"Tolong! Jangan sentuh aku, Tuan. Aku mohon ...." rintih Lunar saat pria bernama Lucas itu mulai menindih tubuhnya.
Pria di hadapannya tak peduli lagi dengan kata-kata yang dilontarkan oleh Lunar. Meski sesekali Lunar menampakkan tangisnya, pria itu tak sedikit pun merasa belas kasihan.
"Tuan, aku mohon ... jangan sentuh aku ...." rengek Lunar tak henti-henti.
"Diam! Jangan banyak merengek ataupun menangis. Suamimu telah menjualmu dengan harga satu milyar padaku. Jika aku menyia-nyiakanmu, aku akan merasa rugi." bentak Lucas dengan intonasi tak dapat terkontrol lagi.
Lunar hanya bisa menangis dan tak menduga jika suaminya tega menjualnya kepada Lucas. Mungkin ini memang salahnya, saat lima tahun menikah Lunar tak pernah mengizinkan Doris untuk menyentuhnya. Bukan apa-apa, semua itu Lunar lakukan karena suatu sebab dan alasan.
Kini ia tak dapat lari dari pria arrogan itu, untuk merangkak saja dirinya sudah tak kuasa. Matanya hanya bisa mengeluarkan bulir-bulir bening yang membuat dadanya semakin sesak. Ia juga tidak tau, alasan apa sebenarnya yang membuat Doris tega menjualnya?
"Hapus air matamu! Aku muak melihat wanita menangis. Kau harus bisa memuaskan hasratku malam ini!" perintah Lucas dengan lantangnya.
Mungkin ini sudah menjadi nasib buruknya yang harus menjadi wanita pemuas hasrat pria asing di hadapannya. Lidahnya kelu, dadanya teramat sesak sambil sesekali tangannya menyeka air matanya. Ia sudah tak peduli lagi dengan keadaannya yang sudah tampak kacau.
"Apa yang harus kulakukan, Tuan?" tanya Lunar dengan bibir gemetar.
"Panggil aku Tuan Lucas!" sergah Lucas dengan angkuhnya. "kau cukup melayaniku saja setiap malam dan menjadi pemuas hasratku. Jika kau berani menolak atau mencoba kabur dariku, aku tidak segan-segan membuat ibumu mati." ancam Lucas dengan puas.
Lunar semakin tertekan dan khawatir dengan keadaan ibunya. Sudah setengah tahun lamanya ibunya divonis penyakit jantung dan perlu uang untuk membiayai pengobatannya. Lunar tidak dapat membayangkan betapa buruknya nasib yang akan diterimanya. Entah sampai kapan dirinya harus terjebak dalam mimpi buruknya?
"Pergilah, mandi. Bersihkan dirimu yang kotor dan bau itu. Aku akan menunggumu di sini," pinta Lucas dengan angkuhnya.
"B-baik." balas Lunar dengan bibir masih bergetar.
Bagaimana mungkin ia harus lari dari pria mengerikan dan tidak dikenalnya itu? Melihat wajahnya saja cukup membuat nyalinya ciut. Apakah benar adanya orang-orang luar itu sangat kejam dan keras? Lunar terus menangis sambil mengguyur tubuhnya dengan air shower. Entah berapa lama ia harus bertahan di kota London ini? Membayangkannya sangat membuatnya kehilangan arah.
Kini Lunar telah kembali dengan handuk kimono yang menutupi tubuhnya. Tampaknya keadaannya sudah sedikit membaik. Tubuhnya terasa segar dan lebih fresh setelah mandi. Matanya tercengang saat melihat makanan tersaji di atas meja. Ia tersenyum sambil mengelus perutnya. Kebetulan saat itu perutnya mulai lapar dan ia sudah tak tahan untuk menyantap makanan tersebut.
Tapi, seketika ia merasa bingung. Ia tidak melihat ke mana pria itu? Lunar mencoba mencari pria itu di seluruh sudut kamar, akan tetapi hasilnya nihil.
"Nyonya Lunar. Anda diminta untuk segera makan. Karena Tuan Lucas sedang ada urusan di luar, dan beliau akan kembali sesegera mungkin." perintah salah seorang pramusaji di hotel itu.
Lunar bergeming sejenak, lalu menatap pramusaji di hadapannya yang hendak melangkah keluar.
"Tunggu dulu!" sergah Lunar dengan bersedekap dada.
"Ada apa Nyonya?" tanya pramusaji itu sambil membungkuk hormat.
"Siapa sebenarnya Tuan Lucas? Kenapa beliau memberikan makan seenak ini?" tanya Lunar penasaran.
"Ah, Nyonya tidak tau. Bukankah Tuan Lucas calon suami anda." jawab Pramusaji itu.
Lunar masih tak mengerti dengan semuanya? Apakah benar yang diucapkan oleh pramusaji itu padanya? Bukankah pria itu cukup arrogan dan keras. Bagaimana bisa beliau ingin menjadikan Lunar sebagai istrinya? Sedangkan tadi dia mengatakan, bahwa dia telah membeli Lunar dan menjadikan Lunar sebagai pemuas hasratnya.
"Nyonya, sebaiknya anda makan dulu. Jika tidak, Tuan Lucas akan marah dan memecat kami," ucap pramusaji itu.
"Memecat?" tanya Lunar tak mengerti.
"Iya, Nyonya. Tuan Lucas adalah Direktur hotel ini. Jadi, kami harus menghormati dan bekerja dengan baik," jawabnya.
"Oh, baiklah. Aku akan makan segera, sekali lagi terima kasih, ya?"
"Baik, Nyonya. Selamat bersenang-senang."
***
"Aku sudah katakan padamu, Grace. Aku tidak menginginkanmu lagi. Untuk apa kau masih menemuiku?" ucap Lucas saat berada di restoran bersama seorang wanita.
"Lucas. Aku mohon jangan tinggalkan aku. Aku berjanji akan menjadi wanita seperti yang kau inginkan," jawab Grace yang merupakan istri Lucas.
"Omong kosong! Aku sudah tidak percaya padamu lagi, Grace. Setiap saat aku meminta kau melayaniku, kau selalu menolak. Hanya menangis dan menangis yang kau lakukan, aku muak!"
"Tapi, aku janji ... aku akan ...."
"Cukup! Sudah cukup sampai di sini. Meskipun aku belum pernah menyentuhmu, aku merasa menyesal karena telah menikahimu. Mulai besok, kita bercerai!"
"Lucas!"
Lucas tak peduli lagi dengan teriakan istrinya. Ia berjalan melangkah menuju sebuah lift. Di sana wajahnya tampak kusut dan kusam. Entah sampai kapan ia harus bertahan seperti itu. Menikahi Grace merupakan penyesalan terbesar dalam hidupnya. Jika bukan karena Grace yang telah menyelamatkan nyawa adiknya, Lucas tak mungkin mau membalas kebaikan itu dengan menikahi Grace.
"Tuan Lucas, selamat datang kembali." sapa pramusaji lainnya saat melihat Lucas keluar dari lift.
Lucas hanya mengangguk tanpa ekspresi. Lalu, ia berjalan menuju kamar di mana Lunar berada. Pandangannya menerawang saat melihat Lunar sedang tertidur. Lucas masuk dan menghampiri gadis itu. Ditatapnya perlahan wajah Lunar dan sesekali dibelainya rambutnya.
"Gadis 1 milyarku, kuharap kau tidak akan pernah kabur dariku." gumam Lucas sambil merebahkan tubuhnya di atas ranjang.
Tubuhnya benar-benar berat memikul masalah yang saat ini dijalaninya. Ia tak boleh bertahan terus menerus dengan Grace, Lucas memijat pelipisnya dan meraih ponselnya. Matanya terbelalak lebar saat membaca sebuah pesan dari Grace.
[Jika kau berani menceraikanku. Aku tidak akan tinggal diam membuat hidupmu berantakan. Satu lagi, aku juga akan membongkar semua rahasiamu karena telah membunuh bibiku.]
Lucas tampak meremas seprei dengan kasar. Ia memukul ranjang itu dan merasa kesal dengan ancaman Grace padanya. Sialnya, jika bukan karena dia ditipu oleh pamannya sendiri, ia tak mungkin terlibat dalam masalah besar itu.
"Tuan sudah kembali." ucap Lunar lirih dan terbangun dari tidurnya.
Lucas memandang Lunar dengan mata berkaca-kaca. Ia tak mungkin menampakkan kesedihannya kepada wanita di hadapannya itu. Lucas mendekatkan tubuhnya ke arah Lunar dan menatap kedua bola mata gadis itu.
"Kau begitu cantik dan menarik. Apa kau mau menjadi istriku?" ungkap Lucas membuat mata Lunar terbuka lebar.
"Maaf, Tuan. Status saya masih istri orang," balas Lunar sambil bangkit dari tidurnya.
"Aku tidak masalah, kau masih istri orang atau tidak? Yang jelas kau gadis satu milyar yang saat ini telah menjadi milikku, lakukanlah tugasmu!" Lucas tampak mendorong Lunar hingga terjatuh di atas ranjang. Keduanya saling berhadapan dan Lucas mulai menarik pakaian Lunar.
***
"Ah, Tuan. Jangan lakukan itu, aku takut ...." ucap Lunar sambil menutup kedua matanya. "Apa yang kau takutkan? Bukankah kau juga menginginkannya?" goda Lucas membuat Lunar membuka matanya.Mereka kini sama-sama saling menatap, Lucas mendekatkan wajahnya ke arah bibir Lunar. Wanita itu mencoba menyangkalnya. "Apa yang akan kau lakukan, Tuan?" "Kau milikku sekarang. Jadi, aku bebas mau melakukan apa saja semauku," "Tapi ... aku masih virgin, Tuan. Aku tak mungkin menyerahkan keperawananku begitu saja," "Aku tidak peduli. Justru itu yang kumau."Lucas tampak mengambil remote di sampingnya dan memadamkan lampu di kamar itu. Suasana malam itu sangat senyap. Dalam remang-remang malam itu, hasrat Lucas semakin melonjak. Tatkala ia melihat dan menyaksikan dengan jelas postur tubuh Lunar yang amat menggiurkan. Lucas segera mendekatkan bibirnya dengan bibir Lunar. First kissing pun dimulai. Lunar tampak tercengang dan sesaat ia memejamkan matanya sembari menikmati permainan lidah Lucas. K
Melihat kejadian itu, Hans merasa geram dan menatap wajah keponakannya itu. Ia pun hendak menampar pipi Lucas dan dengan cepat Lucas mencekalnya. "Kau jangan mencampuri urusan orang lain. Dasar pengkhianat!" gertak Lucas tersulut emosi. "Jangan banyak bicara, Lucas! Aku melakukan ini atas perintah Nyonya Grace. Seharusnya kau juga tidak perlu menceraikannya. Jika bukan karena Grace, adikmu tidak akan selamat!" tegas Hans tak kalah lantang. "Dasar! Ini urusan rumah tanggaku. Jangan membawa-bawa dengan kecelakaan adikku. Sebaiknya kau harus bertanggung jawab atas perbuatanmu itu," "Kau jangan asal bicara, aku tidak pernah berbuat apapun atas kematian bibinya Grace, kau sendirilah yang membunuhnya."Hans begitu marah dan masih terus menatap tajam wajah Lucas. Sementara, Lucas tak mau kalah ia merasa dirinya begitu hina atas tuduhan pamannya. Ia pun meninju wajah Hans membuat pria itu merasa kesakitan. "Sial! Kau berani membuatku celaka. Kau juga harus merasakan ini."Hans mulai ters
Lunar tampak membulatkan kedua matanya, sesaat ia mengedarkan pandangannya ke arah depan. "Aku tidak setuju." tukasnya membuat Lucas semakin ingin menggodanya. "Kau harus setuju, karena kau gadisku." Lunar langsung terdiam. Ia sudah kehabisan kata-kata dan membuat dirinya ingin memaki pria itu.Lucas tertawa senang menampakkan barisan giginya yang rapi. Ia pun kembali fokus menyetir hingga mereka tiba di sebuah hotel yang dituju. Di sana Lucas memarkirkan mobilnya dan mempersilahkan Lunar turun layaknya seorang putri. Lunar menerima perlakuan Lucas dengan baik. Mereka berjalan menuju kamar di mana mereka menetap.Dari kejauhan, terlihat seseorang tampak memperhatikan gerak gerik mereka berdua. Semua itu tak menaruh curiga sedikit pun antara Lucas dan Lunar. "Akhirnya sampai juga, aku sudah cukup lelah." ungkap Lunar lalu membanting tubuhnya di atas ranjang saat mereka tiba di kamar. "Apa kau tidak pernah bepergian sebelum itu? Saat menikah dengan Doris? Ah, bukan itu maksudku. Seb
"Aku takut terasa sakit, Tuan," ucap Lunar setelah melepas ciuman itu. "Itu hanya sebentar, Sayang. Setelahnya kau akan merasakan sensasi yang begitu nikmat. Tahan, ya? Aku akan memasukkannya secara perlahan." balas Lucas, lalu membimbing juniornya ke arah liang kewanitaan Lunar. Di sana, ia mencoba menggesek-gesekkannya sebelum membenamkan benda itu.Terlihat Lunar mengerang, mendesah serta merintih menikmati setiap gesekan demi gesekan. "Tahan, Sayang. Ahhh ... sempit sekali. Baiklah, aku coba kembali. Aaahh ... akhirnya," Lucas tertawa senang saat juniornya telah masuk ke vagina Lunar. "Sakit Tuan. Ini perih sekali," rintih Lunar tak dapat menahannya.Rasanya ada sesuatu yang telah robek dan membuat miliknya terasa perih. "Tahan, Sayang. Aku mainkan secara pelan."Lucas mendorong benda itu lebih dalam dan bergerak naik turun mengikuti irama permainan itu. Kenikmatan mana lagi yang kau dustakan? Ini merupakan kenikmatan yang amat luar biasa dan baru pertama kali ia rasakan. Begi
Di kamar Presidential Suite di sebuah hotel di Kota Malang yang sejuk, Erza membuka matanya. Kekuatan di tubuhnya tampak habis, dan rasa lelah menyelimutinya. Sebenarnya Erza jarang merasa lelah seperti ini. Rasa sakit di kepala berangsur-angsur memulihkan ingatan Erza. Dia minum banyak alkohol tadi malam, dan itu adalah rekor dalam hidupnya. Sialan! Demi langit dan bumi, aku, Erza, bersumpah bahwa aku akan membalas dendam padamu. Tidak peduli siapa dirimu, aku pasti akan menghabisimu. Aku akan membalaskan dendamku padamu! Pekik Erza berulang kali dalam hatinya. Dia terus mengucapkan kata-kata ini di dalam hatinya dengan urat di dahinya yang menonjol, dan napas yang terasa berat. Niat membunuh yang kuat mulai menyebar ke tubuh Erza. Tanpa diduga, air mata jatuh dari sudut matanya, dan kepalan tangan Erza menegang. Rasa sakit di hatinya membuat Erza tegang. Erza lebih suka percaya bahwa itu hanya mimpi. Dia bahkan mengatakan bahwa dia akan membayar berapa pun as
Mungkin karena terlalu banyak hal yang terjadi baru-baru ini Erza tertidur tanpa sadar saat di pesawat. "Pak, pesawat telah mendarat." Suara pramugari membawa Erza kembali ke dunia nyata. "Ah, baik. Terima kasih," ucap Erza. Erza turun dari pesawat dan keluar dari bandara. Saat Erza keluar dari bandara, dia tercengang. Kota Semarang, meskipun hanya terlihat dari sebuah bandara, benar-benar berbeda dari sepuluh tahun yang lalu. "Ini gila!" Erza menggelengkan kepalanya. Begitu dia hendak menghentikan taksi, Erza menyadari bahwa dia tidak punya uang. Erza juga sedikit tidak berdaya. Berpikir tentang itu sekarang, dia benar-benar merasa tertekan. Namun, bagi Erza yang telah melewati badai dan ombak hal ini tidak akan membuatnya menyerah. Setelah membuka dompetnya, Erza menemukan uang 10 ribu rupiah. "Karena aku tidak mampu membayar taksi, ayo naik bus saja!" gumam Erza. Setelah beberapa saat, Erza akhirnya menemukan lokasi halte bus. Dia langsung naik bus
Melihat Erza di depannya, Alina tidak bisa menahan tawa. "Jangan khawatir, aku masih bisa membeli makanan," jawab Erza terkekeh. Erza pertama kali datang ke perusahaan dengan Alina. Di bawah perkenalan Alina, Erza dapat mengikuti pekerjaan dengan lancar, dan Alina juga membantu Erza untuk mendapatkan asrama yang membuat Erza sangat berterima kasih. "Aku tidak menyangka kamu bekerja di perusahaan sebesar itu!" seru Erza. Setelah keduanya keluar, Erza sangat lega, dan masalah makanan dan pakaiannya teratasi. Erza juga sedikit kagum ketika melihat orang-orang berlalu-lalang di di gedung dua puluh lantai itu. "Semua orang akan jadi rekan kerja mulai sekarang, kamu mau makan apa? Aku undang kamu makan malam dulu," kata Alina pada Erza. Dalam hatinya, Erza merasa senang. "Apa pun yang mengeyangkan," jawab Erza dengan senyum lebar. Alina menggelengkan kepalanya dan tersenyum tipis. Namun, Alina tidak pelit. Dia membawa Erza ke restoran kelas menengah, dan memesan
"Kakak, hati-hati!" pekik Wika tiba-tiba. Wika melihat bahwa beberapa preman itu kembali lagi dan akan menghajar Erza. Sementara Wika mengingatkan Erza, salah satu preman sudah mengangkat tinjunya dan memukul kepala Erza dengan keras. Melihat kekuatannya, bahkan jika kepala Erza sekeras baja, pasti rasa sakitnya tidak karuan. Tinju pria besar itu ternyata tidak mengenai kepala Erza karena dia menghindar ke samping dalam sekejap. Kecepatannya yang dahsyat membuat para preman itu kebingungan. Wika juga tercengang di sana. Dia menggelengkan kepalanya dengan kuat dengan tampilan yang tidak percaya. Melihat situasi di depannya, sekarang Wika benar-benar tidak percaya. Benarkah ada kecepatan seperti Erza di dunia? Erza meraih lengan lawan, dan dengan cepat memutar tubuhnya. Dengan kekuatan tiba-tiba, dia langsung melemparkan preman itu dari punggungnya, dan akhirnya pria itu jatuh dengan keras ke tanah. Tidak peduli siapa itu, tidak akan pernah terpikir oleh Wika bahwa pria ya
"Kamu di mana?" Ketika dia dengan cepat berlari ke bawah, Erza menyadari bahwa dia bahkan tidak menanyakan alamat Farina. "Aku di polres sekarang," jawab Farina. "Aku akan segera ke sana." Setelah menutup telepon, Erza dengan cepat mengambil mobilnya dan menuju ke Polres Semarang. Dalam perjalanan, adegan peristiwa masa lalu terus-menerus teringat di benak Erza. Dia awalnya memiliki masa kecil yang bahagia, tetapi sepuluh tahun yang lalu, orangtuanya tiba-tiba menghilang. Para polisi juga menyelidiki kasus ini, tetapi tidak ada hasil. Erza akhirnya menjadi yatim piatu. Kemudian, dia bertemu dengan seorang tentara yang membawanya ke markas. Melalui usahanya sendiri, Erza akhirnya menjadi prajurit dan mendapatkan banyak gelar kehormatan atas jasanya. Dia sangat senang saat berada di medan perang bersama rekan seperjuangannya. Namun, saat dia mendapat suatu misi yang sangat sulit dan rekan-rekannya itu harus menjadi korban, air mata Erza mengalir hampir tak terkendali.
"Aku mau ke toilet dulu," kata Sanca seraya berdiri. Sejujurnya saat ini, Sanca sedikit pusing. Bagaimana tidak? Dia harus mengeluarkan uang berpuluh-puluh juta dalam semalam. Setelah berada di toilet, Sanca mulai menelepon kemana-mana untuk meminjam uang karena dia tidak punya cukup uang. Meski dia adalah anak walikota, tapi dia sama sekali tidak mungkin untuk memesan semua menu premium. Di sisi lain Lana bertanya, "Erza, apakah ini tidak terlalu berlebihan? Apakah kita harus melakukan ini?" "Apa yang berlebihan? Dia awalnya berniat buruk padamu, jadi kita harus memberinya sedikit pelajaran sekarang," kata Erza sambil mulai makan. "Sial! Ke mana semua teman-teman brengsek ini? Mereka biasanya menggunakan segala macam alasan untuk meminjam uang dariku, tapi saat aku meminjamnya mereka malah tidak menggubris sama sekali," gertak Sanca. Di toilet, setelah lama menelpon, Sanca tidak tahu berapa orang yang sudah dia hubungi. Untungnya, dia akhirnya mendapatkan pinjaman
"Karena Erza juga ada di sini, ayo makan bersama saja," kata Lana. Melihat Lana berbalik dan masuk, Sanca juga dengan cepat mengejarnya. Bahkan jika dia tidak dapat melakukan apa-apa dengan Lana hari ini, tetapi setidaknya sesi makan malam ini dapat memberi kesan baik untuk dirinya. Sejak Sanca kembali dari belajar di luar negeri, orangtuanya selalu mendukung dirinya untuk berkencan dengan Lana. Jika Sanca bisa menikah dengan Lana, maka perusahaan Lana juga akan menjadi miliknya. Untuk mendapatkan hati Lana, orangtua Sanca memberikan berbagai macam fasilitas padanya untuk menarik perhatian gadis itu. "Ayo, pesan apa saja yang ingin kamu makan," kata Sanca dengan sombong setelah mereka masuk ke ruangan VIP di restoran hotel itu. "Saya tahu bahwa Tuan Sanca sangat murah hati," ucap Erza terkekeh. Sanca hanya tersenyum dan mengangguk sambil mengutuk pria itu di dalam hati. Lana melihat menu dulu, lalu memesan steak dan sebotol anggur merah. Harganya sekitar 5
"Aku teman sekelas Lana dulu saat masih sekolah. Ada yang ingin kukatakan padanya sekarang. Bisakah kamu meninggalkan kami berdua saja?" Sanca merasa sedikit tidak sabar. "Tidak bisa. Aku bukan hanya sopir Bu Lana, tapi juga pengawalnya. Aku tidak bisa pergi meninggalkan kalian berdua," elak Erza. "Ini, Lana, pegang bunga ini dulu," kata Sanca pada Lana. Ada dorongan untuk membunuh Erza di hati Sanca, tapi dia berusaha menahan diri. "Bunga ini sangat indah, bukankah Anda menyukai ini, Bu Lana?" Erza mengambil bunganya. "Jika kamu menyukainya, ambil saja," kata Lana acuh tak acuh. Dia tidak tahu apa yang akan dilakukan Erza. "Maaf, Bu Lana tidak menginginkannya. Sepertinya Anda harus membawanya kembali." Ketika Erza berbicara, dia menyerahkan mawar itu kepada Sanca. Tanpa diduga, Sanca tidak bereaksi. Walaupun bunganya sangat mahal, ditambah ongkos kirimnya yang mencapai jutaan, Sanca sangat malu untuk mengambilnya kembali. "Bunga ini sangat mahal
Apakah Alina sedang bercanda? Apa dia meminta Erza membawa Lana ke hadapannya dan menjelaskan bahwa gadis itu adalah istrinya? Jangankan membuat Alina percaya, bahkan Lana pun mungkin tidak akan setuju. "Alina, aku…" kata Erza. "Apa kamu tidak akan bertanggung jawab padaku?" Mata Alina terlihat sedikit menyedihkan. "Baiklah." Erza tidak bisa berkata-kata pada akhirnya. "Kamu belum sarapan, bukan? Aku akan membuatkan sarapan untukmu." Setelah mendengar Erza menyetujuinya, Alina memasang ekspresi bahagia di wajahnya. Erza saat ini merasa sedikit tertekan. Dia benar-benar tidak tahu apa yang terjadi akhir-akhir ini. Alina membuatkan Erza sepiring nasi goreng. Setelah Erza mencobanya, dia berkata, "Ini enak. Aku tidak menyangka kamu bisa memasak." Keterampilan memasak Alina memang sangat bagus. "Jika menurutmu enak, kamu bisa pindah ke sini dan hidup di sini bersama denganku," celetuk Alina. "Apa?" Erza membuka mulutnya lebar-lebar dan menatap Alina
Bagi Wina, Lana terlihat sangat menyukainya. Hal itu juga membuat Erza merasa lega. "Wina, kamu bisa tidur denganku di lantai tiga malam ini." Lana berkata pada Wina setelah makan malam. Erza tidak bisa memahaminya. Lana adalah istrinya. Sekarang dia justru mengajak Wina tidur bersamanya, sedangkan Erza harus tidur di lantai dua. "Tapi aku ingin tidur dengan Kak Erza," jawab Wina polos. Erza yang sedang meminum jus langsung memuntahkannya. Setelah Wina selesai berbicara, Lana menatap Erza dengan marah. Erza balas menatapnya dengan rasa bersalah. Pada saat ini, semakin Erza menjelaskan, semakin marah Lana padanya, jadi lebih baik untuk tutup mulut. Melihat Erza tidak berbicara, Lana yang tampak sedikit marah, dan langsung pergi. "Kak Erza, apakah aku mengatakan sesuatu yang salah?" tanya Wina pada Erza. "Tidak, kamu harus istirahat lebih awal. Bu Siska, tolong siapkan kamar untuk Wina," kata Erza. Saat ini, dia benar-benar tidak tahu harus berkata apa. Bu Siska
"Terima kasih banyak, Erza." Mata Wika tiba-tiba berbinar. "Ayo pergi, cari tempat makan. Kamu sepertinya belum makan siang." Erza melihat jam. Saat ini sudah sekitar jam empat sore, jadi dia tidak perlu kembali ke perusahaan. Begitu mereka tiba di sebuah restoran, telepon Erza berdering. "Erza, kamu pergi ke mana? Mengapa kamu tidak masuk kerja pada hari pertamamu sebagai wakil manajer?" Suara kecewa Alina terdengar di telepon. "Alina, aku ada urusan mendesak di sini. Aku tidak bisa kembali ke kantor sore ini," jelas Erza. "Apa ada yang tidak beres saat kamu makan siang dengan Pak Doni?" tanya Alina khawatir. Erza menjawab singkat, "Tidak, kok." "Ya sudah. Tidak apa-apa. Aku akan meminta izin untukmu, tapi kamu harus masuk kerja besok." Nada suara Alina sangat menenangkan. "Terima kasih, Alina," jawab Erza. Setelah menutup telepon, Erza mulai makan. Setelah selesai makan, dia langsung mengeluarkan lima ratus ribu yang diberikan oleh polisi
Para preman itu akhirnya menyetujui tawaran Erza, dan mereka bersedia membebaskan Wika dan Wina. Wika berkata pada Erza dan Farina, "Terima kasih." Dia sedikit takut dengan Farina. "Aku akan membiarkan kalian pergi untuk saat ini," kata Farina pada kelompok preman itu. Setelah itu, dia menatap Erza, "Apa yang kamu lakukan? Mengapa kamu tidak membawa teman-temanmu pergi?" Entah kenapa, saat melihat ekspresi Erza saat ini, Farina merasa sangat bangga. "Tidak ada mobil, bagaimana aku bisa pergi?" tanya Erza. Farina sedikit jengkel mendengarnya. Erza berkata lagi, "Bagaimana kalau kamu mengantar kami ke mobilku? Aku rasa mobilku masih ada di tempat tadi." Erza memiliki ekspresi waspada di wajahnya. Pada saat ini, Erza juga sedikit takut. Jika Farina tidak bisa emosinya, gadis itu akan meledak ketika saatnya tiba. Farin menjawab dengan senyum terpaksa, "Baiklah." Dia segera menelepon kantor polisi. Setelah menjelaskan semuanya, petugas di sana bergegas datang. Seben
"Tunggu dulu. Sebelum bernegosiasi, aku akan membereskan gadis kecil ini dulu," kata preman itu pakda Farina. Mendengar apa yang dikatakan si preman, kali ini Farina benar-benar ingin meledak, dan dia bergegas menuju ke arah si preman. Langkah Farina juga mengejutkan Erza. Erza tidak menyangka gadis ini begitu pemarah. Ada lebih dari 30 orang di hadapannya. Saat ini, gadis itu benar-benar berani mendekati mereka. Dalam sekejap, Farina tiba di depan para preman itu. Tidak ada yang menyangka bahwa seorang gadis seperti Farina bisa begitu berani. Tapi, para preman itu tidak berpikir demikian. Ketika Farina tiba di depannya, dia dengan cepat mencengkeram kerah pemimpin mereka, dan kemudian tiba-tiba ditarik ke bawah. Pemimpin preman itu merasakan tubuhnya jatuh ke depan, dan Farina dengan cepat menggunakan lututnya untuk menendang perut pria itu. "Ah." Dengan teriakan dari mulutnya, pemimpin preman itu terbaring kesakitan di tanah. Rangkaian aksi serangan Farina benar-b