“Kau lanjut kuliah artinya kembali jadi teman sekamarku lagi, kan?” Perhatian Anna tak pernah luput dari wajah Pandora yang terus memperhatikan salinan berkas – berkas penandatanganan perjanjian antara penerima dan ketua forum beasiswa. Beberapa keanehan berkecamuk di benak Pandora setelah menyadari beasiswa yang dia dapat tidak mungkin datang menjemputnya, jika bukan dia yang mencari. Namun Pandora tidak pernah merasa pernah mendaftarkan diri pada forum – forum tertentu, meskipun dia tetap menyetujui kesepakatan terhadap persyaratan sebagai mahasiswi penerima beasiswa, yang harus mencapai nilai indeks prestasi kumulatif (IPK) tidak kurang dari tiga. “Bicara denganmu seperti bicara dengan patung, Panda!” protes Anna sambil memakan potongan kentang goreng agak kasar. Dia memutar mata malas mendapati Pandora terkesiap berbalik natap ke arahnya. “Kau bicara apa tadi?” “Aku bilang kau akan jadi teman sekamarku lagi, bukan?” Tidak tahu. Pandora tak bisa memastikan ke mana dia akan ting
Rasa – rasanya satu malam ini Kingston takkan berhenti mengejutkan Pandora—memancing jantungnya kembali berdebar keras ketika suara pintu kamar terbuka menampilkan siluet pria itu berdiri angkuh tidak jauh dari posisi Pandora yang lantas berpaling ke luar jendela.“Kembali ke dapur.”Itu bukan sebuah ajakan, tetapi perintah yang secepatnya harus Pandora turuti.Pandora meremas jari – jari tangannya tidak mengerti untuk apa Kingston memintanya kembali ke dapur sementara setengah jam lalu pria itu baru saja mengusirnya pergi. Kingston aneh dan akan semakin aneh jika Pandora masih berdiam diri di tempat.“Mengapa aku harus ke dapur?”“Untuk menjadi tukang cuci di sana.”Sesaat Pandora termegap menatap bahu lebar Kingston yang meninggalkannya usai mengatakan hal tersebut. Dia diminta untuk menjadi tukang cuci di gedung sebesar ini? Harusnya Pandora tak perlu merasa heran saat menggarisbawahi Kingston adalah orang kaya pelit yang baru membagi es krim-nya pada suapan terakhir. Tentu takkan
Terbangun dengan seseorang menyorot tajam ke arahnya bukan sesuatu yang Pandora harapkan. Dia terkesiap segera bangkit menyibak selimut tebal demi memastikan keadaan tubuhnya.Pandora bernapas lega mendapati dia dalam keadaan utuh lengkap dengan pakaian. Seketika beringsut mundur mewaspadai keberadaan Kingston tak jauh dari posisi Pandora saat ini. Pria itu bersedekap dada—bersandar di dinding yang hanya berkisar sekian jengkal jarak darinya.“Sejak kapan kau ada di situ?”Pasalnya Pandora ingat semalam Kingston sempat memasuki kamar, lalu setelah terlelap oleh ketegangan dia sama sekali tak bisa membayangkan apa pun dalam benaknya ... selain mungkin Kingston tidur di satu ruang yang sama.“Aku di sini semalaman menunggu seseorang yang berpura – pura tidur sampai dia tidur sungguhan.”Seringai Kingston sinis menawarkan Pandora begitu banyak keraguan. Dia menunduk tanpa sadar saat Kingston memicing penuh intimidasi ke arahnya.“Siapa yang mengizinkanmu pergi ke halaman belakang?”Perta
“Kau sedang bersembunyi dari siapa?” “Satu jam lagi kita akan ada kelas, kenapa semua pintu dan jendela ditutup?” Anna tampak kebingungan saat Pandora tiba - tiba menerjang masuk ke dalam kamar asrama dan bertingkah seperti baru saja dikejar anjing liar. Begitu panik menjadikan keadaan kamar benar – benar seperti tempat persembunyian dengan kening dipenuhi bulir keringat. Pandora mengambil posisi duduk berselonjor kaki di atas lantai. Semakin membuat Anna menatapnya curiga. “Kau belum menjawab pertanyaanku, Panda.” Anna mendesak menyorot Pandora yang menarik napas berulang kali. Tidak biasanya Pandora bertingkah aneh. Dia ingat Pandora tinggal bersama seseorang yang memberi gadis itu tumpangan saat kembali ke Bristol—sama sekali tak berpikir pagi – pagi sekali Pandora akan kembali ke asrama dalam wujud dan keadaan seperti di hadapannya. “Kau sedang lari dari siapa?” ulang Anna mulai mendekati Pandora. Cara Pandora memeluk kaki sendiri menjadi pertanyaan besar. “Kau tak bilang akan
Suara gaduh mendadak tenang saat Meredith, kakak tingkat dari jurusan berbeda bersama dua temannya memperlihatkan kekuasaan mereka di depan pintu kelas. Meredith masuk membawa tas kertas terjinjing di bagian lengan. Menyebarkan senyum yang sesungguhnya sangat menyebalkan pada semua orang, terutama Anna seketika bersikap waspada melirik Pandora sebagai sebuah isyarat.“Apa yang akan dilakukan nenek sihir itu di sini?” Anna berusaha berbisik dengan jangkauan kursi yang cukup memisahkannya dari Pandora. Setengah jengkel memperhatikan Meredith menyisir pada bangku paling pojok bagian depan yang diduduki teman sekelas mereka, pria kutu buku yang bahkan tidak begitu peduli akan kehadiran Meredith.“Bagikan ini ke semua temanmu, kecuali ratu teater itu.” Meredith tersenyum sinis menarik satu bagian dari kertas undangan yang disusun bertingkat – tingkat terisi di dalam tas. Khusus untuk Pandora dia melangkah sendiri meletakkan kertas undangan dengan kasar.“Aku ingin lihat seberapa cantik kau
“Kenapa pintunya dikunci?”Pandora beringsut mundur hati – hati mendengar bagaimana gemerincing kunci terlalap oleh saku jas Kingston. Semua terasa kilat dan tidak cukup baik untuk dipahami secara ringkas begitu Kingston menjebaknya dalam sebuah ruang—Pandora yakini ruang pribadi Kingston selama pria itu turut mengambil andil proyek bersama Mr. Lee dan para mahasiswa yang tergabung dalam UKM teater.Sebagai seorang donatur yang membiayai segala jenis pedanaan proyek besar itu bisa saja Kingston tidak terlibat banyak, tapi mustahil pula bila Kingston tidak melakukan hal demikian sementara pria itu sudah ada di hadapan Pandora. Begitu besar dan berkuasa.Kingston memiliki segalanya untuk membuat Pandora tak berdaya. Semua bisa Kingston dapatkan selama mau dan berhasrat. Namun tiap detail terjadi di antara mereka masih membuat Pandora bertanya – tanya mengapa ada kebetulan secara berturut harus dia hadapi. Kingston menjadi seorang donatur sekaligus yang membelinya di pelelangan. Tidakkah
Mereka tak sedang bermain petak umpet—namun anggaplah demikian. Pandora bersembunyi dan Kingston akan mencari. Pria itu memang perlahan mendekati Pandora di bawah meja, tempat di mana sesaat lalu Pandora pernah ditelentangkan tak berdaya, dan bahkan sampai detik ini Pandora masih merasakan hal yang sama. Memeluk kedua lututnya sesekali berusaha fokus memperhatikan ke mana arah sepatu pentofel itu berjejak. Terutama dia tak memiliki kesempatan mengenakan pakaiannya secara utuh. Terlalu takut seseorang di luar sana melihat keberadaannya. “Pandora.” Suara dan wajah Kingston muncul usai pria itu menunduk. Mengejutkan Pandora. Membuat jantungnya benar – benar kelimpungan. “Jauh – jauh dariku.” Pandora tak tahu harus melakukan apa selain meminta Kingston menjaga jarak, tetapi sensor motorik di tubuhnya justru menuntun Pandora mendekat. Dia sedang memegang bra dan secara spontan menyerang Kingston dengan benda tersebut. Gerakan gesit Pandora adalah sesuatu yang sangat seksi bagi Kingston
Memang betul ruang kerja Kingston cukup berantakan—butuh sedikit keterlampilan tangan untuk membenahi. Akan tetapi perhatian Pandora hanya tertuju pada jemari yang mendorong kotak bekal berbentuk ‘love’ dan tampilan warna soft pink, kontras dengan maskulinitas Kingston—yang terkesan cukup aneh jika memang itu kenyataannya. “Sarapan? Kau membawa bekal?” tanya Pandora heran. Percakapan Kingston dengan seorang tamu yang menyelamatkannya dari hasrat besar pria tersebut sama sekali tak tertangkap oleh indera pendengaran Pandora. Itulah sebabnya dia tak tahu sandwhich dengan potongan yang khas adalah pemberian dari Madeline. “Dari Ms. Clayton?” Pandora mengernyit membaca tulisan dari selipan kertas kecil saat membuka kotak bekal setelah duduk di hadapan Kingston. “Ini untukmu. Aku tidak bisa memakannya.” Semakin heran Pandora mempertanyakan mengapa dosen pengampuh mata kuliah ‘Naskah Lakon’ membawakan sarapan untuk Kingston. Apa Kingston sungguh menarik perhatian semua orang? “Kau memb