"Pak Presdir?"Arvin tersenyum pada sapaan yang tidak terdengar tulus itu saat tiba di lantai delapan, tempat di mana divisi personalia berada. Well, tentu saja semua orang melirik ke arahnya. "Selamat datang di Divisi Personalia, Pak. Apa Pak Presdir membutuhkan sesuatu?" Pemuda berkacamata yang menyambut Arvin di depan lift bertanya."Tidak, aku hanya ingin mengambil sesuatu di sini." Pemuda itu mengangguk, sedikit gugup saat Arvin menatap sekeliling. "Kalau begitu saya permisi dulu, Pak, mau ke lantai lima," ucapnya sembari membungkuk sopan dan memasuki lift.Arvin menghela napas, matanya tampak awas memperhatikan sekitar. Para karyawan di sini mungkin berpikir Arvin sedang melakukan inspeksi dadakan seperti kebiasaannya dulu.Pria bersurai gelap itu tersenyum dan menyapa para pekerja yang tampak sibuk di depan komputer masing-masing, beberapa orang berdiri dan membungkuk sopan, yang lainnya memasang wajah suram. Arvin tahu kehadirannya hanya mengganggu pekerjaan mereka yang sema
"Kenapa?" Zoya bertanya setelah Arvin yang sejak pulang dari kantor terus menempel dan menidurkan kepala di pangkuannya, menghela napas berkali-kali."Tidak apa-apa. Sepertinya aku bekerja terlalu keras. Rasanya melelahkan," aku Arvin, wajahnya sedikit murung.Sulit menghadapi hal yang cukup menakutkan sendirian, tapi Arvin tidak mau melibatkan istrinya dan membuat wanita itu khawatir. Tidak hanya dibuat kejar-kejaran mencari keberadaan Mia, sekarang Arvin bahkan menerima pesan untuk menemukan seseorang.Yang merepotkan adalah Arvin tidak tahu harus mulai dari mana! Ia sudah melihat kamera pengawas di ruangan Prazta, juga pada lantai delapan, atap serta lobi gedung. Arvin juga memeriksa tempat parkir. Tidak ada satu pun yang terlihat mencurigakan.Satu-satunya masalah yang pria itu temukan adalah ada kesalahan teknis yang terjadi kemarin sehingga seluruh kamera pengawas di lantai tempat ruangan Presdir berada, tidak berfungsi selama sekitar sepuluh menit.Arvin sudah mengirim file ber
"Jadi, tidak akan diizinkan, ya?" Pertanyaan Mia membuat Zoya yang sedang menyusun buku-buku milik Elvio di rak menghela napas. Semalam ia dan Arvin sudah bicara, ada baiknya untuk menemui psikolog dan memeriksa kondisi Elvio dulu sebelum mengizinkannya pergi ke tempat seperti taman bermain."Untuk saat ini tidak dulu, nanti setelah aku merasa lebih percaya diri, kita pasti akan pergi main bersama-sama." Zoya menghentikan kegiatannya, menghampiri Mia yang sedang duduk di sofa."Maaf ya, Lova, aku tidak bermaksud mengingatkan kamu tentang kejadian itu. Tapi, ayo kita main lagi setelah kamu dan El lebih baik!" Zoya tersenyum dan mengusak gemas surai kelam Mia. "Jadi, apa Kai sudah menghubungimu?" "Oh ya, Lova, kudengar Kak Arvin akan merekrut sekretaris baru? Kapan?" "Akan dilaksanakan akhir bulan ini katanya." Zoya berkata pelan, tidak menyangka bahwa Mia akan mengalihkan pembicaraan dengan cara yang sangat kentara.Wanita bersurai gelap di hadapan Zoya mengangguk, mulutnya kini dip
"Ngomong-ngomong, Nona Lova, waktu itu kita jauh-jauh membeli kue strawberi di sini karena Anda benar-benar suka, kan? Bukan karena letaknya tidak jauh dari perusahaan Tuan Kalandra?" Pertanyaan Mia tepat setelah mereka duduk membuat Zoya yang mendengarkan sambil membantu Elvio duduk dengan benar, sedikit tersipu. "Tentu saja karena rasanya yang enak!" Zoya menatap Mia yang sedang memberikan tatapan 'apa kau yakin' dengan wajah menyebalkan. "Aku serius! Kamu tidak lupa kita ke sini bahkan sebelum aku mengenal Arvin, kan?"Mia mengendikkan bahu. "Tentu saja aku ingat, Lova. Waktu itu kamu bilang tempat ini terlalu norak karena semuanya berwarna pink. Merah muda itu beban, katamu. Aku juga ingat tuan muda Kaindra tidak terima dengan kata-katamu dan kalian bertengkar."Ugh! Terkadang ingatan Mia terlalu tajam untuk hal-hal yang tidak seharusnya diingat. Zoya berdecak malas. "Makan saja kuemu, Mia!" Zoya menunjuk pada nampan di atas meja. "Kenapa merah muda itu beban?" Elvio yang mend
Pertanyaan Freya membuat atensi semua orang teralih, termasuk Mia dan Elvio yang baru menyadari jika perut wanita bernama Allea itu memang besar.Allea tersenyum lembut pada pertanyaan yang diajukan. "Karena aku sedang hamil. Ada adik bayi di perutku, jadi terlihat besar begini." Freya mengerjap. "Hamil? Oh, wow ... ada adik nanti, ya?" Allea terkekeh pelan, kepalanya mengangguk ringan. "Eh, bagaimana kalau kalian lanjutkan makan kuenya? Tidak perlu terburu-buru, aku yakin Tuan Arvin akan membawa Nyonya Zoya ke tempat lain."Perkataan Allea memang benar, sudah terlambat jika ingin mengejar Arvin dan Zoya. Lagipula, baik pengawal mau pun sopir pasti masih menunggu di luar karena mereka tidak mungkin mengikuti Zoya dan Arvin."Sepertinya memang lebih baik begitu. Nah, anak-anak, kembalilah duduk dan habiskan kue kalian dengan benar." Mia kembali ke tempatnya semula, segera membantu Freya dan Elvio untuk duduk juga."Apa aku boleh bergabung bersama kalian? Jadwal istirahatku masih ters
"Kenapa ke sini?" tanya Zoya saat mobil Arvin memasuki sebuah bangunan sangat megah yang merupakan lingkungan apartement termahal di seluruh Indonesia."Ayo turun, kita bicara di tempat yang lebih privasi." Arvin membukakan pintu mobil setelah memarkirkannya di basement, menyambut tangan wanita yang masih terlihat bingung. "Aku menerima tempat ini sebagai hadiah atas peresmian posisiku sebagai pewaris," jelasnya singkat.Zoya hanya mengikuti dalam diam. Ketika Arvin ditetapkan sebagai ahli waris Kalan's Company adalah saat mereka bertemu pertama kali, ketika Zoya langsung melamar Arvin detik itu juga. Wanita itu mengerjap saat menyadari bahwa Arvin mungkin lebih sering tinggal di tempat lain hanya untuk menghindarinya selama pernikahan mereka, padahal jelas kalau kediaman utama Kalandra adalah rumahnya, tapi Arvin bersikap seolah dia yang sedang menumpang di sana hanya untuk membuat Zoya nyaman. Padahal, tindakan itu justru yang membuat Zoya tidak nyaman.Wanita bersurai panjang yang
Zoya mengerjap pelan, menampilkan netra gelap jernih yang terlihat masih sangat berat. Wanita itu mengernyit pada dering ponsel yang mengganggu jam tidurnya sejak beberapa saat lalu.Masih dalam keadaan setengah sadar, Zoya bangkit dan duduk, mencari benda pipih yang meraung di suatu tempat. Perlahan ketika kesadarannya pulih dengan utuh, wanita itu terpekur melihat keadaan di sekitarnya.Gaun hijau lumut yang dikenakannya saat berangkat ke kafe tadi, teronggok di lantai. Pakaian dalam merk ternama yang baru dibeli wanita itu beberapa hari lalu juga terlihat menyedihkan tidak jauh dari pakaiannya.Zoya menutup wajah saat melihat pakaian yang dikenakan Arvin sebelumnya juga tampak kusut di lantai. Melirik pada pemuda yang masih tidur pulas tanpa terganggu dengan dering ponselnya sendiri, Zoya tidak bisa menahan senyum.Mendekatkan diri pada tubuh polos Arvin yang hanya ditutup selimut, Zoya mengecup singkat pipi lelaki itu. Melihat tidak ada respon, senyum di bibir merah muda yang sedi
Zoya tersenyum lebar melihat wajah merengut sosok yang berdiri sambil menenteng beberapa paper bag di tangan."Silahkan masuk dulu, Tuan Putri." Mia menghela napas mendengar nada sok manis Zoya, melangkah memasuki kediaman yang baru pertama kali ia kunjungi, meski letak penthouse ini bersebelahan dengan gedung di mana penthouse miliknya berada. Wanita itu langsung berjalan menuju ruang tengah setelah menyerahkan barang bawaannya pada Zoya."Wah, aku bahkan dibawakan makanan!" seru Zoya antusias, meletakkan paper bag berisi pakaian yang dia minta dan membawa sisanya menuju dapur."Kebetulan sekali aku juga lapar. Terima kasih, Adikku tersayang!" Arvin yang memang sedang berada di dapur berseru cukup keras, tertawa saat mendengar Mia membuat suara seolah sedang muntah."Aku ganti baju dulu," ucap Zoya setelah meletakkan paper bag berisi makanan itu ke konter dapur. Ia memang hanya mengenakan baju mandi saat membuka pintu. Meski begitu, rambutnya sudah kering sejak ia dan Arvin mengobr