Di kamar Presidential Suite di sebuah hotel di Kota Malang yang sejuk, Erza membuka matanya. Kekuatan di tubuhnya tampak habis, dan rasa lelah menyelimutinya. Sebenarnya Erza jarang merasa lelah seperti ini.
Rasa sakit di kepala berangsur-angsur memulihkan ingatan Erza. Dia minum banyak alkohol tadi malam, dan itu adalah rekor dalam hidupnya.Sialan! Demi langit dan bumi, aku, Erza, bersumpah bahwa aku akan membalas dendam padamu. Tidak peduli siapa dirimu, aku pasti akan menghabisimu. Aku akan membalaskan dendamku padamu! Pekik Erza berulang kali dalam hatinya.Dia terus mengucapkan kata-kata ini di dalam hatinya dengan urat di dahinya yang menonjol, dan napas yang terasa berat. Niat membunuh yang kuat mulai menyebar ke tubuh Erza. Tanpa diduga, air mata jatuh dari sudut matanya, dan kepalan tangan Erza menegang.Rasa sakit di hatinya membuat Erza tegang. Erza lebih suka percaya bahwa itu hanya mimpi. Dia bahkan mengatakan bahwa dia akan membayar berapa pun asalkan itu semua tidak nyata, tetapi Erza tahu bahwa semua ini telah terjadi, dan tidak ada yang bisa dia lakukan untuk mencegahnya. Senyuman masam mencerminkan perasaan Erza yang semakin pedih."Hmm…"Pada saat ini, rengekan terdengar di telinga Erza."Siapa?" Erza langsung duduk dengan kedua tangan dalam posisi seperti seorang petinju yang siap menyerang dengan cepat. Karena dia tidak yakin apakah dia aman sekarang, posisi itu adalah yang paling tepat. Tetapi, ketika menoleh Erza justru tertegun."Apa yang sedang terjadi di sini?" tanya seseorang di sampingnya. Erza melihat ada keindahan dunia yang sedang terbaring di sampingnya. Gadis cantik itu tampaknya sedang tidur nyenyak. Dia bernapas teratur. Bulu matanya yang panjang sedikit bergerak karena terpaan angin.Wajah gadis itu sangat menawan. Penampilannya bisa membuat semua pria mengeluarkan air liur saat melihatnya. Meski selimut tipis di tubuhnya masih menempel, tapi Erza bisa melihat dengan jelas bentuk tubuh gadis itu yang sempurna. Lekuk tubuhnya seksi. Pemandangan ini sangat menyejukkan mata bagi Erza.Erza melihat ke bawah. Lantai terlihat sangat berantakan. Tiba-tiba dia teringat betapa intensnya "pertempuran" tadi malam. Erza pun bangun sepenuhnya. Dia mengutuk dirinya karena telah minum terlalu banyak. Erza memandang wanita di sampingnya, dan rasa bersalah di hatinya muncul seketika.Namun, di Kota Malang yang menyandang gelar sebagai kota wisata ini, pertemuan satu malam seperti itu sepertinya sudah wajar. Terlebih, udaranya sangat mendukung untuk aktivitas yang seperti itu. Semua ini normal. Erza sejujurnya sudah terbiasa dengan hal-hal semacam ini.Tetapi saat ini, Erza mengerti bahwa dia harus segera pergi. Jika dia tidak meninggalkannya, itu akan membawa lebih banyak masalah bagi gadis di sebelahnya itu. Ketika Erza hendak melepaskan selimutnya dengan hati-hati, dan hendak bangun dari tempat tidur, dia dikejutkan oleh secarik kertas yang sudah tidak asing baginya. Kertas itu menunjukkan bahwa dia dan wanita ini sudah menikah. Ingatan di benaknya menjadi kabur."Sial!" pekik Erza.Erza tidak bisa menahan untuk mengutuk dirinya. Dia tidak bisa berpikir bahwa pelariannya yang menyakitkan akan menyebabkan situasi seperti saat ini. Tentu saja, Erza bahkan tidak menyangka bahwa dia yang selalu berhati-hati bisa membuat kesalahan remeh seperti sekarang."Ini terasa menyakitkan!" keluh gadis yang ada di sebelahnya. Suara di telinganya itu membuat Erza tidak bisa menahan untuk tidak melihatnya."Berhenti, siapa kamu?" bentak gadis itu saat Erza menoleh ke arahnya. Suara penuh amarah dan menakutkan itu membuat Erza berhenti."Setiap orang dewasa kurasa akan melakukan ini," ucap Erza tanpa rasa bersalah."Brengsek!" gertak gadis yang bernama Lana itu. Lana dengan marah menyela pria di depannya. Dia mengerutkan kening saat berusaha mengingat apa yang terjadi tadi malam.Tadi malam, dia baru saja menyelesaikan urusan pekerjaan di Kota Malang. Dia belum pernah ke Malang sebelumnya, jadi setelah urusan selesai dia ingin bersantai dan menikmati waktunya di kota apel ini. Pada akhirnya, dia bertemu dengan Erza di bar. Keduanya sepertinya sedang asyik mengobrol tadi malam. Akhirnya, di bawah pengaruh alkohol, dia tiba-tiba pergi ke Kantor Urusan Agama dengan pria di depannya untuk mengajukan rencana pernikahan. Dia juga menghabiskan sepuluh juta untuk membuat pernikahan kecil-kecilan di KUA yang disaksikan oleh beberapa orang yang lewat."Ini memang kesalahanku!" Lana memaksa dirinya untuk tenang. Saat berpikir tentang itu sekarang, Lana juga merasa bahwa dia sedikit gila, tetapi dia tidak menyangka bahwa dia sangat tidak rasional dan menikah begitu saja dengan Erza.Erza menghela napas lega, tapi dia juga terkejut di dalam hatinya. Lana tampak seperti dia baru berusia dua puluh tahun, tapi dia bisa menghadapi hal-hal seperti ini tanpa terkejut."Maaf, aku juga tidak menyangka ini terjadi," ucap Erza sambil menunduk."Ayo kita selesaikan ini dulu, tapi sekarang aku ingin kamu keluar dulu. Aku mau ganti baju," ujar Lana.Lana kedinginan karena dia tidak mengenakan sehelai pun pakaian. Meskipun tampak tenang, dia merasa baru saja jatuh dari lantai paling atas sebuah gedung saat teringat bahwa dirinya telah menikah."Baiklah!" seru Erza. Menurutnya, saat ini perceraian adalah hal yang paling ingin dilakukan olehnya. Jika wanita di depannya tidak berencana bercerai, dia tetap akan pergi ke kantor notaris untuk mengajukan perceraian. Untunglah wanita itu mengambil inisiatif untuk membahas masalah ini. Itu akan bagus, setidaknya itu akan menyelesaikan banyak masalah. Tapi, Erza juga bisa membayangkan bahwa pernikahan yang tidak bertahan hingga 24 jam ini pasti akan membuat notaris pernikahan di Kota Malang menjadi keheranan.Erza berjalan ke tempat tidur dan mengambil pakaiannya."Mengapa ada begitu banyak luka?" Lana dengan tenang menatap Erza di depannya, tetapi ada beberapa gejolak di hatinya. Melihat luka di tubuh Erza membuat Lana berpikir bahwa pria itu tampak sangat mempesona. Meskipun Lana tidak mengetahui penyebab luka itu, dia dapat merasakan bahwa ada banyak cerita di balik luka-luka ini. Pria di depannya pasti bukan orang yang biasa, tetapi dia jelas bukan orang jahat. Begitulah insting Lana.Melihat pintu yang sudah tertutup setelah Erza keluar, Lana menghilangkan ekspresi tenangnya. Pakaian yang berserakan di lantai terlihat mengejutkan bagi Lana. Selain itu, di sana juga ada celana dalamnya yang robek.Lana tidak bisa untuk tidak memikirkan adegan tadi malam, meskipun dia tidak mengetahuinya. Kegilaan semalam membuat pipi Lana panas."Apa yang kamu pikirkan, Lana!" teriak Lana pada dirinya sendiri. Lana kini sedang mengenakan pakaiannya. Ketika dia mengambil pakaian dalam berwarna hitam yang sudah rusak, selembar kertas muncul di depannya. Melihat benda berbentuk persegi panjang di depannya, Luna ragu-ragu sejenak. Ini bukan miliknya, 'kan? Dengan enggan, Lana melihat akta nikah dengan kata-kata Bahasa Indonesia di samping tempat tidur. Sudut mulutnya sedikit terangkat.Erza yang sedang duduk di sudut sofa di lobi hotel dan membaca koran dengan kacamata hitam besar kini melihat ke lift lagi. Sudah satu jam sejak dia turun ke lobi. Ini membuat hati Erza samar-samar dipenuhi semacam firasat buruk.Di sisi lain, Lana diam-dian keluar dari hotel dan naik taksi. Sopir taksi itu mau tidak mau diam-diam menatap wanita di kursi belakang. Meski wanita di kursi belakang itu tampak gegabah, dia sangat cantik."Erza, ini adalah saatnya kamu memberiku kompensasi!" gumam Lana di dalam taksi yang telah melaju. Dia melihat ke luar jendela taksi sambil menyentuh tas tangannya yang berisi surat nikah dari KUA di Kota Malang. Ini adalah pertama kalinya Lana serius melihat kota wisata yang penuh gemerlap ini. Melihat pemandangan di luar jendela, Lana tidak tahu apa yang sedang dia pikirkan. Setelah setengah jam berlalu, Lana sudah kembali ke hotel lain tempat dia tinggal sebelumnya.Erza yang sedang menunggu di lobi hotel tempatnya bermalam dengan Lana menyadari bahwa dia telah ditipu. Dia melihat ke kamar yang ternyata kosong. Dia tidak dapat menemukan wanita itu. Erza memaksa dirinya untuk tenang. Dia dengan hati-hati mengobrak-abrik setiap sudut dari seluruh kamar hotelnya itu. Di tempat tidur, tanda merah cerah membuatnya mengerutkan kening, tapi tak lama kemudian dia mencarinya lagi."Apakah itu karena tadi malam?" Erza mengerutkan kening saat dia melihat ke kamar kosong itu. Meskipun dia tidak tahu apa yang berbentuk hati itu, dia tahu itu pasti penting atau mungkin ada sesuatu yang penting tersembunyi di sana.Tiba-tiba Erza merasa kepalanya akan meledak setelah tahu bahwa akta nikahnya telah hilang. Dia berteriak dengan kasar, "Aku tidak boleh tinggal terlalu lama di sini. Aku harus mengejarnya!"Erza meninggalkan hotel, menghentikan taksi dan langsung pergi ke bandara untuk membeli tiket penerbangan tercepat."Semarang, sudah sepuluh tahun, dan aku tidak tahu seperti apa penampilanmu sekarang. Aku, Erza, akan kembali," ucap Erza pada dirinya sendiri karena akan kembali ke kota penuh kenangan itu. Melihat tiket di tangan, Erza diam-diam berkata di dalam hatinya bahwa sekarang dia hanya bisa pergi ke Semarang karena tidak ada tempat lain. Erza benar-benar tidak tahu apa yang lebih baik baginya selain Semarang.Mungkin karena terlalu banyak hal yang terjadi baru-baru ini Erza tertidur tanpa sadar saat di pesawat. "Pak, pesawat telah mendarat." Suara pramugari membawa Erza kembali ke dunia nyata. "Ah, baik. Terima kasih," ucap Erza. Erza turun dari pesawat dan keluar dari bandara. Saat Erza keluar dari bandara, dia tercengang. Kota Semarang, meskipun hanya terlihat dari sebuah bandara, benar-benar berbeda dari sepuluh tahun yang lalu. "Ini gila!" Erza menggelengkan kepalanya. Begitu dia hendak menghentikan taksi, Erza menyadari bahwa dia tidak punya uang. Erza juga sedikit tidak berdaya. Berpikir tentang itu sekarang, dia benar-benar merasa tertekan. Namun, bagi Erza yang telah melewati badai dan ombak hal ini tidak akan membuatnya menyerah. Setelah membuka dompetnya, Erza menemukan uang 10 ribu rupiah. "Karena aku tidak mampu membayar taksi, ayo naik bus saja!" gumam Erza. Setelah beberapa saat, Erza akhirnya menemukan lokasi halte bus. Dia langsung naik bus
Melihat Erza di depannya, Alina tidak bisa menahan tawa. "Jangan khawatir, aku masih bisa membeli makanan," jawab Erza terkekeh. Erza pertama kali datang ke perusahaan dengan Alina. Di bawah perkenalan Alina, Erza dapat mengikuti pekerjaan dengan lancar, dan Alina juga membantu Erza untuk mendapatkan asrama yang membuat Erza sangat berterima kasih. "Aku tidak menyangka kamu bekerja di perusahaan sebesar itu!" seru Erza. Setelah keduanya keluar, Erza sangat lega, dan masalah makanan dan pakaiannya teratasi. Erza juga sedikit kagum ketika melihat orang-orang berlalu-lalang di di gedung dua puluh lantai itu. "Semua orang akan jadi rekan kerja mulai sekarang, kamu mau makan apa? Aku undang kamu makan malam dulu," kata Alina pada Erza. Dalam hatinya, Erza merasa senang. "Apa pun yang mengeyangkan," jawab Erza dengan senyum lebar. Alina menggelengkan kepalanya dan tersenyum tipis. Namun, Alina tidak pelit. Dia membawa Erza ke restoran kelas menengah, dan memesan
"Kakak, hati-hati!" pekik Wika tiba-tiba. Wika melihat bahwa beberapa preman itu kembali lagi dan akan menghajar Erza. Sementara Wika mengingatkan Erza, salah satu preman sudah mengangkat tinjunya dan memukul kepala Erza dengan keras. Melihat kekuatannya, bahkan jika kepala Erza sekeras baja, pasti rasa sakitnya tidak karuan. Tinju pria besar itu ternyata tidak mengenai kepala Erza karena dia menghindar ke samping dalam sekejap. Kecepatannya yang dahsyat membuat para preman itu kebingungan. Wika juga tercengang di sana. Dia menggelengkan kepalanya dengan kuat dengan tampilan yang tidak percaya. Melihat situasi di depannya, sekarang Wika benar-benar tidak percaya. Benarkah ada kecepatan seperti Erza di dunia? Erza meraih lengan lawan, dan dengan cepat memutar tubuhnya. Dengan kekuatan tiba-tiba, dia langsung melemparkan preman itu dari punggungnya, dan akhirnya pria itu jatuh dengan keras ke tanah. Tidak peduli siapa itu, tidak akan pernah terpikir oleh Wika bahwa pria ya
Kepala perawat itu menemui sekelompok dokter. Saat melihat sekelompok dokter yang dipimpin oleh dokter ahli bernama Dokter Suwarno yang berusia setengah ratus tahun itu, banyak pasien yang menebak-nebak apa yang sedang terjadi. Di sisi lain, Wika mengantar Erza ke kamar adiknya, Wina. "Erza, ini kamar adikku." Bisa dikatakan bahwa harga kamar di rumah sakit, khususnya kamar yang ditempati Wina ini tidak lebih baik dari harga hotel bintang lima, namun kondisi ini tentu saja tidak sebanding dengan hotel bintang lima. "Wina, ada yang datang menemuimu," kata Wika. Wika membuka pintu dengan lembut dengan ekspresi yang hampir tidak tersenyum di wajahnya. Dia berjalan ke tempat tidur Wina, lalu duduk. Pada saat yang sama, Wika dengan lembut menutupi saudara perempuannya itu dengan selimut. Dia terlihat sangat hati-hati. "Saudaraku, apakah kamu baik-baik saja?" Nada suara Wina sangat lemah. Tetapi ketika Erza melihat Wina, matanya memancarkan kegembiraan yang tida
"Erza, aku akan menjadi pengikutmu mulai sekarang. Selama kamu mengucapkan memberikan perintah apapun padaku, aku tidak akan ragu-ragu untuk melaksanakannya," ucap Wika dengan penuh keyakinan. Pada saat ini, Wika telah memutuskan. "Lupakan, apa gunanya menjadi pengikutku?" tanya Erza. "Kamu adalah orang yang baik. Kamu menyelamatkan kakakku dan aku." Nada suara Wina juga sangat lembut. "Ya, kalian bisa kembali dulu. Ini nomor teleponku. Hubungi aku seminggu lagi. Wina seharusnya tidak akan kesakitan lagi," kata Erza. Usai Erza berpamitan, Wina bertanya pada Wika, "Saudaraku, siapa dia?" "Aku tidak tahu, ayo pulang," ajak Wika. Meskipun tidak jelas dari mana asal mula Erza, Wika sangat yakin bahwa Erza bukan orang sembarangan. Di sisi lain, Erza tampak sangat bersemangat dan kembali ke asrama. Bisa dibilang asramanya ini masih bagus, walaupun hanya asrama pegawai biasa, tetap saja ada satu kamar tidur dan satu ruang tamu. Tata letak ruangannya jug
"Aku akan mengabarimu lagi, kamu bisa keluar sekarang." Nada suara Lana menjadi dingin lagi. "Wah kamu menjadi sangat cuek sekarang, padahal malam itu di Malang, kamu terlihat sangat antusias," kata Erza menggoda. "Keluar!" teriak Lana. Lana langsung meraih cangkir, dan melemparkannya ke arah Erza hingga jatuh di bagian bawah kakinya. Tetapi ketika cangkir itu jatuh, Erza sudah melintas ke ambang pintu, dan bisa melarikan diri. "Juga, urusan kita jangan kamu sebarkan ke orang-orang diperusahaan ini!" pekik Lana. Ketika Erza hendak meninggalkan pintu kantor, suara Lana terdengar lagi. "Jangan khawatir, bahkan jika aku memberitahu orang lain bahwa kamu adalah istriku, mereka tidak akan mempercayaiku." Erza mengatakan kata-kata ini, membuka pintu dan pergi. Melihat punggung Erza, Lana menggertakkan gigi. Dia mengutuk dirinya karena telah memikirkan pria itu dari kemarin, padahal dia tahu bahwa Erza bajingan dan tidak tahu malu. "Gadis kecil, aku per
"Aku juga berharap seperti itu." Erza mengangkat bahu. Dia sebenarnya mengetahui bahwa dia diminta pergi ke ruangan Lana bukan untuk sebuah hal yang baik. Sejujurnya, meskipun Lana sangat cantik, Erza benar-benar tidak ingin pergi menemuinya karena gadis itu terlalu dingin. Tapi, dia tidak punya pilihan. Saat tiba di ruangan Lana, Erza kembali dicegat. "Apa yang kamu lakukan di sini?" tanya Sinta. Sekretaris Lana yang bernama Sinta itu memandang Erza dengan wajah bengis. Sinta masih ingat dengan jelas apa yang terjadi di pagi hari. Dapat dikatakan bahwa dalam hati Sinta, dia tidak memiliki kesan yang baik tentang Erza. "Bu Lana memanggilku kemari." Setelah selesai berbicara, Erza mengabaikan Sinta dan langsung masuk. "Hei, kamu… Bu Lana, orang ini memaksa masuk, saya tidak bisa menghentikannya!" teriak Sinta. Erza membuka pintu, dan Sinta memandang Lana dengan tatapan meminta maaf. "Tidak apa-apa, kamu keluar dulu, Sinta. Ada yang ingin aku bicarakan denga
Erza agak mati kutu sekarang. Dia tidak paham bagaimana orangtua Lana bisa bersikap demikian. "Ya, meskipun kalian sudah menikah di Malang, tapi kalian tidak bisa tinggal bersama sekarang. Untuk itu, aku sudah menyiapkan sebuah rumah di pusat kota untuk Lana dan kamu agar bisa tinggal bersama," ayah Lana menjelaskan. Erza membuka mulutnya lebar-lebar ketika melihat ayah mertua di depannya. Dia bertanya-tanya apa yang baru saja ayah Lana katakan? Jika dia sudah menyiapkan sebuah rumah, bukankah itu berarti dia setuju agar Erza tinggal bersama putrinya? "Ayah, kenapa ayah membicarakan ini? Aku akan tinggal di rumah saja." Lana mengerutkan kening, tetapi pipinya agak merah. "Dasar kamu ini. Kamu sudah menikah, dan masih sangat egois? Apa kamu tidak ingin memberikan aku dan ibumu cucu lebih awal agar kita berdua bisa bersenang-senang?" tanya ayah Lana dengan nada menggoda. "Ayah…" ucap Lana berusaha menghentikan ayahnya. "Erza, tolong jaga Lana. Kami menyayang
"Kamu di mana?" Ketika dia dengan cepat berlari ke bawah, Erza menyadari bahwa dia bahkan tidak menanyakan alamat Farina. "Aku di polres sekarang," jawab Farina. "Aku akan segera ke sana." Setelah menutup telepon, Erza dengan cepat mengambil mobilnya dan menuju ke Polres Semarang. Dalam perjalanan, adegan peristiwa masa lalu terus-menerus teringat di benak Erza. Dia awalnya memiliki masa kecil yang bahagia, tetapi sepuluh tahun yang lalu, orangtuanya tiba-tiba menghilang. Para polisi juga menyelidiki kasus ini, tetapi tidak ada hasil. Erza akhirnya menjadi yatim piatu. Kemudian, dia bertemu dengan seorang tentara yang membawanya ke markas. Melalui usahanya sendiri, Erza akhirnya menjadi prajurit dan mendapatkan banyak gelar kehormatan atas jasanya. Dia sangat senang saat berada di medan perang bersama rekan seperjuangannya. Namun, saat dia mendapat suatu misi yang sangat sulit dan rekan-rekannya itu harus menjadi korban, air mata Erza mengalir hampir tak terkendali.
"Aku mau ke toilet dulu," kata Sanca seraya berdiri. Sejujurnya saat ini, Sanca sedikit pusing. Bagaimana tidak? Dia harus mengeluarkan uang berpuluh-puluh juta dalam semalam. Setelah berada di toilet, Sanca mulai menelepon kemana-mana untuk meminjam uang karena dia tidak punya cukup uang. Meski dia adalah anak walikota, tapi dia sama sekali tidak mungkin untuk memesan semua menu premium. Di sisi lain Lana bertanya, "Erza, apakah ini tidak terlalu berlebihan? Apakah kita harus melakukan ini?" "Apa yang berlebihan? Dia awalnya berniat buruk padamu, jadi kita harus memberinya sedikit pelajaran sekarang," kata Erza sambil mulai makan. "Sial! Ke mana semua teman-teman brengsek ini? Mereka biasanya menggunakan segala macam alasan untuk meminjam uang dariku, tapi saat aku meminjamnya mereka malah tidak menggubris sama sekali," gertak Sanca. Di toilet, setelah lama menelpon, Sanca tidak tahu berapa orang yang sudah dia hubungi. Untungnya, dia akhirnya mendapatkan pinjaman
"Karena Erza juga ada di sini, ayo makan bersama saja," kata Lana. Melihat Lana berbalik dan masuk, Sanca juga dengan cepat mengejarnya. Bahkan jika dia tidak dapat melakukan apa-apa dengan Lana hari ini, tetapi setidaknya sesi makan malam ini dapat memberi kesan baik untuk dirinya. Sejak Sanca kembali dari belajar di luar negeri, orangtuanya selalu mendukung dirinya untuk berkencan dengan Lana. Jika Sanca bisa menikah dengan Lana, maka perusahaan Lana juga akan menjadi miliknya. Untuk mendapatkan hati Lana, orangtua Sanca memberikan berbagai macam fasilitas padanya untuk menarik perhatian gadis itu. "Ayo, pesan apa saja yang ingin kamu makan," kata Sanca dengan sombong setelah mereka masuk ke ruangan VIP di restoran hotel itu. "Saya tahu bahwa Tuan Sanca sangat murah hati," ucap Erza terkekeh. Sanca hanya tersenyum dan mengangguk sambil mengutuk pria itu di dalam hati. Lana melihat menu dulu, lalu memesan steak dan sebotol anggur merah. Harganya sekitar 5
"Aku teman sekelas Lana dulu saat masih sekolah. Ada yang ingin kukatakan padanya sekarang. Bisakah kamu meninggalkan kami berdua saja?" Sanca merasa sedikit tidak sabar. "Tidak bisa. Aku bukan hanya sopir Bu Lana, tapi juga pengawalnya. Aku tidak bisa pergi meninggalkan kalian berdua," elak Erza. "Ini, Lana, pegang bunga ini dulu," kata Sanca pada Lana. Ada dorongan untuk membunuh Erza di hati Sanca, tapi dia berusaha menahan diri. "Bunga ini sangat indah, bukankah Anda menyukai ini, Bu Lana?" Erza mengambil bunganya. "Jika kamu menyukainya, ambil saja," kata Lana acuh tak acuh. Dia tidak tahu apa yang akan dilakukan Erza. "Maaf, Bu Lana tidak menginginkannya. Sepertinya Anda harus membawanya kembali." Ketika Erza berbicara, dia menyerahkan mawar itu kepada Sanca. Tanpa diduga, Sanca tidak bereaksi. Walaupun bunganya sangat mahal, ditambah ongkos kirimnya yang mencapai jutaan, Sanca sangat malu untuk mengambilnya kembali. "Bunga ini sangat mahal
Apakah Alina sedang bercanda? Apa dia meminta Erza membawa Lana ke hadapannya dan menjelaskan bahwa gadis itu adalah istrinya? Jangankan membuat Alina percaya, bahkan Lana pun mungkin tidak akan setuju. "Alina, aku…" kata Erza. "Apa kamu tidak akan bertanggung jawab padaku?" Mata Alina terlihat sedikit menyedihkan. "Baiklah." Erza tidak bisa berkata-kata pada akhirnya. "Kamu belum sarapan, bukan? Aku akan membuatkan sarapan untukmu." Setelah mendengar Erza menyetujuinya, Alina memasang ekspresi bahagia di wajahnya. Erza saat ini merasa sedikit tertekan. Dia benar-benar tidak tahu apa yang terjadi akhir-akhir ini. Alina membuatkan Erza sepiring nasi goreng. Setelah Erza mencobanya, dia berkata, "Ini enak. Aku tidak menyangka kamu bisa memasak." Keterampilan memasak Alina memang sangat bagus. "Jika menurutmu enak, kamu bisa pindah ke sini dan hidup di sini bersama denganku," celetuk Alina. "Apa?" Erza membuka mulutnya lebar-lebar dan menatap Alina
Bagi Wina, Lana terlihat sangat menyukainya. Hal itu juga membuat Erza merasa lega. "Wina, kamu bisa tidur denganku di lantai tiga malam ini." Lana berkata pada Wina setelah makan malam. Erza tidak bisa memahaminya. Lana adalah istrinya. Sekarang dia justru mengajak Wina tidur bersamanya, sedangkan Erza harus tidur di lantai dua. "Tapi aku ingin tidur dengan Kak Erza," jawab Wina polos. Erza yang sedang meminum jus langsung memuntahkannya. Setelah Wina selesai berbicara, Lana menatap Erza dengan marah. Erza balas menatapnya dengan rasa bersalah. Pada saat ini, semakin Erza menjelaskan, semakin marah Lana padanya, jadi lebih baik untuk tutup mulut. Melihat Erza tidak berbicara, Lana yang tampak sedikit marah, dan langsung pergi. "Kak Erza, apakah aku mengatakan sesuatu yang salah?" tanya Wina pada Erza. "Tidak, kamu harus istirahat lebih awal. Bu Siska, tolong siapkan kamar untuk Wina," kata Erza. Saat ini, dia benar-benar tidak tahu harus berkata apa. Bu Siska
"Terima kasih banyak, Erza." Mata Wika tiba-tiba berbinar. "Ayo pergi, cari tempat makan. Kamu sepertinya belum makan siang." Erza melihat jam. Saat ini sudah sekitar jam empat sore, jadi dia tidak perlu kembali ke perusahaan. Begitu mereka tiba di sebuah restoran, telepon Erza berdering. "Erza, kamu pergi ke mana? Mengapa kamu tidak masuk kerja pada hari pertamamu sebagai wakil manajer?" Suara kecewa Alina terdengar di telepon. "Alina, aku ada urusan mendesak di sini. Aku tidak bisa kembali ke kantor sore ini," jelas Erza. "Apa ada yang tidak beres saat kamu makan siang dengan Pak Doni?" tanya Alina khawatir. Erza menjawab singkat, "Tidak, kok." "Ya sudah. Tidak apa-apa. Aku akan meminta izin untukmu, tapi kamu harus masuk kerja besok." Nada suara Alina sangat menenangkan. "Terima kasih, Alina," jawab Erza. Setelah menutup telepon, Erza mulai makan. Setelah selesai makan, dia langsung mengeluarkan lima ratus ribu yang diberikan oleh polisi
Para preman itu akhirnya menyetujui tawaran Erza, dan mereka bersedia membebaskan Wika dan Wina. Wika berkata pada Erza dan Farina, "Terima kasih." Dia sedikit takut dengan Farina. "Aku akan membiarkan kalian pergi untuk saat ini," kata Farina pada kelompok preman itu. Setelah itu, dia menatap Erza, "Apa yang kamu lakukan? Mengapa kamu tidak membawa teman-temanmu pergi?" Entah kenapa, saat melihat ekspresi Erza saat ini, Farina merasa sangat bangga. "Tidak ada mobil, bagaimana aku bisa pergi?" tanya Erza. Farina sedikit jengkel mendengarnya. Erza berkata lagi, "Bagaimana kalau kamu mengantar kami ke mobilku? Aku rasa mobilku masih ada di tempat tadi." Erza memiliki ekspresi waspada di wajahnya. Pada saat ini, Erza juga sedikit takut. Jika Farina tidak bisa emosinya, gadis itu akan meledak ketika saatnya tiba. Farin menjawab dengan senyum terpaksa, "Baiklah." Dia segera menelepon kantor polisi. Setelah menjelaskan semuanya, petugas di sana bergegas datang. Seben
"Tunggu dulu. Sebelum bernegosiasi, aku akan membereskan gadis kecil ini dulu," kata preman itu pakda Farina. Mendengar apa yang dikatakan si preman, kali ini Farina benar-benar ingin meledak, dan dia bergegas menuju ke arah si preman. Langkah Farina juga mengejutkan Erza. Erza tidak menyangka gadis ini begitu pemarah. Ada lebih dari 30 orang di hadapannya. Saat ini, gadis itu benar-benar berani mendekati mereka. Dalam sekejap, Farina tiba di depan para preman itu. Tidak ada yang menyangka bahwa seorang gadis seperti Farina bisa begitu berani. Tapi, para preman itu tidak berpikir demikian. Ketika Farina tiba di depannya, dia dengan cepat mencengkeram kerah pemimpin mereka, dan kemudian tiba-tiba ditarik ke bawah. Pemimpin preman itu merasakan tubuhnya jatuh ke depan, dan Farina dengan cepat menggunakan lututnya untuk menendang perut pria itu. "Ah." Dengan teriakan dari mulutnya, pemimpin preman itu terbaring kesakitan di tanah. Rangkaian aksi serangan Farina benar-b