Dua pemuda berpakaian serba hitam dengan masker dan topi menutup wajah itu berjalan menjauh, meninggalkan Mia yang masih meringkuk dalam keadaan diborgol dan mata serta mulut tertutup.Menarik napas panjang, Mia mencoba mempertahankan kesadarannya, menanti entah siapa pun yang mungkin lewat. Dia harus bisa membuat sedikit suara.Dua orang yang berjalan cepat itu sama-sama menunduk, tidak membiarkan wajah mereka terekam kamera pengawas di sekitar. Meski pun sudah mengenakan masker dan topi, berhati-hati dengan segala kemungkinan selalu membuat mereka lolos dari setiap kejahatan yang dilakukan."Ngomong-ngomong, Zayn, aku masih tidak mengerti kenapa Nyonya tidak langsung menghabisi wanita itu. Dia juga tidak ditahan seperti anak-anak lain, ah ... dia bahkan bukan anak-anak."Pemuda yang dipanggil Zayn mengendikkan bahu. "Aku tidak peduli apa pun alasannya. Penting bagi kita untuk menjalankan perintah Nyonya tanpa kesalahan. Bekerjalah seperti biasa, Dei, jangan mempertanyakan apa pun."
"Kamu tahu kupu-kupu Monarch, kan?" Mia yang sedang duduk di atas rumput beralaskan tikar menoleh setelah mendengar pertanyaan yang tiba-tiba dilontar Zoya. "Aku hanya tahu kupu-kupu, tapi tidak tahu jenisnya." Mia kembali menatap hamparan jernih di hadapannya. Danau yang dikelilingi oleh pohon-pohon rindang dan rumput hijau itu tampak menakjubkan."Serangga ini ditemukan pertama kali pada tahun 1871 di Australia dan Selandia baru," ucap Zoya, ikut menatap danau yang terbentang. "Kamu tahu ... kupu-kupu ini mampu terbang bermigrasi sejauh ratusan kilometer," katanya melanjutkan."Terima kasih informasinya yang bermanfaat, Nona Pintar."Zoya terkekeh mendengar sindiran Mia. Senyumnya terbentuk saat menatap wajah putih yang sedikit memerah karena udara dingin. "Maksudku ... kalau kamu nanti menikah dengan Kai, aku akan mengajakmu melihat migrasi kupu-kupu Monarch.""Sepertinya kamu sangat terobsesi untuk menikahiku dengan tuan muda Kai ya, Nona Lova!" sindir Mia lagi, kali ini sambil
Arvin mengerutkan alis, kembali mengingat cerita yang Mia sampaikan pada Zoya. "Kenapa dengan orang itu?" Meski Arvin sudah meminta Kaindra dan Veuster untuk mencari tahu tentang Zhian dan Gabriel, juga Sera dan wanita yang mengaku bernama Azalea Elvina, masih belum ada informasi berarti.Mia menghela napas. "Aku pernah melihat nama itu di sebuah lukisan yang ada di galeri, Hannes bilang itu salah satu lukisan yang Mama beli. Kalau tidak salah ingat, nama yang tertulis di bawah kanan lukisan adalah Zhian. Tapi, lukisannya agak menyeramkan.""Apa maksudmu menyeramkan? Aku tidak ingat pernah melihat lukisan seram di antara koleksi Mama.""Kakak tidak mengerti seni!" ujar Mia terus terang. "Bahkan Hannes bilang kalau lukisan itu sangat gelap dan menyedihkan!"Ugh! Arvin menghela napas pelan, patut diakui kalau ia memang tidak mengerti apa-apa tentang lukisan. "Begini deh, Kak, akan kuberi contoh!" Mia menatap lekat wajah Arvin. "Saat kita pertama bertemu, apa menurut Kak Arvin aku terl
"Aku pulang, Lovania."Zoya langsung menggeleng tegas mendengar ajakan Arvin. Jarinya menunjuk pada layar ponsel yang menampilkan angka kosong sembilan empat lima, belum terlalu malam untuk pulang."Tidak ada penolakan, Lova. Lagipula Kak Arvin juga harus segera pulang dan istirahat," ucap Mia tanpa bisa dibantah, sengaja membantu Arvin agar Zoya mau cepat pulang."Aku akan kembali ke sini setelah mengantar Lovania." Arvin menyela. Kenapa juga dia merasa sedang diusir?"Tidak perlu kembali!" ujar Mia sambil menekan kata 'tidak'. "Kakak harus pulang dan beristirahat. Ada Tuan Muda Kaindra yang menjagaku," katanya saat melihat ekspresi tidak terima Arvin."Jadi, maksudmu aku hanya akan mengganggu kalian berdua?" tanya Arvin, netranya melebar tidak percaya, seolah kenyataan yang baru saja dia katakan adalah sebuah pengkhianatan. "Aku senang kalau kau mengerti, Kakak Ipar!" Kaindra berujar sembari memasang wajah menyebalkan.Arvin mengerutkan kening, tidak terima dengan pengusiran yang a
Arvin langsung memasuki ruangannya setelah sampai di rumah dan meminta Hannes untuk memanggil Elvio, diikuti seorang pemuda yang menjinjing tas laptop. "Jadi, bagaimana situasinya?" tanya Arvin langsung setelah duduk di singgasananya, menatap pemuda yang tampak tenang di hadapannya."Kami memastikan bahwa tulisan Sera yang ditemukan, tidak sama dengan tulisan di surat yang ditemukan dalam sedan tempat Nona Mia berada. Persentase mencapai delapan puluh persen, jadi kami memutuskan bahwa mereka adalah orang yang berbeda. Kesimpulannya adalah Sera menyewa orang dan hanya memerintah tanpa ikut menulis surat-surat itu."Arvin menghela napas. Pria itu mengetuk meja, suara ketukannya pelan dan teratur, membuat leher pemuda yang berdiri dengan tubuh tegap di hadapannya meremang. Suasana hati Arvin sedang sangat tidak baik."Kalian tidak menemukan sidik jari sama sekali?"Gelengan pemuda di hadapannya membuat Arvin hampir mengumpat. Bagaimana ada orang yang amat sangat teliti seperti itu? Sed
"Tante Mia, selamat datang!" "Tante Mia! Ada Ayyen, lho!" Mia disambut oleh seruan riang Elvio dan Freya ketika memasuki rumah. Melihat gelagat Elvio yang menatapnya dengan penuh kelegaan membuat Mia yakin jika anak itu benar-benar mengetahui apa yang telah terjadi.Berbeda dengan Freya yang terlihat sangat senang dan bersemangat, kini menarik tangan Mia agar segera mengikutinya.Meski sedikit meringis karena Freya menekan luka di pergelangan tangannya, Mia tetap melangkah mengikuti kaki kecil Freya yang terlihat tidak sabar."Pelan-pelan, Frey! Tante Mia baru pulang, lho!" peringat Elvio pelan, mengusak surai kelam sepupunya yang langsung mendongak, menatap pada wajah Mia yang memang masih sedikit pucat."Tante Mia cakit?"Pertanyaan polos yang dilontar Freya dengan pandangan imut membuat Mia tersenyum gemas. "Sehat, kok. Ayo, Tante juga mau ketemu dengan Allen."Mia memberi isyarat pada Elvio untuk tidak mengatakan apa-apa lagi. Dia merindukan senyum, binar dan celoteh Freya, jad
Seruan itu membuat Zoya dan Mia menoleh, Arvin datang dengan senyum lebar. "Halo, Cantik! Bagaimana kabarmu? Pasti sulit karena harus berpisah dengan Grace beberapa hari kemarin." Arvin berjongkok, mengusak lembut surai Allen yang dengan cepat menggeleng. Senyum Allen melebar setelah Arvin membalas kata-katanya menggunakan bahasa isyarat juga.Diam-diam, Zoya menyikut Mia yang juga sedang mengerjap di tempat, jelas tampak iri dengan kepiawaian kakaknya dalam menggunakan bahasa isyarat."Kamu tidak bilang kalau kakakmu sangat pintar," bisik Zoya setelah mengalihkan atensi Mia padanya."Bagaimana aku bisa bilang kalau aku juga tidak tau?" Mia balas berbisik, sedikit memaklumi pertanyaan bodoh Zoya. Memang, kadang-kadang melihat seseorang yang kau cintai bisa melakukan sesuatu yang jarang bisa dilakukan orang lain membuatmu jadi bodoh karena terpesona. Mia sungguh memaklumi hal itu."Kamu baru saja berpikir kalau aku bodoh, kan?" "Mana mungkin, Nona Lova!" Mia terkikik pelan saat Zoya
"Lho, kalian mau ke mana?" Zoya bertanya saat melihat penampilan Arvin dan Mia sudah sangat rapi. Mia yang tampak manis dengan sweater abu-abu dan celana jin hitam menyenggol lengan Arvin di sisinya."Mau jalan-jalan sore, Love. Mia bilang butuh udara segar setelah keluar rumah sakit," jawab Arvin sembari merapikan rambutnya yang terlihat agak basah. Lelaki itu juga mengenakan pakaian santai, tampak serasi dengan yang digunakan Mia. "Kamu mau ikut? Pasti lebih seru kalau kamu juga bergabung.""Ah, maaf, aku khawatir El akan mencariku saat bangun. Tapi, sebentar lagi waktunya makan malam, lho," ucap Zoya mengingatkan, pasalnya waktu sudah menunjukkan pukul lima. Dia tidak yakin dua orang itu akan ingat pulang setelah main ke luar."Ingat, kok, Lova! Aku sebenarnya kasihan dengan Kak Arvin, setiap hari sibuk sampai tidak sempat main. Kami hanya akan jalan-jalan sebentar, mungkin pergi ke restaurant atau kafe terdekat, melihat taman dan mencari udara segar. Boleh, ya?" Mia memasang seny