Zoya segera mengusap lengan Arvin, menarik pelan tubuh pria itu agar segera keluar bersamanya. Arvin menghela napas panjang, kemarahannya tidak kunjung reda meski ia berusaha menenangkan diri. Tadinya Arvin hanya ingin mengambil flash disk yang malam sebelumnya sempat ia simpan di salah satu nakas samping ranjang, tapi ia malah melihat Zoya sedang berdiri di depan pintu dan masuk dengan gerakan mencurigakan.Arvin yang sempat berpikir istrinya datang ke kamar utama untuk memberi kejutan padanya, berjalan perlahan dan mendekati Zoya tanpa wanita itu sadari. Sayangnya, suara-suara khas yang Arvin dengar setelah lebih dekat ke arah kamar membuatnya langsung masuk dan turut menyaksikan kegilaan Aileen.Tidak pernah sekali pun pria itu menyangka akan dijadikan fantasi seks oleh seseorang yang cukup dia percaya. Bayangan bagaimana Aileen menggerakkan tubuhnya dan mendesah sambil memanggil namanya membuat Arvin mengerutkan dahi, menahan mual yang tiba-tiba bergejolak di perutnya."Sebaiknya
Aileen memekik, tatapannya goyah dan tampak tidak fokus. "Aku tahu semua tentangmu, tentang rumahmu, juga perusahaan dan rumah ini! Aku yang mengatur segalanya! Kamu menyerahkan segala pengaturannya padaku, Arvin!" Zoya yang sempat tertegun mendengar ancaman dan informasi yang diucapkan Arvin, semakin tidak bisa berkata-kata saat Aileen berteriak, mengatakan seolah ia mengetahui segala hal tentang Arvin dan Kalandra."Aku bisa membuktikannya sekarang padamu, kalau kau sungguh ingin video amoral dan pelecehan yang kau lakukan padaku tersebar di seluruh dunia. Yah, ini akan meningkatkan keuntunganku juga, agar jalang-jalang lainnya berpikir ribuan kali sebelum melakukan hal konyol sepertimu." Arvin segera meraih ponselnya yang tergeletak di atas meja, dengan cepat membuka layar kunci dan menyeringai saat Aileen menjatuhkan diri di lantai dan berlutut."A-aku salah! Arvin--maksudku Tuan Arvin, aku bersalah! Tolong ampuni aku sekali ini saja! Aku bersumpah akan menghilang dari hadapanmu,
Zoya terkekeh pelan, mengusak gemas surai kelam putranya sebelum mendaratkan sebuah kecupan di pipinya. Padahal Zoya baru memejamkan mata tidak lebih dari satu jam, tapi kegelisahannya tentang Elvio yang mungkin kelaparan membuatnya tidak nyenyak."Maaf ya, Mama agak malas hari ini. Tapi, ternyata sudah ada yang membuatkan sarapan untukmu?" Zoya beralih pada wanita paruh baya yang baru selesai meletakkan dua roti bakar dengan telur mata sapi dan taburan keju. Ia juga bisa melihat beberapa sosis yang juga masih beruap, tanda jika makanan itu baru aja dibuat."Kamu bukan yang bertugas untuk masak, kan? Maaf, Elvio pasti sudah merepotkanmu." Zoya segera mengangguk singkat pada wanita tua yang cepat-cepat melambaikan tangan ringan."Kebetulan saja tadi saat datang, saya bertemu Kepala Pelayan yang baru membuatkan sarapan untuk Tuan Muda, Nyonya. Dia meminta saya untuk menunggu sampai Tuan Muda turun, tapi karena khawatir Tuan Muda tidak mempercayai masakan yang diberikan orang asing, jadi
Pertanyaan Arvin membuat Zoya langsung menahan napas. Kenangannya bertahun lalu kembali terbayang, ketika ia sering menemui Aileen seperti yang dikatakan Arvin, tapi tidak untuk mengatakan hal-hal buruk seperti itu. “Aku memang sering menemuinya, bahkan sebelum kita menikah.” Zoya menarik napas perlahan, membulatkan tekadnya untuk menyampaikan perasaannya bertahun lalu. “Tapi, yang perlu kamu ketahui adalah tidak pernah sekali pun aku mengatakan hal-hal seperti itu. Aku menemuinya untuk bertanya tentangmu karena kupikir dia teman yang paling dekat denganmu.”Arvin menegakkan tubuh, kepalanya menoleh dengan cepat. “Bertanya tentangku?”Zoya menundukkan pandangan, menatap jemarinya yang saling bertaut dengan milik Arvin. “Aku ingin tahu apa yang kamu sukai, kebiasaanmu, makanan dan minuman favorit. Aku juga bertanya tentang masa lalumu, wanita mana saja dan dari kalangan mana yang pernah kamu kencani, lalu pertanyaan umum tentang apakah kamu terbiasa dengan hubungan satu malam. Hal-hal
Zoya menarik napas panjang sebelum menghembuskannya perlahan, ia melakukannya berkali-kali agar napasnya yang sedikit sesak sisa dari tangisnya bisa berkurang. "Siang itu aku ke perusahaan," ucap Zoya pelan, suaranya serak dan pecah, tapi ia tetap melanjutkan perkataannya. "Resepsionis bilang kamu belum turun sejak pagi, jadi aku langsung naik ke atas. Aku membawakan bekal makan siang untukmu, niatnya ingin mengajakmu makan siang."Zoya terdiam setelahnya dan Arvin menanti dengan sabar. Pria itu kurang lebih bisa menebak apa yang mungkin saja terjadi sejak mengetahui betapa gilanya Aileen, tapi ia ingin mendengarnya langsung dari istrinya. "Saat sampai di sana, aku tidak menemukan Aileen di tempatnya. Kupikir dia masih melaporkan sesuatu padamu di dalam, jadi aku langsung berjalan menuju ruanganmu. Tapi, aku belum sampai di depan pintu saat tiba-tiba Aileen keluar dari ruanganmu." Zoya menghela napas perlahan, menenangkan dirinya agar tidak mulai menangis lagi saat mengingat kejadia
Pangeran mayat? Yang benar saja! Arvin mendengus mendengar panggilan yang diberikan Zoya padanya. “Kamu serius tidak ingat padaku sama sekali?” tanyanya dengan kening mengernyit.“Bukan tidak ingat, tapi sepertinya aku melupakannya begitu saja setelah pindah ke kediaman utama Aldara ketika orang tuaku bercerai.” Zoya menarik napas perlahan, tangannya terulur untuk menyentuh wajah pria yang dulu benar-benar tidak terlihat hidup. “Tapi, karena kamu mengatakannya, aku jadi ingat bagaimana kamu dulu.”“Bagaimana penampilanku? Bukankah aku sangat tampan sampai kamu langsung terpesona dan mengajakku menikah?”Zoya terkekeh, mengecup pipi Arvin singkat sebelum memindahkan kecupannya di kening pria itu cukup lama. “Seperti yang kamu ingat dengan kata-kataku waktu itu, kamu benar-benar terlihat seperti mayat hidup. Meski pun tersenyum dan terlihat bicara dengan ramah pada orang-orang, kamu terlihat seperti orang mati.”Jawaban istrinya membuat Arvin berdecak. Hari itu adalah dua tahun sejak ia
Arvin mendengus, menyetujui perkataan istrinya. "Malam itu ketika aku pulang, aku sungguh tidak mau bicara denganmu dan mendengarkan permintaanmu untuk bercerai. Bahkan ketika kamu pergi dan aku tahu kamu pulang ke kediaman Aldara, tekadku masih sama, kalau aku hanya akan membiarkanmu menenangkan diri sebentar sebelum membawamu kembali."Zoya menghela napas, mengingat jika malam itu ia langsung menyuruh sopir untuk kembali setelah tiba di kediaman Aldara, tentu saja laporan yang diterima Arvin adalah Zoya berada di rumah kakek-neneknya. Sekarang Zoya sedikit mengerti kenapa Arvin tidak mencarinya."Tapi, saat aku memintamu ke kafe waktu itu, kenapa kamu menandatangani berkasnya begitu saja? Kamu bahkan mengatakan harapanmu agar itu adalah pertemuan terakhir kita." Zoya menatap netra kelam suaminya tanpa menutupi perasaan sedih dan kecewa yang dulu menggerogotinya.Arvin mendesah pelan, tangannya terulur dan merapikan rambut Zoya ke belakang telinga. "Selama dua minggu Aileen terus me
Zoya yang terlambat bereaksi hanya bisa terdiam kaku, mencoba mencerna dengan benar informasi yang disampaikan putranya. "Om Kai? Maksudmu Om Kaindra yang kita temui waktu itu?" Zoya bertanya dengan suara sedikit gemetar. Ketika Elvio mengangguk cepat dengan air mata berlinang, barulah Zoya bangkit dari jongkoknya dan menyadari jika Arvin sudah bertindak lebih dulu. Zoya bisa mendengar Arvin berteriak memerintah sopir untuk menjemput Kaindra di gerbang dan meminta pelayan lainnya untuk segera menyiapkan kamar tamu, beberapa sibuk mencari alat-alat untuk pertolongan pertama.Semuanya terjadi begitu cepat. Zoya yang diliputi rasa panik dan tidak bisa berbuat apa pun, hanya bisa menahan napas sambil menanti di depan pintu utama, membiarkan Arvin memberi perintah lainnya agar dokter segera dihubungi. Saat mobil yang membawa Kaindra datang, Zoya segera berlari dan berniat membantu membukakan pintu mobil saat matanya melihat jika seseorang sudah membukanya lebih dulu. Wajah pucat seseora