Pandora menatap tidak mengerti sekeliling rumah besar—sebuah mansion yang menjulang hampir di tengah – tengah hutan. Dia berdiri di samping pilar tinggi menunggu kepergian Kingston beberapa saat lalu membawa tiga kantong plastik besar menuju gerbang masuk. Pandora hanya diminta untuk tidak melakukan apa pun sebelum pria itu kembali mendatanginya. Dia diam, sepenuhnya menuruti perintah Kingston tanpa membantah. Selama hampir 15 menit berlalu kemudian muncul seorang pria—tak asing di mata Pandora datang menghampirinya. “Selamat pagi, Nona.” Pria tersebut tersenyum, dan Pandora teringat satu nama di malam itu. “Kau Helios, benar?” Sebuah anggukan mengundang kelegaan di dada Pandora. Dia sedikit tenang setidaknya Helios terlihat jauh berbeda dari Kingston, bahkan tatapan itu begitu sopan. “Mari, saya akan memperkenalkan Anda beberapa bagian dari mansion ini, Nona.” Helios melentangkan lengan memberi Pandora ruang untuk melangkah. Sedikit kebingungan Pandora tak memahami maksud dari
Pandora benar – benar berdebar karena sensasi mengerikan dan adrenalin yang dipompa habis – habisan. Benaknya bahkan tak mampu berpikir ke mana dia akan mendarat. Sampai pada titik terendah, punggung Pandora terasa sakit menghantam genangan kolam. Bunyi percikan air deras persis baru saja kejatuhan benda asing yang berat. Pandora tidak seberat kedengarannya—hanya saja salah satu kenyataan tentang Pandora adalah tidak bisa berenang. Tubuhnya mencak – mencak kehilangan kendali. Situasi benar – benar kacau kala posisi Pandora tidak mendukung untuk menemukan pijakan dasar. Kolam itu memiliki kedalaman yang tinggi, tetapi tak seorang pun ada di sana. Persis seperti Kingston yang telah pergi saat setelah melepas tubuh kecil Pandora tanpa sekali pun memastikan keadaan di bawah. Pria itu yakin titik lemparnya akan menjatuhkan Pandora pada koordinat yang tepat. Meskipun memang tepat. Namun, keadaan Pandora di sana sama sekali tak terbayangkan. Waktu bahkan berlalu lama sejak Kingston melemparn
Sekali dua kali manik mata Pandora mengerjap menetralkan pandangan bahwa dia sedang tak salah mendapati wajah tegas yang menatap keji ke arahnya. Dia tak tahu apa yang salah. Kali terakhir bayangan menyentak isi kepala Pandora adalah Kingston yang dalam keadaan basah, tetapi kali ini pria itu begitu kering. Kulit perunggu Kingston seperti gersang dengan kedua lengan kokoh berotot berada di kedua sisi tubuh Pandora.Dia menelan ludah kasar berusaha untuk menarik diri bangun. Namun Kingston takkan membuat segala sesuatu bagi Pandora menjadi mudah. Pria itu menekan garis bahu Pandora tetap tertahan di atas ranjang. Membawa Pandora dalam situasi mencekam, hingga tak dapat mengatakan apa pun.Belaian singkat di kulit wajah Pandora membuatnya bergidik. Netra spektrum itu terlalu kelam meneliti ketidakmengertian Pandora. Kondisi tubuhnya bahkan belum sepenuhnya membaik, tapi Kingston seolah ingin menguliti Pandora tanpa ampun. Pria itu tidak sekali pun mengalihkan perhatian dari wajah saling
“Kau lanjut kuliah artinya kembali jadi teman sekamarku lagi, kan?” Perhatian Anna tak pernah luput dari wajah Pandora yang terus memperhatikan salinan berkas – berkas penandatanganan perjanjian antara penerima dan ketua forum beasiswa. Beberapa keanehan berkecamuk di benak Pandora setelah menyadari beasiswa yang dia dapat tidak mungkin datang menjemputnya, jika bukan dia yang mencari. Namun Pandora tidak pernah merasa pernah mendaftarkan diri pada forum – forum tertentu, meskipun dia tetap menyetujui kesepakatan terhadap persyaratan sebagai mahasiswi penerima beasiswa, yang harus mencapai nilai indeks prestasi kumulatif (IPK) tidak kurang dari tiga. “Bicara denganmu seperti bicara dengan patung, Panda!” protes Anna sambil memakan potongan kentang goreng agak kasar. Dia memutar mata malas mendapati Pandora terkesiap berbalik natap ke arahnya. “Kau bicara apa tadi?” “Aku bilang kau akan jadi teman sekamarku lagi, bukan?” Tidak tahu. Pandora tak bisa memastikan ke mana dia akan ting
Rasa – rasanya satu malam ini Kingston takkan berhenti mengejutkan Pandora—memancing jantungnya kembali berdebar keras ketika suara pintu kamar terbuka menampilkan siluet pria itu berdiri angkuh tidak jauh dari posisi Pandora yang lantas berpaling ke luar jendela.“Kembali ke dapur.”Itu bukan sebuah ajakan, tetapi perintah yang secepatnya harus Pandora turuti.Pandora meremas jari – jari tangannya tidak mengerti untuk apa Kingston memintanya kembali ke dapur sementara setengah jam lalu pria itu baru saja mengusirnya pergi. Kingston aneh dan akan semakin aneh jika Pandora masih berdiam diri di tempat.“Mengapa aku harus ke dapur?”“Untuk menjadi tukang cuci di sana.”Sesaat Pandora termegap menatap bahu lebar Kingston yang meninggalkannya usai mengatakan hal tersebut. Dia diminta untuk menjadi tukang cuci di gedung sebesar ini? Harusnya Pandora tak perlu merasa heran saat menggarisbawahi Kingston adalah orang kaya pelit yang baru membagi es krim-nya pada suapan terakhir. Tentu takkan
Terbangun dengan seseorang menyorot tajam ke arahnya bukan sesuatu yang Pandora harapkan. Dia terkesiap segera bangkit menyibak selimut tebal demi memastikan keadaan tubuhnya.Pandora bernapas lega mendapati dia dalam keadaan utuh lengkap dengan pakaian. Seketika beringsut mundur mewaspadai keberadaan Kingston tak jauh dari posisi Pandora saat ini. Pria itu bersedekap dada—bersandar di dinding yang hanya berkisar sekian jengkal jarak darinya.“Sejak kapan kau ada di situ?”Pasalnya Pandora ingat semalam Kingston sempat memasuki kamar, lalu setelah terlelap oleh ketegangan dia sama sekali tak bisa membayangkan apa pun dalam benaknya ... selain mungkin Kingston tidur di satu ruang yang sama.“Aku di sini semalaman menunggu seseorang yang berpura – pura tidur sampai dia tidur sungguhan.”Seringai Kingston sinis menawarkan Pandora begitu banyak keraguan. Dia menunduk tanpa sadar saat Kingston memicing penuh intimidasi ke arahnya.“Siapa yang mengizinkanmu pergi ke halaman belakang?”Perta
“Kau sedang bersembunyi dari siapa?” “Satu jam lagi kita akan ada kelas, kenapa semua pintu dan jendela ditutup?” Anna tampak kebingungan saat Pandora tiba - tiba menerjang masuk ke dalam kamar asrama dan bertingkah seperti baru saja dikejar anjing liar. Begitu panik menjadikan keadaan kamar benar – benar seperti tempat persembunyian dengan kening dipenuhi bulir keringat. Pandora mengambil posisi duduk berselonjor kaki di atas lantai. Semakin membuat Anna menatapnya curiga. “Kau belum menjawab pertanyaanku, Panda.” Anna mendesak menyorot Pandora yang menarik napas berulang kali. Tidak biasanya Pandora bertingkah aneh. Dia ingat Pandora tinggal bersama seseorang yang memberi gadis itu tumpangan saat kembali ke Bristol—sama sekali tak berpikir pagi – pagi sekali Pandora akan kembali ke asrama dalam wujud dan keadaan seperti di hadapannya. “Kau sedang lari dari siapa?” ulang Anna mulai mendekati Pandora. Cara Pandora memeluk kaki sendiri menjadi pertanyaan besar. “Kau tak bilang akan
Suara gaduh mendadak tenang saat Meredith, kakak tingkat dari jurusan berbeda bersama dua temannya memperlihatkan kekuasaan mereka di depan pintu kelas. Meredith masuk membawa tas kertas terjinjing di bagian lengan. Menyebarkan senyum yang sesungguhnya sangat menyebalkan pada semua orang, terutama Anna seketika bersikap waspada melirik Pandora sebagai sebuah isyarat.“Apa yang akan dilakukan nenek sihir itu di sini?” Anna berusaha berbisik dengan jangkauan kursi yang cukup memisahkannya dari Pandora. Setengah jengkel memperhatikan Meredith menyisir pada bangku paling pojok bagian depan yang diduduki teman sekelas mereka, pria kutu buku yang bahkan tidak begitu peduli akan kehadiran Meredith.“Bagikan ini ke semua temanmu, kecuali ratu teater itu.” Meredith tersenyum sinis menarik satu bagian dari kertas undangan yang disusun bertingkat – tingkat terisi di dalam tas. Khusus untuk Pandora dia melangkah sendiri meletakkan kertas undangan dengan kasar.“Aku ingin lihat seberapa cantik kau