3. Selamat Tinggal

Sambil menggertakkan gigi, Saul mengibaskan tangan pada para anak buahnya untuk mundur. “Kita akan bertransaksi di dalam.”

Robin memerintahkan anak buahnya untuk membawa masuk Rose ke helikopter. Para wanita yang sudah dipesan Robin juga dibawa masuk memenuhi helikopter lainnya.

Tak berselang lama, Robin keluar dari gedung bersama dengan Saul yang telah menemukan keceriaan kembali. Orang mana yang tak bahagia mendapatkan uang sebanyak itu?

“Kau bisa membaca, bukan?” tanya Robin begitu memasuki helikopter yang sama dengan Rose.

Rose diculik saat usianya delapan belas tahun. Tepatnya, selepas dirinya merayakan kelulusan SMA. Tentu saja dirinya bisa membaca dan menulis.

Namun, karena masih bingung dan takut dengan situasi yang baru saja terjadi, Rose bahkan tak merasa marah dianggap seperti orang tak berpendidikan.

“Bisa,” balas Rose singkat.

“Baca ini.”

Robin mengulurkan map kuning padanya. Tanpa berkata-kata, Rose langsung menuruti perintahnya.

Map tersebut berisi dokumen-dokumen identitas baru Rose. Nama, tanggal lahir, sekolah, dan semua hal tentangnya ada di dalam sana.

“Mulai sekarang, namamu Poppy.”

Rose sontak menatap Robin ketika menyebut nama barunya. Dia bergegas menunduk ketika pandangan mereka bertemu. Tempat duduk mereka terlalu dekat sehingga Rose semakin gugup.

“Ingat, kau tidak pernah menginjakkan kaki di pulau ini. Kau hanya gadis biasa yang menikah denganku,” terang Robin datar.

Ekspresi Robin tiba-tiba mengeras. Mata pria itu, yang tadinya hanya memandang tenang, kini tajam seperti pisau yang siap menembus pertahanan siapa pun. Garis tegas di antara alisnya membuat wajahnya terlihat semakin keras, membuat napas Rose terasa tersangkut di tenggorokan.

“Aku tidak suka menunggu orang menjawab kata-kataku, apalagi harus mengulang sampai dua kali.” suara Robin terdengar pelan namun penuh tekanan, seperti bara api yang siap meledak kapan saja.

“S-saya mengerti, Tuan …” jawabnya dengan suara yang terdengar nyaris berbisik. Kata-kata itu terasa seperti upaya terakhir untuk menyelamatkan dirinya dari keheningan yang begitu mengancam.

“Robin. Kau harus terbiasa memanggil namaku.”

Jantung Rose berdebar-debar dengan cepat. Dia merasa jika Robin mulai bersikap lunak padanya. Berbeda dengan sikapnya ketika sedang berhadapan dengan Saul.

Imajinasi Rose pun berakhir tatkala helikopter lepas landas. Rose menunduk ke bawah jendela, melihat pemandangan Pulau Solterra dari angkasa selagi helikopter mulai menjauh.

‘Selamat tinggal, Rose, dan semua yang terjadi padaku selama ini.’

Setelah pulau itu tak terlihat, air mata menitik di pipinya. Sejuta rasa memenuhi rongga dada. Dia merasa telah dibebaskan dari penjara. Lega, bahagia, dan antusias menghadapi masa depan yang lebih baik.

**

Poppy tidak menyangka akan langsung dibawa ke kediaman Robin. Suasana di rumah besar bergaya klasik Eropa terasa dingin dan sunyi. Dia berdiri canggung di tengah ruangan, merasa kecil di antara dinding-dinding tinggi yang dihiasi lukisan tua dan perabotan mewah.

Robin Luciano, pria dengan postur tegap dan aura dingin, berdiri di dekat tangga besar yang melengkung. Matanya tajam memeriksa Poppy dari kejauhan, namun, ekspresi wajahnya tetap tak terbaca.

“Kau bebas melakukan apa pun di sini. Tapi, ingat … jangan pernah naik ke lantai tiga.” Hanya dua kalimat itu yang keluar dari mulut Robin malam itu, dengan nada tegas dan tanpa ruang untuk ditawar.

Letak kamar dan ruang kerja Robin berada di lantai tiga. Dia langsung memberi batasan yang jelas kepada Poppy. Poppy hanya bisa mengangguk pelan dan tidak bertanya lebih lanjut.

Malam itu, Poppy menikmati makan malamnya di ruang makan yang megah, ditemani suara denting halus alat makan dan langkah pelayan yang sesekali melintas. Namun, satu hal terasa ganjil, Robin tidak terlihat sama sekali.

Antonio yang mengurus semua kebutuhan.

Keesokan paginya, saat matahari baru saja menyinari jendela kamarnya, Antonio mengetuk pintu dengan sopan. “Nona Poppy, Tuan Robin meminta Anda ke ruang kerjanya pagi ini,” ujarnya dengan nada formal.

Poppy segera bersiap dan mengikuti Antonio menuju ruang kerja lain yang terletak di lantai pertama. Begitu pintu dibuka, Robin sudah duduk di balik meja kerjanya, dengan setumpuk dokumen di hadapannya. Suara jam dinding terdengar samar di ruangan yang dipenuhi aroma kayu dan buku tua.

“Duduk,” ujar Robin singkat, menunjuk ke sofa di sudut ruangan. Poppy menurut, duduk dengan gugup di atas sofa yang empuk, memperhatikan Robin yang beranjak dari kursinya.

Pria itu mengambil sebuah dokumen dari mejanya dan berjalan ke arahnya. Tanpa berkata banyak, Robin menyerahkan dokumen itu pada Poppy.

“Baca,” katanya dengan nada datar, lalu duduk di sofa yang berhadapan dengannya.

Poppy membuka dokumen itu dengan ragu. Matanya membelalak ketika membaca isinya.

Surat keterangan pernikahan. Namanya tertera di sana, namun dengan identitas baru yang telah diatur.

“Ini … kita sudah menikah?” tanyanya dengan suara hampir berbisik, masih tak percaya.

Robin mengangguk pelan. “Semua sudah diurus. Mulai hari ini, pernikahan kita sah secara hukum dengan identitas barumu,” jelasnya tanpa banyak basa-basi.

Poppy tertegun. Dia tahu Robin adalah pria yang berpengaruh, tetapi tidak menyangka segalanya bisa diselesaikan dalam waktu singkat. Dia memandangi dokumen itu dengan perasaan campur aduk, takjub, bingung, dan sedikit gentar dengan kekuasaan yang dimiliki pria di hadapannya.

“Kau tidak perlu khawatir,” lanjut Robin, suaranya terdengar lebih tenang, namun tetap tegas. “Semua ini dilakukan demi kesepakatan yang kita buat. Identitas barumu akan melindungimu, dan mulai sekarang, kau adalah istriku. Setidaknya di atas kertas.”

Poppy mengangguk perlahan. Dia menggenggam dokumen itu erat, menyadari bahwa hidupnya kini telah benar-benar berubah dalam sekejap.