Malam itu jelas belum berakhir begitu saja. Malam yang menjadi sangat memalukan untuk Meta Marforia Anastasya. Di hadapan banyak orang, dia membalas cumbuan Edward yang sangat menuntut. Dia benar-benar sudah kehilangan akal sepertinya. Meta bergegas mendorong dada Edward agar menjauh saat menyadari apa yang sudah dia lakukan. Bibir gadis itu terlihat basah, membuat sang empunya menundukan wajah, menahan rasa malu. Edward tersenyum puas. Rasa bibir gadis itu benar-benar sangat manis, membuat akal pikirannya hilang begitu dia merasakannya. “Sudah lihat bukan? Dia bahkan lebih berharga dari pada kehadiran kamu. Jika mau, kamu bisa menggunakan pakaian yang tadi Meta kenakan, agar adil,” ucap Edward kembali fokus pada wanita tadi. Wanita itu menggerutu, menatap Meta sebal. Dia memilih pergi daripada harus dipermalukan lagi. “Konyol,” gumam Edward. Dia menatap gadis yang menunduk dalam, menyembunyikan wajahnya. Tangan Edward mengangkat dagu gadis itu agar menatapnya. Mata Meta terlihat
Lega, satu kata yang menggambarkan perasaan Meta setelah melepas dan mengganti pakaiannya. Tidak ada rasa takut sama sekali, meski harus memasuki kamar Regano yang notabenya seorang pria. Seakan dia begitu percaya pada pria itu.Dia membuka pintu dan menemukan cahaya, berbanding terbalik saat dia memasuki kamar Edward yang penuh kegelapan. Senyum tipis terukir di bibir peachnya, menyambut Regano yang baru tiba.“Aku harap kamu tidak keberatan dengan suasananya,”“Ini lebih baik dan lebih nyaman,” sahut Meta cepat. Rasanya tidak enak menuntut terlalu banyak pada pria yang sudah banyak menolongnya.“Duduklah, kamu pasti lelah mengenakan hills cukup lama,” ucapnya menepuk kasur di sebelahnya. Meta mengangguk. Hari ini sepertinya keberuntungan sedang di pihaknya. Dia bahkan tidak berhenti tersenyum.“Jadi?”“Satu hari penuh kebebasan menjadi hari yang sangat aku rindukan. Dulu, kebebasan itu terasa biasa, tetapi semua berubah dalam sekejap. Kamu tau, aku tidak pernah menghabiskan waktu un
Cahaya yang menyusup lewat celah, mulai mengganggu gadis yang masih nyaman bergelung dengan selimut. Dia menari selimut untuk menghalau matahari, mencoba untuk tertidur lagi. Namun, nihil. Matanya tidak lagi bisa terpejam.Meta memutuskan untuk bangun, mengedarkan pandangan ke sekeliling. Matnay membulat, saat menemukan perbedaan di ruangan itu.“Ini bukan kamar Regano, juga bukan kamar aku,”Panik, dia mulai beranjak dan mencoba keluar. Sepi, satu kata yang menggambarkan rumah tersebut. Dia tidak berada di tempat yang sama.“Aku di mana?” gumamnya mulai panik. Siapa yang membawanya? Apa dia diculik? Bukankah Regano bilang kalau dia akan aman selama bersama pait itu?Meta kembali ke kamar, mencari ponsel yang Edward berikan.“Ponselnya bahkan gak ada. Sebenarnya apa yang terjadi semalam. Perasaan aku tidur di kamar Regano. Kenapa bisa ada di sini sekarang?”Meta mengacak rambutnya, mulai frustrasi. Dia dipindahkan ke tempat baru lagi. Gadis itu melangkah, menyusuri seisi rumah. Dia te
Penjagaan yang ketat dan jalan yang dipenuhi dengan pepohonan. Mungkin rumah itu benar-benar dibangun di tengah hutan. Meta menghela napas, bolak-balik menggunakan teropong untuk melihat situasi di luar. Semua yang dia temukan hanyalah pepohonan tinggi, tidak ada jalan besar yang bisa membawanya keluar dari pengasingan tersebut. “Kalau gak ada jalan, terus gimana aku bisa ada di sini. Orang-orang itu juga. Masa mereka bukan manusia sih? Tapi tadi mereka bisa masak, nyiapin makanan. Kalau gitu mereka belanja bahan dari mana?” Dia lelah memikirkannya. Memilih membaringkan tubuh di atas kasur. “Rasanya nyaman, tidak lagi disiksa, tapi kenapa aku merasa ada yang kurang? Apa karena aku kesepian? Apa bedanya kalau bersama Edward juga malah lebih mencekam,” Kosong, sepi dan tidak ada yang mengganggu ketenangannya. Harusnya Meta bersyukur. Dia bisa menyembuhkan lukanya selama jauh dari Edward. “Apa Xadira juga pernah tinggal di sini?” Meta memperbaiki posisinya. Saat mencari alat untuk me
Sudah cukup lama sejak peristiwa kegilaan yang hampir merenggut nyawa seseorang yang begitu dekat dengannya terjadi. Selama itu pula Azuura, tidak lagi pernah menemui suaminya yang sengaja dikurung di ruang bawah tanah.Edward melakukannya untuk mencegah lebih banyak korban yang jatuh di tangan Asnaf. Azura kembali memberanikan diri untuk pergi ke ruangan itu. dia merasa gelisah, seperti sesuatu akan terjadi, sama seperti beberapa tahun lalu.Ketika hasrat untuk melihat korbannya menderita muncul, Asnaf tidak akan bisa mengendalikan diri dan menghabisi siapa saja yang ada di depan matanya.“Nyonya, gawat!”Azura menautkan alisnya saat salah satu penjaga datang menghadapnya dengan wajah panik. Wanita itu mempercepat langkahnya. Benar saja, penjara yang disiapkan untuk Asnaf berhasil dibuka, dan beberapa orang penjaga sudah tergeletak tidak berdaya di dalam ruangan tersebut.Wanita paruh baya itu berdecak. Asnaf pasti sudah tidak bisa menahan hasrat dalam dirinya. Kalau sudah begitu, ke
Kelopak matanya mengerjap, berusaha menyesuaikan cahaya yang masuk ke retinanya. Kepala gadis itu terasa berputar dan pandangannya yang masih buram. Dia ingin bergerak dan baru menyadari kondisi tubuhnya yang ditahan oleh sesuatu. Meta yang baru mengingat sesuatu bergegas mengedarkan pandangannya. Sebuah ruangan yang didominasi oleh warna putih, persiss seperti tempat Edward mengeksekusi para korbaannya. Mengingatnya saja sudah membuat Meta merinding. Kini, dia berada di tempat yang sama sebagai korban.Pada akhirnya, bukan di tangan Edward dia akan berakhir tetapi di tangan seseorang yang jauh lebih mengerikan.Pintu ruangan terbuka, memunculkan seorang pria yang tersenyum sangat manis. Kalau melihatnya dalam situasi normal mungkin, Meta tidak akan berpikir kalau pria itu adalah seorang psikopat.Edward dan pria itu jelas berbeda. Edward yang memiliki hasrat menggebu, sangat temperamental dan menunjukkan dirinya yang begitu ditakuti banyak orang. Edward yang dijuluki leader. Berban
Bugh! Satu pukulan mendarat dengan keras di wajah Edward, membuat pria itu terpental. “Kamu melakukan kesalahan yang sama lagi!” tukas Regano. Pria itu menyambut Edward dengan pukulan dan tatapan penuh kebencian. Edward yang keras kepala, dan tidak pernah memikirkan dampak dari segala perbuatannya. “Apa harus dengan cara memindahkannya ke tempat ini? Xadira bahkan hampir mati gara-gara kamu mengasingkannya ke tempat ini. Tidak sedetik pun kamu memikirkannya? Setiap hal yang kamu ambil selalu tanpa pertimbangan, lalu apa gunanya kami selalu berusaha untuk di sisimu, Ed?” cecar Regano. Kekecewaan yang terbesar adalah tidak mendapatkan kepercayaan Edward sepenuhnya. “Meta pengecualian, seharusnya kamu juga tau batasannya,” sahut Edward. Pria itu memilih untuk memeriksa kondisi rumah yang sudah berantakan. Keganasan Asnaf memang tidak memiliki tanding. Jika sudah menginginkan sesuatu pria paruh baya itu akan melakukan apa pun untuk mendapatkannya. “Sepertinya aku tau ke mana dia mem
Memiliki sedikit hati nurani? Xadira menyayanginya? Pertanyaan yang menghantui Edward sejak mendengar kalimat itu dari bibir Meta. Pria itu menghembuskan asap rokoknya ke udara. Langkah kaki mendekat membuat dia mendongak. Raut marah dari Azzura tampak jelas saat menatapnya. “Kamu membebaskannya begitu saja?” tanya wanita paruh baya itu. Edward mengalihkan tatapannya. Asnaf bukan orang yang bisa dikekang dengan mudah. Pria itu akan lebih nekat jika merasa butuh melampiaskan hasrat yang membuncah dalam dadanya. Edward pernah merasakannya. Keinginan untuk melihat korbannya menderita. “Kamu tau kalau dia akan terus membuat masalah, kenapa membiarkannya bebas di luar sana?” cecar wanita itu masih belum puas. “Xadira pernah jadi korban, begitu pun Meta, siapa selanjutnya? Apa kamu tidak pernah memikirkannya?” “Kalau begitu izinkan aku membunuhnya,” Azzura duduk di samping putranya. Tanpa sadar rasa dalam hatinya terus menerus tumbuh. Rasa cinta yang membuatnya buta, dan mempertahankan