“Jangan mendekat!” teriak seorang wanita di gang dekat bangunan tinggi pada tengah malam.
Rose–nama panggilan wanita itu–terpojok di gang buntu. Hanya langkah kaki Rose yang terdengar, menggema di antara dinding beton yang tinggi dan rapat.
Kakinya lelah setelah berlari tiada henti. Melarikan diri dari tangan kanan bos besar yang memergoki dirinya akan membebaskan seorang tawanan, Flint.
Usaha Rose pun hampir berhasil, dengan ikut di sebuah kapal angkutan barang. Namun, ternyata tidak semudah itu untuk lolos dari pulau yang bernama Solterra ini.
Terlalu banyak anak buah bos besarnya, termasuk Flint yang melihat Rose naik ke kapal. Flint lantas menyuruh rekan-rekannya yang lain untuk mengejar Rose dan mengadukannya kepada bos besar.
Dan di sinilah dirinya sekarang. Seperti tikus terpojok yang siap dimangsa. Flint lantas mengancam akan mengadukan Rose pada bos besar atas perbuatannya.
Selama empat tahun berada di pulau Solterra yang dihuni oleh para mafia ini, bahkan perdagangan manusia merupakan kejadian yang wajar, membuat Rose tidak sanggup. Terlebih siksaan yang diterimanya dari bos besar ketika bosnya itu sedang kesal. Tubuh Rose penuh dengan lebam dan juga bekas luka yang hampir mengering akibat pukulan, serta cambukan yang diterimanya.
“Apa yang akan kau lakukan kalau aku mendekat?” Flint menyeringai bengis.
Pria itu menarik tangan Rose dengan kasar. Sedetik kemudian, terdengar jerit kesakitan yang keluar dari mulutnya.
Rose mencakar tangan Flint sampai mengeluarkan sedikit darah. Mata Flint sontak terbelalak penuh amarah.
“Kurang ajar!”
PLAK!
Telinga Rose berdengung ketika merasakan sengatan rasa sakit yang luar biasa di tulang pipinya. Flint menampar wanita berusia 22 tahun itu dengan kuat dan tanpa ragu.
“A-aku akan mengadukan perbuatanmu pada Bos Saul!” ujar Rose, dengan suara yang bergetar, bahkan hampir tidak terdengar.
Mendengar nama bos besar disebut, cekalan tangan Flint melonggar di lengan Rose.
Saul Martinez, bos besar pemilik pusat perdagangan manusia di Pulau Solterra, pernah mengatakan kepada seluruh anak buahnya jika Rose dijadikan pelayan pribadi. Tak ada yang berani memperlakukan Rose dengan kasar, kecuali Saul yang selalu melampiaskan amarah dengan menjadikan Rose seperti samsak hidup.
“Apa kau pikir Bos Saul akan peduli padamu, hah?!” Flint mendorong-dorong kepala Rose menggunakan telunjuk. Kuku panjang pria itu sampai menggores dahinya.
“Gadis bodoh! Kau dijadikan pelayan pribadi dan tidak boleh keluar dari gedung atau menampakkan diri di depan pelanggan bukan karena bos menyukaimu!”
Rose meringis kesakitan, tapi tak berani melawan. Dia hanya mundur untuk menghindari Flint yang terus mendekat.
“Bos Saul menyembunyikanmu dari semua orang dan tidak menjualmu sebagai pelacur karena ibu tirimu yang menjualmu kepada Bos Besar, oleh karena itu tidak ada orang luar yang pernah melihatmu! Bukan berarti kau jadi perempuan spesial di tempat ini!”
Rasa nyeri di pipi dan kepala Rose seolah menghilang dalam sekejap. Dadanya bergemuruh dan terasa sesak ketika mendengar ucapan Flint yang begitu mengejutkan.
“Apa katamu?” Mata Rose memanas. Air bening menggenang di pelupuk matanya. Berharap jika Flint hanya marah dan asal bicara.
Tak mungkin wanita yang mengasuh dan merawatnya dengan penuh kasih sayang sejak ibu kandungnya meninggal itu tega menjual dirinya! Bahkan, sampai ayah Rose meninggal, sang ibu tiri masih memperlakukan dirinya dengan baik.
Rose baru mengetahui fakta ini. Dia tidak bisa diam saja!
Melihat Rose yang akan kabur, Flint kembali menghentikan pergerakan Rose dengan menjambak rambut perempuan itu dengan kasar. “Akh!” Rose menjerit karena rambutnya ditarik, rasanya seperti akan lepas dari kulit kepalanya.
Dengan keberanian yang entah dari mana datangnya, Rose menendang selangkangan Flint, membuat pria itu terjatuh dan merintih kesakitan. Dan hal itu dimanfaatkan Rose untuk kabur.
“JALANG SIALAN! CEPAT TANGKAP DIA!”
Rose berlari sekuat tenaga, napasnya memburu. Terdengar teriakan kesakitan Flint yang masih merintih di belakangnya, namun Rose tak menoleh.
Tujuannya adalah ke kapal yang akan dia tumpangi, akan tetapi dilihatnya dari kejauhan, kapal tersebut sudah berlayar pergi, hingga tubuhnya menabrak seseorang.
“Akh!” pekiknya spontan.
Pria di depannya dengan sosok tinggi serta tatapan tajam yang kini menatap langsung ke arahnya, membuat Rose terdiam, ekspresinya cukup untuk membuat darah Rose seolah berhenti mengalir.
Bertepatan dengan itu, Flint berhasil menemukan Rose. Dengan wajah yang memerah karena amarah, Flint melihat sosok Rose.
Gadis itu berdiri di sana, punggungnya membelakangi dinding beton yang kasar. Namun, sesuatu membuat langkah Flint terhenti.
Rose tidak sendirian. Di sampingnya, berdiri seorang pria yang membuat darah Flint membeku. Sosok itu tinggi, mengenakan jas gelap yang rapi, seolah keberadaannya di gang kumuh itu adalah hal yang keliru.
“Tidak mungkin ….” Flint berbisik, mulutnya kering. Ia mengenali pria itu. Semua orang di pulau ini mengenalnya.
Pria itu melirik Flint sekilas. “Kukira kau sedang mencari sesuatu?” tanyanya santai, suaranya rendah namun penuh kekuatan.
“Tuan Robin …” Suara Flint berubah parau. Kerongkongannya mendadak terasa kering karena sangat gugup berhadapan dengan pria yang bernama Robin ini.
Rose menatap pria di hadapannya dengan bingung. Sosok itu berdiri tenang, matanya yang tajam menatap lurus ke arah Flint yang membeku beberapa langkah di depan. Meski tubuhnya terasa tegang, Rose tidak tahu siapa pria ini atau mengapa kehadirannya membuat Flint begitu pucat.
Nama itu asing di telinga Rose, namun reaksi Flint mengatakan banyak hal. Flint yang biasanya penuh amarah kini tampak seperti anak kecil yang baru saja memergoki monster di bawah tempat tidur. Rose menoleh perlahan ke arah pria itu, mencoba mencari petunjuk dari penampilannya.
Robin mengangkat tangan, menghentikan kalimat Flint. “Aku tidak punya waktu. Panggil bosmu sekarang. Katakan padanya aku ingin berbicara. Di sini. Saat ini.”
Flint terpaku sejenak, tatapan Robin yang dingin membuatnya tak punya pilihan. “S-saya akan segera memanggilnya,” jawab Flint akhirnya. Langkahnya bergegas keluar dari gang, meninggalkan Rose dan Robin.
Saat Flint menghilang, Robin menatap Rose dengan ekspresi yang sulit dibaca. Matanya menelusuri wajah gadis itu, mencoba mencari sesuatu. Rose menelan ludah, tubuhnya terasa kaku.
“Dan kau,” Robin akhirnya membuka suara, “apa kau bekerja untuk mereka?”
Suara rendah Robin berhasil mengintimidasi Rose. Bukannya menjawab, Rose justru semakin takut. Robin kembali melangkah maju. Hingga Rose dapat melihat sepatu mahal dan mengilat di depan sandal kotor yang dipakainya.
“Aku bisa mendengar suaramu tadi. Apa kau tiba-tiba menjadi bisu?”
Rose tersentak kala tangan pria itu tiba-tiba menaikkan dagunya. Sehingga Rose mau tak mau melihat wajahnya.
“B-benar, Tuan. Saya bekerja di sini.”
DEG!
Rose tiba-tiba merasakan debaran selain ketakutan dalam dadanya ketika tatapan mereka bertemu. Tak pernah menyangka jika pria dengan suara berat dan kasar itu memiliki wajah maskulin yang begitu menawan. Karena selama ini, kebanyakan tamu-tamu bos besarnya itu adalah pria-pria tua dengan perut yang buncit.
Perawakan yang tinggi dan atletis pria itu terbalut dengan jas hitam mewah. Jam tangan seharga ratusan juta yang dikenakannya, menandakan bahwa Robin bukan pelanggan biasa.
“Kau tidak perlu takut denganku …”
Rose menelan ludah bulat-bulat saat mencium aroma permen karet manis dari napas Robin yang menerpa wajahnya.
“A-apa yang kau inginkan dariku, Tuan?” Suaranya keluar dengan parau, hampir tak terdengar
Manik hitam Rose melirik ke samping. Gugup ketika setiap kali matanya berusaha mengalihkan ke tempat lain, pandangan Robin seolah-olah menariknya kembali, seperti ada kekuatan yang tak bisa dilawan.
Robin lantas menyentak kecil dagu Rose agar kembali menatap dirinya.
Rose ingin memandang ke arah lain, tapi tak bisa menghindari tatapan manik berwarna amber milik Robin yang begitu mengintimidasinya saat ini.
Dengan gerakan tenang, Robin sedikit menunduk, mendekat ke wajahnya. Cukup dekat hingga Rose bisa melihat lekuk sempurna rahangnya, garis wajah tegas yang berbaur dengan sorot mata yang seolah tahu lebih banyak daripada yang diucapkannya. Matanya memerangkap setiap helaan napas Rose.
“Aku akan mengeluarkanmu dari pulau ini,” ucap Robin. Suaranya rendah namun mantap, begitu dekat hingga Rose dapat merasakan kehangatan napasnya yang menyapu wajahnya.
Rose terdiam sejenak, kedua matanya membesar tak percaya. Ucapan Robin barusan bergema di telinganya, begitu mengejutkan hingga dia tak yakin benar-benar mendengarnya dengan jelas.
“A-apa …?!”
“Kau hanya perlu melakukan apa yang aku perintahkan.” Pria itu mengamati wajah kuyu milik Rose. “Jadilah istriku dan lahirkan keturunan untukku.”Mulut Rose terbuka lebar. Masih tak percaya dengan ucapan pria itu. Dilihat dari mana pun, Rose dan Robin seperti kerak bumi dan langit tertinggi.“Apa Anda sedang bergurau?” Rose tak menganggap dirinya buruk rupa. Hanya saja, penampilannya selalu terlihat lusuh dan kumal selama dikurung di gedung milik bos besar, yang digunakan sebagai tempat transaksi perdagangan manusia.“Apa aku terlihat sedang bercanda?”Rose sontak menggeleng. Meski tampan, ekspresi dingin Robin tak mencerminkan pria yang suka bergurau.“Tuan Robin Luciano!” seruan Saul dari jauh sedikit mengikis ketegangan yang Rose rasakan.Pria berbadan besar dan terlihat berisi itu menunduk hormat secara singkat kepada Robin. Rose langsung takjub dibuatnya.Bos besar yang tak pernah menekuk wajah di hadapan orang lain, dan saat ini … tampak seperti pelayan di depan Robin. Namun, ha
Sambil menggertakkan gigi, Saul mengibaskan tangan pada para anak buahnya untuk mundur. “Kita akan bertransaksi di dalam.”Robin memerintahkan anak buahnya untuk membawa masuk Rose ke helikopter. Para wanita yang sudah dipesan Robin juga dibawa masuk memenuhi helikopter lainnya. Tak berselang lama, Robin keluar dari gedung bersama dengan Saul yang telah menemukan keceriaan kembali. Orang mana yang tak bahagia mendapatkan uang sebanyak itu?“Kau bisa membaca, bukan?” tanya Robin begitu memasuki helikopter yang sama dengan Rose.Rose diculik saat usianya delapan belas tahun. Tepatnya, selepas dirinya merayakan kelulusan SMA. Tentu saja dirinya bisa membaca dan menulis.Namun, karena masih bingung dan takut dengan situasi yang baru saja terjadi, Rose bahkan tak merasa marah dianggap seperti orang tak berpendidikan.“Bisa,” balas Rose singkat.“Baca ini.” Robin mengulurkan map kuning padanya. Tanpa berkata-kata, Rose langsung menuruti perintahnya.Map tersebut berisi dokumen-dokumen iden
Pria di depannya yang kini sah menjadi suaminya duduk dengan tenang, seperti tidak terganggu sama sekali oleh situasi ini.Robin menyandarkan punggungnya pada sofa, lengan kanannya diletakkan di sandaran, menatap Poppy dengan ekspresi tenang tapi penuh pengamatan. “Kakekku, Dante Luciano, mengharuskan kita tinggal di rumahnya selama satu minggu ke depan,” ujarnya, memecah keheningan.Poppy mengangkat wajahnya, menatap Robin dengan sedikit bingung. “Di rumahnya?” tanyanya pelan.Robin mengangguk. “Dia ingin memastikan pernikahan ini berjalan sesuai harapannya. Dante adalah pria yang selalu mencari kepastian, dan aku yakin dia akan mengamatimu mulai sekarang.”Poppy menunduk, jemarinya saling meremas. “Aku mengerti.”Robin mencondongkan tubuhnya sedikit ke depan, menatap Poppy lebih lekat. “Kau tidak perlu khawatir. Tugasmu hanya bermain sesuai peran kita. Bersikaplah seperti yang sudah kita sepakati. Jika kau bisa melakukannya dengan baik, tidak ada yang perlu kau takutkan.”Poppy menga
Masih dengan pemikirannya sendiri, Poppy benar-benar semakin merasa khawatir dan takut dengan Dante, karena Robin sendiri yang memperingatkan.Dan saat ini, mereka sudah berada di dalam kamar yang sudah disediakan oleh Dante. Jantung Poppy seakan hampir meledak ketika dia dan pria yang kini sudah menjadi suaminya berada di dalam kamar yang sama untuk pertama kalinya. Selama satu minggu ke depan, Dante Luciano mengharuskan pengantin baru itu tinggal di sana. Walaupun bersikap baik kepada Poppy, Dante belum sepenuhnya percaya kepada cucunya sendiri. Robin tak pernah mengenalkan seorang wanita kepada kakeknya, dan bahkan tak pernah berhubungan dekat dengan wanita mana pun. Namun, Robin tiba-tiba pulang dengan membawa wanita untuk dinikahi. Hal itu tentu menimbulkan banyak pertanyaan, walau Dante sendiri sudah mengetahui kabar pernikahan cucunya itu. Dante tak akan tinggal diam dan akan menelisik tentang wanita yang sudah menjadi cucu menantunya. “Kau rupanya punya bakat menjadi patung
“Baik ….” ujar Poppy tertahan. Robin bahkan tak mendengar suara lemas dan lirih istrinya.Setelahnya, Poppy tak bisa tidur nyenyak karena sang suami langsung menghilang setelah menyelesaikan kegiatan panas mereka. Dia tertidur dan terbangun berulang-ulang untuk melihat jam, berjaga-jaga jika Robin akan masuk ke kamar. Namun, Robin tetap tak kembali.Walaupun sudah paham tentang perjanjian mereka, tak elak jika Poppy merasa kecewa. Wanita mana yang akan merasa bahagia ketika sang suami menghilang setelah mendapat kenikmatan darinya? Dia mengira jika hubungan intim itu bisa sedikit mendekatkan mereka.‘Apa mungkin dia sedang mengadakan pesta dengan teman-temannya?’ pikir Poppy menenangkan diri.Kini, satu minggu telah berlalu, dan rutinitas yang sama terus berulang. Setiap malam, Robin akan pergi, kemudian meninggalkannya lagi tanpa banyak berbicara. Hal tersebut terus terjadi, bahkan ketika mereka kembali di kediaman Robin. Dia tahu bahwa suaminya lebih memilih untuk berada di luar rum
Poppy terkejut oleh jawaban suaminya. Dia sempat melempar kain pel agar tak membuat Robin marah karena menunjukkan dirinya terbiasa disuruh-suruh. Akan tetapi, Robin ternyata tak mencegah ataupun marah karena Mia memperlakukan Poppy seperti pelayan.Meski tak memiliki perasaan istimewa kepada Robin, selain rasa terima kasih karena telah membebaskan dirinya dari pulau terkutuk itu, Poppy merasakan sakit hati yang begitu menusuk dada. Tak cukup Robin hanya mendatanginya ketika waktunya bercinta, tetapi juga mengizinkan para pelayan memperbudak dirinya.“Setelah kau selesai dengan pekerjaanmu, temui aku di ruang kerja yang ada di lantai satu,” titah Robin.Begitu Robin mengayunkan langkah kaki menjauh, Mia kembali cekikikan, mentertawakan raut wajah kecewa Poppy yang diabaikan suaminya. Pelayan lain yang mendengar kejadian itu, sekarang tak akan segan lagi memerintah apa pun kepada si nyonya besar palsu.Dibanding penghinaan para pelayan pada dirinya, Poppy lebih kecewa kepada sikap Robin
Ucapan Rafael tidak salah, Poppy memang tak banyak tahu tentang kehidupan pribadi Robin. Poppy tak boleh menunjukkan bahwa dia dan Robin hanya sepasang suami-istri palsu. Namun, kata-kata Rafael tentang keburukan Robin yang tak disangka-sangka membuat Poppy tak bisa mengendalikan ekspresi kaget. Mendadak, Rafael terkekeh. Apakah dia hanya sedang menakuti Poppy untuk melihat reaksinya? Poppy masih ingat jika Dante Luciano mencurigai pernikahan mereka. Mungkinkah Dante mengutus Rafael untuk menyelidikinya? “Kau ternyata sangat menyenangkan, Kakak Ipar. Kau berhasil membuatku berpikir kalau kau benar-benar takut,” ujar Rafael, mengira jika reaksi Poppy hanya dibuat-buat untuk mencairkan suasana. “Ah … i-iya ….” Poppy tertawa kecil dengan canggung, enggan menunjukkan bahwa dirinya tak memahami arah pembicaraan adik iparnya. Selama empat tahun dikurung Saul, dia sedikit lupa bagaimana caranya tertawa lepas. Berharap jika Rafael tak mencurigai tawa palsunya. “Tapi, aku salut denganmu,
‘Lalu bagaimana perasaan anakku di masa depan saat tahu bahwa ayahnya sendiri yang membunuh ibu kandungnya?’ Poppy pun tak ingin mati setelah bisa memimpikan kebebasan. Walaupun dalam kontrak menyebutkan, bahwa Robin akan membebaskan dan memberinya sejumlah uang setelah melahirkan dan bercerai, Poppy sangat tahu jika para mafia tidak pernah menepati janjinya. Dia juga tak sanggup membayangkan nasib anaknya yang akan menjadi penerus bisnis gelap keluarga mafia. “Kau baik-baik saja?” Poppy lagi-lagi terjatuh dalam lamunan mengerikan. Suara Rafael kembali menyadarkan dirinya. “Aku … baik-baik saja ….” Bohong! Yang Poppy rasakan saat ini sangat jauh dari baik-baik saja. Dia sangat takut setelah mengetahui bahwa dirinya sudah membuat perjanjian berbahaya dengan seorang pria yang akan menjadi kepala mafia. “Maafkan aku, Rafael. Aku harus masuk sekarang. Robin akan mencariku kalau aku terlalu lama menghilang.” Untuk menghindari kecurigaan karena tak mampu lagi menjaga ketenangan, Popp
Antonio Russo, orang pertama yang diperintahkan Robin untuk menyelidiki latar belakang Poppy. Namun, dia gagal mencari tahu karena Saul Martinez menyembunyikan identitas Poppy yang sesungguhnya dengan sempurna.Salah satu perjanjian antara Saul dan Robin adalah tidak memberikan identitas asli para wanita yang dijualnya. Saul juga telah menyiapkan identitas baru untuk mereka, seolah sosok asli para wanita itu di masa lalu tak pernah ada di dunia.‘Bodoh ….’ Satu kata itu muncul di benak Antonio ketika mengingat penolakan Poppy sebelum sampai di kediaman hari ini.Meskipun belum menemukan informasi atas asal usul Poppy, Antonio tahu penderitaan yang telah Poppy alami selama empat tahun terakhir. Dia merasa iba kepada wanita itu, namun tak menunjukkan terang-terangan.Apalagi, setelah Poppy menolak pemberiannya yang dia lakukan tanpa sepengetahuan Robin. Antonio cukup kecewa karena Poppy seharusnya bisa menggunakan kartu itu untuk menunjukkan sedikit kekuasaan pada para pelayan. Namun, P
Mencegah kehamilan saja belum cukup untuk menyelamatkan hidupnya. Cara itu hanya dapat mengulur waktu untuk sementara. Robin bisa menggantikan Poppy dengan wanita lain setelah dianggap tak berguna, tak bisa mengandung keturunannya, kemudian membunuhnya setelah itu. Jika tidak, Poppy terpaksa menghentikan penggunaan pil kontrasepsi dan mengandung keturunan Robin, namun hidupnya akan berakhir sembilan bulan kemudian setelah melahirkan. ‘Haruskah aku merayunya lebih dulu?’ Poppy mulai memikirkan rencana baru untuk menyelamatkan nyawanya. Dia pernah mengintip para gadis tawanan Saul yang diajari cara memuaskan para pria sebelum dijual. Namun, apakah dia sanggup melakukan perbuatan memalukan itu di hadapan Robin? Dia bahkan selalu ketakutan hanya dengan melihat tatapan tajam suaminya itu! “Apa Anda ingin mampir ke suatu tempat sebelum pulang?” Antonio yang duduk bersebelahan dengan Poppy di kursi penumpang belakang tiba-tiba membuatnya tersadar dari lamunannya. “Tidak. Tuan Robin bis
‘Ini semua karena Rafael!’ batin Poppy mencari-cari alasan. Beberapa saat lalu, ketika dalam perjalanan menuju kantor perusahaan Luciano, Poppy mendengar ocehan Rafael yang mengatakan bahwa Poppy dan Robin tidak seperti pasangan yang telah menikah. ‘Robin memang menunjukkan kemesraan melalui tanda yang ada di tubuhmu, tapi cara kalian berkomunikasi seperti orang asing yang baru saja bertemu. Apakah aku salah menilai?’ kata Rafael waktu itu. ‘Pasangan kencan pun selalu memanggil satu sama lain dengan julukan mesra, tapi kalian terlalu kaku saat bicara,’ imbuh Rafael. Poppy tak menanggapi karena memang ucapan Rafael ada benarnya. Dia takut akan membuat kesalahan sehingga hanya mendengarkan celotehan Rafael saja. Namun, kata-kata Rafael sesungguhnya masih melekat di benaknya. Hingga tanpa sadar, mulutnya spontan memanggil Robin dengan panggilan mesra. ‘Aku sudah melakukan kesalahan besar!’ Poppy mengutuk diri sendiri dalam hati atas kelancangannya. Namun, bukankah Robin mem
Poppy menatap pintu besar di hadapannya. Di balik pintu itu, Robin sedang menanti dirinya. Jantung Poppy berdegup kencang oleh perasaan bercampur aduk. Dia takut menghadapi kemarahan Robin, tetapi juga ada debaran lain karena mengingat mimpinya semalam. Poppy ingin membuktikan jika kejadian semalam bukan sekedar mimpi. Namun, dia punya keberanian untuk bertanya. “Kenapa kau hanya berdiri di sana?! Cepat masuk!” Poppy terkejut bukan main. Pintu itu tertutup rapat, tetapi Robin tahu dirinya ada di sana. Setelah melihat ke atas, dia baru sadar ada kamera pengawas yang bisa diakses Robin. Tangan Poppy berkeringat ketika memutar gagang pintu. Dia melangkah kecil memasuki ruangan yang lebih besar dari kantor Rafael itu. Robin sedang memeriksa dokumen di kursi kebesarannya, sambil sesekali menulis sesuatu. Komputer besar menutup sebagian wajahnya, namun Poppy masih bisa melihat tatapan tajam sang suami yang tertuju padanya. “Duduk,” titah Robin, lalu melanjutkan menandatangani dokumen
Pada akhirnya, Poppy dengan enggan menerima tawaran yang diberikan oleh Rafael. Adik iparnya itu terus berusaha membujuknya, berharap Poppy dapat membuat Robin beristirahat dari rutinitas kerjanya untuk sementara waktu. Di samping itu, tak ada ketentuan dalam perjanjian yang melarang Poppy untuk bepergian. Rafael pun menyampaikan bahwa dia telah memberi tahu Antonio tentang rencananya yang akan mengajak Poppy ke kantor. Namun, Poppy masih merasa kurang nyaman jika hanya mengandalkan persetujuan dari Antonio.“Aku tidak yakin ikut denganmu. Bagaimana kalau aku di rumah saja?” Poppy kembali ragu saat Rafael menghidupkan mesin mobil. Dia duduk gelisah, seakan ingin keluar dari mobil.“Kau akan bosan di rumah sendirian.” Rafael malah memasang sabuk pengaman untuk Poppy.Dada Poppy bergemuruh hebat tatkala Rafael mulai menginjak pedal gas. Dia sangat cemas akan membuat Robin marah, sekaligus antusias karena bisa melihat dunia luar.Sudah lama dia tidak melihat keramaian orang-orang normal
Poppy lantas bergegas ke kamar mandi, melihat sekujur tubuhnya dengan tanda kepemilikan suaminya yang sebelumnya sudah ada, namun sekarang telah memudar. Tak ada tanda kepemilikan baru yang Robin tinggalkan. “Mustahil ….” Gaun tidur yang dipakai Poppy semalam pun seharusnya basah, tetapi tak ada tanda-tanda cairan cinta darinya atau milik suaminya membasahi gaun tipis itu. Seluruh pakaian Poppy memiliki motif dan model berbeda. Tak mungkin Robin mengganti gaun tidur yang hanya ada satu itu. Poppy masih penasaran. Dia sampai mengangkat gaun dan mengendus-endus, mencari aroma suaminya yang mungkin tertinggal. Namun, indra penciumannya hanya menangkap aroma pewangi pakaian. “Kenapa aku bisa bermimpi seperti itu? Dan bagaimana bisa mimpi terasa sangat nyata?” Mustahil dirinya mengharapkan kehadiran Robin setelah lama menanti, yang akhirnya tertidur sendiri dan memimpikannya. Dia justru ingin menghindari Robin sebisa mungkin. “Aku sempat membaca buku tentang trauma akibat kekerasa
Poppy diam-diam merasa takjub oleh sensasi aneh yang baru pertama kali dia rasakan dan memabukkan. Ciuman itu terasa nikmat, tetapi sangat berbeda dari hubungan badan yang biasa mereka lakukan setiap malam, dan terasa menggetarkan hatinya. Bibir Robin ternyata sangat lembut dan tebal. Poppy sesekali menggigit bibir itu, dan tanpa sadar membuat Robin mengerang pelan. “Manis …,” ujar Robin setelah tiba-tiba menjauhkan bibirnya, suaranya berat dan begitu dalam, namun tidak terdengar mengancam. Jantung Poppy mendadak berdebar semakin kencang. Apakah Robin sungguh mengatakan bahwa bibir Poppy terasa manis? Robin yang dingin dan seperti patung yang tak pernah menunjukkan ekspresi selain sinis itu? Tentu saja Poppy sangat terkejut. Pengaruh alkohol ternyata dapat mengubah sikap seseorang dalam sekejap. Namun, keterkejutan itu tak berlangsung lama. “Tuan!” Kali ini, suara nyaring lolos dari bibir Poppy yang sudah terlepas dari ciuman itu, terkejut oleh gerakan mendadak yang dilakukan Robi
Poppy langsung berhenti bergerak. Mencari alasan dengan cepat, kemudian menjawab, “Saya akan ke toilet sebentar.”Terdengar helaan napas panjang Robin yang tampak lelah. “Benar, aku juga belum mandi. Badanku sangat lengket. Siapkan air hangat untuk berendam,” titahnya kemudian.Poppy segera turun dari ranjang. Namun, langkahnya terhenti oleh kebingungan. “Tidak! Lepaskan dulu bajuku, lalu angkat aku ke kamar mandi!”Mulut Poppy sontak menganga. Apa Robin sedang bercanda? Bagaimana caranya mengangkat badan sebesar itu?“Kau tidak mendengarku?!” bentak Robin. Namun, entah mengapa Poppy lebih takut pada Robin yang biasanya. Pria yang saat ini bersama dirinya itu tak seperti Robin yang sering menghantui pikirannya.“Baik, Tuan.”Poppy mendekati suaminya yang duduk lemas, seperti akan terjatuh. Dia meraba pundak Robin karena tak begitu melihat dengan jelas dalam kegelapan, kemeja yang dipakai suaminya pun berwarna hitam.Napas kasar Robin menerpa kening Poppy ketika tangannya berusaha me
‘Minumlah pil pencegah kehamilan ini sebelum kau siap bicara dengan Robin. Namun, aku masih menyarankan kau bicara baik-baik dengan kakakku secepatnya untuk mendiskusikan saat yang tepat untuk memiliki anak,’ ujar Rafael setelah makan malam tadi.Poppy tak bertanya cara Rafael mendapatkan pil pencegah kehamilan tersebut dengan cepat. Dia yakin jika orang-orang yang berhubungan dengan dunia hitam akan mudah mendapatkan apa pun yang mereka inginkan.Dia melihat dua botol pil di tangannya. Satu botol tersebut berisi obat pencegah kehamilan darurat yang dapat diminum setelah melakukan hubungan badan, satu botol lainnya adalah pil kontrasepsi harian untuk mencegah kehamilan.Poppy mengambil pil kontrasepsi dan segera meminumnya. Kemudian mencari tempat terbaik untuk menyembunyikan dua botol berharga itu di kamar mandi pribadinya.‘Aku akan menyembunyikan di sini saja. Tuan Robin tidak mungkin merangkak di tempat kotor begini.’ Akhirnya, dia memutuskan untuk menyembunyikan dua botol itu di