Sebelah lengan Pandora terangkat ke belakang. Jemarinya berusaha keras menyentuh tali dress yang menggantung di punggung karena ulah satu orang. Pandora tidak punya pilihan selain tetap mengenakan pakaian basah dan minim dari Aquela, tidak ada satu pun yang bisa ditemukan di penthouse milik pria di sampingnya, pria yang terburu – buru menyusul keluar saat Pandora memilih untuk memisahkan diri.
Setengah melirik Pandora tahu pria yang dimaksud tengah sibuk mengikat dasi hitam, disusul jas biru menutup tubuh besar itu.
Masih dengan usaha yang tak pernah berhasil. Pandora sedikit berjinjit demi bisa mencapai apa yang sedang dikerjakan. Dia nyaris tersentak saat tiba – tiba jemari besar mengambil alih tempat dan menepis kedua lengannya ke depan.
“Mulutmu bisa digunakan untuk minta tolong.”
Tali yang melambai ke bawah masing – masing diikat kuat. Tubuh Pandora mengetat disusul dada yang membusung mengikuti volume pakaian yang membuatnya merasa tidak nyaman.
Ikatan tali telah sempurna. Jari – jari milik pria asing itu merambat menyentuh permukaan dada Pandora. Putus – putus napas Pandora berirama bersama debaran jantung dan rasa waspada. Sentuhan hangat di ceruk lehernya seperti sesuatu yang menyengat. Pandora beku tak berkutik, sungguh kehilangan kendali dalam rayuan hasrat, yang berpindah dengan sesapan dalam di garis bahunya.
“Kau menyukai ini.”
Bisikan serak demikian berlangsung bersama gigitan kecil di cuping telinga Pandora. Seketika itu kewarasan Pandora menyentak masuk. Dia menepis jemari yang telah lama bermain di tubuhnya. Melangkah mundur menjauhi sangkar berbahaya di depan mata.
“Kau seharusnya bersiap pergi,” ucap Pandora dengan napas menggebu – gebu. Senyum sinis itu memaksanya terus menghindar.
“Ya, aku akan segera pergi asal mendapat kembali satu ciuman darimu.”
“Itu tidak mungkin terjadi—“
“I owned the rules. Aku bisa melakukan apa yang aku mau.”
Ntah bagaimana cara pria itu melesat cepat. Tahu – tahu tubuh Pandora sudah terkurung di antara sudut dinding. Aroma maskulin menguar memenuhi indra penciuman Pandora. Dia tidak menyangkal pria itu memiliki wangi memabukkan. Hampir saja Pandora terlena.
“Tolong menjauh.” Dia mengerjap cepat, sesekali mendorong dada bidang yang berjarak cukup dekat dengan wajahnya. “Kau membuat napasku sesak.” Harus Pandora ingatkan bahwa tali dress itu terlalu erat membelenggu. Dia berusaha keras menarik ikatan – ikatan mengetat, tetapi Pandora tidak mampu menggapai bagian yang tersisa dari simpul pita di belakang punggung.
“Oh!” Pandora memekik hebat. Bahkan tidak sadar akan dibalik menghadap dinding. Ruang gerak Pandora begitu kecil. Pria itu menarik lepas seluruh bagian yang terikat dari dressnya.
“Tidak sulit meminta tolong pada yang lain. Tinggal bilang ‘aku butuh bantuanmu’, apa susahnya?”
Memang tidak sulit seandainya saja orang yang berada di hadapan Pandora tidak memiliki sikap kasar, arogant, hingga sisi dominan yang tak mampu Pandora taklukkan. Alih – alih meminta bantuan, rasa takut lebih dulu menghujam isi pikirannya. Dia tidak ingin pria itu merasa besar dengan satu permintaan ‘tolong’, sekalipun hanya pria bergaris wajah tajam itulah satu – satunya orang di samping Pandora.
“Terima kasih atas bantuanmu.”
Sesegera mungkin Pandora menutup bagian dada terbukanya ketika berhasil terbebas. Dia ingin menepi keluar dari kamar tidur sekaligus tempat di mana dia berganti pakaian, tapi suara bel dari luar secara bersamaan menarik atensi dua orang dalam satu ruang itu.
“Tunggu di sini. Jangan ke mana – mana sampai aku kembali.”
Lebih baik tidak usah kembali!
Pikir Pandora dalam hati. Seketika napasnya tercekat begitu pria itu berbalik menatapnya. Hanya sesaat kemudian tubuh besar pria asing itu ditelan daun pintu.
“Kenapa aku harus bertemu orang aneh dan menyebalkan seperti dia!”
Pandora mengusap wajah kasar. Ke sana sini melangkah tidak pasti menunggu kedatangan tak diharapkan dari pria yang saat ini belum diketahui namanya.
“Ponselku ....” Dia kembali bicara seorang diri tatkala mengingat Anna untuk menghubungi mantan teman sekamarnya. Sejak tiba di Cambridge Pandora lupa memberitahu Anna, setidaknya mengirim pesan singkat mengenai kondisinya, karena Aquela selalu meminta Pandora melakukan aktivitas pekerjaan tanpa jeda.
Pandora bergerak cepat membuka laci nakas. Sikap waspada membuatnya mengambil keputusan demikian. Sengaja menyembunyikan benda pipih beserta tas miliknya di sana—takut, kalau – kalau pria asing itu akan melakukan sesuatu.
‘Maaf baru bisa menghubungimu, Ann. Aku sudah di Cambridge. Kau tidak perlu khawatir. Aku baik – baik saja’.
Kalimatnya terkirim setelah Pandora membaca rentetan beberapa pesan yang diterima dari kemarin. Dia terlalu sibuk sekadar mengulik ponsel. Jauh lebih sibuk menahan diri dari hal – hal bersifat menakutkan.
Selang beberapa menit ponsel Pandora berbunyi. Bukan balasan dari Anna, melainkan sebuah notifikasi email dari akun perguruan tinggi Bristol, kampus di mana Pandora telah mengundurkan diri.
Ntah Pandora salah lihat atau apa. Salam pembuka membuat jantungnya berdebar, ditambah pernyampain isi membuat hatinya semakin gugur. Dia hanya memiliki waktu satu minggu untuk melakukan pemberkasan
“Aku mendapat beasiswa penuh?” Dia bertanya – tanya tak mengerti. Kenapa dan bagaimana bisa itu terjadi ....
“Apa yang kau lihat?”
Suara dalam milik seorang pria tiba – tiba menyentak perhatian Pandora. Orang yang sama terakhir kali ditemui berdiri di ambang pintu dengan sebuah tas belanja di tangan. Pandora sudah berada di bawah kontrak kerja bersama pria itu. Dia bisa mengatakan apa untuk menjelaskan niatnya yang begitu besar ingin kembali melanjutkan studi di perguruan tinggi.
“Aku—“
“Cepat ganti pakaianmu. Aku tunggu 10 detik dan kau sudah harus selesai.”
Pria itu meletakkan tas belanja ke atas ranjang, tanpa mengeluarkan kata lain telah meninggalkan Pandora sendiri di dalam kamar dengan kondisi ruang tertutup rapat.
“Satu.”
Hitungan pertama memaksa Pandora menatap kusen pintu tak percaya. Dia bahkan belum mengeluarkan isi dari tas belanja itu.
“Dua.”
Pandora bergegas cepat. Sedikit heran mendapati jeans panjang hingga baju minim ketat tersaji di depan mata, beserta dua dalaman dengan warna senada. Tidak mungkin 10 detik bisa digunakan untuk memakai keseluruhan pakaian itu.
“Dia sinting apa bagaimana?” Pandora menggerutu sembari melorotkan dress yang kian tergerai di lantai. Tersisa bra dan dalaman hitam basah miliknya. Pandora melepas secara keseluruhan. Dia tergesa – gesa memakai hal – hal penting, disusul kain atasan yang pas, tidak kurang apalagi lebih—benar – benar ukuran yang sesuai.
“Waktumu tinggal lima detik!”
“Harus kuapakan orang aneh itu!”
Susah payah Pandora memasukkan sebelah kakinya pada lubangan jeans. Saat bersamaan jantungnya terasa berhenti ketika pintu tiba – tiba dibuka paksa.
Seringai nakal muncul dari sorot mata beriris warna corak campuran, tapi Pandora tak berani memastikan ingatannya mengenai bentuk mata itu atau sebutan khusus ‘spektrum’ bagi warna mata langka tersebut.
“Keluar. Aku belum selesai!”
Nyaris tidak bisa menahan diri Pandora menarik selimut tebal demi menutup separuh kaki terbukanya. Pria itu terlihat mendekat dan menggigit bibir bawah tanpa melepaskan pandangan pada tubuh Pandora. “Aku mohon jangan,” bisik Pandora lirih. Sentuhan kasar di bagian kelangkang kaki membuatnya bergetar. Dia sedang menghadapi orang yang sangat berbahaya. Napas panas menerpa permukaan kulit leher Pandora. Jemari besar yang merambat tak sabaran telah mencapai titik sensitif di tubuhnya. Dia kelimpungan. Berusaha menahan. Namun tidak sanggup menyingkirkan apa yang disebut ‘keinginan’ dari orang yang sedang kehausan. “Aku akan memberimu waktu 10 detik lagi. Kalau kau gagal jangan salahkan aku jika kau ... kutelanjangi tanpa ampun.” “Satu.” Kata terucap itu disusul tubuh yang telah jauh. “Dua.” Hitungan – hitungan dari suara dalam yang seksi semakin jatuh pada angka besar dan termakan kusen pintu. Pandora harus cepat! Dia bergegas. “Oh!” Napas Pandora tercekat begitu pintu kamar terbu
“Panda, kau pulang?” Pandora mematung sesaat menyaksikan cara berjalan ayahnya yang sedikit tertatih. Chris seperti kaget sekaligus tidak percaya mendapati kepulangannya secara mendadak. Sudah Pandora duga Aquela telah mengatakan sesuatu tentang pekerjaan yang dia dapatkan. Wanita yang ntah bagaimana terlalu pandai menarik kepercayaan ayahnya. Akan tetapi dia berharap pria asing, aneh dan misterius di sampingnya tidak mengatakan apa pun yang buruk terkait keterikatan mereka. Sesaat Pandora menarik napas menetralkan rasa waspada. “Aku pulang karena sedang merindukan ayahku yang tampan ini.” Dia merentangkan tangan mendekap tubuh Chris. Pria rupawan di usia menanjak yang menurunkan garis kesempurnaannya kepada putrinya sendiri. Tidak ada keinginan lebih besar bagi Chris selain kebahagiaan untuk Pandora. Namun dia tak berdaya akan serangan jantung yang membuat sebagian kemampuan melemah. “Kau senang dengan pekerjaan yang kau dapat, Panda?” Sebuah elusan lembut mendarat ringan di punca
Biasan lampu yang merambat ke kamarnya menarik Pandora untuk terbangun setelah beberapa kali mengernyit dalam. Netra Pandora sepenuhnya terbuka tidak lama usai keremangan menyergap seisi ruangan. Dia mengubah posisi duduk, menatap heran sekaligus bertanya – tanya siapa yang baru saja membuka pintu dan pergi begitu saja. Pandora tidak akan menemukan jawaban, jika hanya berdiam diri tanpa mencari tahu. Gesit Pandora menyibak selimut tebal, bergegas cepat berlalu di depan kamar demi meneliti bekas kepergian yang tak terendus. Dia mengernyit, bayangan pria asing itu seketika mencecoki isi pikirannya. Sudah satu hari sejak kesepakatan secara sepihak itu berlangsung. Pandora sempat mengira ini awal baik, bahwa pria tersebut tidak akan menyentuhnya. Dia salah, dan akan selalu salah jika masih berpikir pelaku yang membuka pintu kamarnya adalah pria yang tidak dia kenali. Terutama di luar sepengetahuan Pandora, pelaku sesunnguhnya saat ini tengah menjalankan aksi di kamar tamu. Napas Pandor
Pandora menekan ganggang pintu dengan perasaan ragu. Ntah mengapa sekembali dari dapur dan ruang tamu dia merasa aura kamarnya seperti dilingkupi badai elektrik—penuh ketegangan yang tidak mampu Pandora jabarkan secara gamblang. Dia ingin mengurungkan niat masuk, apalagi sekadar melanjutkan tidur yang terjeda. Namun, bayangan terhadap perjalanan jauh mengingatkan Pandora agar mengumpulkan energi untuk besok pagi. Pandora mendesah kecil menepis keras keraguan yang berkecamuk hebat. Keremangan menyapa Pandora, lalu bagian paling mengejutkan baginya saat siluet tubuh tinggi dan besar berdiri tidak jauh dari kaki ranjang tengah memperhatikan benda pipih tajam, panjang berganggang miliknya yang kian terpisah dari penutup. Benda pemberian Chris. Pandora tidak akan membiarkan orang lain menyentuhnya. Dia segera menekan saklar hingga situasi di sana benderang. “Kembalikan pedangku!” Direnggut paksa sekaligus melekatkan penutup pedang seperti sudah sangat terbiasa melakukan hal tersebut yan
Cermin di hadapan Pandora memantulkan bayangan dirinya yang tampak kacau. Masih sedikit bersyukur Pandora tidak menemukan Kingston di samping ranjang saat dia terbangun di pagi hari, meski sepanjang malam pria itu melingkarkan lengan secara posesif di permukaan perut rata hingga sesekali mengusap Pandora pelan. Pandora harus menangisi nasibnya selama itu sebelum dia benar – benar terlelap, tetapi keanehan terjadi baginya ketika Pandora tidak merasakan sakit apa pun di area kewanitaan. Anna pernah bercerita banyak hal tentang pengalaman intim yang pernah dialami. Dan cukup membuat Pandora meringis saat Anna berkata sangat sakit untuk kali pertama. Pandora masih bertanya – tanya apakah Kingston benar menyentuhnya atau tidak. Untuk memastikan ulang dia mencak – mencak di depan cermin, barangkali sakit itu terasa hanya dengan bergerak lincah. Namun itu bukanlah jawaban. Pandora masih merasakan bahwa dia Pandora yang sama. Senyumnya melebar tipis, meski dalam sekejap menghilang ketika pan
‘Ujung dari penyesalan dan awal kehancuran’, benak Pandora terus bergumam tidak tenang selama perjalanan menuju Bristol. Dia belum bercerita apa pun mengenai beasiswa penuh yang didapatnya kepada Kingston seandainya Bristol akan menjadi persinggahan terlama, terpanjang atau terselama-nya. Untuk yang terakhir Pandora tidak berharap akan menjadi bagian dari kekacauan hidupnya, karena kontrak yang dia dan Aquela tandatangani sudah cukup memberi pengaruh besar, bahkan sebelum perjalanan baru itu dimulai. Terlalu buruk bagi Pandora. Dia tidak sekali pun menarik ekor mata untuk memperhatikan pria di balik kursi kemudi, yang terkadang genggaman mantap dari tangan besar itu memindahkan persneling hingga sentakan paha yang kuat memberi sensasi tersendiri padanya ketika menatap keluar jendela. Kingston sesekali memberhentikan mobil, tetapi itu tidak mempengaruhi seberapa jauh jarak yang mereka tempuh. Membuat Pandora mendesah kecil ketika penghujung Kota Cambridge akan segera berakhir. Cambr
Pandora menatap tidak mengerti sekeliling rumah besar—sebuah mansion yang menjulang hampir di tengah – tengah hutan. Dia berdiri di samping pilar tinggi menunggu kepergian Kingston beberapa saat lalu membawa tiga kantong plastik besar menuju gerbang masuk. Pandora hanya diminta untuk tidak melakukan apa pun sebelum pria itu kembali mendatanginya. Dia diam, sepenuhnya menuruti perintah Kingston tanpa membantah. Selama hampir 15 menit berlalu kemudian muncul seorang pria—tak asing di mata Pandora datang menghampirinya. “Selamat pagi, Nona.” Pria tersebut tersenyum, dan Pandora teringat satu nama di malam itu. “Kau Helios, benar?” Sebuah anggukan mengundang kelegaan di dada Pandora. Dia sedikit tenang setidaknya Helios terlihat jauh berbeda dari Kingston, bahkan tatapan itu begitu sopan. “Mari, saya akan memperkenalkan Anda beberapa bagian dari mansion ini, Nona.” Helios melentangkan lengan memberi Pandora ruang untuk melangkah. Sedikit kebingungan Pandora tak memahami maksud dari
Pandora benar – benar berdebar karena sensasi mengerikan dan adrenalin yang dipompa habis – habisan. Benaknya bahkan tak mampu berpikir ke mana dia akan mendarat. Sampai pada titik terendah, punggung Pandora terasa sakit menghantam genangan kolam. Bunyi percikan air deras persis baru saja kejatuhan benda asing yang berat. Pandora tidak seberat kedengarannya—hanya saja salah satu kenyataan tentang Pandora adalah tidak bisa berenang. Tubuhnya mencak – mencak kehilangan kendali. Situasi benar – benar kacau kala posisi Pandora tidak mendukung untuk menemukan pijakan dasar. Kolam itu memiliki kedalaman yang tinggi, tetapi tak seorang pun ada di sana. Persis seperti Kingston yang telah pergi saat setelah melepas tubuh kecil Pandora tanpa sekali pun memastikan keadaan di bawah. Pria itu yakin titik lemparnya akan menjatuhkan Pandora pada koordinat yang tepat. Meskipun memang tepat. Namun, keadaan Pandora di sana sama sekali tak terbayangkan. Waktu bahkan berlalu lama sejak Kingston melemparn