"Ah, Tuan. Jangan lakukan itu, aku takut ...." ucap Lunar sambil menutup kedua matanya.
"Apa yang kau takutkan? Bukankah kau juga menginginkannya?" goda Lucas membuat Lunar membuka matanya.
Mereka kini sama-sama saling menatap, Lucas mendekatkan wajahnya ke arah bibir Lunar. Wanita itu mencoba menyangkalnya.
"Apa yang akan kau lakukan, Tuan?"
"Kau milikku sekarang. Jadi, aku bebas mau melakukan apa saja semauku,"
"Tapi ... aku masih virgin, Tuan. Aku tak mungkin menyerahkan keperawananku begitu saja,"
"Aku tidak peduli. Justru itu yang kumau."
Lucas tampak mengambil remote di sampingnya dan memadamkan lampu di kamar itu. Suasana malam itu sangat senyap. Dalam remang-remang malam itu, hasrat Lucas semakin melonjak. Tatkala ia melihat dan menyaksikan dengan jelas postur tubuh Lunar yang amat menggiurkan. Lucas segera mendekatkan bibirnya dengan bibir Lunar. First kissing pun dimulai. Lunar tampak tercengang dan sesaat ia memejamkan matanya sembari menikmati permainan lidah Lucas. Keduanya sama-sama terbawa hasrat hingga birahi mereka kian melonjak tak karuan.
"Ahmmp." desah Lunar membuat Lucas semakin beringas.
Lucas melepas ciuman itu dan menatap wajah Lunar. Tampak wanita itu terkulai lemah dengan keringat yang mulai membasahi tubuhnya.
"Lunar, apa kau sebelumnya pernah berciuman?" tanya Lucas membuat mata Lunar membulat hebat.
"Belum. Aku belum pernah melakukannya," jawab Lunar.
"Benarkah?"
"Ya, tentu saja. Dan kau satu-satunya orang yang telah merenggut first kissing itu,"
"Oh, jadi kau belum pernah melakukannya dengan suamimu itu?"
"Dia bukan suamiku. Dia hanyalah seorang pecundang sekaligus pengkhianat! Aku tidak mau membahasnya!"
"Tapi, aku ingin tau alasan apa yang membuatmu menolak Doris untuk melakukan hubungan intim?"
Tidak! Lunar seketika terdiam. Ia tak segera menjawab pertanyaan Lucas. Justru ia malah terbuai oleh lamunan dan ingatannya mengenai Doris.
"Hey! Kenapa kau malah diam. Seharusnya kau menjawab pertanyaanku itu," sergah Lucas menyadarkan Lunar.
"Tidak ada yang perlu dijawab. Aku tidak mau membahasnya."
Lunar menarik selimutnya dan mulai memejamkan matanya. Sementara Lucas masih diliputi oleh rasa penasaran tentang wanita itu.
"Lunar, tolong jangan tidur dulu. Kau belum melakukan tugasmu," ucap Lucas.
"Bukankah tadi sudah,"
"Itu bukan kau yang melakukannya, tapi aku sendiri yang memulainya,"
"Sama saja. Kita berdua sama-sama yang melakukannya,"
"Kau ingat perjanjian kita?"
"Ya,"
"Jika kau menolak, aku akan ...."
"Stop! Jangan lakukan itu. Aku tidak ingin kehilangan ibu satu-satunya,"
"Kalau begitu lakukanlah,"
"Jangan sekarang, Tuan. Aku lagi datang bulan,"
"Omong kosong! Jangan jadi wanita kedua yang membantah keinginanku!"
"Apa maksudmu?"
"Ah, sudahlah. Lupakan saja. Aku muak berurusan dengan wanita lemah."
Setelah itu Lucas bangkit dari ranjang dan bergegas ke kamar mandi. Di sana ia menghabiskan waktunya untuk menumpahkan segala hasratnya. Sudah tidak heran lagi baginya melakukan hal itu sendirian. Maka dari itu ia sangat membenci wanita yang selalu menolaknya.
***
"Doris, kau benar-benar pria setia. Kau tega menjual istrimu itu demi memilihku," seorang gadis cantik tampak bergelayut manja memeluk tubuh Doris. Laki-laki itu tersenyum dan membelai rambut gadis di depannya.
"Itu karena aku benar-benar mencintaimu, Lin," balas Doris kembali merangkul gadis yang bernama Aline.
"Benarkah? Lalu apa kau yakin besok kita akan kembali ke Indonesia?"
"Ya, aku sudah memikirkannya. Di sana aku telah membeli satu rumah untuk kita, jadi kau tenang saja. Aku yakin kita akan bahagia setelah ini,"
"Astaga! Itu sangat menarik! Kenapa aku tidak pernah memikirkannya selama ini?"
"Kau itu tidak perlu memikirkannya. Cukup jaga buah hati kita saat ini, ya?"
Doris tampak mengelus perut Aline. Gadis itu tersenyum dan mengecup bibir pria di depannya. Rupanya mereka telah menjalin hubungan gelap selama 2 tahun lamanya. Sementara hal itu tidak diketahui oleh Lunar yang masih menyandang status istri sah, Doris.
"Kapan kau akan menceraikannya?" tanya Aline penuh harap.
"Tunggu setelah kita kembali ke Indonesia,"
"Apakah lama?"
"Tidak. Kemungkinan kita perlu menunggu beberapa bulan saja,"
"Baiklah,"
"Kau mau makan apa? Biar aku masakan untukmu,"
"Seperti biasa,"
"Ah, baiklah. Kau tunggu di sini, ya? Aku akan kembali."
***
"K-kau ...." pekik Lunar saat melihat Lucas berjalan ke arahnya hanya dengan handuk yang melilit di bagian tubuhnya.
Tampak Lucas menatap Lunar dengan senang. Dengan begitu, ia berharap bahwa gadis itu akan tergoda dengan tubuhnya yang kekar. Lunar menutup mata saat Lucas telah berada di dekatnya.
"Kau mau apa?! Jangan mendekat!" perintah Lunar membuat Lucas menaikan satu alisnya.
"Kau lupa, perjanjian itu?"
"Ah, tidak. Jangan mengancamku,"
"Aku tidak mengancammu. Aku hanya berkata sesuai dengan perjanjian kita. Kau jangan coba menghindar dariku,"
"Astaga! Dasar pria arrogan! Beraninya cuma mengancam. Apa istrimu itu tidak mampu memberikanmu kenikmatan, ha?"
"Sial! Aku tidak mempunyai istri. Bukankah kita sudah melakukan first kissing. Tidak ada salahnya jika aku menginginkanmu,"
"Atas dasar apa kau mau menikmati tubuhku ini?"
"Hah? Lelucon apa? Kau lupa, kau itu gadis satu milyar yang telah kubeli."
Lunar menepuk jidat kesal. Ia benar-benar kehabisan kata-kata. Entah apa yang harus dilakukan nantinya? Mungkinkah ia harus menuruti segala keinginan Lucas?
"Tunggu apa lagi? Ayo buka pakaianmu itu?" perintah Lucas dengan lantangnya. Ia sudah tak sabar menunggu gadis di depannya untuk memperlihatkan tubuh mulusnya.
"T-tidak," balas Lunar terbata.
"Oh? Kau tidak bisa membukanya? Apa perlu aku yang membukakan untukmu?"
"Jangan! Aku bisa melakukannya sendiri,"
"Bagus! Cepat lakukanlah!"
Saat Lunar hendak membuka pakaiannya. Terdengar pintu kamar di ketuk. Lunar menghentikan niatnya dan menghela napas lega. Lain dengan Lucas, ia tampak kecewa dan bergegas mengganti pakaian, setelahnya bergegas membuka pintu.
"Tuan Lucas, ada seseorang yang mencari anda. Dia sedang menunggu Tuan di bawah," ucap salah seorang petugas hotel.
"Baiklah, aku akan menemuinya," balas Lucas.
"Baik, Tuan."
Lucas tampak kecewa dan menatap Lunar sebelum keluar dari kamarnya. Ia pun mengunci pintu kamar agar Lunar tidak dapat kabur darinya. Tapi, ia tampak bertanya-tanya siapa yang ingin bertemu dengannya itu? Mungkinkah Grace yang ingin menemuinya kembali? Atau mungkin, wanita itu telah mengambil keputusan untuk bercerai dengan Lucas.
"Selamat datang Tuan Lucas, apa kabarmu?" sapa seorang pria dengan senyum menyeringai.
Lucas tampak bungkam saat menyadari kehadiran pria itu. Siapa lagi kalau bukan Hans, pamannya sendiri. Lucas terlihat mengepalkan tangannya, ia begitu sangat membenci pria yang tak bertanggung jawab itu.
"Tuan Lucas. Bisakah kita berbicara sebentar? Tapi, sebelumnya saya minta maaf telah mengganggu waktumu," ucapnya seraya mempersilahkan Lucas untuk duduk.
Lucas pun dengan terpaksa duduk di depannya. Matanya sedari tadi menaruh rasa kebencian terhadap Hans.
"Apa maumu?!" sahut Lucas tak mau basa basi lagi.
"Jangan marah dulu. Kedatangan saya ke sini hanya untuk menyampaikan pesan dari Nyonya Grace, terimalah surat ini." ucapnya sambil menyerahkan sebuah surat kepada Lucas.
Lucas menerima surat itu dan membaca dengan teliti. Seketika matanya melotot saat mengerti apa maksud dan tujuan surat yang ditulis oleh Grace.
"Saya tidak akan pernah menandatangani surat pernyataan ini!" gertak Lucas, seraya merobek dan melempar surat itu di depan Hans.
***
Melihat kejadian itu, Hans merasa geram dan menatap wajah keponakannya itu. Ia pun hendak menampar pipi Lucas dan dengan cepat Lucas mencekalnya. "Kau jangan mencampuri urusan orang lain. Dasar pengkhianat!" gertak Lucas tersulut emosi. "Jangan banyak bicara, Lucas! Aku melakukan ini atas perintah Nyonya Grace. Seharusnya kau juga tidak perlu menceraikannya. Jika bukan karena Grace, adikmu tidak akan selamat!" tegas Hans tak kalah lantang. "Dasar! Ini urusan rumah tanggaku. Jangan membawa-bawa dengan kecelakaan adikku. Sebaiknya kau harus bertanggung jawab atas perbuatanmu itu," "Kau jangan asal bicara, aku tidak pernah berbuat apapun atas kematian bibinya Grace, kau sendirilah yang membunuhnya."Hans begitu marah dan masih terus menatap tajam wajah Lucas. Sementara, Lucas tak mau kalah ia merasa dirinya begitu hina atas tuduhan pamannya. Ia pun meninju wajah Hans membuat pria itu merasa kesakitan. "Sial! Kau berani membuatku celaka. Kau juga harus merasakan ini."Hans mulai ters
Lunar tampak membulatkan kedua matanya, sesaat ia mengedarkan pandangannya ke arah depan. "Aku tidak setuju." tukasnya membuat Lucas semakin ingin menggodanya. "Kau harus setuju, karena kau gadisku." Lunar langsung terdiam. Ia sudah kehabisan kata-kata dan membuat dirinya ingin memaki pria itu.Lucas tertawa senang menampakkan barisan giginya yang rapi. Ia pun kembali fokus menyetir hingga mereka tiba di sebuah hotel yang dituju. Di sana Lucas memarkirkan mobilnya dan mempersilahkan Lunar turun layaknya seorang putri. Lunar menerima perlakuan Lucas dengan baik. Mereka berjalan menuju kamar di mana mereka menetap.Dari kejauhan, terlihat seseorang tampak memperhatikan gerak gerik mereka berdua. Semua itu tak menaruh curiga sedikit pun antara Lucas dan Lunar. "Akhirnya sampai juga, aku sudah cukup lelah." ungkap Lunar lalu membanting tubuhnya di atas ranjang saat mereka tiba di kamar. "Apa kau tidak pernah bepergian sebelum itu? Saat menikah dengan Doris? Ah, bukan itu maksudku. Seb
"Aku takut terasa sakit, Tuan," ucap Lunar setelah melepas ciuman itu. "Itu hanya sebentar, Sayang. Setelahnya kau akan merasakan sensasi yang begitu nikmat. Tahan, ya? Aku akan memasukkannya secara perlahan." balas Lucas, lalu membimbing juniornya ke arah liang kewanitaan Lunar. Di sana, ia mencoba menggesek-gesekkannya sebelum membenamkan benda itu.Terlihat Lunar mengerang, mendesah serta merintih menikmati setiap gesekan demi gesekan. "Tahan, Sayang. Ahhh ... sempit sekali. Baiklah, aku coba kembali. Aaahh ... akhirnya," Lucas tertawa senang saat juniornya telah masuk ke vagina Lunar. "Sakit Tuan. Ini perih sekali," rintih Lunar tak dapat menahannya.Rasanya ada sesuatu yang telah robek dan membuat miliknya terasa perih. "Tahan, Sayang. Aku mainkan secara pelan."Lucas mendorong benda itu lebih dalam dan bergerak naik turun mengikuti irama permainan itu. Kenikmatan mana lagi yang kau dustakan? Ini merupakan kenikmatan yang amat luar biasa dan baru pertama kali ia rasakan. Begi
Di kamar Presidential Suite di sebuah hotel di Kota Malang yang sejuk, Erza membuka matanya. Kekuatan di tubuhnya tampak habis, dan rasa lelah menyelimutinya. Sebenarnya Erza jarang merasa lelah seperti ini. Rasa sakit di kepala berangsur-angsur memulihkan ingatan Erza. Dia minum banyak alkohol tadi malam, dan itu adalah rekor dalam hidupnya. Sialan! Demi langit dan bumi, aku, Erza, bersumpah bahwa aku akan membalas dendam padamu. Tidak peduli siapa dirimu, aku pasti akan menghabisimu. Aku akan membalaskan dendamku padamu! Pekik Erza berulang kali dalam hatinya. Dia terus mengucapkan kata-kata ini di dalam hatinya dengan urat di dahinya yang menonjol, dan napas yang terasa berat. Niat membunuh yang kuat mulai menyebar ke tubuh Erza. Tanpa diduga, air mata jatuh dari sudut matanya, dan kepalan tangan Erza menegang. Rasa sakit di hatinya membuat Erza tegang. Erza lebih suka percaya bahwa itu hanya mimpi. Dia bahkan mengatakan bahwa dia akan membayar berapa pun as
Mungkin karena terlalu banyak hal yang terjadi baru-baru ini Erza tertidur tanpa sadar saat di pesawat. "Pak, pesawat telah mendarat." Suara pramugari membawa Erza kembali ke dunia nyata. "Ah, baik. Terima kasih," ucap Erza. Erza turun dari pesawat dan keluar dari bandara. Saat Erza keluar dari bandara, dia tercengang. Kota Semarang, meskipun hanya terlihat dari sebuah bandara, benar-benar berbeda dari sepuluh tahun yang lalu. "Ini gila!" Erza menggelengkan kepalanya. Begitu dia hendak menghentikan taksi, Erza menyadari bahwa dia tidak punya uang. Erza juga sedikit tidak berdaya. Berpikir tentang itu sekarang, dia benar-benar merasa tertekan. Namun, bagi Erza yang telah melewati badai dan ombak hal ini tidak akan membuatnya menyerah. Setelah membuka dompetnya, Erza menemukan uang 10 ribu rupiah. "Karena aku tidak mampu membayar taksi, ayo naik bus saja!" gumam Erza. Setelah beberapa saat, Erza akhirnya menemukan lokasi halte bus. Dia langsung naik bus
Melihat Erza di depannya, Alina tidak bisa menahan tawa. "Jangan khawatir, aku masih bisa membeli makanan," jawab Erza terkekeh. Erza pertama kali datang ke perusahaan dengan Alina. Di bawah perkenalan Alina, Erza dapat mengikuti pekerjaan dengan lancar, dan Alina juga membantu Erza untuk mendapatkan asrama yang membuat Erza sangat berterima kasih. "Aku tidak menyangka kamu bekerja di perusahaan sebesar itu!" seru Erza. Setelah keduanya keluar, Erza sangat lega, dan masalah makanan dan pakaiannya teratasi. Erza juga sedikit kagum ketika melihat orang-orang berlalu-lalang di di gedung dua puluh lantai itu. "Semua orang akan jadi rekan kerja mulai sekarang, kamu mau makan apa? Aku undang kamu makan malam dulu," kata Alina pada Erza. Dalam hatinya, Erza merasa senang. "Apa pun yang mengeyangkan," jawab Erza dengan senyum lebar. Alina menggelengkan kepalanya dan tersenyum tipis. Namun, Alina tidak pelit. Dia membawa Erza ke restoran kelas menengah, dan memesan
"Kakak, hati-hati!" pekik Wika tiba-tiba. Wika melihat bahwa beberapa preman itu kembali lagi dan akan menghajar Erza. Sementara Wika mengingatkan Erza, salah satu preman sudah mengangkat tinjunya dan memukul kepala Erza dengan keras. Melihat kekuatannya, bahkan jika kepala Erza sekeras baja, pasti rasa sakitnya tidak karuan. Tinju pria besar itu ternyata tidak mengenai kepala Erza karena dia menghindar ke samping dalam sekejap. Kecepatannya yang dahsyat membuat para preman itu kebingungan. Wika juga tercengang di sana. Dia menggelengkan kepalanya dengan kuat dengan tampilan yang tidak percaya. Melihat situasi di depannya, sekarang Wika benar-benar tidak percaya. Benarkah ada kecepatan seperti Erza di dunia? Erza meraih lengan lawan, dan dengan cepat memutar tubuhnya. Dengan kekuatan tiba-tiba, dia langsung melemparkan preman itu dari punggungnya, dan akhirnya pria itu jatuh dengan keras ke tanah. Tidak peduli siapa itu, tidak akan pernah terpikir oleh Wika bahwa pria ya
Kepala perawat itu menemui sekelompok dokter. Saat melihat sekelompok dokter yang dipimpin oleh dokter ahli bernama Dokter Suwarno yang berusia setengah ratus tahun itu, banyak pasien yang menebak-nebak apa yang sedang terjadi. Di sisi lain, Wika mengantar Erza ke kamar adiknya, Wina. "Erza, ini kamar adikku." Bisa dikatakan bahwa harga kamar di rumah sakit, khususnya kamar yang ditempati Wina ini tidak lebih baik dari harga hotel bintang lima, namun kondisi ini tentu saja tidak sebanding dengan hotel bintang lima. "Wina, ada yang datang menemuimu," kata Wika. Wika membuka pintu dengan lembut dengan ekspresi yang hampir tidak tersenyum di wajahnya. Dia berjalan ke tempat tidur Wina, lalu duduk. Pada saat yang sama, Wika dengan lembut menutupi saudara perempuannya itu dengan selimut. Dia terlihat sangat hati-hati. "Saudaraku, apakah kamu baik-baik saja?" Nada suara Wina sangat lemah. Tetapi ketika Erza melihat Wina, matanya memancarkan kegembiraan yang tida
"Kamu di mana?" Ketika dia dengan cepat berlari ke bawah, Erza menyadari bahwa dia bahkan tidak menanyakan alamat Farina. "Aku di polres sekarang," jawab Farina. "Aku akan segera ke sana." Setelah menutup telepon, Erza dengan cepat mengambil mobilnya dan menuju ke Polres Semarang. Dalam perjalanan, adegan peristiwa masa lalu terus-menerus teringat di benak Erza. Dia awalnya memiliki masa kecil yang bahagia, tetapi sepuluh tahun yang lalu, orangtuanya tiba-tiba menghilang. Para polisi juga menyelidiki kasus ini, tetapi tidak ada hasil. Erza akhirnya menjadi yatim piatu. Kemudian, dia bertemu dengan seorang tentara yang membawanya ke markas. Melalui usahanya sendiri, Erza akhirnya menjadi prajurit dan mendapatkan banyak gelar kehormatan atas jasanya. Dia sangat senang saat berada di medan perang bersama rekan seperjuangannya. Namun, saat dia mendapat suatu misi yang sangat sulit dan rekan-rekannya itu harus menjadi korban, air mata Erza mengalir hampir tak terkendali.
"Aku mau ke toilet dulu," kata Sanca seraya berdiri. Sejujurnya saat ini, Sanca sedikit pusing. Bagaimana tidak? Dia harus mengeluarkan uang berpuluh-puluh juta dalam semalam. Setelah berada di toilet, Sanca mulai menelepon kemana-mana untuk meminjam uang karena dia tidak punya cukup uang. Meski dia adalah anak walikota, tapi dia sama sekali tidak mungkin untuk memesan semua menu premium. Di sisi lain Lana bertanya, "Erza, apakah ini tidak terlalu berlebihan? Apakah kita harus melakukan ini?" "Apa yang berlebihan? Dia awalnya berniat buruk padamu, jadi kita harus memberinya sedikit pelajaran sekarang," kata Erza sambil mulai makan. "Sial! Ke mana semua teman-teman brengsek ini? Mereka biasanya menggunakan segala macam alasan untuk meminjam uang dariku, tapi saat aku meminjamnya mereka malah tidak menggubris sama sekali," gertak Sanca. Di toilet, setelah lama menelpon, Sanca tidak tahu berapa orang yang sudah dia hubungi. Untungnya, dia akhirnya mendapatkan pinjaman
"Karena Erza juga ada di sini, ayo makan bersama saja," kata Lana. Melihat Lana berbalik dan masuk, Sanca juga dengan cepat mengejarnya. Bahkan jika dia tidak dapat melakukan apa-apa dengan Lana hari ini, tetapi setidaknya sesi makan malam ini dapat memberi kesan baik untuk dirinya. Sejak Sanca kembali dari belajar di luar negeri, orangtuanya selalu mendukung dirinya untuk berkencan dengan Lana. Jika Sanca bisa menikah dengan Lana, maka perusahaan Lana juga akan menjadi miliknya. Untuk mendapatkan hati Lana, orangtua Sanca memberikan berbagai macam fasilitas padanya untuk menarik perhatian gadis itu. "Ayo, pesan apa saja yang ingin kamu makan," kata Sanca dengan sombong setelah mereka masuk ke ruangan VIP di restoran hotel itu. "Saya tahu bahwa Tuan Sanca sangat murah hati," ucap Erza terkekeh. Sanca hanya tersenyum dan mengangguk sambil mengutuk pria itu di dalam hati. Lana melihat menu dulu, lalu memesan steak dan sebotol anggur merah. Harganya sekitar 5
"Aku teman sekelas Lana dulu saat masih sekolah. Ada yang ingin kukatakan padanya sekarang. Bisakah kamu meninggalkan kami berdua saja?" Sanca merasa sedikit tidak sabar. "Tidak bisa. Aku bukan hanya sopir Bu Lana, tapi juga pengawalnya. Aku tidak bisa pergi meninggalkan kalian berdua," elak Erza. "Ini, Lana, pegang bunga ini dulu," kata Sanca pada Lana. Ada dorongan untuk membunuh Erza di hati Sanca, tapi dia berusaha menahan diri. "Bunga ini sangat indah, bukankah Anda menyukai ini, Bu Lana?" Erza mengambil bunganya. "Jika kamu menyukainya, ambil saja," kata Lana acuh tak acuh. Dia tidak tahu apa yang akan dilakukan Erza. "Maaf, Bu Lana tidak menginginkannya. Sepertinya Anda harus membawanya kembali." Ketika Erza berbicara, dia menyerahkan mawar itu kepada Sanca. Tanpa diduga, Sanca tidak bereaksi. Walaupun bunganya sangat mahal, ditambah ongkos kirimnya yang mencapai jutaan, Sanca sangat malu untuk mengambilnya kembali. "Bunga ini sangat mahal
Apakah Alina sedang bercanda? Apa dia meminta Erza membawa Lana ke hadapannya dan menjelaskan bahwa gadis itu adalah istrinya? Jangankan membuat Alina percaya, bahkan Lana pun mungkin tidak akan setuju. "Alina, aku…" kata Erza. "Apa kamu tidak akan bertanggung jawab padaku?" Mata Alina terlihat sedikit menyedihkan. "Baiklah." Erza tidak bisa berkata-kata pada akhirnya. "Kamu belum sarapan, bukan? Aku akan membuatkan sarapan untukmu." Setelah mendengar Erza menyetujuinya, Alina memasang ekspresi bahagia di wajahnya. Erza saat ini merasa sedikit tertekan. Dia benar-benar tidak tahu apa yang terjadi akhir-akhir ini. Alina membuatkan Erza sepiring nasi goreng. Setelah Erza mencobanya, dia berkata, "Ini enak. Aku tidak menyangka kamu bisa memasak." Keterampilan memasak Alina memang sangat bagus. "Jika menurutmu enak, kamu bisa pindah ke sini dan hidup di sini bersama denganku," celetuk Alina. "Apa?" Erza membuka mulutnya lebar-lebar dan menatap Alina
Bagi Wina, Lana terlihat sangat menyukainya. Hal itu juga membuat Erza merasa lega. "Wina, kamu bisa tidur denganku di lantai tiga malam ini." Lana berkata pada Wina setelah makan malam. Erza tidak bisa memahaminya. Lana adalah istrinya. Sekarang dia justru mengajak Wina tidur bersamanya, sedangkan Erza harus tidur di lantai dua. "Tapi aku ingin tidur dengan Kak Erza," jawab Wina polos. Erza yang sedang meminum jus langsung memuntahkannya. Setelah Wina selesai berbicara, Lana menatap Erza dengan marah. Erza balas menatapnya dengan rasa bersalah. Pada saat ini, semakin Erza menjelaskan, semakin marah Lana padanya, jadi lebih baik untuk tutup mulut. Melihat Erza tidak berbicara, Lana yang tampak sedikit marah, dan langsung pergi. "Kak Erza, apakah aku mengatakan sesuatu yang salah?" tanya Wina pada Erza. "Tidak, kamu harus istirahat lebih awal. Bu Siska, tolong siapkan kamar untuk Wina," kata Erza. Saat ini, dia benar-benar tidak tahu harus berkata apa. Bu Siska
"Terima kasih banyak, Erza." Mata Wika tiba-tiba berbinar. "Ayo pergi, cari tempat makan. Kamu sepertinya belum makan siang." Erza melihat jam. Saat ini sudah sekitar jam empat sore, jadi dia tidak perlu kembali ke perusahaan. Begitu mereka tiba di sebuah restoran, telepon Erza berdering. "Erza, kamu pergi ke mana? Mengapa kamu tidak masuk kerja pada hari pertamamu sebagai wakil manajer?" Suara kecewa Alina terdengar di telepon. "Alina, aku ada urusan mendesak di sini. Aku tidak bisa kembali ke kantor sore ini," jelas Erza. "Apa ada yang tidak beres saat kamu makan siang dengan Pak Doni?" tanya Alina khawatir. Erza menjawab singkat, "Tidak, kok." "Ya sudah. Tidak apa-apa. Aku akan meminta izin untukmu, tapi kamu harus masuk kerja besok." Nada suara Alina sangat menenangkan. "Terima kasih, Alina," jawab Erza. Setelah menutup telepon, Erza mulai makan. Setelah selesai makan, dia langsung mengeluarkan lima ratus ribu yang diberikan oleh polisi
Para preman itu akhirnya menyetujui tawaran Erza, dan mereka bersedia membebaskan Wika dan Wina. Wika berkata pada Erza dan Farina, "Terima kasih." Dia sedikit takut dengan Farina. "Aku akan membiarkan kalian pergi untuk saat ini," kata Farina pada kelompok preman itu. Setelah itu, dia menatap Erza, "Apa yang kamu lakukan? Mengapa kamu tidak membawa teman-temanmu pergi?" Entah kenapa, saat melihat ekspresi Erza saat ini, Farina merasa sangat bangga. "Tidak ada mobil, bagaimana aku bisa pergi?" tanya Erza. Farina sedikit jengkel mendengarnya. Erza berkata lagi, "Bagaimana kalau kamu mengantar kami ke mobilku? Aku rasa mobilku masih ada di tempat tadi." Erza memiliki ekspresi waspada di wajahnya. Pada saat ini, Erza juga sedikit takut. Jika Farina tidak bisa emosinya, gadis itu akan meledak ketika saatnya tiba. Farin menjawab dengan senyum terpaksa, "Baiklah." Dia segera menelepon kantor polisi. Setelah menjelaskan semuanya, petugas di sana bergegas datang. Seben
"Tunggu dulu. Sebelum bernegosiasi, aku akan membereskan gadis kecil ini dulu," kata preman itu pakda Farina. Mendengar apa yang dikatakan si preman, kali ini Farina benar-benar ingin meledak, dan dia bergegas menuju ke arah si preman. Langkah Farina juga mengejutkan Erza. Erza tidak menyangka gadis ini begitu pemarah. Ada lebih dari 30 orang di hadapannya. Saat ini, gadis itu benar-benar berani mendekati mereka. Dalam sekejap, Farina tiba di depan para preman itu. Tidak ada yang menyangka bahwa seorang gadis seperti Farina bisa begitu berani. Tapi, para preman itu tidak berpikir demikian. Ketika Farina tiba di depannya, dia dengan cepat mencengkeram kerah pemimpin mereka, dan kemudian tiba-tiba ditarik ke bawah. Pemimpin preman itu merasakan tubuhnya jatuh ke depan, dan Farina dengan cepat menggunakan lututnya untuk menendang perut pria itu. "Ah." Dengan teriakan dari mulutnya, pemimpin preman itu terbaring kesakitan di tanah. Rangkaian aksi serangan Farina benar-b