Masih dengan pemikirannya sendiri, Poppy benar-benar semakin merasa khawatir dan takut dengan Dante, karena Robin sendiri yang memperingatkan.
Dan saat ini, mereka sudah berada di dalam kamar yang sudah disediakan oleh Dante. Jantung Poppy seakan hampir meledak ketika dia dan pria yang kini sudah menjadi suaminya berada di dalam kamar yang sama untuk pertama kalinya.
Selama satu minggu ke depan, Dante Luciano mengharuskan pengantin baru itu tinggal di sana. Walaupun bersikap baik kepada Poppy, Dante belum sepenuhnya percaya kepada cucunya sendiri.
Robin tak pernah mengenalkan seorang wanita kepada kakeknya, dan bahkan tak pernah berhubungan dekat dengan wanita mana pun. Namun, Robin tiba-tiba pulang dengan membawa wanita untuk dinikahi.
Hal itu tentu menimbulkan banyak pertanyaan, walau Dante sendiri sudah mengetahui kabar pernikahan cucunya itu. Dante tak akan tinggal diam dan akan menelisik tentang wanita yang sudah menjadi cucu menantunya.
“Kau rupanya punya bakat menjadi patung,” sindir Robin dengan intonasi datar.
Suara itu, meski tidak keras, membuat Poppy tersentak seolah baru saja dipanggil dari dunia lain. Dia menoleh cepat ke arah Robin, matanya melebar, bibirnya sedikit terbuka, tetapi tak ada kata yang keluar. Suara Robin yang dalam dan dingin selalu berhasil membuatnya merasa kecil, seperti seorang anak yang baru saja dimarahi gurunya.
Robin memiringkan kepala sedikit, ekspresinya tetap tenang, namun sorot matanya seperti pisau tajam yang menguliti setiap reaksi Poppy. Lalu, dengan suara rendah yang membuat udara terasa lebih berat, dia menambahkan “Jangan bilang kau tidak tahu cara bercinta.”
Poppy tersentak. Dia lantas melangkah dengan ragu karena tak tahu harus berbuat apa.
“Aku …” Poppy mencoba menjawab, tapi suaranya tercekat. Dia tak tahu harus berkata apa, langkahnya pun terasa tertahan, ragu di antara maju atau tetap berdiri di tempat.
Ucapan vulgar Robin membuat Poppy sangat malu. Dia tak bisa menunjukkan wajahnya dan pura-pura membetulkan gaun.
Terlebih lagi, Robin mulai melepas satu persatu kain yang menutup badannya. Tanpa canggung, pria itu hanya menyisakan celana pendek di depan wanita yang baru dua kali bertatap muka dengannya.
“T-tidak … bukan begitu …” gumamnya pelan, hampir tak terdengar. Dia menggenggam ujung gaunnya, pura-pura membetulkannya meski tak ada yang perlu diperbaiki. Tangan gemetarnya jelas mengkhianati usahanya untuk terlihat tenang.
Robin tak berkata apa-apa lagi, hanya menatapnya dengan ekspresi yang sulit diterka.
“Lepaskan gaun itu dan bersihkan badanmu dulu!” titah Robin.
“Baik …”
Poppy segera berlari ke kamar mandi. Sungguh, dia sangat takut melewati malam ini.
Dia bukan tak menanti, tetapi tak ingin melakukan kesalahan, atau melihat reaksi sang suami yang tak berselera menggauli dirinya.
Ketika gaun panjang terlepas dari tubuhnya, terlihat carut luka yang membekas di lengan dan paha. Poppy malu menunjukkan bekas penyiksaan bos besar kepada pria yang sudah menjadi suaminya kini.
‘Bagaimana jika dia jijik setelah melihat bekas luka ini? Apakah dia akan mengirimku kembali?’
Poppy menggeleng-gelengkan kepala selagi mengenyahkan pikiran buruknya. Dia segera mandi agar Robin tak marah karena lama menunggu dirinya.
Saat dia keluar dari kamar mandi, Robin tak ada di kamar. Poppy menghela napas lega sambil berjalan ke kursi.
Sebelum sempat duduk, pintu kamar terbuka. Poppy kembali berdiri sambil mengencangkan tali jubah mandi.
Rupanya, Robin baru saja mandi di kamar sebelah. Rambut pria itu masih setengah basah dan tanpa malu mengenakan handuk yang hanya menutup sampai tengah paha.
Tetesan air terlihat di ujung helai rambutnya, namun dia tampak tak peduli. Dengan gerakan malas, dia menggosok rambutnya sekilas menggunakan handuk sebelum melemparnya sembarangan ke atas kursi di sudut ruangan.
Tanpa banyak bicara, Robin melangkah ke ranjang dan duduk santai di sana, bersandar dengan satu tangan menopang tubuhnya. Sorot matanya tajam, namun wajahnya tetap tak menunjukkan emosi apa pun.
Poppy, yang berdiri canggung di sisi ruangan, tak tahu harus berbuat apa. Ketegangan di antara mereka terasa pekat. Dia mencoba mengalihkan pandangan dari sosok Robin, tetapi suaranya yang berat dan tegas segera memecah keheningan.
“Apa yang kau lakukan? Cepat naik ke ranjang dan layani aku,” ujar Robin, dengan nada yang datar, tapi penuh otoritas.
Poppy tertegun, jantungnya berdegup kencang. Kata-kata itu membuat wajahnya memanas, dan dia tak mampu menggerakkan tubuhnya. Pandangan Robin yang menatap langsung padanya, membuat Poppy merasa semakin terpojok.
“B-baik ….” Poppy mengucapkan kata itu dengan ragu, suaranya teredam oleh ketegangan yang menggantung di udara. Langkahnya terasa berat saat dia berjalan pelan menuju ranjang, meremas jubah mandi yang membalut tubuhnya dengan kuat, seolah itu satu-satunya hal yang memberinya sedikit rasa aman.
Namun, ketika dia hampir sampai, Robin bergerak cepat. Dalam sekejap, dia menarik handuk yang terikat di pinggangnya dan melemparkannya ke lantai, mengungkapkan kejantanan tubuhnya.
Poppy merasa seperti tersentak. Bola matanya hampir melompat keluar oleh pemandangan yang membuat wajahnya memerah dalam sekejap. Dia ingin segera menundukkan kepala atau memalingkan wajah, tapi matanya seolah terperangkap, tak bisa berpaling dari tubuh suaminya yang begitu nyata dan menggugah rasa malu.
Robin yang melihat kebingungannya hanya mengerlingkan mata dengan sindiran. “Kau tidak akan bisa membangunkannya hanya dengan tatapan,” ujarnya, suaranya penuh ejekan. “Lepaskan jubah mandimu!”
Poppy memejamkan mata sambil membuka ikatan tali jubah mandi. Cepat atau lambat, mereka tetap akan melakukan hubungan badan.
Dengan rona wajah yang kian memerah, Poppy menjatuhkan jubah mandi ke lantai. Sementara matanya masih terpejam erat, sepasang manik amber sang suami menatap tubuh polosnya, seakan-akan sedang memberi penilaian di setiap jengkal.
Poppy langsung membuka mata ketika Robin menarik tangannya. Dia jatuh menindih paha kekar sang suami, merasakan sesuatu yang mulai mengganjal ketika dia terduduk di pangkuannya.
Alih-alih berbicara, Robin menuntun tangan Poppy untuk mengurut miliknya. Meski secara amatir, Poppy mampu membuat Robin sedikit mengerang, seketika dia menghentikan tangan Poppy. Lalu, mengarahkan mulut sang istri untuk melakukan hal lainnya.
“Uhm ….”
Poppy hampir tersedak saat Robin mendorong belakang kepalanya lebih dalam. Dia sampai kehilangan napas karena tak bisa melawan milik Robin yang terus mendesak.
“Haah … hah ….”
Poppy langsung meraup udara sebanyak-banyaknya ketika Robin melepaskan kepalanya.
“Berbaring …,” perintah Robin datar.
Poppy menurut sambil menyilangkan tangan di depan paha. Masih sangat malu mengekspos tubuhnya.
Tampaknya, Robin tak begitu peduli. Setelah pemanasan singkat yang membuat istrinya basah, Robin mulai membaringkan tubuh Poppy ke ranjang, kemudian mengarahkan kejantanannya untuk melesak masuk ke tempat yang semestinya, melakukan penyatuan.
“Ngh ….”
Poppy menahan diri agar tak menjerit kesakitan. Khawatir Robin akan marah.
Poppy langsung menggigit bibir mungilnya kala lenguhan lolos dari mulutnya. Tak mengelak jika percintaan panas itu menjadi semakin terasa nikmat.
Namun, seolah-olah tak mengizinkan Poppy untuk melihat bagaimana Robin bermain di area intimnya, dan menghantarkan lenguhan nikmat dari bibir Poppy, Robin mengambil sebuah kain yang ada di meja, tanpa melepas penyatuan mereka.
Robin mengikatkan kain tersebut ke mata Poppy, membuat Poppy seketika menjadi ketakutan setelah kenikmatan yang telah dia terima sebelumnya.
“T-Tuan …”
Robin menyentuh bibir Poppy menggunakan ibu jari, lalu mengentak dalam kejantanannya, dan menyemburkan cairannya di dalam Poppy. Perasaan hangat di dalamnya membuat Poppy sedikit terhuyung dan mencengkeram erat lengan Robin yang hanya bisa dia lihat dengan samar di balik kain penutup mata.
Poppy terkulai lemas. Dadanya naik-turun dengan cepat, seiring dengan napasnya yang terengah-engah. Setelah dua kali Robin menyiram benih di rahimnya, pria itu akhirnya membuka kain yang menutup mata Poppy.
Dalam bayangan Poppy sebelumnya, Robin mungkin sedang berbaring di sisinya. Bersiap untuk tidur seperti pasangan suami-istri lain seusai bercinta.
Akan tetapi, Robin ternyata sudah berpakaian rapi. Dia kemudian melempar kain hitam penutup mata ke meja. Tanpa sepatah katapun, Robin mengayunkan kaki menuju pintu.
“Kunci pintu sebelum tidur,” titah Robin tanpa menoleh ke belakang.
Mau tidur di mana suaminya jika dia menyuruh Poppy mengunci pintu? Poppy ingin bertanya, tetapi tak punya nyali setelah mendengar nada suara Robin yang begitu dingin.
“Baik ….” ujar Poppy tertahan. Robin bahkan tak mendengar suara lemas dan lirih istrinya.Setelahnya, Poppy tak bisa tidur nyenyak karena sang suami langsung menghilang setelah menyelesaikan kegiatan panas mereka. Dia tertidur dan terbangun berulang-ulang untuk melihat jam, berjaga-jaga jika Robin akan masuk ke kamar. Namun, Robin tetap tak kembali.Walaupun sudah paham tentang perjanjian mereka, tak elak jika Poppy merasa kecewa. Wanita mana yang akan merasa bahagia ketika sang suami menghilang setelah mendapat kenikmatan darinya? Dia mengira jika hubungan intim itu bisa sedikit mendekatkan mereka.‘Apa mungkin dia sedang mengadakan pesta dengan teman-temannya?’ pikir Poppy menenangkan diri.Kini, satu minggu telah berlalu, dan rutinitas yang sama terus berulang. Setiap malam, Robin akan pergi, kemudian meninggalkannya lagi tanpa banyak berbicara. Hal tersebut terus terjadi, bahkan ketika mereka kembali di kediaman Robin. Dia tahu bahwa suaminya lebih memilih untuk berada di luar rum
Poppy terkejut oleh jawaban suaminya. Dia sempat melempar kain pel agar tak membuat Robin marah karena menunjukkan dirinya terbiasa disuruh-suruh. Akan tetapi, Robin ternyata tak mencegah ataupun marah karena Mia memperlakukan Poppy seperti pelayan.Meski tak memiliki perasaan istimewa kepada Robin, selain rasa terima kasih karena telah membebaskan dirinya dari pulau terkutuk itu, Poppy merasakan sakit hati yang begitu menusuk dada. Tak cukup Robin hanya mendatanginya ketika waktunya bercinta, tetapi juga mengizinkan para pelayan memperbudak dirinya.“Setelah kau selesai dengan pekerjaanmu, temui aku di ruang kerja yang ada di lantai satu,” titah Robin.Begitu Robin mengayunkan langkah kaki menjauh, Mia kembali cekikikan, mentertawakan raut wajah kecewa Poppy yang diabaikan suaminya. Pelayan lain yang mendengar kejadian itu, sekarang tak akan segan lagi memerintah apa pun kepada si nyonya besar palsu.Dibanding penghinaan para pelayan pada dirinya, Poppy lebih kecewa kepada sikap Robin
Ucapan Rafael tidak salah, Poppy memang tak banyak tahu tentang kehidupan pribadi Robin. Poppy tak boleh menunjukkan bahwa dia dan Robin hanya sepasang suami-istri palsu. Namun, kata-kata Rafael tentang keburukan Robin yang tak disangka-sangka membuat Poppy tak bisa mengendalikan ekspresi kaget. Mendadak, Rafael terkekeh. Apakah dia hanya sedang menakuti Poppy untuk melihat reaksinya? Poppy masih ingat jika Dante Luciano mencurigai pernikahan mereka. Mungkinkah Dante mengutus Rafael untuk menyelidikinya? “Kau ternyata sangat menyenangkan, Kakak Ipar. Kau berhasil membuatku berpikir kalau kau benar-benar takut,” ujar Rafael, mengira jika reaksi Poppy hanya dibuat-buat untuk mencairkan suasana. “Ah … i-iya ….” Poppy tertawa kecil dengan canggung, enggan menunjukkan bahwa dirinya tak memahami arah pembicaraan adik iparnya. Selama empat tahun dikurung Saul, dia sedikit lupa bagaimana caranya tertawa lepas. Berharap jika Rafael tak mencurigai tawa palsunya. “Tapi, aku salut denganmu,
‘Lalu bagaimana perasaan anakku di masa depan saat tahu bahwa ayahnya sendiri yang membunuh ibu kandungnya?’ Poppy pun tak ingin mati setelah bisa memimpikan kebebasan. Walaupun dalam kontrak menyebutkan, bahwa Robin akan membebaskan dan memberinya sejumlah uang setelah melahirkan dan bercerai, Poppy sangat tahu jika para mafia tidak pernah menepati janjinya. Dia juga tak sanggup membayangkan nasib anaknya yang akan menjadi penerus bisnis gelap keluarga mafia. “Kau baik-baik saja?” Poppy lagi-lagi terjatuh dalam lamunan mengerikan. Suara Rafael kembali menyadarkan dirinya. “Aku … baik-baik saja ….” Bohong! Yang Poppy rasakan saat ini sangat jauh dari baik-baik saja. Dia sangat takut setelah mengetahui bahwa dirinya sudah membuat perjanjian berbahaya dengan seorang pria yang akan menjadi kepala mafia. “Maafkan aku, Rafael. Aku harus masuk sekarang. Robin akan mencariku kalau aku terlalu lama menghilang.” Untuk menghindari kecurigaan karena tak mampu lagi menjaga ketenangan, Popp
“Gaunmu kotor. Dari mana saja kau?” Suara dingin Robin membuat suasana di dalam kamar terasa mencekam. Poppy melirik gaun panjang dengan lengan pendek berwarna cokelat muda yang dia kenakan. Ada tanah melekat di beberapa tempat yang mengotori gaun mahal itu. “Saya … bekerja lagi setelah membersihkan ruangan Anda.” Poppy yang sedang memunggungi Robin tak berani berbalik, takut kebohongannya langsung diketahui sang suami. Dia membuka lemari dan mencari-cari baju bersih untuk menyibukkan diri, sekaligus menghindari Robin untuk menyembunyikan kegugupannya. “Kau tidak ingat? Aku sudah bilang, kau harus berperan sebagai istri yang sempurna di depan keluargaku.” Tangan Poppy yang memegang baju mendadak gemetaran ketika mendengar suara langkah Robin kian mendekat. Dia melihat bayangan menutup cahaya di sekitarnya saat Robin tepat berdiri di belakangnya. “Apa kau sengaja menunjukkan pada adikku jika kau bukan istriku?” tanya Robin lebih dingin dan mengancam dari sebelumnya. “T-tidak ….”
Robin menatap ke bawah tanpa menekuk wajahnya, mendengar Poppy memohon agar Robin mengampuni kesalahannya. Raut wajah Robin datar dan sulit dibaca, seperti tak menunjukkan belas kasihan pada istrinya sedikit pun.“Saya berjanji akan memperbaiki semua kesalahan saya, Tuan …,” pinta Poppy memelas, menahan lagi tangisannya agar Robin tak semakin marah.Poppy menunduk semakin dalam hingga wajahnya hampir menyentuh paha, sedangkan tangannya masih memegangi celana Robin. Pikirannya dikuasai oleh ingatan ketika Saul menghukumnya dengan cambukan dan pukulan. Sangat takut Robin akan melakukan tindakan yang sama untuk menghukumnya.“Katakan … apa saja kesalahanmu?” Robin bahkan tak menyuruh Poppy berdiri.“Saya … saya mengotori gaun mahal … yang sudah Anda belikan ….”“Salah,” tegas Robin. “Kau pikir aku tidak bisa membelikan gaun baru hanya karena kau mengotorinya?”Manik Poppy bergerak ke kanan-kiri, bingung harus menjawab apa. Dia tak merasa telah merayu adik iparnya, jadi bukan itu yang ha
Poppy merasakan getaran yang berbeda dari suara suaminya. Kali ini, dia yakin jika hukuman dari Robin sudah tak bisa dicegah. Dia terpaksa mengatakan pengakuan palsu karena terbayang cambukan Saul yang menyakitkan. Bahkan, setiap kali melihat bekas luka cambukan di betisnya, Poppy seakan masih merasakan kesakitan itu. “Saya sebenarnya tidak–” Poppy bingung … tak mengaku tetap salah, mengaku pun Robin jadi semakin marah. “Lepaskan,” titah Robin, mencegah Poppy memberi alasan lainnya. “A-apa … maksud Anda?” tanya Poppy tak mengerti. “Turunkan celanaku.” Mata Poppy sontak terbelalak. Dia bisa menebak hukuman apa yang ingin Robin lakukan. ‘Tidak … aku perlu mengatur rencana agar tidak bisa mengandung anaknya lebih dulu!’ Poppy teringat kata-kata Rafael sebelumnya. Jika sampai melahirkan anak Robin, dia mungkin akan segera kehilangan nyawanya. “Apa telingamu hanya pajangan?” Ketegasan Robin tak bisa dibantah. Dengan tangan gemetaran, Poppy menyentuh sabuk di pinggang Robin. Dia m
“Tidak!” balas Poppy dengan cepat, sedikit meninggikan suara karena panik. Mengapa lagi-lagi harus menyeret Rafael ke dalam masalah mereka?“Saya … akan segera melakukannya,” lanjut Poppy, suaranya langsung berubah lirih.Dia pernah mendengar dua pria menggauli satu wanita sekaligus, takut Robin benar-benar akan melakukan itu padanya. Kemudian dia buru-buru melepas seluruh kain yang melekat di tubuhnya, menutup dada menggunakan tangan kanan, sedangkan tangan satunya menutup area kewanitaannya.“Singkirkan tanganmu.”Poppy malu setiap kali mengekspos tubuhnya meski bukan pertama kali. Apalagi, dia tak bisa melihat apa pun, tak tahu apa yang sedang dilihat atau dilakukan Robin.“T-Tuan …?”Sudah dua menit berlalu Poppy berdiri dengan badan kaku, kedua tangannya masih di samping badan sesuai perintah Robin. Namun, Robin tak mengatakan apa pun lagi.Tubuh Poppy mulai gemetaran ketika mengingat satu kejadian yang menyakitkan. Dia pernah di situasi yang sama, namun dengan berpakaian lengkap
Firasat Poppy benar. Dia begitu sakit hati saat Robin berniat mengembalikan identitas aslinya.‘Aku seharusnya senang. Tanpa usaha apa pun, aku bisa kembali ke kehidupanku semula. Tapi, rasanya sakit sekali saat tahu kau mungkin akan melepasku,’ batin Poppy, diam ketika Robin melepas tangannya dan melangkah masuk ruang kerjanya, seakan-akan saat ini adalah masa-masa terakhirnya bisa memegang tangan pria itu.“Mari masuk, Nyonya.” Poppy melangkah dengan berat. Namun, ketika masuk ke ruangan kerja suaminya, pikirannya segera teralihkan oleh pemandangan di hadapannya. Ruang kerja yang luas itu tampak menciut dengan banyak pria besar memenuhi ruangan. Poppy tak bisa menahan kekagetan ketika melihat sosok yang tak terduga di antara mereka, orang yang pernah memohon bantuannya agar mau memintakan izin kepada Robin karena mengaku takut padanya. Namun, orang itu sekarang justru duduk di tengah-tengah pria berbadan besar seperti seorang bos tanpa jas snellinya. “Bagaimana kabar Anda, Nyonya
‘Kenapa dia memanggilku dengan nama itu?’ batin Poppy gelisah. Entah mengapa dia justru tak senang ketika Robin memanggilnya dengan nama asli. Sudah lama dia berharap Robin memanggil nama Poppy, namun Robin justru seperti ingin menunjukkan jarak, seakan ingin mengembalikan Poppy ke tempat asalnya dengan identitas Stella Valentine.“Apa … maksudmu?”Ucapan Robin yang menyuruhnya untuk bisa melindungi diri sendiri bisa memiliki banyak makna. Akan tetapi, hanya ada satu hal yang muncul di benak Poppy. Robin mungkin akan meninggalkan dirinya sehingga tak akan bisa melindunginya lagi.“Kembali pada posisi menembak,” titah Robin, enggan membicarakan masalah itu.Poppy akhirnya kembali melanjutkan latihan. Mereka hanya membicarakan tentang teknik menembak yang benar, tanpa membahas perkataan Robin sebelumnya.Meski Poppy terlihat sudah melupakan ucapan Robin, namun dalam kepalanya masih dipenuhi tanda tanya. Dia tak berani bertanya ataupun menyela Robin yang bersungguh-sungguh mengajarinya.
DEG!Robin berhenti berjalan selagi meremas dadanya. Entah mengapa dia tiba-tiba merasakan seseorang memanggilnya. Kemudian, kedua alisnya terangkat ketika terbersit firasat buruk.“Apa yang terjadi dengan perempuan itu?” gumamnya.Dia segera mengayunkan kaki dengan cepat. Hingga akhirnya, dia sampai di lapangan latihan tembak tak sampai lima menit.“Apa yang kau lakukan, Jose?!” bentak Robin ketika dia melihat istrinya sedang mengarahkan senjata pada salah satu tawanan mereka.Suara keras Robin biasanya membuat dada Poppy bergetar takut. Namun, sekarang dia sangat lega mendengar suara itu, hingga ingin melempar senjata dan berlari memeluk suaminya.“Apa maksud Anda, Bos?” Jose tak memahami kemarahan Robin.“Aku menyuruhmu mengajarinya menembak, bukan membunuh orang!”Robin mengumpat dalam hati. Dia seharusnya tak teralihkan pada masalah kecil seperti cincin pernikahan. Karena kelalaiannya, Poppy mungkin akan mengingat traumanya.“Oh, kupikir akan lebih baik jika Nyonya Poppy belajar
Sementara itu, Robin tak tahu kesulitan apa yang sedang dihadapi istrinya. Dia justru sibuk memilih-milih cincin pernikahan yang tampak elegan, namun dapat terlihat semua orang dengan jelas.“Yang ini sepertinya akan cocok di jari manisnya.” Robin tersenyum puas sambil melipat tangan di depan dada dan menyandarkan punggung di kursinya. Dia membayangkan Poppy akan tersenyum lebar sambil memamerkan cincin itu kepada semua orang, lalu mengatakan bahwa dia adalah milik Robin Luciano.“Tuan, saya sudah datang.” Antonio membuka pintu ruangan itu, lalu menghampiri Robin, berdiri di dekat kursinya. “Anda akan membeli cincin itu?” tanyanya kemudian.Robin memicingkan mata, mengamati gerak-gerik mencurigakan tangan kanannya itu. Antonio sedikit memiringkan kepala ketika melihat cincin dengan berlian tanpa warna. Dia terlihat tak menyukai ide Robin membeli cincin itu.“Cincin itu tidak cocok untuk Anda, Tuan.”“Apa kau pikir aku yang akan memakainya?”“Oh, Anda ingin membelikan cincin itu untuk
“Tuan, hentikan …,” isak seorang gadis muda. “Ah, sial! Jangan banyak meronta! Kau sendiri yang merayuku … buka saja kakimu lebih lebar!” Mata Poppy terbelalak ketika melihat pria tampan dan gadis muda sedang bergumul tanpa busana di sofa panjang. Wajahnya sontak merah padam, kemudian Robin menutup matanya. “Jangan berani melihat milik pria lain!” Robin menatap tajam anak buahnya yang akhirnya menyadari kehadirannya. “Keluar dari ruanganku!” bentaknya. Pria itu segera menyeret si gadis keluar sambil membawa pakaian mereka. Robin sudah terbiasa melihat pemandangan seperti itu, tetapi tidak dengan istrinya, dan bukan di ruang kerjanya. Robin mencoba untuk menahan amarahnya. Baru dua hari dia tak datang, kantornya digunakan untuk melakukan tindakan asusila. Dia benar-benar ingin segera merealisasikan tujuannya dan menghabisi semua pria hidung belang itu. “Robin, lepas …,” pinta Poppy, setelah mendengar pintu ditutup. Robin melepaskan tangannya dari mata Poppy. Dia kemudian melempa
Keinginan Dante begitu jelas sampai Poppy yang tidak begitu ahli membaca ekspresi wajah seseorang pun dapat mengetahuinya. Apa pun yang terjadi, Poppy tak sudi melakukan hal keji kepada orang lain.Sayangnya, Poppy tak punya kuasa untuk menolak perintah itu. Robin pun tidak membantah Dante lagi.Mereka bahkan sudah sampai di depan markas besar keluarga Luciano saat ini …“Pegang tanganku,” titah Robin ketika mereka turun dari mobil.Di area parkir luas itu, banyak pria bertato hanya mengenakan kaos tanpa lengan. Mereka segera berbaris, menunduk singkat kepada Robin.“Halo, Bos! Tumben kau datang siang-siang,” sapa pria bertubuh kekar yang menjadi satu-satunya orang berpakaian rapi.“Kakek menyuruh istriku untuk berlatih menembak. Siapkan tempatnya,” perintah Robin, lalu menggandeng Poppy masuk ke pintu ganda besar.“Ingat, kau harus terus berada di sisiku.”Poppy menunduk. Dia semakin erat mencengkeram jaket kulit suaminya.Suasana di markas Lucia
Dante tiba-tiba mengancam dengan kebohongan mereka. Kebohongan apa yang dimaksud Dante? Sebab, telah banyak kebohongan yang mereka lakukan. Apakah tentang pernikahan palsu mereka atau identitas asli Poppy? Poppy dan Robin diam, setidaknya mereka harus mendengar lebih dulu agar tak salah paham dan menjawab berbeda dari maksud Dante, yang justru akan membongkar kebohongan lainnya. “Kau tidak akan bisa berbohong tentang hidupmu, Poppy. Haruskah aku memanggilmu Stella mulai sekarang?” Dante langsung menyelidiki latar belakang Poppy dengan kedua wanita yang mengaku sebagai ibunya. Tak banyak yang bisa ditemukan oleh orang suruhannya karena Robin telah menutup sebagian besar masa lalu Poppy. Akan tetapi, masih ada beberapa orang yang mengenal Carita dan keluarganya yang bisa ditanyai. Dalam semalam, Dante menerima informasi tambahan yang membenarkan bahwa Carita adalah ibu tiri Poppy. Entah bagaimana hubungan mereka, termasuk sosok April yang telah diberikan identitas baru, Dante belum
Robin menatap kakeknya tak percaya. “Lalu kenapa, katamu? Aku suaminya dan berhak menyingkirkan semua orang yang berani mendekatinya! Termasuk kau, Kakek!”Ucapan Dante, tentu saja, membuat Robin semakin meradang. Namun, Dante segera menyangkal, “Aku menginginkan Poppy untuk urusan lain. Bukan seperti yang kau pikirkan.”“Apa kau pikir akan akan memercayaimu?! Apa kau kira aku tidak pernah melihatmu memanggil gadis-gadis muda ke kamarmu?”Poppy menelan ludah susah payah selagi menyembunyikan kengerian. Dia seharusnya tahu jika Dante sama saja dengan para mafia lainnya, selalu berbuat buruk meski kondisinya sekarang cukup membuat Poppy iba padanya. Namun, kata-kata Robin masih terlalu mengejutkan. Poppy hanya pernah mendengar tentang Dante yang gemar menyewa gadis-gadis penjaja malam, tak sepenuhnya percaya. Dia tak menyangka jika hal tersebut adalah kebenaran.‘Bagaimana mungkin orang yang sudah berumur seperti Dante Luciano tega menggauli gadis seusia cucunya, bahkan lebih muda? Apa
Robin Luciano bersenandung tak jelas sambil menatap dirinya di pantulan cermin kamar mandi. Kedua tangannya meremas-remas rambut yang berbusa, lalu menoleh ke kanan-kiri dengan gerakan lambat, seperti sedang mencari-cari kecacatan di wajahnya. “Apa aku memang setampan itu?” Gerakan Robin berhenti, lalu terkekeh lirih dan singkat. Dia bersikap seolah-olah tidak terlalu bahagia walaupun hanya ada dirinya sendiri di dalam kamar mandi itu. ‘Robin … lebih cepat lagi … aku suka melihat wajah tampanmu saat mendapat kepuasan dariku.’ Robin mengingat lagi racauan Poppy semalam. Badannya tiba-tiba berguncang pelan, merinding oleh gelenyar nikmat yang seolah masih bisa dirasakannya. “Kakek … kakek … jangan harap kau bisa merayu istriku. Wajahmu tidak setampan aku.” Robin menyeringai pada diri sendiri di depannya. TOK TOK! “Lihat, lihat … dia sudah tidak sabar melihatku sampai menggangguku yang sedang mandi.” Robin bergeleng-geleng sambil berdecak dengan satu sudut mulut terangkat.