Tidak hanya Aldara, melainkan nama Zhevan juga turut diberikan, Zoya tahu jika adiknya serius dalam merawat anak yang dititipkan padanya. "Jadi, alasan utamamu ingin cepat-cepat pergi adalah Freya, kan? Bukan pekerjaanmu sebagai wakil presdir atau pun anggota Veuster, kamu hanya ingin pulang dan tidak membuat Freya khawatir." Kaindra menunduk, kata-kata Zoya tidak salah, tapi belum semuanya. Berbeda dengan Freya yang sudah mendapat perlindungan penuh dari Veuster, Zoya tidak memilikinya. Keberadaan Kaindra di sini bisa membahayakan tidak hanya Zoya, melainkan Elvio juga. Apalagi sekarang Thrixx mengejarnya."Aku menghubunginya menggunakan ponsel yang kamu berikan, tapi dia terus bertanya kapan aku pulang. Sebenarnya aku pergi ke markas Thrixx tanpa pamit, kupikir tidak akan menimbulkan masalah yang terlalu panjang kalau aku berhasil menyelinap dan menyelamatkan Mia. Biasanya Freya akan menunggu dengan sabar setiap kali aku bilang akan pergi ke luar kota untuk pekerjaan, tapi kali in
Zoya keluar dari kamar Kaindra setelah mengangguk dengan yakin jika pilihannya untuk kembali ke kediaman utama Kalandra tidak salah. Setidaknya Elvio masih akan disembunyikan sebisa mungkin. Zoya tahu hanya dengan menunjukkan diri di depan publik sudah cukup untuk membalikkan media dan semua perhatian hanya akan tertuju pada pasangan Kalandra."Lova!"Panggilan itu membuat Zoya yang baru akan menaiki tangga, menoleh dan mendapati Mia berlari menghampirinya. "Aku baru ingin mencarimu di kamar," ucap Zoya setelah Mia sudah lebih dekat. "Aku ingin mengajakmu ikut menjemput El dan kita akan main setelahnya, aku sudah berjanji pada Elvio. Kamu punya waktu, kan?" Mia mengangguk beberapa kali, suasana hatinya menjadi lebih cerah hanya dengan membayangkan menggandeng tangan Elvio dan bermain bersama. Keduanya melanjutkan langkah menuju lantai dua dan memasuki kamar Mia."Kamu datang di waktu yang tepat, Lova, aku baru saja ingin menemuimu juga. Kepalaku sedang berasap, jadi tadinya aku ingi
Zoya menyimpan pertanyaan itu untuk dirinya sendiri, memilih mengikuti Arvin untuk tidak menceritakan apa pun pada Mia. Mungkin merupakan hal paling benar memberitahu penyebab kematian orang tua Arvin sebagai kecelakaan biasa.Setelah meminta Mia untuk bersiap-siap, Zoya kembali ke ruang kerja Arvin dan seperti yang dikatakan oria itu sebelumnya dia langsung pergi ke hotel setelah berbicara dengan Mia.Zoya membuka laptopnya sendiri, memilih untuk membaca informasi yang dikirimkan Hana sekali lagi. Belum ada balasan apa pun dari Hana, jadi tidak ada yang bisa Zoya lakukan selain menunggu. Menghela napas pelan, Zoya yang tidak memiliki pekerjaan apa pun lagi melirik pada jam yang tertera, masih pukul sepuluh sekarang, tapi mungkin waktu yang tepat untuk menyusul Elvio."Oh, desainer!" Zoya menepuk dahi saat matanya tidak sengaja melihat tanggal yang tertera di ponselnya. Dia baru ingat berjanji pada Arvin untuk mengurus masalah pakaian untuk peresmian hotel.Wanita itu segera membuka
"Ada apa, El?" Zoya yang memperhatikan jika putranya tiba-tiba berhenti bergerak bertanya dengan nada cemas. "Oh, hari ini sopir yang biasa mengantar kita sedang sakit," ucapnya setelah menyadari jika Elvio sedang menatap pada sopir.Elvio langsung menoleh pada ibunya. "O-oh, gitu? Aku cuma kaget karena sopirnya beda, Ma." Anak itu kembali melanjutkan aktivitasnya memasang sabuk pengaman. Melihat bagaimana Zoya tampak tenang sudah cukup meyakinkan Elvio jika identitas sopir di sampingnya sudah diketahui dan tidak ada yang mencurigakan darinya."Jadi, kita mau ke mana?" Elvio bertanya antusias saat mobil mulai berjalan, meninggalkan area sekolah yang masih ramai orang-orang."Tadinya mau belanja dulu, tapi sepertinya itu tidak diperlukan sekarang. Jadi, kita akan makan siang saja sebelum pergi ke taman bermain! Meski baru beberapa hari lalu kita ke sana, tidak masalah, kan?" Elvio mengangguk cepat, matanya berbinar senang hanya dengan membayangkan menaiki berbagai wahana bersama dua w
"Lebih baik?" Mia bertanya setelah Zoya akhirnya keluar dari toilet setelah lebih dari lima belas menit. "Haruskah kita ke dokter saja?"Zoya mengelus pelan perutnya. "Sudah tidak apa-apa, kok. Tapi, sepertinya harus beli air mineral, aku sedikit dehidrasi." Mia menghela napas. "Ayo, kita terlalu lama meninggalkan El. Kita beli di sana saja nanti." Keluar dari toilet, Zoya yang perutnya membaik kembali meraih tangan Mia dan menariknya untuk berlari. "Kamu benar, dia sendirian terlalu lama!"Zoya yakin pengawal Kalandra adalah orang-orang kompeten dan identitasnya sudah teridentifikasi, jadi dia bisa lebih tenang saat menitipkan Elvio, tapi tetap saja perasaannya tidak enak meninggalkan putranya sendiri.Taman bermain yang cukup ramai meski bukan akhir pekan membuat Zoya dan Mia sedikit kesulitan dalam berlari, beberapa kali keduanya harus berhenti dan menghindari orang-orang."Apa kita salah tempat?" Zoya yang akhirnya berhenti tidak jauh dari bangku panjang di mana ia telah meningga
Zoya tahu tidak seharusnya ia pergi sendiri, tapi ia juga tahu kalau Aileen bukan orang yang akan main-main dengan kata-katanya. Perempuan itu gila dan Zoya tidak mau membahayakan Elvio jika tidak menuruti keinginan Aileen.Setelah menerima surat yang ditinggalkan untuknya, Zoya langsung keluar dari taman bermain dan menemukan sebuah van hitam di mana seorang pria berbadan besar memanggil serta membukakan pintu mobil untuknya.Ada beberapa pria lain di dalam van, satu di balik kemudi, satu di samping sopir, dua lainnya mengapit di kanan-kiri Zoya. Tas Zoya juga diambil dan dilemparkan keluar mobil sebelum para pria itu menutup mata Zoya dengan kain hitam."Ka-kalian akan membawaku ke mana? Apa kalian bisa memberi bukti kalau benar Aileen yang mengirim kalian padaku?!" Zoya menelan ludah gugup meski suaranya terdengar tegas dan lantang. Zoya tidak bisa melihat reaksi para pria yang membawanya karena matanya sudah ditutup, tapi ia bisa mendengar suara khas saat sedang menghubungi seseo
BYURR!!!"BANGUN, PEMALAS!"Zoya terkesiap saat sesuatu yang sangat bau disiramkan padanya. Napasnya sedikit sesak mencoba meraup udara dengan benar. Bau busuk dari air yang disiramkan ke wajahnya membuat wanita itu langsung muntah."Ugh! A-apa--!""Sudah bangun?" Suara itu! Zoya yang matanya masih ditutup langsung menegakkan tubuh begitu mendengar suara wanita yang cukup familier baginya. Aileen, wanita itu kini duduk di sebuah kursi tidak jauh dari Zoya."Lepas penutup matanya!"Perintah yang Zoya dengar disambut dengan langkah kaki mendekat ke arahnya, pandangannya buram saat kain hitam itu dilepaskan darinya. Perlahan, saat pandangannya menjadi lebij jelas, Zoya bisa melihat Aileen yang duduk sambil menyilangkan kaki, kedua tangannya bersedekap dan menatap Zoya dengan pandangan menghina."Aileen! Di mana El?! Di mana putraku?! Aku sudah menuruti keinginanmu dan datang sendiri--!"Plak!!!"Ah, berisik sekali!" Zoya yang baru saja ditampar dengan sangat keras oleh pria yang membuk
Zoya berteriak saat Aileen menginjak kepala Elvio, membuat hak dari sepatunya menekan pipi Elvio hingga robek. Zoya menangis melihat pelipis putranya berdarah, lebam-lebam di wajah Elvio menutupi pipi putihnya yang biasa penuh. Meski begitu, anak itu tidak menangis. Ia hanya berkedip pelan, menatap ke arah Zoya, seolah meyakinkan sang ibu bahwa ia baik-baik saja."Beraninya ... BERANI-BERANINYA ANAK SEORANG JALANG MENERTAWAKANKU!" Aileen berteriak, pijakannya pada kepala Elvio semakin kuat. Meski begitu, tidak peduli seberapa keras Aileen menginjaknya, Elvio tidak terlihat takut. "Aileen, kumohon! Pukul aku, siksa aku saja, tolong lepaskan Elvio! Dia tidak bersalah, kamu benar ... aku yang salah, aku telah merebut kekasihmu, tapi tolong ... jangan membawa El dalam kesalahanku ...." Zoya mengiba, air matanya mengalir deras melihat darah yang merembes dari tubuh putranya.Elvio memang anak yang kuat, Zoya mengakui putranya berbeda dari anak-anak lainnya. Elvio nyaris tidak pernah menge
Gelap. Arvin menyadari jika matanya ditutup oleh sesuatu ketika ia tidak bisa membuka kedua matanya meski kesadarannya perlahan pulih. Pria itu menggeliat pelan, hanya untuk menyadari bahwa tubuhnya terikat. Meski tidak tahu pasti posisinya, Arvin yakin saat ini ia diikat pada sebuah kursi, tangan dan kakinya tidak bisa bergerak. “Sepertinya kau mulai sadar.”Suara itu membuat Arvin menegakkan tubuh siaga. Meski baru sekali mendengar suaranya, tapi Arvin yakin itu milik pria yang sama dengan yang menodongkan pistol pada Arvin, seseorang yang dipanggil Zayn. Sial, apa Arvin terjebak di sarang musuh?!‘Bagaimana bisa aku masih diculik di usia segini?’ Arvin membatin jengkel, menyalahkan dirinya yang masih lemah dan tidak ada bedanya dengan masa kecilnya dulu. Hanya saja, dulu tidak ada yang Arvin pedulikan, karena ia percaya anak buah kakeknya akan segera datang menyelamatkan.Tapi, situasinya berbeda saat ini! Arvin memiliki orang-orang yang ingin ia lindungi. Kalau ia terjebak di tem
"Kalian sengaja melakukan ini, kan? Katakan padaku, sejak kapan kalian merencanakan pengkhianatan seperti ini?" Kaindra menatap galak pada wanita yang tengah duduk dengan tenang. "Kamu bahkan tidak punya rasa bersalah, Lova! Bagaimana kamu tega melakukan ini pada adikmu?" Kaindra kembali mengejar dengan pertanyaan, kaki yang sebelumnya sempat terhenti hanya untuk menatap penuh permusuhan pada Zoya, kembali melangkah gusar mengelilingi ruangan."Jangan mengerutkan keningmu," ucap salah satu wanita di hadapan Zoya.Hari ini adalah hari pernikahan Zoya dan Arvin dilaksanakan, jaraknya hanya satu minggu dari pernikahan Kaindra dan Mia.Zoya yang sejak seminggu terakhir terus mendengar omelan Kaindra tentang pengkhianatan hanya bisa menghela napas dan mengabaikan tingkah kekanakkan saudara kembarnya.Hari ini adalah hari di mana Zoya akan menikah dengan seseorang yang dicintai dan mencintainya. Dalam pernikahannya kali ini, Zoya tidak sendirian. Meski tidak dimulai dengan mengucap janji su
"Dia memang sudah agak besar, tapi-- kenapa senyummu terlihat mencurigakan, Tuan Kalandra? Jangan bilang kamu belum pamit pada El?!" Zoya mengerutkan kening sejak pemuda di sisinya tampak tersenyum kikuk."Aku tidak melakukan kesalahan sama sekali," ucap Arvin membela diri, tapi jawabannya justru membuat kening Zoya semakin berkerut dalam. "Ma-maksudku ... yah, aku lupa. Tapi, bisakah sekarang kamu fokus saja ke depan?" pintanya seraya mengusap punggung wanitanya.Zoya memilih mengikuti apa yang diminta Arvin, menelan kembali kata-katanya untuk mendebat pemuda itu."Wah!" Zoya tidak bisa menahan rasa kagum melihat pemandangan di hadapannya. Lampu-lampu yang berasal dari seluruh kota di bawah sana, dipadukan dengan gemerlap bintang di langit serta keheningan di sekitarnya membuat Zoya tersenyum cerah.Dia tidak tahu apa yang Arvin persiapkan, tapi sudah bisa menebak beberapa hal. Bukankah adegan seperti ini sudah sangat biasa di akhir sebuah novel? Zoya mengulum bibir, menahan senyum h
Arvin terkekeh saat Zoya memukul bahunya. Arvin meletakkan bunga di atas meja sebelum meraih Zoya ke dalam pelukan."Bisa ditahan dulu tidak menangisnya? Kita pindah ke tempat di mana tidak ada orang lain, setelah itu kamu boleh menangis lagi." Arvin berucap lembut, tangannya mengusap punggung istrinya dengan perlahan. Arvin berhasil membawa Zoya menjauh dari tempat pesta setelah wanita itu lebih tenang. Meski sempat dipelototi Kaindra dan Narendra, pemuda itu akhirnya bisa membawa wanitanya ke tempat lebih privat."Kita mau ke mana?" Zoya bertanya ketika Arvin terus menuntunnya keluar dari gedung. Pestanya belum selesai dan Zoya belum sempat berpamitan pada ibunya atau Elvio."Ke tempat di mana kita bisa bicara berdua tanpa gangguan," ucap Arvin sembari membukakan pintu mobil, senyumnya tidak pernah lepas.Zoya memasuki mobil tanpa bertanya lagi. Mereka mungkin memang perlu bicara berdua di tempat yang tenang. Sepanjang perjalanan, Zoya hanya diam, menahan diri untuk membicarakan b
"Apa kau keberatan kalau aku duduk di sini?"Zoya menoleh saat seseorang mendekat, pria yang menjadi topik hangat karena menjadi best man hari ini tampak tersenyum, bertanya dengan suara lembut pada Zoya. "Ah ya, silakan, tidak apa-apa." Zoya menggeser sedikit kursinya, memberi jarak pada kursi kosong di sampingnya. "Terima kasih. Ngomong-ngomong, bagaimana kabarmu?"Hm? Zoya sedikit mengernyit saat pria di sisinya, aktor yang mendapat julukan sebagai pria tertampan di dunia, bertanya santai seolah mereka sudah saling mengenal cukup lama."Aku ... baik," ucap Zoya tidak yakin. "Anda sendiri ... Tuan Ragava, bagaimana bisa mengenal Kaindra?" Pria yang dipanggil Ragava menaikkan satu alis sebelum bibirnya naik, tawanya terdengar renyah dan sedikit menggelitik di telinga Zoya. Untuk sesaat wanita itu terpesona, sedikitnya mengerti alasan pria di sampingnya disebut sebagai yang tertampan dan terseksi. "Yah, hanya kebetulan bertemu saat kami sedang di luar negeri. Tapi, kau benar-benar
"Memangnya saat kamu dan Tuan Arvin menikah, kalian tidak melempar bunga?" Grace bertanya dengan kening berkerut, setahunya pernikahan di mana-mana sama. Sayang sekali ia tidak bisa datang ke resepsi pernikahan Zoya dan Arvin karena harus menyiapkan banyak hal di kediaman utama Kalandra untuk menyambut nyonya baru.Zoya memiringkan kepala saat mengingat kembali hari pernikahannya. "Kami juga melakukannya, tapi aku tidak ingat siapa yang dapat bunga itu. Yah, waktu itu pikiranku sedikit kacau."Pernikahan pertama Zoya tidak dihadiri oleh orang tuanya, Kaindra juga tidak ada. Saat itu Zoya juga tidak punya seseorang yang bisa disebut teman selain Mia.Grace meletakkan karangan bunga lili ke atas meja kaca di sampingnya. "Maaf, seharusnya saat itu aku berusaha lebih keras untuk lebih dekat denganmu."Zoya tersenyum saat Grace menggenggam tangannya. Perasaan tulus sosok di sampingnya membuat Zoya merasa cukup. "Tidak apa-apa, semuanya sudah jadi masa lalu. Jangan memasang wajah seperti it
Zoya menyambut paginya dengan ketukan keras di pintu kamar. Masih subuh, tapi orang-orang di sekitarnya sudah sangat sibuk. Wanita itu duduk melamun di atas ranjang, membiarkan pelayan mondar-mandir di sekitar kamarnya.Ini adalah hari yang penting. Hari pernikahan Kaindra dan Mia digelar. Padahal yang menjadi pengantin hari ini bukan Zoya, tapi pelayan malah sangat sibuk mempersiapkan banyak hal untuknya. Ini bukan pertama kali Zoya menerima perlakuan seperti Tuan Putri. Saat masih di kediaman utama Aldara, setiap kali ada pesta perusahaan yang akan dilaksanakan, Zoya tidak pernah berdandan sendiri. Setiap kali dandanannya tidak sesuai selera sang Oma, wanita itu akan memarahi para pelayan karena tidak memperhatikan dengan benar saat merawat Zoya.Kalau sudah seperti itu, Zoya akan kembali ke depan cermin dan membiarkan pelayan memperbaiki riasannya. Padahal saat itu ia bahkan masih remaja yang harusnya tidak menggunakan make up terlalu tebal.Menghela napas, Zoya beranjak dari ranj
"Sudah tidur, ya?" Kaindra bertanya pelan sembari menatap pada Freya yang tengah terlelap, tampak beberapa bulir keringat di wajahnya. Mia yang baru selesai meletakkan guling dan bantal di sekitar Freya sedikit terkejut ketika Kaindra tiba-tiba sudah berdiri tepat di belakangnya. Wanita itu memberi isyarat agar Kaindra tidak berisik dengan meletakkan jari telunjuknya di bibir. Freya baru tertidur setelah meminum obat penurun panas.Kaindra mengecup kilat jari telunjuk Mia yang masih berada di bibir, tersenyum jahil melihat kening berkerut wanita di hadapannya sebelum kembali melayangkan kecupan lain di pipi wanitanya.Mia segera menarik Kaindra keluar dari kamar. Sepasang manusia itu berpapasan dengan Zoya yang juga ingin memeriksa kondisi Freya."Wah, si tidak tahu malu ini benar-benar menyusul ke sini!" Zoya mencubit lengan saudara kembarnya. "Bagaimana kondisi Freya?" tanyanya pada Mia setelah mengabaikan ringisan Kaindra."Dia tidur setelah minum obat, aku juga sudah memasang ple
"Selamat siang, Putri Tidur!" Sapaan itu membuat Zoya yang baru sampai di ruang keluarga sambil menguap, menggaruk kepalanya seraya tertawa canggung. Ia ingin menyalahkan Arvin yang mengajaknya begadang hingga membuatnya kesiangan, tapi pria itu bahkan sudah tidak ada di sisinya saat Zoya membuka mata."Halo, Ma!""Hai, Tante!"Zoya terkekeh gemas saat Elvio dan Freya juga turut menyapa."Selamat siang, anak-anak! Hehe ... selamat siang juga, Mama tersayang!" Zoya membalas sapaan sang ibu dengan senyum lebar. "Di mana yang lain?" tanya Zoya sembari berjalan mendekati ibunya."Arvin di taman belakang bersama Prazta dan Hannes." Vanya menjawab lembut pertanyaan putrinya. "Kamu makan dulu sana! Jangan sampai terlambat bangun membuatmu mengabaikan makan," peringatnya sembari memberi isyarat Zoya untuk pergi.Zoya hampir menanyakan apakah putranya dan Freya sudah makan, tapi segera menutup mulutnya saat mengingat jika matahari sudah cukup tinggi sekarang."Papa pasti ke kantor, kan? Tapi,