“Jangan mendekat!” teriak seorang wanita di gang dekat bangunan tinggi pada tengah malam.
Rose–nama panggilan wanita itu–terpojok di gang buntu. Hanya langkah kaki Rose yang terdengar, menggema di antara dinding beton yang tinggi dan rapat.
Kakinya lelah setelah berlari tiada henti. Melarikan diri dari tangan kanan bos besar yang memergoki dirinya akan membebaskan seorang tawanan, Flint.
Usaha Rose pun hampir berhasil, dengan ikut di sebuah kapal angkutan barang. Namun, ternyata tidak semudah itu untuk lolos dari pulau yang bernama Solterra ini.
Terlalu banyak anak buah bos besarnya, termasuk Flint yang melihat Rose naik ke kapal. Flint lantas menyuruh rekan-rekannya yang lain untuk mengejar Rose dan mengadukannya kepada bos besar.
Dan di sinilah dirinya sekarang. Seperti tikus terpojok yang siap dimangsa. Flint lantas mengancam akan mengadukan Rose pada bos besar atas perbuatannya.
Selama empat tahun berada di pulau Solterra yang dihuni oleh para mafia ini, bahkan perdagangan manusia merupakan kejadian yang wajar, membuat Rose tidak sanggup. Terlebih siksaan yang diterimanya dari bos besar ketika bosnya itu sedang kesal. Tubuh Rose penuh dengan lebam dan juga bekas luka yang hampir mengering akibat pukulan, serta cambukan yang diterimanya.
“Apa yang akan kau lakukan kalau aku mendekat?” Flint menyeringai bengis.
Pria itu menarik tangan Rose dengan kasar. Sedetik kemudian, terdengar jerit kesakitan yang keluar dari mulutnya.
Rose mencakar tangan Flint sampai mengeluarkan sedikit darah. Mata Flint sontak terbelalak penuh amarah.
“Kurang ajar!”
PLAK!
Telinga Rose berdengung ketika merasakan sengatan rasa sakit yang luar biasa di tulang pipinya. Flint menampar wanita berusia 22 tahun itu dengan kuat dan tanpa ragu.
“A-aku akan mengadukan perbuatanmu pada Bos Saul!” ujar Rose, dengan suara yang bergetar, bahkan hampir tidak terdengar.
Mendengar nama bos besar disebut, cekalan tangan Flint melonggar di lengan Rose.
Saul Martinez, bos besar pemilik pusat perdagangan manusia di Pulau Solterra, pernah mengatakan kepada seluruh anak buahnya jika Rose dijadikan pelayan pribadi. Tak ada yang berani memperlakukan Rose dengan kasar, kecuali Saul yang selalu melampiaskan amarah dengan menjadikan Rose seperti samsak hidup.
“Apa kau pikir Bos Saul akan peduli padamu, hah?!” Flint mendorong-dorong kepala Rose menggunakan telunjuk. Kuku panjang pria itu sampai menggores dahinya.
“Gadis bodoh! Kau dijadikan pelayan pribadi dan tidak boleh keluar dari gedung atau menampakkan diri di depan pelanggan bukan karena bos menyukaimu!”
Rose meringis kesakitan, tapi tak berani melawan. Dia hanya mundur untuk menghindari Flint yang terus mendekat.
“Bos Saul menyembunyikanmu dari semua orang dan tidak menjualmu sebagai pelacur karena ibu tirimu yang menjualmu kepada Bos Besar, oleh karena itu tidak ada orang luar yang pernah melihatmu! Bukan berarti kau jadi perempuan spesial di tempat ini!”
Rasa nyeri di pipi dan kepala Rose seolah menghilang dalam sekejap. Dadanya bergemuruh dan terasa sesak ketika mendengar ucapan Flint yang begitu mengejutkan.
“Apa katamu?” Mata Rose memanas. Air bening menggenang di pelupuk matanya. Berharap jika Flint hanya marah dan asal bicara.
Tak mungkin wanita yang mengasuh dan merawatnya dengan penuh kasih sayang sejak ibu kandungnya meninggal itu tega menjual dirinya! Bahkan, sampai ayah Rose meninggal, sang ibu tiri masih memperlakukan dirinya dengan baik.
Rose baru mengetahui fakta ini. Dia tidak bisa diam saja!
Melihat Rose yang akan kabur, Flint kembali menghentikan pergerakan Rose dengan menjambak rambut perempuan itu dengan kasar. “Akh!” Rose menjerit karena rambutnya ditarik, rasanya seperti akan lepas dari kulit kepalanya.
Dengan keberanian yang entah dari mana datangnya, Rose menendang selangkangan Flint, membuat pria itu terjatuh dan merintih kesakitan. Dan hal itu dimanfaatkan Rose untuk kabur.
“JALANG SIALAN! CEPAT TANGKAP DIA!”
Rose berlari sekuat tenaga, napasnya memburu. Terdengar teriakan kesakitan Flint yang masih merintih di belakangnya, namun Rose tak menoleh.
Tujuannya adalah ke kapal yang akan dia tumpangi, akan tetapi dilihatnya dari kejauhan, kapal tersebut sudah berlayar pergi, hingga tubuhnya menabrak seseorang.
“Akh!” pekiknya spontan.
Pria di depannya dengan sosok tinggi serta tatapan tajam yang kini menatap langsung ke arahnya, membuat Rose terdiam, ekspresinya cukup untuk membuat darah Rose seolah berhenti mengalir.
Bertepatan dengan itu, Flint berhasil menemukan Rose. Dengan wajah yang memerah karena amarah, Flint melihat sosok Rose.
Gadis itu berdiri di sana, punggungnya membelakangi dinding beton yang kasar. Namun, sesuatu membuat langkah Flint terhenti.
Rose tidak sendirian. Di sampingnya, berdiri seorang pria yang membuat darah Flint membeku. Sosok itu tinggi, mengenakan jas gelap yang rapi, seolah keberadaannya di gang kumuh itu adalah hal yang keliru.
“Tidak mungkin ….” Flint berbisik, mulutnya kering. Ia mengenali pria itu. Semua orang di pulau ini mengenalnya.
Pria itu melirik Flint sekilas. “Kukira kau sedang mencari sesuatu?” tanyanya santai, suaranya rendah namun penuh kekuatan.
“Tuan Robin …” Suara Flint berubah parau. Kerongkongannya mendadak terasa kering karena sangat gugup berhadapan dengan pria yang bernama Robin ini.
Rose menatap pria di hadapannya dengan bingung. Sosok itu berdiri tenang, matanya yang tajam menatap lurus ke arah Flint yang membeku beberapa langkah di depan. Meski tubuhnya terasa tegang, Rose tidak tahu siapa pria ini atau mengapa kehadirannya membuat Flint begitu pucat.
Nama itu asing di telinga Rose, namun reaksi Flint mengatakan banyak hal. Flint yang biasanya penuh amarah kini tampak seperti anak kecil yang baru saja memergoki monster di bawah tempat tidur. Rose menoleh perlahan ke arah pria itu, mencoba mencari petunjuk dari penampilannya.
Robin mengangkat tangan, menghentikan kalimat Flint. “Aku tidak punya waktu. Panggil bosmu sekarang. Katakan padanya aku ingin berbicara. Di sini. Saat ini.”
Flint terpaku sejenak, tatapan Robin yang dingin membuatnya tak punya pilihan. “S-saya akan segera memanggilnya,” jawab Flint akhirnya. Langkahnya bergegas keluar dari gang, meninggalkan Rose dan Robin.
Saat Flint menghilang, Robin menatap Rose dengan ekspresi yang sulit dibaca. Matanya menelusuri wajah gadis itu, mencoba mencari sesuatu. Rose menelan ludah, tubuhnya terasa kaku.
“Dan kau,” Robin akhirnya membuka suara, “apa kau bekerja untuk mereka?”
Suara rendah Robin berhasil mengintimidasi Rose. Bukannya menjawab, Rose justru semakin takut. Robin kembali melangkah maju. Hingga Rose dapat melihat sepatu mahal dan mengilat di depan sandal kotor yang dipakainya.
“Aku bisa mendengar suaramu tadi. Apa kau tiba-tiba menjadi bisu?”
Rose tersentak kala tangan pria itu tiba-tiba menaikkan dagunya. Sehingga Rose mau tak mau melihat wajahnya.
“B-benar, Tuan. Saya bekerja di sini.”
DEG!
Rose tiba-tiba merasakan debaran selain ketakutan dalam dadanya ketika tatapan mereka bertemu. Tak pernah menyangka jika pria dengan suara berat dan kasar itu memiliki wajah maskulin yang begitu menawan. Karena selama ini, kebanyakan tamu-tamu bos besarnya itu adalah pria-pria tua dengan perut yang buncit.
Perawakan yang tinggi dan atletis pria itu terbalut dengan jas hitam mewah. Jam tangan seharga ratusan juta yang dikenakannya, menandakan bahwa Robin bukan pelanggan biasa.
“Kau tidak perlu takut denganku …”
Rose menelan ludah bulat-bulat saat mencium aroma permen karet manis dari napas Robin yang menerpa wajahnya.
“A-apa yang kau inginkan dariku, Tuan?” Suaranya keluar dengan parau, hampir tak terdengar
Manik hitam Rose melirik ke samping. Gugup ketika setiap kali matanya berusaha mengalihkan ke tempat lain, pandangan Robin seolah-olah menariknya kembali, seperti ada kekuatan yang tak bisa dilawan.
Robin lantas menyentak kecil dagu Rose agar kembali menatap dirinya.
Rose ingin memandang ke arah lain, tapi tak bisa menghindari tatapan manik berwarna amber milik Robin yang begitu mengintimidasinya saat ini.
Dengan gerakan tenang, Robin sedikit menunduk, mendekat ke wajahnya. Cukup dekat hingga Rose bisa melihat lekuk sempurna rahangnya, garis wajah tegas yang berbaur dengan sorot mata yang seolah tahu lebih banyak daripada yang diucapkannya. Matanya memerangkap setiap helaan napas Rose.
“Aku akan mengeluarkanmu dari pulau ini,” ucap Robin. Suaranya rendah namun mantap, begitu dekat hingga Rose dapat merasakan kehangatan napasnya yang menyapu wajahnya.
Rose terdiam sejenak, kedua matanya membesar tak percaya. Ucapan Robin barusan bergema di telinganya, begitu mengejutkan hingga dia tak yakin benar-benar mendengarnya dengan jelas.
“A-apa …?!”
“Kau hanya perlu melakukan apa yang aku perintahkan.” Pria itu mengamati wajah kuyu milik Rose. “Jadilah istriku dan lahirkan keturunan untukku.”Mulut Rose terbuka lebar. Masih tak percaya dengan ucapan pria itu. Dilihat dari mana pun, Rose dan Robin seperti kerak bumi dan langit tertinggi.“Apa Anda sedang bergurau?” Rose tak menganggap dirinya buruk rupa. Hanya saja, penampilannya selalu terlihat lusuh dan kumal selama dikurung di gedung milik bos besar, yang digunakan sebagai tempat transaksi perdagangan manusia.“Apa aku terlihat sedang bercanda?”Rose sontak menggeleng. Meski tampan, ekspresi dingin Robin tak mencerminkan pria yang suka bergurau.“Tuan Robin Luciano!” seruan Saul dari jauh sedikit mengikis ketegangan yang Rose rasakan.Pria berbadan besar dan terlihat berisi itu menunduk hormat secara singkat kepada Robin. Rose langsung takjub dibuatnya.Bos besar yang tak pernah menekuk wajah di hadapan orang lain, dan saat ini … tampak seperti pelayan di depan Robin. Namun, ha
Sambil menggertakkan gigi, Saul mengibaskan tangan pada para anak buahnya untuk mundur. “Kita akan bertransaksi di dalam.”Robin memerintahkan anak buahnya untuk membawa masuk Rose ke helikopter. Para wanita yang sudah dipesan Robin juga dibawa masuk memenuhi helikopter lainnya. Tak berselang lama, Robin keluar dari gedung bersama dengan Saul yang telah menemukan keceriaan kembali. Orang mana yang tak bahagia mendapatkan uang sebanyak itu?“Kau bisa membaca, bukan?” tanya Robin begitu memasuki helikopter yang sama dengan Rose.Rose diculik saat usianya delapan belas tahun. Tepatnya, selepas dirinya merayakan kelulusan SMA. Tentu saja dirinya bisa membaca dan menulis.Namun, karena masih bingung dan takut dengan situasi yang baru saja terjadi, Rose bahkan tak merasa marah dianggap seperti orang tak berpendidikan.“Bisa,” balas Rose singkat.“Baca ini.” Robin mengulurkan map kuning padanya. Tanpa berkata-kata, Rose langsung menuruti perintahnya.Map tersebut berisi dokumen-dokumen iden
Pria di depannya yang kini sah menjadi suaminya duduk dengan tenang, seperti tidak terganggu sama sekali oleh situasi ini.Robin menyandarkan punggungnya pada sofa, lengan kanannya diletakkan di sandaran, menatap Poppy dengan ekspresi tenang tapi penuh pengamatan. “Kakekku, Dante Luciano, mengharuskan kita tinggal di rumahnya selama satu minggu ke depan,” ujarnya, memecah keheningan.Poppy mengangkat wajahnya, menatap Robin dengan sedikit bingung. “Di rumahnya?” tanyanya pelan.Robin mengangguk. “Dia ingin memastikan pernikahan ini berjalan sesuai harapannya. Dante adalah pria yang selalu mencari kepastian, dan aku yakin dia akan mengamatimu mulai sekarang.”Poppy menunduk, jemarinya saling meremas. “Aku mengerti.”Robin mencondongkan tubuhnya sedikit ke depan, menatap Poppy lebih lekat. “Kau tidak perlu khawatir. Tugasmu hanya bermain sesuai peran kita. Bersikaplah seperti yang sudah kita sepakati. Jika kau bisa melakukannya dengan baik, tidak ada yang perlu kau takutkan.”Poppy menga
Masih dengan pemikirannya sendiri, Poppy benar-benar semakin merasa khawatir dan takut dengan Dante, karena Robin sendiri yang memperingatkan.Dan saat ini, mereka sudah berada di dalam kamar yang sudah disediakan oleh Dante. Jantung Poppy seakan hampir meledak ketika dia dan pria yang kini sudah menjadi suaminya berada di dalam kamar yang sama untuk pertama kalinya. Selama satu minggu ke depan, Dante Luciano mengharuskan pengantin baru itu tinggal di sana. Walaupun bersikap baik kepada Poppy, Dante belum sepenuhnya percaya kepada cucunya sendiri. Robin tak pernah mengenalkan seorang wanita kepada kakeknya, dan bahkan tak pernah berhubungan dekat dengan wanita mana pun. Namun, Robin tiba-tiba pulang dengan membawa wanita untuk dinikahi. Hal itu tentu menimbulkan banyak pertanyaan, walau Dante sendiri sudah mengetahui kabar pernikahan cucunya itu. Dante tak akan tinggal diam dan akan menelisik tentang wanita yang sudah menjadi cucu menantunya. “Kau rupanya punya bakat menjadi patung
“Baik ….” ujar Poppy tertahan. Robin bahkan tak mendengar suara lemas dan lirih istrinya.Setelahnya, Poppy tak bisa tidur nyenyak karena sang suami langsung menghilang setelah menyelesaikan kegiatan panas mereka. Dia tertidur dan terbangun berulang-ulang untuk melihat jam, berjaga-jaga jika Robin akan masuk ke kamar. Namun, Robin tetap tak kembali.Walaupun sudah paham tentang perjanjian mereka, tak elak jika Poppy merasa kecewa. Wanita mana yang akan merasa bahagia ketika sang suami menghilang setelah mendapat kenikmatan darinya? Dia mengira jika hubungan intim itu bisa sedikit mendekatkan mereka.‘Apa mungkin dia sedang mengadakan pesta dengan teman-temannya?’ pikir Poppy menenangkan diri.Kini, satu minggu telah berlalu, dan rutinitas yang sama terus berulang. Setiap malam, Robin akan pergi, kemudian meninggalkannya lagi tanpa banyak berbicara. Hal tersebut terus terjadi, bahkan ketika mereka kembali di kediaman Robin. Dia tahu bahwa suaminya lebih memilih untuk berada di luar rum
Poppy terkejut oleh jawaban suaminya. Dia sempat melempar kain pel agar tak membuat Robin marah karena menunjukkan dirinya terbiasa disuruh-suruh. Akan tetapi, Robin ternyata tak mencegah ataupun marah karena Mia memperlakukan Poppy seperti pelayan.Meski tak memiliki perasaan istimewa kepada Robin, selain rasa terima kasih karena telah membebaskan dirinya dari pulau terkutuk itu, Poppy merasakan sakit hati yang begitu menusuk dada. Tak cukup Robin hanya mendatanginya ketika waktunya bercinta, tetapi juga mengizinkan para pelayan memperbudak dirinya.“Setelah kau selesai dengan pekerjaanmu, temui aku di ruang kerja yang ada di lantai satu,” titah Robin.Begitu Robin mengayunkan langkah kaki menjauh, Mia kembali cekikikan, mentertawakan raut wajah kecewa Poppy yang diabaikan suaminya. Pelayan lain yang mendengar kejadian itu, sekarang tak akan segan lagi memerintah apa pun kepada si nyonya besar palsu.Dibanding penghinaan para pelayan pada dirinya, Poppy lebih kecewa kepada sikap Robin
Ucapan Rafael tidak salah, Poppy memang tak banyak tahu tentang kehidupan pribadi Robin. Poppy tak boleh menunjukkan bahwa dia dan Robin hanya sepasang suami-istri palsu. Namun, kata-kata Rafael tentang keburukan Robin yang tak disangka-sangka membuat Poppy tak bisa mengendalikan ekspresi kaget. Mendadak, Rafael terkekeh. Apakah dia hanya sedang menakuti Poppy untuk melihat reaksinya? Poppy masih ingat jika Dante Luciano mencurigai pernikahan mereka. Mungkinkah Dante mengutus Rafael untuk menyelidikinya? “Kau ternyata sangat menyenangkan, Kakak Ipar. Kau berhasil membuatku berpikir kalau kau benar-benar takut,” ujar Rafael, mengira jika reaksi Poppy hanya dibuat-buat untuk mencairkan suasana. “Ah … i-iya ….” Poppy tertawa kecil dengan canggung, enggan menunjukkan bahwa dirinya tak memahami arah pembicaraan adik iparnya. Selama empat tahun dikurung Saul, dia sedikit lupa bagaimana caranya tertawa lepas. Berharap jika Rafael tak mencurigai tawa palsunya. “Tapi, aku salut denganmu,
‘Lalu bagaimana perasaan anakku di masa depan saat tahu bahwa ayahnya sendiri yang membunuh ibu kandungnya?’ Poppy pun tak ingin mati setelah bisa memimpikan kebebasan. Walaupun dalam kontrak menyebutkan, bahwa Robin akan membebaskan dan memberinya sejumlah uang setelah melahirkan dan bercerai, Poppy sangat tahu jika para mafia tidak pernah menepati janjinya. Dia juga tak sanggup membayangkan nasib anaknya yang akan menjadi penerus bisnis gelap keluarga mafia. “Kau baik-baik saja?” Poppy lagi-lagi terjatuh dalam lamunan mengerikan. Suara Rafael kembali menyadarkan dirinya. “Aku … baik-baik saja ….” Bohong! Yang Poppy rasakan saat ini sangat jauh dari baik-baik saja. Dia sangat takut setelah mengetahui bahwa dirinya sudah membuat perjanjian berbahaya dengan seorang pria yang akan menjadi kepala mafia. “Maafkan aku, Rafael. Aku harus masuk sekarang. Robin akan mencariku kalau aku terlalu lama menghilang.” Untuk menghindari kecurigaan karena tak mampu lagi menjaga ketenangan, Popp
Karya ini spesial untuk seseorang yang mengalami trauma serupa. Saya menulis ini dengan harapan X bisa jadi seperti Poppy yang akhirnya menemukan kebahagiaan sejati, serta dijadikan penghiburan dan motivasi. Respons trauma pada setiap individu itu berbeda-beda--saya tahu-- tapi saya yakin jika kamu bisa melaluinya. Waktu akan menyembuhkan lukamu, semua orang di sekitarmu akan selalu membantu. Kalau memang masih ada orang-orang toxic yang menghakimi nasib burukmu/hidupmu, abaikan saja ... seperti Rafael mengabaikan kebencian kakeknya. Maafkan kesalahan mereka untuk membuat hidupmu lebih nyaman dan damai, seperti Poppy memaafkan kesalahan besar ibu tirinya. Semua orang berhak bahagia, begitu pula denganmu ... 🌞 Sedikit dari Author ... Sebenarnya V tipe yang ... ini loh karyaku, mau suka atau nggak itu dari perspektif masing-masing, mungkin ada penulis lain yang baca cuma butuh inspirasi tanpa meninggalkan jejak, mungkin orang tertentu yg kalau pas cerita nggak sesuai dengan kei
“Oh, jangan menangis, Nick,” pinta Robin, berusaha menidurkan putranya. Namun, suara tangisan Nick semakin kencang. Poppy lantas ikut membantu Robin menenangkannya. “Lihat wajah Nick, suamiku. Dia menangis, tapi seperti sedang marah … seperti kau yang sering marah tidak jelas.” Poppy terkekeh. “Dia akan menjadi pria yang lebih tampan dariku kelak.” Poppy tiba-tiba mencium pipi Robin. “Tapi, kau tetap jadi pria yang paling tampan untukku.” Meski telah hidup bersama lebih dari setahun, wajah Robin masih merona setiap kali mendengar pujian istrinya. Debaran dalam dadanya pun masih sama seperti awal-awal menyadari cintanya. Perasaan Robin tak berubah. Hanya sikapnya yang berubah menjadi lebih penyayang. “Jangan terlalu banyak membaca novel! Awas saja kalau kau juga merayu pria lain!” “Itu tidak akan pernah terjadi.” Poppy malah mengusap-usap wajahnya ke wajah suaminya sambil terkekeh. “Aku tahu kau suka dirayu.” Robin masih menyimpan aura misterius. Namun, Poppy merasa lebih ban
“Dokter! Cepat periksa istriku!” titah Robin.Poppy tampak begitu lemas. Napasnya berat dan matanya tertutup rapat.“Istri Anda hanya kelelahan, Tuan.”Robin bernapas lega. Dia kembali menggenggam tangan istrinya. Seandainya dia bisa melahirkan, dia akan menggantikan peran Poppy daripada melihatnya begitu tak berdaya.Menyaksikan istrinya melahirkan, Robin sontak teringat pada Sienna. Apa pun kesalahannya, Sienna juga pernah mempertaruhkan nyawa demi melahirkannya.Robin merenung sambil menciumi punggung tangan Poppy. Dia yang merasa lebih tinggi dari para wanita, sampai membeli seorang istri, juga bersikap buruk pada ibunya, ternyata hanya pria lemah yang tak lebih kuat dari mereka.“Silakan menunggu di luar, Tuan. Kami akan bersiap memindahkan Nyonya Poppy ke kamar.”Robin keluar dari ruang bersalin dengan wajah bahagia. Keluarganya menyambut dengan pelukan hangat sambil memberikan selamat.Ketika memeluk Sienna, ucapan lirih lolos dari mulutny
Capri akan makan siang ketika Antonio meneleponnya. Dia sampai tersedak suapan pertama saat mendengar Poppy keguguran dan sedang diperiksa dokter.Dengan kecepatan penuh, Capri mengemudikan mobil sampai ke rumah sakit yang dikatakan Antonio. Dia bahkan kena tilang karena melanggar rambu lalu lintas jalan. Untung saja, dia tak mengalami kecelakaan.Melihat orang-orang berkumpul di ruang pemeriksaan, serta rekan sejawatnya yang pucat pasi, Capri merasakan firasat buruk. Tanpa basa-basi, dia segera mengikuti dokter itu untuk memeriksa kondisi Poppy.Setelah menunggu beberapa menit, Capri keluar sambil menunduk.“Jangan katakan itu,” gumam Robin, enggan mendengar berita buruk.Capri membuka mulut akan bicara. Namun, teriakan seorang wanita dari kejauhan menghalanginya.“Robin!!!” seru Sienna sambil menangis.Dia langsung memeluk putranya. “Tidak apa-apa. Yang penting Poppy selamat. Jangan menyalahkan dirimu sendiri.”
“Istriku!!” Robin panik bukan main. Poppy tak pernah menunjukkan wajah kesakitan seperti itu, bahkan ketika dia menyiksanya.Poppy memegangi perutnya yang terasa melilit kencang. Bayi dalam perutnya seakan memberontak ingin keluar, berputar-putar di dalam perutnya.Robin dapat merasakan gerakan bayi dari perut istrinya yang begitu jelas, seperti menendang tangannya. Bayi itu bahkan ikut menyalahkannya, pikir Robin.Dengan tangan gemetar, dia menekan nomor telepon Antonio di ponselnya sampai ibu jarinya hampir salah menekan nomor orang lain.“Cepat kemari! Istriku kesakitan!”“Baik, Tuan!”Antonio yang menunggu di luar, bergegas lari kencang ke dalam bersama para pengawal. Kedatangan mereka membuat pengunjung lain kaget dan panik.Sementara itu, Robin sudah berhasil menggendong istrinya. Cukup berat, namun dia tak begitu merasakannya.Mereka akhirnya bertemu di koridor. Para pengawal segera mengawal Robin, juga Antonio yang membawa sepatu Poppy yang terjatuh.“Cepat ke rumah sakit!” t
“Wah! Terima kasih banyak, Tuan Robin! Semoga kita bisa berjumpa lagi.” Wanita muda itu lalu pergi tanpa melihat Poppy.Robin berdiri canggung, tak berani menatap istrinya. “Ayo, makan … makan dulu.”Robin jelas menyembunyikan sesuatu!Ketika akan digandeng suaminya, Poppy segera menarik tangannya. “Apa-apaan itu tadi? Sejak kapan kau jadi ramah pada orang lain?!”Sebelum pertanyaan Poppy terjawab, seorang pelayan restoran mendekati mereka. “Tuan Robin, saya akan mengantar Anda ke ruangan yang sudah Anda pesan.”Dengan bibir cemberut, Poppy akhirnya menunda kemarahannya. Sampai di dalam ruangan VIP restoran, dia langsung menatap tajam suaminya yang duduk berseberangan darinya.“Kau belum menjawabku!”Sepanjang mengenal Robin, baru kali ini Poppy melihat kegugupan suaminya itu.Robin bingung … harus dari mana dia mulai menceritakannya?‘Tidak, itu bukan rahasia. Aku tidak pernah berniat menyembunyikan sesuatu dari istriku,’ batin Robin.“Kenapa kau membiarkan wanita lain mendekatimu? J
Dante tak punya niat lagi untuk membesarkan seorang Luciano yang bisa membangkitkan kerajaan mafianya. Dia sudah pasrah dengan hidupnya yang akan segera berakhir.“Yang penting, istri dan anakmu sehat. Kuharap, Poppy dapat melahirkan cicitku tanpa masalah,” ucap Dante tulus selagi menahan sakit di jantungnya.Sebelum mengunjungi Dante, Robin ingin membicarakan banyak hal. Termasuk menunjukkan bahwa dia telah mengubah Pulau Luciano seperti keinginannya selama ini. Robin selalu ingin menyalahkan keputusan kakeknya. Namun sekarang, dengan keadaan Dante yang seperti itu, ucapannya hanya terkunci dalam hati.“Bagaimana keadaan Stefan?” Meskipun begitu, Dante masih belum bisa menerima sosok Sienna. Sejak dulu hingga saat ini, Dante merasa jika keluarganya berantakan karena wanita itu.“Papa sudah semakin sehat dengan hadirnya mama.”“Baguslah.” Tapi, Dante tak menunjukkan kebenciannya pada Sienna secara gamblang. Dia khawatir Robin tak mau menjenguknya lagi.“Rafael juga menemukan bakat b
“Maaf, Tuan.” Antonio lupa pada kecemburuan Robin yang semakin bertambah kuat selama istrinya mengandung. Bahkan, Robin pernah menugaskan tiga pengawal untuk ikut membangun proyek di Pulau Luciano hanya karena tersenyum menyapa Poppy dalam jarak dekat.Beruntung, penggunaan senjata sekarang diawasi ketat oleh Rafael supaya tak terjadi kekacauan yang tidak perlu. Kalau tidak, Robin mungkin akan menembak semua orang yang dipikirnya mencoba merayu Poppy.“Jangan keterlaluan, Antonio! Cepat cari pendamping daripada merayu istri orang lain!” Robin berdecak sebal selagi menuntun istrinya.“Baik, Tuan. Saya akan memikirkannya.”Mereka pun segera melaju ke rumah tahanan wanita.Awalnya, Carita menolak bertemu. Namun, Robin menggunakan kekuasaannya untuk memaksa Carita tanpa sepengetahuan Poppy.Dibalik kaca pembatas, Poppy akhirnya bisa menatap wajah ibu tirinya dari dekat. Carita terlihat kurus dan lusuh. Matanya tampak sayu, tak bisa menatap lurus ke arah anak tirinya.“Bagaimana kabarmu?”
Robin mewujudkan harapan Poppy sesuai ucapannya. Setiap hari selama berbulan-bulan, dia selalu memanjakan istrinya itu.Dengan kasih sayang yang Poppy dapatkan dari keluarga barunya, traumanya menghilang sepenuhnya. Dan kini, dia siap menemui ibu tirinya yang mendekam di balik jeruji besi.“Apa kau yakin akan menemuinya? Tidak bisakah menunggu setelah kau melahirkan?” Robin mengusap perut buncit istrinya yang duduk di pangkuannya. Wajahnya sesekali mengernyit ketika Poppy bergerak.Berat … namun, Robin tak mengeluh sedikitpun.“Aku yakin. Seminggu lagi aku akan melahirkan. Aku ingin dia mengetahuinya. Biar bagaimanapun, dia adalah orang yang membesarkanku selama ini.” Kebencian Poppy pada Carita berangsur menghilang, meski dia belum bisa memaafkan sepenuhnya. “Aku akan mendampingimu, sekaligus menjenguk kakek.”Dante Luciano dirawat di rumah sakit kepolisian. Sebulan lalu, Dante mengalami gagal ginjal parah, juga komplikasi penyakit lainnya.Robin juga baru tahu jika Dante ternyata