecak. Tentu saja Zoya tidak mengatakan apa pun, tapi melihat bagaimaa wanita itu mengetahui tentang surat kaleng, maka informasi yang dikatakan dengan ceroboh oleh Prazta pastilah seputar surat itu juga."Dia hanya meminta penjelasan tentang surat kaleng. Apa ada informasi terbaru?" "Sebenarnya ini sudah di luar jam kerja, apa aku bisa menghitungnya sebagai lembur?" "Kenapa kau bertingkah seperti kekurangan uang, sialan!" Prazta terkekeh di seberang, jelas sekali pria itu menikmati kejengkelan Arvin. Sejak memutuskan untuk menjadi wakil Arvin di perusahaan, mereka berusaha memisahkan urusan pekerjaan dan pribadi, lalu Prazta adalah karyawa
Zoya, Arvin dan Mia segera kembali ke kediaman Kalandra untuk melihat lukisan yang Grace katakan. Ketiganya langsung menuju lantai lima setelah Grace menyambut dan mengarahkan ke sana.Ini pertama kali Zoya pergi ke lantai lima kediaman Kalandra, karena tempat itu terlarang, hanya Arvin dan orang-orang yang diizinkan pria itu yang boleh memasukinya.Di ujung tangga menuju lantai lima, ada sebuah pintu menjulang. Lalu, ketika pintu itu terbuka dan Zoya resmi memasuki lantai itu untuk pertama kalinya, wanita itu tidak bisa menahan keterkejutannya. Seluruh lantai dibentuk seperti perpustakaam, dengan lemari dan rak tinggi, semuanya berbaris dengan rapi. Tapi, Zoya tidak melihat buku seperti perpustakaan pada umumnya. Melihat angka-angka yang tertera padak rak-rak tinggi itu, maka Zoya bisa menyimpulkan jika lantai lima kediaman ini menyimpan berkas-berkas penting, mungkin termasuk sejarah, pengeluaran, pemasukan, jumlah penghuni dan siapa saja yang keluar-masuk kediaman Kalandra setiap
Meski wajah serta seluruh tubuh yang terlihat dalam lukisan itu hanya setengah saja, semuanya menyadari bahwa itu adalah Mia. Setidaknya bagi Hannes, Grace dan Arvin yang mengetahui dengan benar wajah Mia saat kecil, meski hanya setengah, seolah lukisan itu tidak lengkap, semuanya memikirkan hal yang sama.Zoya hanya pernah beberapa kali melihat album foto saat Mia kecil, tapi ia juga bisa mengenali wajah dalam lukisan karena Zoya juga sudah mengenal Mia sejak gadis itu memasuki panti asuhan."Ugh ... kenapa aku?" Mia bergidik, matanya memperhatikan setiap detail hingga menemukan sebuah tulisan di bagian bawa kiri lukisan."Zayn? Bukan Zhian?" Gumaman Mia membuat semua orang ikut memperhatikan apa yang sedang gadis itu lihat. Zoya menelan ludah melihat kata Zayn yang tertulis menggunakan cat merah dan dibuat seperti tetesan darah. "Zayn?" Grace mengernyit, setitik ingatan memenuhi kepalanya. "Ayah, bukankah Zayn itu ... putranya Sera?" tanyanya pelan.Hannes memijit kening. "Ya ...
"Saya akan segera mengambilkannya, Nyonya." Hannes menjawab pertanyaan Zoya sembari bergegas pergi. Galleri milik nyonya Kalandra sebelumnya berada di lantai empat, dalam sebuah ruangan khusus yang dulu juga dijadikan sebagai tempat saat wanita itu ingin melukis.Kepergian Hannes menciptakan keheningan yang pekat. Zoya masih memperhatikan lukisan, entah kenapa ingatan tentang Mia yang dulu ditemukan dalam kondisi babak belur di depan panti asuhan kembali memenuhi kepalanya. Saat itu ia hanya berpikir kalau orang tua Mia yang telah melakukan itu sebelum membuangnya.Tapi, setelah sedikit kebenaran terungkap, mau tidak mau Zoya memikirkan sosok yang sudah membantu Mia melarikan diri dari Sera. Melihat bagaimana Sera mau pun orang-orangnya tidak berhasil menemukan Mia hingga wanita itu kembali ke kediaman Kalandra, itu artinya lokasi panti asuhan tempat Mia dibuang cukup jauh dari tempat penyekapannya dan tidak ada yang bisa menebak kalau Mia di sana.Apalagi beberapa tahun kemudian oran
Gelap. Arvin menyadari jika matanya ditutup oleh sesuatu ketika ia tidak bisa membuka kedua matanya meski kesadarannya perlahan pulih. Pria itu menggeliat pelan, hanya untuk menyadari bahwa tubuhnya terikat. Meski tidak tahu pasti posisinya, Arvin yakin saat ini ia diikat pada sebuah kursi, tangan dan kakinya tidak bisa bergerak. “Sepertinya kau mulai sadar.”Suara itu membuat Arvin menegakkan tubuh siaga. Meski baru sekali mendengar suaranya, tapi Arvin yakin itu milik pria yang sama dengan yang menodongkan pistol pada Arvin, seseorang yang dipanggil Zayn. Sial, apa Arvin terjebak di sarang musuh?!‘Bagaimana bisa aku masih diculik di usia segini?’ Arvin membatin jengkel, menyalahkan dirinya yang masih lemah dan tidak ada bedanya dengan masa kecilnya dulu. Hanya saja, dulu tidak ada yang Arvin pedulikan, karena ia percaya anak buah kakeknya akan segera datang menyelamatkan.Tapi, situasinya berbeda saat ini! Arvin memiliki orang-orang yang ingin ia lindungi. Kalau ia terjebak di tem
"Kalian sengaja melakukan ini, kan? Katakan padaku, sejak kapan kalian merencanakan pengkhianatan seperti ini?" Kaindra menatap galak pada wanita yang tengah duduk dengan tenang. "Kamu bahkan tidak punya rasa bersalah, Lova! Bagaimana kamu tega melakukan ini pada adikmu?" Kaindra kembali mengejar dengan pertanyaan, kaki yang sebelumnya sempat terhenti hanya untuk menatap penuh permusuhan pada Zoya, kembali melangkah gusar mengelilingi ruangan."Jangan mengerutkan keningmu," ucap salah satu wanita di hadapan Zoya.Hari ini adalah hari pernikahan Zoya dan Arvin dilaksanakan, jaraknya hanya satu minggu dari pernikahan Kaindra dan Mia.Zoya yang sejak seminggu terakhir terus mendengar omelan Kaindra tentang pengkhianatan hanya bisa menghela napas dan mengabaikan tingkah kekanakkan saudara kembarnya.Hari ini adalah hari di mana Zoya akan menikah dengan seseorang yang dicintai dan mencintainya. Dalam pernikahannya kali ini, Zoya tidak sendirian. Meski tidak dimulai dengan mengucap janji su
"Dia memang sudah agak besar, tapi-- kenapa senyummu terlihat mencurigakan, Tuan Kalandra? Jangan bilang kamu belum pamit pada El?!" Zoya mengerutkan kening sejak pemuda di sisinya tampak tersenyum kikuk."Aku tidak melakukan kesalahan sama sekali," ucap Arvin membela diri, tapi jawabannya justru membuat kening Zoya semakin berkerut dalam. "Ma-maksudku ... yah, aku lupa. Tapi, bisakah sekarang kamu fokus saja ke depan?" pintanya seraya mengusap punggung wanitanya.Zoya memilih mengikuti apa yang diminta Arvin, menelan kembali kata-katanya untuk mendebat pemuda itu."Wah!" Zoya tidak bisa menahan rasa kagum melihat pemandangan di hadapannya. Lampu-lampu yang berasal dari seluruh kota di bawah sana, dipadukan dengan gemerlap bintang di langit serta keheningan di sekitarnya membuat Zoya tersenyum cerah.Dia tidak tahu apa yang Arvin persiapkan, tapi sudah bisa menebak beberapa hal. Bukankah adegan seperti ini sudah sangat biasa di akhir sebuah novel? Zoya mengulum bibir, menahan senyum h
Arvin terkekeh saat Zoya memukul bahunya. Arvin meletakkan bunga di atas meja sebelum meraih Zoya ke dalam pelukan."Bisa ditahan dulu tidak menangisnya? Kita pindah ke tempat di mana tidak ada orang lain, setelah itu kamu boleh menangis lagi." Arvin berucap lembut, tangannya mengusap punggung istrinya dengan perlahan. Arvin berhasil membawa Zoya menjauh dari tempat pesta setelah wanita itu lebih tenang. Meski sempat dipelototi Kaindra dan Narendra, pemuda itu akhirnya bisa membawa wanitanya ke tempat lebih privat."Kita mau ke mana?" Zoya bertanya ketika Arvin terus menuntunnya keluar dari gedung. Pestanya belum selesai dan Zoya belum sempat berpamitan pada ibunya atau Elvio."Ke tempat di mana kita bisa bicara berdua tanpa gangguan," ucap Arvin sembari membukakan pintu mobil, senyumnya tidak pernah lepas.Zoya memasuki mobil tanpa bertanya lagi. Mereka mungkin memang perlu bicara berdua di tempat yang tenang. Sepanjang perjalanan, Zoya hanya diam, menahan diri untuk membicarakan b
"Apa kau keberatan kalau aku duduk di sini?"Zoya menoleh saat seseorang mendekat, pria yang menjadi topik hangat karena menjadi best man hari ini tampak tersenyum, bertanya dengan suara lembut pada Zoya. "Ah ya, silakan, tidak apa-apa." Zoya menggeser sedikit kursinya, memberi jarak pada kursi kosong di sampingnya. "Terima kasih. Ngomong-ngomong, bagaimana kabarmu?"Hm? Zoya sedikit mengernyit saat pria di sisinya, aktor yang mendapat julukan sebagai pria tertampan di dunia, bertanya santai seolah mereka sudah saling mengenal cukup lama."Aku ... baik," ucap Zoya tidak yakin. "Anda sendiri ... Tuan Ragava, bagaimana bisa mengenal Kaindra?" Pria yang dipanggil Ragava menaikkan satu alis sebelum bibirnya naik, tawanya terdengar renyah dan sedikit menggelitik di telinga Zoya. Untuk sesaat wanita itu terpesona, sedikitnya mengerti alasan pria di sampingnya disebut sebagai yang tertampan dan terseksi. "Yah, hanya kebetulan bertemu saat kami sedang di luar negeri. Tapi, kau benar-benar
"Memangnya saat kamu dan Tuan Arvin menikah, kalian tidak melempar bunga?" Grace bertanya dengan kening berkerut, setahunya pernikahan di mana-mana sama. Sayang sekali ia tidak bisa datang ke resepsi pernikahan Zoya dan Arvin karena harus menyiapkan banyak hal di kediaman utama Kalandra untuk menyambut nyonya baru.Zoya memiringkan kepala saat mengingat kembali hari pernikahannya. "Kami juga melakukannya, tapi aku tidak ingat siapa yang dapat bunga itu. Yah, waktu itu pikiranku sedikit kacau."Pernikahan pertama Zoya tidak dihadiri oleh orang tuanya, Kaindra juga tidak ada. Saat itu Zoya juga tidak punya seseorang yang bisa disebut teman selain Mia.Grace meletakkan karangan bunga lili ke atas meja kaca di sampingnya. "Maaf, seharusnya saat itu aku berusaha lebih keras untuk lebih dekat denganmu."Zoya tersenyum saat Grace menggenggam tangannya. Perasaan tulus sosok di sampingnya membuat Zoya merasa cukup. "Tidak apa-apa, semuanya sudah jadi masa lalu. Jangan memasang wajah seperti it
Zoya menyambut paginya dengan ketukan keras di pintu kamar. Masih subuh, tapi orang-orang di sekitarnya sudah sangat sibuk. Wanita itu duduk melamun di atas ranjang, membiarkan pelayan mondar-mandir di sekitar kamarnya.Ini adalah hari yang penting. Hari pernikahan Kaindra dan Mia digelar. Padahal yang menjadi pengantin hari ini bukan Zoya, tapi pelayan malah sangat sibuk mempersiapkan banyak hal untuknya. Ini bukan pertama kali Zoya menerima perlakuan seperti Tuan Putri. Saat masih di kediaman utama Aldara, setiap kali ada pesta perusahaan yang akan dilaksanakan, Zoya tidak pernah berdandan sendiri. Setiap kali dandanannya tidak sesuai selera sang Oma, wanita itu akan memarahi para pelayan karena tidak memperhatikan dengan benar saat merawat Zoya.Kalau sudah seperti itu, Zoya akan kembali ke depan cermin dan membiarkan pelayan memperbaiki riasannya. Padahal saat itu ia bahkan masih remaja yang harusnya tidak menggunakan make up terlalu tebal.Menghela napas, Zoya beranjak dari ranj
"Sudah tidur, ya?" Kaindra bertanya pelan sembari menatap pada Freya yang tengah terlelap, tampak beberapa bulir keringat di wajahnya. Mia yang baru selesai meletakkan guling dan bantal di sekitar Freya sedikit terkejut ketika Kaindra tiba-tiba sudah berdiri tepat di belakangnya. Wanita itu memberi isyarat agar Kaindra tidak berisik dengan meletakkan jari telunjuknya di bibir. Freya baru tertidur setelah meminum obat penurun panas.Kaindra mengecup kilat jari telunjuk Mia yang masih berada di bibir, tersenyum jahil melihat kening berkerut wanita di hadapannya sebelum kembali melayangkan kecupan lain di pipi wanitanya.Mia segera menarik Kaindra keluar dari kamar. Sepasang manusia itu berpapasan dengan Zoya yang juga ingin memeriksa kondisi Freya."Wah, si tidak tahu malu ini benar-benar menyusul ke sini!" Zoya mencubit lengan saudara kembarnya. "Bagaimana kondisi Freya?" tanyanya pada Mia setelah mengabaikan ringisan Kaindra."Dia tidur setelah minum obat, aku juga sudah memasang ple
"Selamat siang, Putri Tidur!" Sapaan itu membuat Zoya yang baru sampai di ruang keluarga sambil menguap, menggaruk kepalanya seraya tertawa canggung. Ia ingin menyalahkan Arvin yang mengajaknya begadang hingga membuatnya kesiangan, tapi pria itu bahkan sudah tidak ada di sisinya saat Zoya membuka mata."Halo, Ma!""Hai, Tante!"Zoya terkekeh gemas saat Elvio dan Freya juga turut menyapa."Selamat siang, anak-anak! Hehe ... selamat siang juga, Mama tersayang!" Zoya membalas sapaan sang ibu dengan senyum lebar. "Di mana yang lain?" tanya Zoya sembari berjalan mendekati ibunya."Arvin di taman belakang bersama Prazta dan Hannes." Vanya menjawab lembut pertanyaan putrinya. "Kamu makan dulu sana! Jangan sampai terlambat bangun membuatmu mengabaikan makan," peringatnya sembari memberi isyarat Zoya untuk pergi.Zoya hampir menanyakan apakah putranya dan Freya sudah makan, tapi segera menutup mulutnya saat mengingat jika matahari sudah cukup tinggi sekarang."Papa pasti ke kantor, kan? Tapi,