Meta mengatur napas yang masih ngos-ngosan, berusaha meraup udara sebanyak-banyaknya. Hari itu cuaca terlalu panas dan membakar, dan Edward begitu tega menyuruhnya membersihkan pekarangan rumah yang luasnya melebihi kolam berenang yang pernah dia bersihkan.“Capek banget, akhh,” teriak Meta mulai frustasi. Meta berkacak pinggang, memperhatikan pekarangan yang bahkan belum seperempat selesai dia bersihkan. Keringat membanjiri wajah dan kaus yang dia kenakan mulai basah oleh keringat benar-benar seperti kerja rodi.“Aku bisa terbakar sampai habis kalau begini caranya,” dumelnya.Edward benaar-benar membuktikan bahwa pria itu tidak memiliki hati nurani. Meta yang baru juga pulih udah disuruh melakukan pekerjaan berat, mana sendirian lagi.“Berhenti mendumel, pekerjaan gak akan selesai,” ucap seseorag. Regano datang, tersenyum kecil. Pria itu sudah lengkap dengan topi dan gunting unuk membersihkan rumput liar.“Pakai ini, biar wajah mulus kamu gak rusak.”Dia mulai merapikan rambut Meta d
Meski tidak terlalu akrab, Meta beberapa kali bertemu wanita yang bahkan masih saja awet muda itu. Tentu saja, perawatan yang mahal menjamin kecantikan wanita tersebut. Keluarga Leonardo terkenal sebagai salah satu keluarga sukses. Meski harus mengesampingkan sisi gelap keluarga itu.“Jadi kamu sudah tidak pernah komunikasi lagi dengan Xadira, sejak pindah sekolah?” tanya wanita itu, memperbaiki posisi duduknya. Dia benar-benar wanita yang sangat anggun, ditambah balutan kain mewah yang tampak elegan di tubuhnya.“Begitulah,”Meta merasa ada yang janggal. Penampilan Xadira begitu berbeda dari wanita di hadapannya. Seolah gadis lemah itu bukan bagian dari keluarga Leonardo. Selama mengenal Xadira, tidak sekali pun gadis itu mau menyebutkan nama belakangnya, dan Meta yang tidak terlalu peduli, mengabaikan kejanggalan tersebut.“Edward masih ada rapat, mungkin akan pulang larut, jadi Tante bisa berkunjung di lain hari,” jelas Regano setelah menghubungi psikopat tersebut. Wanita itu sama
Meski tidak ingin, tetap saja pemintaan nyonya besar Leonardo terputar dalam pikirannya. Sebuah kesalahan yang menjadi titik awal segalanya. Jika saja saat itu wanita sempurna itu tidak menikah, dan memiliki keturunan, tentu Meta tidak perlu ada di sana, terjebak bersama seorang psikopat, yang kapan saja bisa menghabisi nyawanya.Meta menahan napas saat Edward mengikis jarak. Mata hitam pekat itu menatapnya begitu tajam, dan penuh peringatan.“Kamu sudah melewati batas, dan aku tidak akan diam saja,” lontarnya, Meta mundur beberapa langkah hingga punggungnya menyentuh dinding. Dia kehilangan ruang untuk bergerak. Edward memenjarakannya di antara tangan dan tubuh pria itu.“Mau membuat pembelaan?”“Apa itu akan mengubah sesuatu? Kamu tetap akan menghukumku meski aku menjelaskaan kebenarannya, lalu apa bedanya?” sahut Meta, Edward tersenyum miring. Posisi Meta yang berada dalam kukungannya, membuat dia bisa melihat betapa mulusnya wajah itu. Dia mengelus wajah Meta, merasakan lembutn
Bagi orang-orang, melupakan hari istimewa, seperti ulang tahun bukanlah masalah besar. Namun, berbeda bagi mereka yang sudah memberikan segalanya. Mereka tulus tentu saja, hanya terkadang tidak mendapatkan kembali sebagai timbal balik, akan sangat menyakitkan.Meta menatap panntulan wajahnya di cermin. Hari itu adalah puncak dari kesabarannya selama ini. Banyak hal yang tidak adil. Dia berusaha memahami keadaan sahabatnya, tetapi tidak sekali pun mereka melakukan hal yang sama. Meta hanya mengharapkan hal sederhana, yaitu kehadiran mereka di saat-saat tertentu. Namun, dia hanya diminta untuk memahami keadaan mereka.“Seharusnya aku tidak perlu menyesali ini, bukan? Mereka mungkin tidak pernah menyesali dan mengganggap diri mereka jahat,” gumamnya, menghela napas.Edward pergi dan belum kembali setelah beberapa hari. Meta menebak kalau psikopat itu sedang bekerja dan kembali dengan hasil yang dia harapkan.“Aku sangat berharap kalian menyesal, tetapi rasanya tidak adil jika kalian tid
Dia meringkuk, menenggelamkan kepala di lipatan lutut. Ke sekian kali, dia memilih keputusan yang salah. Dia selalu berpikir sudah melakukan yang terbaik. Namun, yang dia dapat justru sebaliknya. Meta tidak pernah menduga kalau orang yang dia percaya, ternyata iri dan ingin menghambat perkembangannya.“Gak perlu make over, Ta. Kamu udah cantik kok!”“Udahlah, gak perlu ikut akademi, lebih baik kita main aja,”“Benar banget tuh, capek belajar terus,”Dia pikir mereka benar-benar peduli. Melakukan hal-hal itu untuk kebaikannya. Sebaliknya, mereka tidak ingin Meta selangkah di depan mereka.“Kalian gak bangga? Teman kalian jadi model di usia yang masih terbilang sangat muda loh,”“Memangnya kalian bangga? Non akademik, apa yang perlu dibanggain?”Semakin diingat, semakin dada Meta terasa sesak. Dia dipertemukan dengan orang-orang yang salah.Kejujuran Anne membuat dia mulai merasa salah dalam mengambil keputusan. Sama seperti saat dia memutuskan untuk meninggalkan Xadira. Semua berakhir
Edward murka, Meta melakukan kesalahan dengan menantang perintahnya. Dia melangkah tergesa-gesa, untuk memberi gadis itu pelajaran. Beberapa waktu terakhir Edward terlalu lembut dan memperlakukan Meta lebih baik, hingga gadis itu merajalela.“Meta!”Teriakan Edward menggema di seluruh mansion. Regano datang dengan tergesa-gesa.“Jangan ikut campur,” ucap Ren menahan tangan Regano. Pria itu menatapnya, langsung mengetahui kalau ini semua ulah wanita di hadapannya.“Kenapa kamu melakukan ini?”“Supaya kamu berhenti untuk ikut campur. Kamu tau kalau Edward gak akan mungkin menyakiti Meta, tanpa alasan,” Ren berusaha membuat pembelaan. Regano tersenyum kecut. Edward menyakiti orang lain tanpa alasan?“Kepala kamu terbentur, heum? Kamu mengenal Edward bukan satu atau dua tahun, Ren. Meta tidak seharusnya diperlakukan seperti ini. Aku yakin, kamu juga menyadari ada yang salah di sini. Namun, kamu memilih diam dan berpuraa-pura tidak tau apa-apa, iya ‘kan?” cecar Regano. Ren terkejut dengan
Edward terus saja memperhatikan gerak-gerik Meta, seolah gadis itu akan menghilang hanya dalam sekali kedipan. Meta merasa cemas, Edward tidak boleh berubah pikiran, atau kesempatan bertemu Adam bakal gagal. Meta berusaha untuk tenang, saat mendengar langkah kaki Edward yang mendekatinya.“Ingat bukan, ke mana pun kamu pergi, aku pasti akan menemukanmu. Jangan sampai banyak orang jadi korban kecerobohanmu, ke sekian kalinya,” bisik Edward menyentuh pipi gadis itu. bulu kuduk Meta berdiri. Ancaman Edward seperti dentuman kematian untuknya.“Mengerti, kelinciku?” Meta mengangguk kaku. Dia bersyukur Regano sudah kembali. Meta bergegas melangkah ke dekat Regano, merasa lebih nyaman dibanding di sisi Edward.“Kami berangkat sekarang,” ucap Regano.Baru saja keduanya balik badan, Edward kembali memanggil Meta. Keduanya bertukar pandang, seolah memiliki pemikiran yang sama.“Kamu melupakan sesuatu,” ucap Edward mendekati keduanya, menyerahkan ponsel milik Meta. Ponsel keramat, di mana Edward
Meta menghabiskan cukup banyak waktu bersama Adam, berbagi cerita dan tertawa bersama. Seperti beban mereka menghilang begitu saja.“Meta harus segera kembali ke dalam, Pa. Sepertinya pengecekan sudah selesai,”Meski berat, Meta harus bergegas, atau akan ketahuan oleh Edward. Terakhir kalinya, dia memeluk Adam, raasanya begitu lega melihat Adam baik-baik saja.“Kita akan segera bersama lagi,”Meta mengangguk. Dia juga menantikan hari itu tiba. Meta tidak sengaja menubruk seseorang yang mengenakan tudung kepala.“Maaf,” gumamnya tetapi dihiraukan oleh orang tersebut. Meta tidak ambil pusing, melanjutkan langkahnya untuk memasuki gudang.“Eh, id yang Regano kasih di mana?” Meta bergegas kembali ke tempat semula, dan tidak menemukan kartu akses tertinggal di sana. Meta mencari keberadaan Adam yang belum jauh. Pria paruh baya itu juga tidak melihat id card yang Meta maksud.Gadis itu mulai kebingungan. Dia menghampiri Regano yang baru keluar dari gudang penyimpanan. Dia benar-benar kebing
Dua tahun berlalu begitu saja. Dengan sedikit bantuan dari world agency hukumannya bisa selesai lebih cepat. Dia kini bisa menghirup udara dengan bebas. Tangannya terentang, menyambut dunia barunya.Mobil hitam berhenti, membuat senyumnya semakin lebar.“Selamat datang kembali, Edward,” sapa Regano.Tidak ada embel-embel ‘tuan’ lagi, karena sejak hari itu mereka hanyalah saudara yang akan memulai hidup baru. Edward terkekeh, lantas masuk ke dalam mobil, mendahului sang supir.“Bagaimana keadaannya?”Sebulan yang lalu, dia akhirnya mendengar berita terbaiknya. Meta akhirnya bangun setelah tidur cukup lama. Edward sungguh berpikir tidak memiliki kesempatan untuk bersama wanitanya lagi. Namun, harapan itu sedikit memudar kala mengetahui kalau Meta kehilangan cukup banyak kenangannya.“Keadaannya mulai membaik, meski harus menjalani latihan untuk bisa berjalan lagi,” jelas Regano.Selain memori, Meta juga sempat tidak bisa menggerakkan seluruh tubuhnya atau disebut lumpuh total. Sebulan t
Dia terlahir dengan julukan monster, tatapan benci bercampur rasa takut yang sering dijumpainya. Bukan hanya orang-orang, bahkan ibunya tak pernah mau menatapnya sebagai seorang putra. Bertahun-tahun, dia hidup dalam kegelapan. Edward Leonardo, namanya. Si pria berhati dingin dan beku. Tidak ada cinta, bahkan tidak ada rasa sedikit pun. Ditolak oleh orang-orang memaksa kepribadian gelapnya muncul. Asnaf adalah role model yang dia miliki, satu-satunya. Hanya Asnaf-yang sama dengannya- yang mau dekat dengan Edward. Asnaf membesarkannya dengan cara yang salah, hingga Edward tumbuh sesuai keinginan pria psikopat tersebut. Waktu berjalan begitu cepat. Edward yang tanpa perasaan, dinobatkan sebagai leader dalam organisasi besar dunia. Mafia yang akan mengambil organ milik orang lain yang tak mampu memenuhi target. Apa saja, termasuk hidup mereka jadi jaminannya. “Kamu hanya perlu menjalani hukuman penjara selama dua tahun, leader,” ucap Mr. Secret A. Tidak ada pilihan. Masalah sudah mera
Bagi Dion terlalu mudah mengakhiri rasa sakit hanya dengan membunuh Edward. Bertahun-tahu dia hidup dalam penderitaan setelah kehilangan gadis yang dia sayangi, sementara Edward terus beraksi tanpa takut sedikit pun. Kali ini, dia hanya ingin pria itu merasakan penderitaan yang sama dengannya. Dia ingin Edward merasakan ketakutan yang luar biasa. “Kamu pikir aku akan mudah melakukannya?” Dion terkekeh, menarik Meta agar mengikuti langkahnya. Tidak seorang pun berani melangkah. Meta menangis, menatap Adam yang semakin melemah. Dia sungguh ingin berlari dan memeluk pria tersebut. “Tolong Papa,” gumam Meta sebelum Dion memaksanya masuk ke dalam mobil. Edward menurut, menyuruh anak buahnya untuk segera membawa Adam ke rumah sakit. Dia dan Regano akan mengejar mobil yang Dion bawa. Di dalam mobil Meta hanya terus menangis, bukan karena dirinya dalam bahaya, melainkan karena takut tidak bisa melihat Adam lagi. “Kamu hebat! Aku akui itu. Kamu bisa membuat leader tergila-gila, bahkan tak
Kakinya terus melangkah, tanpa keinginan melihat ke belakang. Dia semakin jauh ke dalam kegelapan, ke tengah pepohonan yang semakin menjulang tinggi. Rasa takut kerap muncul. Namun, tekad untuk segera pergi dari tempat itu tak kalah besar. Dia terus melangkah lebar. Sebelah tangannya memegang satu-satunya pistol yang jadi alatnya untuk saat ini.Dor!Dia kembali menembak di salah satu pohon, memberi petunjuk. Dia sadar akan ada seseorang yang mencarinya nanti. Petunjuk itu akan membantunya untuk ditemukan lebih mudah.“Sssh, bertahanlah, Nak. Kita akan segera keluar dari tempat ini,” gumamnya mengelus perutnya yang semakin perih.Sesuatu yang buruk bisa terjadi jika dia terlambat keluar dari tempat itu.“Awss,”Pada akhirnya, Meta kehilangan tenaga untuk terus melangkah. Rasa sakit melanda seluruh tubuhnya, bukan hanya perut. Napasnya mulai tercekat, pelipinya dipenuhi keringat. Tubuhnya lemas, seolah tenaganya terserap habis tanpa sisa.“Ed, tolong,” gumamnya lirih. Dia bersandar di
Dari mana semua permasalahan ini bermula? Rasa cinta yang tidak bisa dikendalikan adalah awal semua dimulai. Azura jatuh hati pada pangeran kegelapan. Jika waktu diputar dan Azura tidak pernah menikah dengan Asnaf, mungkin kisah ini gak akan dimulai. Tidak ada Edward atau pewaris gen psikopat dari pria kegelapan tersebut. Satu sisi, jika saja Dion tidak jatuh hati pada gadis kecil itu, pasti tidak akan ada akar pahit, hingga sejauh ini.Rasa yang tak seharusnya hadir, terkadang menjadi sebuah kesalahan, menjadi pemicu akan skenario yang lebih rumit. Akan tetapi, apakah manusia bisa mengatur segalanya? Tentu saja tidak.Sebagai seorang anak, Edward dulunya selalu mengikuti jejak Asnaf, sampai semua semakin memburuk saat Asnaf hampir saja menjadikan Xadira-putrinya sendiri- sebagai korbannya. Edward jelas tidak terima, dan memutuskan untuk mengurung Asnaf selama bertahun-tahun. Pada awalnya, pria itu akan rutin memerintah anak buahnya mengirimkan beberapa ekor kelinci sebagai pemuas has
Meta berusaha menahan diri untuk meneriaki Dion sekarang juga. Rasa bencinya menumpuk begitu mengetahui kalau Dion yang memaksa Xadira melompat dari atas gedung. Perlahan tangannya menyusup ke sela kemeja yang dikenakannya, meraih sesuatu dari dalam sana. “Kamu tidak ingin minum dulu, manis? Bukankah kamu butuh tenaga untuk menghadapi ini semua?” Dion menyodorkan segelas susu. Awalnya Meta curiga, tetapi juga tidak memiliki pilihan lain. Dia menegok cairan kental berwarna putih itu meski sedikit. “Manis sekali,” tangan Dion terulur, membersihkan sisa susu di bibir Meta. Pria itu tersenyum hingga memunculkan lesung pipinya. Dia memperhatikan detail wajah Meta, sangat indah. Pantas saja Edward yang notabenya tidak memiliki hati, bisa luluh pada gadis itu, bahkan sampai membuat Meta mengandung keturunannya. “Seandainya kita bertemu lebih awal, mungkin aku akan jatuh cinta padamu. Sayang sekali, kamu adalah milik dari musuhku sendiri,” lontar pria itu lebih mirip seperti psikopat menge
Satu per satu kebenaran terungkap. Edward yang ternyata tidak mewarisi gen dari Asnaf. Banyak hal yang berubah akibat satu kebenaran yang disembunyikan. Azura jelas tidak terima akan kegagalan itu. Saat itu juga, dia mengajukan agar rumah sakit tersebut ditutup, didukung dengan data yang ada. Akan lebih banyak korban jika rumah sakit itu terus beroperasi. “Mulai sekarang, kamu harus hidup normal. Kalau perlu keluar saja dari world agency,” pinta Azura. “Tidak semudah yang Mama pikirkan,” Azura mengangguk paham. Perlahan, dia ingin Edward menjalani hidup selayaknya pemuda pada umumnya. Mungkin, jika Meta mau kembali, hidup putranya itu akan lebih sempurna. “Soal Meta, Mama sungguh minta maaf udah buat kalian takut memiliki anak. Sekarang, Mama justru ingin segera menimang cucu. Melihat keriput yang semakin banyak, rasanya tak sabar dipanggil nenek,” Azura terkekeh, membayangkan dirinya menimang bayi mungil. Dia bisa menebus kesalahan dengan membantu Meta membesarkan cucunya dengan
Saat kesempatan itu datang, Meta hanya ingin memperbaiki apa yang rusak di antara dia dan Edward. Mungkin cara Xadira salah, tetapi dia tetap seorang adik yang ingin saudaranya sembuh. Jika aku tidak bisa, maka setidaknya kamu harus membantu Bang Edward untuk sembuh. Tolong, wujudin mimpi aku, Ta. Meta akhirnya membuka mata. Mimpi itu kembali, mimpi yang sama di mana Xadira muncul dan memintanya untuk kembali. Xadira berkali-kali mengigatkannya untuk berhati-hati dengan Dion. “Sudah bangun, manis?” Meta menoleh, Dion tersenyum miring. Meta memegangi keningnya yang terasa pening, baru sadar ada cairan kental berwarna merah di tangannya. Benar juga, dia sempat kejar-kejaran sebelum kecelakaan itu terjadi. Rasa pusing menyerangnya, tetapi itu tidak seburuk rasa khawatir pada anaknya. Meta memegangi perutnya, bersyukur tidak terjadi hal buruk pada anak itu. “Kamu butuh sesuatu?” tanya Dion bersikap sok manis, hingga membuat Meta ingin muntah di hadapan pria itu. Si perusak yang mengha
Perkembangan baru terlihat hari ini, setelah dua bulan berlalu. Kelopak mata sang leader akhirnya menunjukkan pergerakan, sebelum akhirnya terbuka. Langit-langit putih menyambutnya. Pertama kali selam hidupnya, dia terbaring selama itu di rumah sakit.Pintu ruangan yang terbuka, menarik atensi pria itu. Wajah Azura tampak sembab, kantung matanya menghitam bersama kerutan yang menandakan usia wanita itu yang semakin menua. Sudut bibir Azura terangkat, membentuk lengkungan sabit tipis.“Akhirnya kamu bangun juga, Nak,” gumam Azura penuh haru.Dua bulan dipenuhi rasa takut akan kehilangan. Hanya Edward yang kini dia miliki. Tangan Azura terulur, membantu pria itu untuk duduk, lantas menyodorkan air minum untuknya. Meski tampak enggan, Edward tidak menolak semua bantuan wanita tersebut.“Mama baik-baik aja?”Tangis Azura pecah mendengar pertanyaan putranya. Tak menunda lagi, dia memeluk tubuh putranya dengan lembut. Tidak ada kata yang bisa mendeskripsikan hati Azura saat ini. Hanya tangi