Support buku ini dengan berikan vote dan komen, ya.
Biasan lampu yang merambat ke kamarnya menarik Pandora untuk terbangun setelah beberapa kali mengernyit dalam. Netra Pandora sepenuhnya terbuka tidak lama usai keremangan menyergap seisi ruangan. Dia mengubah posisi duduk, menatap heran sekaligus bertanya – tanya siapa yang baru saja membuka pintu dan pergi begitu saja. Pandora tidak akan menemukan jawaban, jika hanya berdiam diri tanpa mencari tahu. Gesit Pandora menyibak selimut tebal, bergegas cepat berlalu di depan kamar demi meneliti bekas kepergian yang tak terendus. Dia mengernyit, bayangan pria asing itu seketika mencecoki isi pikirannya. Sudah satu hari sejak kesepakatan secara sepihak itu berlangsung. Pandora sempat mengira ini awal baik, bahwa pria tersebut tidak akan menyentuhnya. Dia salah, dan akan selalu salah jika masih berpikir pelaku yang membuka pintu kamarnya adalah pria yang tidak dia kenali. Terutama di luar sepengetahuan Pandora, pelaku sesunnguhnya saat ini tengah menjalankan aksi di kamar tamu. Napas Pandor
Pandora menekan ganggang pintu dengan perasaan ragu. Ntah mengapa sekembali dari dapur dan ruang tamu dia merasa aura kamarnya seperti dilingkupi badai elektrik—penuh ketegangan yang tidak mampu Pandora jabarkan secara gamblang. Dia ingin mengurungkan niat masuk, apalagi sekadar melanjutkan tidur yang terjeda. Namun, bayangan terhadap perjalanan jauh mengingatkan Pandora agar mengumpulkan energi untuk besok pagi. Pandora mendesah kecil menepis keras keraguan yang berkecamuk hebat. Keremangan menyapa Pandora, lalu bagian paling mengejutkan baginya saat siluet tubuh tinggi dan besar berdiri tidak jauh dari kaki ranjang tengah memperhatikan benda pipih tajam, panjang berganggang miliknya yang kian terpisah dari penutup. Benda pemberian Chris. Pandora tidak akan membiarkan orang lain menyentuhnya. Dia segera menekan saklar hingga situasi di sana benderang. “Kembalikan pedangku!” Direnggut paksa sekaligus melekatkan penutup pedang seperti sudah sangat terbiasa melakukan hal tersebut yan
Cermin di hadapan Pandora memantulkan bayangan dirinya yang tampak kacau. Masih sedikit bersyukur Pandora tidak menemukan Kingston di samping ranjang saat dia terbangun di pagi hari, meski sepanjang malam pria itu melingkarkan lengan secara posesif di permukaan perut rata hingga sesekali mengusap Pandora pelan. Pandora harus menangisi nasibnya selama itu sebelum dia benar – benar terlelap, tetapi keanehan terjadi baginya ketika Pandora tidak merasakan sakit apa pun di area kewanitaan. Anna pernah bercerita banyak hal tentang pengalaman intim yang pernah dialami. Dan cukup membuat Pandora meringis saat Anna berkata sangat sakit untuk kali pertama. Pandora masih bertanya – tanya apakah Kingston benar menyentuhnya atau tidak. Untuk memastikan ulang dia mencak – mencak di depan cermin, barangkali sakit itu terasa hanya dengan bergerak lincah. Namun itu bukanlah jawaban. Pandora masih merasakan bahwa dia Pandora yang sama. Senyumnya melebar tipis, meski dalam sekejap menghilang ketika pan
‘Ujung dari penyesalan dan awal kehancuran’, benak Pandora terus bergumam tidak tenang selama perjalanan menuju Bristol. Dia belum bercerita apa pun mengenai beasiswa penuh yang didapatnya kepada Kingston seandainya Bristol akan menjadi persinggahan terlama, terpanjang atau terselama-nya. Untuk yang terakhir Pandora tidak berharap akan menjadi bagian dari kekacauan hidupnya, karena kontrak yang dia dan Aquela tandatangani sudah cukup memberi pengaruh besar, bahkan sebelum perjalanan baru itu dimulai. Terlalu buruk bagi Pandora. Dia tidak sekali pun menarik ekor mata untuk memperhatikan pria di balik kursi kemudi, yang terkadang genggaman mantap dari tangan besar itu memindahkan persneling hingga sentakan paha yang kuat memberi sensasi tersendiri padanya ketika menatap keluar jendela. Kingston sesekali memberhentikan mobil, tetapi itu tidak mempengaruhi seberapa jauh jarak yang mereka tempuh. Membuat Pandora mendesah kecil ketika penghujung Kota Cambridge akan segera berakhir. Cambr
Pandora menatap tidak mengerti sekeliling rumah besar—sebuah mansion yang menjulang hampir di tengah – tengah hutan. Dia berdiri di samping pilar tinggi menunggu kepergian Kingston beberapa saat lalu membawa tiga kantong plastik besar menuju gerbang masuk. Pandora hanya diminta untuk tidak melakukan apa pun sebelum pria itu kembali mendatanginya. Dia diam, sepenuhnya menuruti perintah Kingston tanpa membantah. Selama hampir 15 menit berlalu kemudian muncul seorang pria—tak asing di mata Pandora datang menghampirinya. “Selamat pagi, Nona.” Pria tersebut tersenyum, dan Pandora teringat satu nama di malam itu. “Kau Helios, benar?” Sebuah anggukan mengundang kelegaan di dada Pandora. Dia sedikit tenang setidaknya Helios terlihat jauh berbeda dari Kingston, bahkan tatapan itu begitu sopan. “Mari, saya akan memperkenalkan Anda beberapa bagian dari mansion ini, Nona.” Helios melentangkan lengan memberi Pandora ruang untuk melangkah. Sedikit kebingungan Pandora tak memahami maksud dari
Pandora benar – benar berdebar karena sensasi mengerikan dan adrenalin yang dipompa habis – habisan. Benaknya bahkan tak mampu berpikir ke mana dia akan mendarat. Sampai pada titik terendah, punggung Pandora terasa sakit menghantam genangan kolam. Bunyi percikan air deras persis baru saja kejatuhan benda asing yang berat. Pandora tidak seberat kedengarannya—hanya saja salah satu kenyataan tentang Pandora adalah tidak bisa berenang. Tubuhnya mencak – mencak kehilangan kendali. Situasi benar – benar kacau kala posisi Pandora tidak mendukung untuk menemukan pijakan dasar. Kolam itu memiliki kedalaman yang tinggi, tetapi tak seorang pun ada di sana. Persis seperti Kingston yang telah pergi saat setelah melepas tubuh kecil Pandora tanpa sekali pun memastikan keadaan di bawah. Pria itu yakin titik lemparnya akan menjatuhkan Pandora pada koordinat yang tepat. Meskipun memang tepat. Namun, keadaan Pandora di sana sama sekali tak terbayangkan. Waktu bahkan berlalu lama sejak Kingston melemparn
Sekali dua kali manik mata Pandora mengerjap menetralkan pandangan bahwa dia sedang tak salah mendapati wajah tegas yang menatap keji ke arahnya. Dia tak tahu apa yang salah. Kali terakhir bayangan menyentak isi kepala Pandora adalah Kingston yang dalam keadaan basah, tetapi kali ini pria itu begitu kering. Kulit perunggu Kingston seperti gersang dengan kedua lengan kokoh berotot berada di kedua sisi tubuh Pandora.Dia menelan ludah kasar berusaha untuk menarik diri bangun. Namun Kingston takkan membuat segala sesuatu bagi Pandora menjadi mudah. Pria itu menekan garis bahu Pandora tetap tertahan di atas ranjang. Membawa Pandora dalam situasi mencekam, hingga tak dapat mengatakan apa pun.Belaian singkat di kulit wajah Pandora membuatnya bergidik. Netra spektrum itu terlalu kelam meneliti ketidakmengertian Pandora. Kondisi tubuhnya bahkan belum sepenuhnya membaik, tapi Kingston seolah ingin menguliti Pandora tanpa ampun. Pria itu tidak sekali pun mengalihkan perhatian dari wajah saling
“Kau lanjut kuliah artinya kembali jadi teman sekamarku lagi, kan?” Perhatian Anna tak pernah luput dari wajah Pandora yang terus memperhatikan salinan berkas – berkas penandatanganan perjanjian antara penerima dan ketua forum beasiswa. Beberapa keanehan berkecamuk di benak Pandora setelah menyadari beasiswa yang dia dapat tidak mungkin datang menjemputnya, jika bukan dia yang mencari. Namun Pandora tidak pernah merasa pernah mendaftarkan diri pada forum – forum tertentu, meskipun dia tetap menyetujui kesepakatan terhadap persyaratan sebagai mahasiswi penerima beasiswa, yang harus mencapai nilai indeks prestasi kumulatif (IPK) tidak kurang dari tiga. “Bicara denganmu seperti bicara dengan patung, Panda!” protes Anna sambil memakan potongan kentang goreng agak kasar. Dia memutar mata malas mendapati Pandora terkesiap berbalik natap ke arahnya. “Kau bicara apa tadi?” “Aku bilang kau akan jadi teman sekamarku lagi, bukan?” Tidak tahu. Pandora tak bisa memastikan ke mana dia akan ting