Ratusan tahun lalu ....
Api, air dan udara menjadi elemen pertempuran dua kubu berseberangan. Masing-masing penguasa langit dan tanah mengerahkan pasukan. Mempertahankan sisi bengis, demi memperebutkan sebuah bola rozilog. Bola yang menyimpan satu kekuatan besar.
Bola rozilog akan menghilang jika peperangan ini dimenangkan oleh sisi hitam. Tak ingin jatuh ke tangan para pendosa. Dia akan memecah, lalu kembali setelah ratusan tahun mendatang.
Akan tetapi di bawah pimpinan raja pertama. Pangeran dari kerajaan Olimpyus Ossoron, seolah mendukung kemenangan dari kerajaan seberang. Dia melarikan diri meninggalkan jejak perperangan dengan membawa seorang wanita paripurna bersamanya. Kecantikan dan darah manusia yang mengalir di tubuh itu menjadi sebuah kutukan bagi aliran para dewa.
Pangeran buta akan hawa nafsu. Siapa sangka cinta pada pandangan pertama merupakan kekuatan terbesar, melebihi langit bercahaya, menyaingi petir-petir bersahut sebagai tamengnya. Pangeran akan merelakan apa pun termasuk merelakan dirinya sendiri.
Tajam menusuk pusat perhatian Pangeran mengarah ke depan. Kemampuan melesatnya makin membawa mereka menepi di pesisir selatan. Bersembunyi di antara rimbun perpohonan, saling mendekap—menyatukan bibir yang bergetar kedinginan.
Arcadeaz tidak pernah meminta ditakdirkan sebagai seorang manusia. Apa daya, jika pertemuan tak terduga menjatuhkan hatinya kepada seorang Pangeran tampan, pewaris dari Kerajaan Olimpyus Ossoron, yang juga meletakkan hati kepadanya.
Cinta yang mereka tabur, telah menjadi seonggok daging di dalam tubuh Arcadeaz. Kehamilan yang akan memperat hubungan terlarang keduanya adalah kekuatan bagi Arcadeaz melawan hukum alam. Alasan terbesar Arcadeaz bersedia melarikan diri bersama Pangeran dari kerajaan Ossoron.
“Kita sudah jauh.”
Arcadeaz memulai pembicaraan. Dia menangkup wajah Pangeran nan tampan di luar nalar. Bagaimana bisa Arcadeaz mempertaruhkan akal sehatnya di hadapan pria sesempurna itu.
“Dan akan hidup bahagia di sini.”
Sesekali Arcadeaz mengecup bibir panas sang Pangeran. Netra berwarna spektrum dan dagu terbelah berhasil menenggelamkannya di bawah kewarasan.
“Ya. Tapi firasatku mengatakan Raja Osso dikalahkan oleh pemimpin bawah tanah. Itu akan menjadi petanda buruk bagi para dewa. Kebutuhan kami terhadap bola rozilog akan mengalami kesulitan.”
Arcadeaz menelan ludah kasar. “Kenapa kau tidak turun tangan membantu ayahmu?” tanyanya sepelan mungkin.
“Dia tidak merestui hubungan kita. Aku lebih mencintaimu, dan tidak akan membiarkan Raja Osso melakukan sesuatu.”
Pangeran menghirup ceruk Arcadeaz dalam-dalam. Menikmati sisa kehangatan yang mungkin akan hilang. Dia merasakan kedatangan pasukan Ossoron semakin dekat, sudah cukup terlambat sekadar kembali melarikan diri.
“Aku sangat mencintaimu.”
Pernyataan Pangeran diikuti derap-derap keras, dan bunyi raungan tertahan bertepatan dengan tarikan di bagian leher kuda. Para anggota kerajaan—perdana mentri dan Raja Osso, beserta ratusan prajurit berjejer, membentuk sebuah lingkaran besar mengelilingi sepasang kekasih yang telah melanggar aturan.
Tidak ada cela bagi Pangeran dan Arcadeaz untuk mengambil posisi aman. Semua senjata tajam terhunus ke arah mereka.
Pangeran menarik mundur tangan Arcadeaz melindungi wanita yang dia cintai di hadapan para petinggi kerajaan.
“Apa yang Raja lakukan di sini?” tanya Pangeran skeptis. Seraut wajah kejam Raja Osso membuatnya mengambil langkah waspada.
Dari pundak kuda posisi Raja Osso membidik tajam Arcadeaz, seakan ingin membumihanguskan wanita cantik di belakang Pangeran saat itu juga.
“Lepaskan tangannya, Pangeran!”
Raja Osso bicara tegas. Kemuliaan takhta, tidak lebih buruk dari sisi kejam yang dia punya.
“Pilihanmu hanya dua, Pangeran. Kembali ke kerajaan dan tinggalkan wanita itu, atau menetap di bumi menjadi pria menyedihkan,” ucap Raja Osso tajam. Semua senjata tersigap satu langkah lebih dekat.
“Sampai kapan pun aku tidak akan meninggalkan Arcade. Bunuh aku, jika itu bisa membuat-Mu puas, Raja.”
“Kau terlalu sering bersama kelompok wanita itu, hingga menjadi sangat bodoh dan tidak berguna. Baik jika kau tidak ingin kembali. Aku tidak akan memaksa.”
Raja Osso tersenyum bengis, tidak ahli memberi toleransi untuk hal-hal kecil seperti kesalahan yang Pangeran lakukan. Keadilan adalah mutlak yang dia pegang sebagai seorang pemimpin. Siapa pun dan bagaimanapun, tidak pernah ada unsur nepotisme di bawah kidung kekuasaannya. Semua sama di mata hukum kerajaan.
Kepalan tangan Raja Osso membumbung tinggi ke udara. Hanya perlu memperlihatkan kelima jari, semua senjata berikutnya akan berpindah posisi.
“Kita harus pergi dari sini, Pangeran. Aku tidak mau anak kita dalam bahaya besar.”
Sudah tidak bisa menyembunyikan rahasia yang dipendam. Arcadeaz tak punya pilihan, selain mengatakan sebuah kebenaran. Namun, alih-alih tersenyum puas Pangeran justru terdiam mencerna ucapan Arcadeaz.
Sial!
Arcadeaz seharusnya tidak bicara seperti itu di hadapan para dewa, terutama ayahnya—Raja Osso.
Satu kesalahan fatal meletuskan angkara murka. Raja Osso melepas kepalan jari, yang kemudian disusul senjata tombak melesat dari sisi belakang hingga menembus tubuh Arcadeaz.
Wanita itu membeku dengan mata melotot dan bibir setengah terbuka. Ditatap wajah Pangeran dengan perasaan hancur. Arcadeaz berusaha tersenyum di tengah darah yang berembes membasahi tubuh. Dia bersimpuh tak berdaya. Semakin jatuh, lalu perlahan – lahan matanya memejam. Tidak sanggup menahan diri lebih lama.
“No!”
“Arcade!”
Pandora mematut diri di depan cermin sedikit mendesah memperhatikan bahu terbuka dan dada yang menonjol penuh. Dia dipaksa untuk mengenakan off shoulder dress tanpa alasan yang jelas. Pandora tidak mengerti pekerjaan seperti apa yang mengharuskan dirinya berpenampilan seperti wanita dewasa. Polesan make-up tebal, bahkan itu juga atas perintah ibunya, Aquela. Wanita yang memberikan rentetan kalimat pedas usai kepulangan Pandora dari Bristol ke Cambridge. Kurang lebih tiga jam perjalanan jauh, seharusnya Pandora merapikan sisa pakaian yang biasa digunakan selama tinggal di asrama. Tetapi di depan pintu kamar Aquela sudah menunggu dengan ekspresi masam tidak sabaran. Terburu – buru Pandora meraih ponsel di atas meja, memasukkannya ke dalam tas selempang kecil yang bertanggar di tubuhnya. “Kita akan ke mana, Mom?” Mau tidak mau Pandora mendekat. Bertanya kepada Aquela yang langsung menarik lengannya kasar. Langkah Pandora nyaris kehilangan imbang terus dituntun menuju perkarangan rumah
“Ini akan menjadi rumah sementara.” Pria tampan bermata indah dengan tatanan rambut under cut menuntun langkah kecil Pandora menyusuri seisi penthouse. Hanya bisa menurut sebagaimana posisinya saat ini. Pandora telah menandatangani surat perjanjian kontrak. Dia diam memperhatikan pahatan wajah sempurna, yang sekali senyum memberi kesan manis dan memuja. Haruskah Pandora percaya, bahwa pria seperti itu telah membelinya seharga 200 juta poundsterling—mutlak beserta seluruh perjanjian yang tertulis di atas kertas. Aturan paling penting dan pertama harus Pandora patuhi—pria tersebut memliki kuasa penuh atas tubuh dan seluruh kehidupan Pandora. Kedua, larangan mencampuri urusan yang pria itu miliki. Sederhananya, mereka dua orang asing, yang dipaksa saling untuk memenuhi kebutuhan masing – masing. “Hanya ada satu kamar. Kalau lelah silakan beristirahat.” Kernyitan dalam muncul di dahi Pandora. Satu kamar, itu artinya ... tidak! Ini terlalu awal. Setidaknya Pandora butuh waktu beradaptas
Kernyitan dalam muncul di keningnya begitu paparan sinar membias menyilaukan wajah. Aroma maskulin di pagi hari menjadi sesuatu yang asing bagi Pandora. Perlahan netra hijau lumut itu mengerjap, baru disadari posisinya sedang mendekap tubuh besar seorang pria. Dia .... Pandora nyaris dipersekusi keadaan kalau saja keberuntungan tidak sedang di dekatnya. Semalam selepas aksi negosiasi dia memaksakan diri untuk terlelap—berhasil, walau dia tahu pria di sampingnya malam itu seorang yang sangat berbahaya. Dia .... Lagi. Pandora kembali tersadar dengan siapa dia ditidurkan ketegangan. Tanpa sadar sentuhan jemarinya di atas dada bidang yang terasa padat dan kekar terlepas. Pandora mendongak .... Satu kali menatap netranya kembali mengerjap cepat. Dua kali melakukannya hal yang sama napasnya dipaksa untuk tercekat. Wajah itu .... Wajah yang dilihat bersama Mr. Lee, bagaimana mungkin saat ini sedang bersamanya? “Apa yang aku lakukan?” ucap Pandora tak habis pikir. Gerakan spontan da
Sebelah lengan Pandora terangkat ke belakang. Jemarinya berusaha keras menyentuh tali dress yang menggantung di punggung karena ulah satu orang. Pandora tidak punya pilihan selain tetap mengenakan pakaian basah dan minim dari Aquela, tidak ada satu pun yang bisa ditemukan di penthouse milik pria di sampingnya, pria yang terburu – buru menyusul keluar saat Pandora memilih untuk memisahkan diri.Setengah melirik Pandora tahu pria yang dimaksud tengah sibuk mengikat dasi hitam, disusul jas biru menutup tubuh besar itu.Masih dengan usaha yang tak pernah berhasil. Pandora sedikit berjinjit demi bisa mencapai apa yang sedang dikerjakan. Dia nyaris tersentak saat tiba – tiba jemari besar mengambil alih tempat dan menepis kedua lengannya ke depan.“Mulutmu bisa digunakan untuk minta tolong.”Tali yang melambai ke bawah masing – masing diikat kuat. Tubuh Pandora mengetat disusul dada yang membusung mengikuti volume pakaian yang membuatnya merasa tidak nyaman.Ikatan tali telah sempurna. Jari
Nyaris tidak bisa menahan diri Pandora menarik selimut tebal demi menutup separuh kaki terbukanya. Pria itu terlihat mendekat dan menggigit bibir bawah tanpa melepaskan pandangan pada tubuh Pandora. “Aku mohon jangan,” bisik Pandora lirih. Sentuhan kasar di bagian kelangkang kaki membuatnya bergetar. Dia sedang menghadapi orang yang sangat berbahaya. Napas panas menerpa permukaan kulit leher Pandora. Jemari besar yang merambat tak sabaran telah mencapai titik sensitif di tubuhnya. Dia kelimpungan. Berusaha menahan. Namun tidak sanggup menyingkirkan apa yang disebut ‘keinginan’ dari orang yang sedang kehausan. “Aku akan memberimu waktu 10 detik lagi. Kalau kau gagal jangan salahkan aku jika kau ... kutelanjangi tanpa ampun.” “Satu.” Kata terucap itu disusul tubuh yang telah jauh. “Dua.” Hitungan – hitungan dari suara dalam yang seksi semakin jatuh pada angka besar dan termakan kusen pintu. Pandora harus cepat! Dia bergegas. “Oh!” Napas Pandora tercekat begitu pintu kamar terbu
“Panda, kau pulang?” Pandora mematung sesaat menyaksikan cara berjalan ayahnya yang sedikit tertatih. Chris seperti kaget sekaligus tidak percaya mendapati kepulangannya secara mendadak. Sudah Pandora duga Aquela telah mengatakan sesuatu tentang pekerjaan yang dia dapatkan. Wanita yang ntah bagaimana terlalu pandai menarik kepercayaan ayahnya. Akan tetapi dia berharap pria asing, aneh dan misterius di sampingnya tidak mengatakan apa pun yang buruk terkait keterikatan mereka. Sesaat Pandora menarik napas menetralkan rasa waspada. “Aku pulang karena sedang merindukan ayahku yang tampan ini.” Dia merentangkan tangan mendekap tubuh Chris. Pria rupawan di usia menanjak yang menurunkan garis kesempurnaannya kepada putrinya sendiri. Tidak ada keinginan lebih besar bagi Chris selain kebahagiaan untuk Pandora. Namun dia tak berdaya akan serangan jantung yang membuat sebagian kemampuan melemah. “Kau senang dengan pekerjaan yang kau dapat, Panda?” Sebuah elusan lembut mendarat ringan di punca
Biasan lampu yang merambat ke kamarnya menarik Pandora untuk terbangun setelah beberapa kali mengernyit dalam. Netra Pandora sepenuhnya terbuka tidak lama usai keremangan menyergap seisi ruangan. Dia mengubah posisi duduk, menatap heran sekaligus bertanya – tanya siapa yang baru saja membuka pintu dan pergi begitu saja. Pandora tidak akan menemukan jawaban, jika hanya berdiam diri tanpa mencari tahu. Gesit Pandora menyibak selimut tebal, bergegas cepat berlalu di depan kamar demi meneliti bekas kepergian yang tak terendus. Dia mengernyit, bayangan pria asing itu seketika mencecoki isi pikirannya. Sudah satu hari sejak kesepakatan secara sepihak itu berlangsung. Pandora sempat mengira ini awal baik, bahwa pria tersebut tidak akan menyentuhnya. Dia salah, dan akan selalu salah jika masih berpikir pelaku yang membuka pintu kamarnya adalah pria yang tidak dia kenali. Terutama di luar sepengetahuan Pandora, pelaku sesunnguhnya saat ini tengah menjalankan aksi di kamar tamu. Napas Pandor
Pandora menekan ganggang pintu dengan perasaan ragu. Ntah mengapa sekembali dari dapur dan ruang tamu dia merasa aura kamarnya seperti dilingkupi badai elektrik—penuh ketegangan yang tidak mampu Pandora jabarkan secara gamblang. Dia ingin mengurungkan niat masuk, apalagi sekadar melanjutkan tidur yang terjeda. Namun, bayangan terhadap perjalanan jauh mengingatkan Pandora agar mengumpulkan energi untuk besok pagi. Pandora mendesah kecil menepis keras keraguan yang berkecamuk hebat. Keremangan menyapa Pandora, lalu bagian paling mengejutkan baginya saat siluet tubuh tinggi dan besar berdiri tidak jauh dari kaki ranjang tengah memperhatikan benda pipih tajam, panjang berganggang miliknya yang kian terpisah dari penutup. Benda pemberian Chris. Pandora tidak akan membiarkan orang lain menyentuhnya. Dia segera menekan saklar hingga situasi di sana benderang. “Kembalikan pedangku!” Direnggut paksa sekaligus melekatkan penutup pedang seperti sudah sangat terbiasa melakukan hal tersebut yan
Hallo, Kakak - Kakak pembaca. Long Time No see di sini. Bagi yang belum tahu kalau kisah Hores dan Avanthe sudah muncul dan sudah bisa dibaca. Kalian boleh langsung cari saja di pencarian dengan judul 'Passionate Devil: Selir yang Terluka'."Di hari kau memutuskan untuk berubah jahat. Kau tak pernah mengajariku cara melupakan pria yang pernah sangat kukenal." -Avanthe- (Season dua: Series Demigod).Perjuangan Avanthe menghadapi kebencian Hores setelah perang dan kematian Raja Vanderox. Dengan kehadiran putri kecil-nya, apakah itu bisa mengembalikan perasaan Hores seperti sedia kala?Terkadang benci dan cinta adalah dua hal paling tak berjarak. Yuk, ikuti keseruan kisah mereka.
Ini waktunya ... sebuah perjuangan di mana cinta dan kerja sama adalah bukti paling nyata yang membawa Pandora pada titik mengagumkan. Pusat perhatiannya selalu terpaku kepada satu orang di sana; pria di atas podium dengan hak dan kerelasian terhadap kontribusi-nya sebagai seorang donatur. Kingston bicara setelah rektor memberikan sambutan pembuka hingga amanat. Sulit dimungkiri bahwa pria itu menjadi yang paling mencolok di antara civitas akademika dan siapa pun di sana. Sisiran rambut ke belakang, rapi, menambah kesan memuja. Sayup – sayup suara bisikan dari beberapa wisudawati terus menjalar sampai di pendengaran Pandora. Dia hanya bisa tersenyum tipis, dan mungkin tidak akan memberitahu Kingston, bahkan jika urusan pria itu selesai. Tidak akan memberitahu suaminya bahwa pria itu menjadi bahan gosip. Riuh tepukan tangan mengakhiri kesempatan Kingston ada di atas podium. Sorot mata spektrum itu sesaat menyorot ke arahnya. Senyum tipis, nyaris tidak terlihat, memancing Pandora memb
“Terima kasih, Helios.”Akhirnya, Pandora bernapas lega setelah perjalanan menuju pulang dan macam – macam kegiatan yang menguras tenaga; dia baru saja menyelesaikan kegiatan akhir kuliah lapangan, tetapi rasanya itu semacam sebuah perpisahan besar. Ntah karena Pandora bersama Anna sepakat melakukan kegiatan praktik di perusahaan Kingston, sehingga seluruh staff penting maupun para pegawai memperlakukan-nya lebih daripada mahasiswi yang mencari ilmu. Pandora lebih yakin hal tersebut karena ulah Kingston. Pria itu tak segan menunjukkan sikap manis di hadapan semua orang. Tidak peduli gosip akan bertebaran, asal Pandora menyelesaikan studi dengan baik. Demikian sering Kingston jadikan alasan ketika Pandora berusaha membatasi kedekatan mereka saat pria itu secara mendadak tiba di kantornya.Langkah Pandora pelan menaiki undakan tangga teratas. Hal paling pertama dilakukan adalah memasuki kamar. Dia sudah sangat merindukan tiga bayi-nya yang berturut – turut menyajikan sebuah pemandangan
Pandora tidak tahu harus terpaku pada yang mana. Bayi-nya yang tenang saat dimandikan, atau suami-nya yang panas ketika sedang menggosok sabun nyaris tak berbusa di tubuh mungil Luca. Gerakan tangan Kingston luwes, menegaskan betapa pria itu mahir menjalankan perannya sebagai seorang ayah. Dia telah, pernah, terbiasa memandikan Aceli sewaktu gadis kecil itu masih begitu bayi. Dan sekarang mempraktikkannya kepada anak sendiri, sementara Pandora ... sambil – sambil belajar dia menunggu Kingston selesai.“Handuk, Kucing manis.”Pandora mengerjap cepat setelah mengguncang dirinya keluar dari lamunan. Dia menyerahkan kain yang sama mungilnya di dekat tangan Kingston. Pria itu menerima dengan tenang; mengeringkan tubuh Luca, lalu membawa bayi mungil mereka keluar dari kamar mandi.“Kapan kau akan memberiku giliran?”Mengambil posisi duduk di pinggir ranjang sambil mengamati Kingston memoles minyak di beberapa bagian tubuh Luca, termasuk di puncak kapal yang lembut itu, membuat Pandora sedik
Tengah malam suara tangis menggelegar menjadi salah satu hal paling baru yang pernah Pandora hadapi. Dia mengerjap sebentar untuk menatap langit – langit kamar temaram. Sesaat Pandora bergeser, begitu hati – hati tidak ingin membangunkan Aceli di tengah – tengah ranjang. Tubuhnya sudah bersiap akan bangun menuju keranjang bayi, tetapi satu cekalan hangat benar – benar baru menghentikan apa yang nyaris Pandora lakukan.“Biar aku saja, Kucing manis. Sebaiknya kau kembali tidur.”Sayup – sayup suara dalam Kingston diliputi langkah kaki meninggalkan ranjang. Bayangan tubuh pria itu terus berjalan, kemudian berhenti di satu titik persis perhatian Pandora tak terenggut di sana.Gerakan Kingston luwes mendekap bayi mungil mereka. Lekuk tubuh pria itu terlihat menyisir di depan meja. Kingston mungkin akan menunggu beberapa saat sampai susu perah yang disimpan di satu perangkat khusus untuk mengisi penuh ke dalam susu botol.“Bawa Luca ke sini, King.”Namun, Pandora merasa terlalu lama, sement
Hari di mana dia dipersilakan pulang, Pandora melangkahkan kaki pelan – pelan masuk ke dalam gedung mentereng. Dia sedikit terkejut ketika menemukan Chris sudah berdiri menyambut dengan hangat, lalu pria itu segera mendekat diliputi satu – satunya perhatian tertuju pada bayi mungil dan kebiasaan tidur yang begitu panjang.“Kenapa tidak memberitahuku saat kau akan melahirkan, Panda?”Mendapati Chris mengajukan pertanyaan sambil tersenyum kepada Luca. Pandora segera memindahkan perhatiannya lurus – lurus memberi Kingston isyarat. Apa yang harus mereka katakan?Kejujuran sudah dipastikan tidak akan terjadi, karena itu akan sanggup membuat Chris berpikir betapa Pandora benar – benar telah membahayakan nyawanya.“Saat aku akan melahirkan, semuanya terjadi secara tiba – tiba, Dad. Jadi baru bisa memberitahumu belakangan.”Pandora meringis usai menceritakan separuh kebenaran. Memang Luca ingin dilahirkan secara tiba – tiba. Tiba – tiba kontraksi dan tiba – tiba dia harus menghadapi peristiwa
Pintu kamar rawat terbuka perlahan; di mana Kingston terlihat membungkuk menurunkan tubuh Aceli dari balik punggung pria tersebut. Gadis kecil yang sepertinya malas berjalan, sehingga butuh sentuhan ajaib dari sang paman untuk membuat mereka terlihat harmonis.“Mommy Panda!”Pandora tetap menjatuhkan perhatian; mengamati derap langkah Aceli terburu mendekatinya. Kursi yang diseret menimbulkan suara gemerisik, kemudian wajah Aceli muncul setelah gadis itu menaiki kursi sekadar menunjang tubuhnya yang pendek.“Aceli sangat merindukan Mommy Panda.”Senyum menggemaskan itu tidak pernah berubah. Pandora hampir tertawa menanggapi ungkapan kalimat demikian, tetapi dia tak bisa bohong; perasaan haru yang mendesak sedikit mengguncang sisi emosional-nya. Pandora sangat – sangat merindukan Aceli. Sengaja merentangkan tangan untuk melihat bagaimana reaksi gadis kecil Kingston.Aceli antusias ingin merangkak ke atas blankar, kemudian tubuh kecilnya langsung ditangkap. Bukan Pandora. Kingston-lah s
Iris hijau Pandora sekelebat menerima siraman lampu terang, dia mengerjap beberapa kali untuk membiaskan diri. Lurus – lurus mengamati, baru kemudian keningnya bertaut menyadari dia sedang berada di satu tempat berbeda. Seingatnya, hal paling terakhir bisa dia lihat adalah wajah Kingston yang begitu khawatir. Ya, pria itu yang paling terakhir ada bersamanya. Dan tiba – tiba saat dia merasa dunia kembali memberi sebuah kesempatan. Kingston pula yang sekarang sedang menawarkan tatapan lembut. Melebihi sebuah kemurnian yang pernah Pandora miliki.. Sorot mata itu teduh. Teduh sekali ke satu titik, turun sedikit di samping Pandora.“King ...,” panggil Pandora, tidak tahu mengapa akhirnya membuat Kingston seperti tersentak. Barangkali Kingston sedang melamunkan sesuatu, tetapi reaksinya begitu tak terduga ketika pria itu diam, seolah berjuang mengumpulkan informasi, yang salah – salah tidak pernah dipikirkan sebelumnya.Untuk waktu cukup lama Pandora masih harus menunggu. Tak sadar di satu
“Tuan ....”“Maaf, Tuan. Tubuh Anda tidak bisa menerima jarum suntik.”Kata – kata sang perawat menyeret perhatian Kingston untuk terguncang. Saat memikirkan bagaimana keadaan Pandora, itu membuatnya hilang cukup lama. Sekarang, setelah menyadari wanita yang ingin mengambil darahnya hanya melakukan hal sia – sia. Kingston tidak mengatakan apa pun, selain membiarkan kebekuan di urat nadi tangannya; yang tak terjamah, benar – benar bisa menerima benda asing menerobos ke dalam.Jarum tajam mulai berfungsi. Kingston terus terpaku pada aliran darah yang bergerak melalui selang. Darahnya akan diberikan kepada Pandora. Ini memang sebuah keputusan penuh tekad. Tidak tahu bagaimana selanjutnya. Kingston berharap darah yang dia donorkan tidak akan mempengaruhi tubuh Pandora. Itu adalah kemungkinan paling kecil. Kalaupun ada harga yang harus diterima. Hanya diharapkan Pandora tidak akan menua. Itu saja.“Anda mungkin akan sedikit merasa pusing, Tuan. Beristirahatlah sebentar.”Wanita yang baru s