Masih dengan pemikirannya sendiri, Poppy benar-benar semakin merasa khawatir dan takut dengan Dante, karena Robin sendiri yang memperingatkan.
Dan saat ini, mereka sudah berada di dalam kamar yang sudah disediakan oleh Dante. Jantung Poppy seakan hampir meledak ketika dia dan pria yang kini sudah menjadi suaminya berada di dalam kamar yang sama untuk pertama kalinya.
Selama satu minggu ke depan, Dante Luciano mengharuskan pengantin baru itu tinggal di sana. Walaupun bersikap baik kepada Poppy, Dante belum sepenuhnya percaya kepada cucunya sendiri.
Robin tak pernah mengenalkan seorang wanita kepada kakeknya, dan bahkan tak pernah berhubungan dekat dengan wanita mana pun. Namun, Robin tiba-tiba pulang dengan membawa wanita untuk dinikahi.
Hal itu tentu menimbulkan banyak pertanyaan, walau Dante sendiri sudah mengetahui kabar pernikahan cucunya itu. Dante tak akan tinggal diam dan akan menelisik tentang wanita yang sudah menjadi cucu menantunya.
“Kau rupanya punya bakat menjadi patung,” sindir Robin dengan intonasi datar.
Suara itu, meski tidak keras, membuat Poppy tersentak seolah baru saja dipanggil dari dunia lain. Dia menoleh cepat ke arah Robin, matanya melebar, bibirnya sedikit terbuka, tetapi tak ada kata yang keluar. Suara Robin yang dalam dan dingin selalu berhasil membuatnya merasa kecil, seperti seorang anak yang baru saja dimarahi gurunya.
Robin memiringkan kepala sedikit, ekspresinya tetap tenang, namun sorot matanya seperti pisau tajam yang menguliti setiap reaksi Poppy. Lalu, dengan suara rendah yang membuat udara terasa lebih berat, dia menambahkan “Jangan bilang kau tidak tahu cara bercinta.”
Poppy tersentak. Dia lantas melangkah dengan ragu karena tak tahu harus berbuat apa.
“Aku …” Poppy mencoba menjawab, tapi suaranya tercekat. Dia tak tahu harus berkata apa, langkahnya pun terasa tertahan, ragu di antara maju atau tetap berdiri di tempat.
Ucapan vulgar Robin membuat Poppy sangat malu. Dia tak bisa menunjukkan wajahnya dan pura-pura membetulkan gaun.
Terlebih lagi, Robin mulai melepas satu persatu kain yang menutup badannya. Tanpa canggung, pria itu hanya menyisakan celana pendek di depan wanita yang baru dua kali bertatap muka dengannya.
“T-tidak … bukan begitu …” gumamnya pelan, hampir tak terdengar. Dia menggenggam ujung gaunnya, pura-pura membetulkannya meski tak ada yang perlu diperbaiki. Tangan gemetarnya jelas mengkhianati usahanya untuk terlihat tenang.
Robin tak berkata apa-apa lagi, hanya menatapnya dengan ekspresi yang sulit diterka.
“Lepaskan gaun itu dan bersihkan badanmu dulu!” titah Robin.
“Baik …”
Poppy segera berlari ke kamar mandi. Sungguh, dia sangat takut melewati malam ini.
Dia bukan tak menanti, tetapi tak ingin melakukan kesalahan, atau melihat reaksi sang suami yang tak berselera menggauli dirinya.
Ketika gaun panjang terlepas dari tubuhnya, terlihat carut luka yang membekas di lengan dan paha. Poppy malu menunjukkan bekas penyiksaan bos besar kepada pria yang sudah menjadi suaminya kini.
‘Bagaimana jika dia jijik setelah melihat bekas luka ini? Apakah dia akan mengirimku kembali?’
Poppy menggeleng-gelengkan kepala selagi mengenyahkan pikiran buruknya. Dia segera mandi agar Robin tak marah karena lama menunggu dirinya.
Saat dia keluar dari kamar mandi, Robin tak ada di kamar. Poppy menghela napas lega sambil berjalan ke kursi.
Sebelum sempat duduk, pintu kamar terbuka. Poppy kembali berdiri sambil mengencangkan tali jubah mandi.
Rupanya, Robin baru saja mandi di kamar sebelah. Rambut pria itu masih setengah basah dan tanpa malu mengenakan handuk yang hanya menutup sampai tengah paha.
Tetesan air terlihat di ujung helai rambutnya, namun dia tampak tak peduli. Dengan gerakan malas, dia menggosok rambutnya sekilas menggunakan handuk sebelum melemparnya sembarangan ke atas kursi di sudut ruangan.
Tanpa banyak bicara, Robin melangkah ke ranjang dan duduk santai di sana, bersandar dengan satu tangan menopang tubuhnya. Sorot matanya tajam, namun wajahnya tetap tak menunjukkan emosi apa pun.
Poppy, yang berdiri canggung di sisi ruangan, tak tahu harus berbuat apa. Ketegangan di antara mereka terasa pekat. Dia mencoba mengalihkan pandangan dari sosok Robin, tetapi suaranya yang berat dan tegas segera memecah keheningan.
“Apa yang kau lakukan? Cepat naik ke ranjang dan layani aku,” ujar Robin, dengan nada yang datar, tapi penuh otoritas.
Poppy tertegun, jantungnya berdegup kencang. Kata-kata itu membuat wajahnya memanas, dan dia tak mampu menggerakkan tubuhnya. Pandangan Robin yang menatap langsung padanya, membuat Poppy merasa semakin terpojok.
“B-baik ….” Poppy mengucapkan kata itu dengan ragu, suaranya teredam oleh ketegangan yang menggantung di udara. Langkahnya terasa berat saat dia berjalan pelan menuju ranjang, meremas jubah mandi yang membalut tubuhnya dengan kuat, seolah itu satu-satunya hal yang memberinya sedikit rasa aman.
Namun, ketika dia hampir sampai, Robin bergerak cepat. Dalam sekejap, dia menarik handuk yang terikat di pinggangnya dan melemparkannya ke lantai, mengungkapkan kejantanan tubuhnya.
Poppy merasa seperti tersentak. Bola matanya hampir melompat keluar oleh pemandangan yang membuat wajahnya memerah dalam sekejap. Dia ingin segera menundukkan kepala atau memalingkan wajah, tapi matanya seolah terperangkap, tak bisa berpaling dari tubuh suaminya yang begitu nyata dan menggugah rasa malu.
Robin yang melihat kebingungannya hanya mengerlingkan mata dengan sindiran. “Kau tidak akan bisa membangunkannya hanya dengan tatapan,” ujarnya, suaranya penuh ejekan. “Lepaskan jubah mandimu!”
Poppy memejamkan mata sambil membuka ikatan tali jubah mandi. Cepat atau lambat, mereka tetap akan melakukan hubungan badan.
Dengan rona wajah yang kian memerah, Poppy menjatuhkan jubah mandi ke lantai. Sementara matanya masih terpejam erat, sepasang manik amber sang suami menatap tubuh polosnya, seakan-akan sedang memberi penilaian di setiap jengkal.
Poppy langsung membuka mata ketika Robin menarik tangannya. Dia jatuh menindih paha kekar sang suami, merasakan sesuatu yang mulai mengganjal ketika dia terduduk di pangkuannya.
Alih-alih berbicara, Robin menuntun tangan Poppy untuk mengurut miliknya. Meski secara amatir, Poppy mampu membuat Robin sedikit mengerang, seketika dia menghentikan tangan Poppy. Lalu, mengarahkan mulut sang istri untuk melakukan hal lainnya.
“Uhm ….”
Poppy hampir tersedak saat Robin mendorong belakang kepalanya lebih dalam. Dia sampai kehilangan napas karena tak bisa melawan milik Robin yang terus mendesak.
“Haah … hah ….”
Poppy langsung meraup udara sebanyak-banyaknya ketika Robin melepaskan kepalanya.
“Berbaring …,” perintah Robin datar.
Poppy menurut sambil menyilangkan tangan di depan paha. Masih sangat malu mengekspos tubuhnya.
Tampaknya, Robin tak begitu peduli. Setelah pemanasan singkat yang membuat istrinya basah, Robin mulai membaringkan tubuh Poppy ke ranjang, kemudian mengarahkan kejantanannya untuk melesak masuk ke tempat yang semestinya, melakukan penyatuan.
“Ngh ….”
Poppy menahan diri agar tak menjerit kesakitan. Khawatir Robin akan marah.
Poppy langsung menggigit bibir mungilnya kala lenguhan lolos dari mulutnya. Tak mengelak jika percintaan panas itu menjadi semakin terasa nikmat.
Namun, seolah-olah tak mengizinkan Poppy untuk melihat bagaimana Robin bermain di area intimnya, dan menghantarkan lenguhan nikmat dari bibir Poppy, Robin mengambil sebuah kain yang ada di meja, tanpa melepas penyatuan mereka.
Robin mengikatkan kain tersebut ke mata Poppy, membuat Poppy seketika menjadi ketakutan setelah kenikmatan yang telah dia terima sebelumnya.
“T-Tuan …”
Robin menyentuh bibir Poppy menggunakan ibu jari, lalu mengentak dalam kejantanannya, dan menyemburkan cairannya di dalam Poppy. Perasaan hangat di dalamnya membuat Poppy sedikit terhuyung dan mencengkeram erat lengan Robin yang hanya bisa dia lihat dengan samar di balik kain penutup mata.
Poppy terkulai lemas. Dadanya naik-turun dengan cepat, seiring dengan napasnya yang terengah-engah. Setelah dua kali Robin menyiram benih di rahimnya, pria itu akhirnya membuka kain yang menutup mata Poppy.
Dalam bayangan Poppy sebelumnya, Robin mungkin sedang berbaring di sisinya. Bersiap untuk tidur seperti pasangan suami-istri lain seusai bercinta.
Akan tetapi, Robin ternyata sudah berpakaian rapi. Dia kemudian melempar kain hitam penutup mata ke meja. Tanpa sepatah katapun, Robin mengayunkan kaki menuju pintu.
“Kunci pintu sebelum tidur,” titah Robin tanpa menoleh ke belakang.
Mau tidur di mana suaminya jika dia menyuruh Poppy mengunci pintu? Poppy ingin bertanya, tetapi tak punya nyali setelah mendengar nada suara Robin yang begitu dingin.
“Baik ….” ujar Poppy tertahan. Robin bahkan tak mendengar suara lemas dan lirih istrinya.Setelahnya, Poppy tak bisa tidur nyenyak karena sang suami langsung menghilang setelah menyelesaikan kegiatan panas mereka. Dia tertidur dan terbangun berulang-ulang untuk melihat jam, berjaga-jaga jika Robin akan masuk ke kamar. Namun, Robin tetap tak kembali.Walaupun sudah paham tentang perjanjian mereka, tak elak jika Poppy merasa kecewa. Wanita mana yang akan merasa bahagia ketika sang suami menghilang setelah mendapat kenikmatan darinya? Dia mengira jika hubungan intim itu bisa sedikit mendekatkan mereka.‘Apa mungkin dia sedang mengadakan pesta dengan teman-temannya?’ pikir Poppy menenangkan diri.Kini, satu minggu telah berlalu, dan rutinitas yang sama terus berulang. Setiap malam, Robin akan pergi, kemudian meninggalkannya lagi tanpa banyak berbicara. Hal tersebut terus terjadi, bahkan ketika mereka kembali di kediaman Robin. Dia tahu bahwa suaminya lebih memilih untuk berada di luar rum
Poppy terkejut oleh jawaban suaminya. Dia sempat melempar kain pel agar tak membuat Robin marah karena menunjukkan dirinya terbiasa disuruh-suruh. Akan tetapi, Robin ternyata tak mencegah ataupun marah karena Mia memperlakukan Poppy seperti pelayan.Meski tak memiliki perasaan istimewa kepada Robin, selain rasa terima kasih karena telah membebaskan dirinya dari pulau terkutuk itu, Poppy merasakan sakit hati yang begitu menusuk dada. Tak cukup Robin hanya mendatanginya ketika waktunya bercinta, tetapi juga mengizinkan para pelayan memperbudak dirinya.“Setelah kau selesai dengan pekerjaanmu, temui aku di ruang kerja yang ada di lantai satu,” titah Robin.Begitu Robin mengayunkan langkah kaki menjauh, Mia kembali cekikikan, mentertawakan raut wajah kecewa Poppy yang diabaikan suaminya. Pelayan lain yang mendengar kejadian itu, sekarang tak akan segan lagi memerintah apa pun kepada si nyonya besar palsu.Dibanding penghinaan para pelayan pada dirinya, Poppy lebih kecewa kepada sikap Robin
Ucapan Rafael tidak salah, Poppy memang tak banyak tahu tentang kehidupan pribadi Robin. Poppy tak boleh menunjukkan bahwa dia dan Robin hanya sepasang suami-istri palsu. Namun, kata-kata Rafael tentang keburukan Robin yang tak disangka-sangka membuat Poppy tak bisa mengendalikan ekspresi kaget. Mendadak, Rafael terkekeh. Apakah dia hanya sedang menakuti Poppy untuk melihat reaksinya? Poppy masih ingat jika Dante Luciano mencurigai pernikahan mereka. Mungkinkah Dante mengutus Rafael untuk menyelidikinya? “Kau ternyata sangat menyenangkan, Kakak Ipar. Kau berhasil membuatku berpikir kalau kau benar-benar takut,” ujar Rafael, mengira jika reaksi Poppy hanya dibuat-buat untuk mencairkan suasana. “Ah … i-iya ….” Poppy tertawa kecil dengan canggung, enggan menunjukkan bahwa dirinya tak memahami arah pembicaraan adik iparnya. Selama empat tahun dikurung Saul, dia sedikit lupa bagaimana caranya tertawa lepas. Berharap jika Rafael tak mencurigai tawa palsunya. “Tapi, aku salut denganmu,
‘Lalu bagaimana perasaan anakku di masa depan saat tahu bahwa ayahnya sendiri yang membunuh ibu kandungnya?’ Poppy pun tak ingin mati setelah bisa memimpikan kebebasan. Walaupun dalam kontrak menyebutkan, bahwa Robin akan membebaskan dan memberinya sejumlah uang setelah melahirkan dan bercerai, Poppy sangat tahu jika para mafia tidak pernah menepati janjinya. Dia juga tak sanggup membayangkan nasib anaknya yang akan menjadi penerus bisnis gelap keluarga mafia. “Kau baik-baik saja?” Poppy lagi-lagi terjatuh dalam lamunan mengerikan. Suara Rafael kembali menyadarkan dirinya. “Aku … baik-baik saja ….” Bohong! Yang Poppy rasakan saat ini sangat jauh dari baik-baik saja. Dia sangat takut setelah mengetahui bahwa dirinya sudah membuat perjanjian berbahaya dengan seorang pria yang akan menjadi kepala mafia. “Maafkan aku, Rafael. Aku harus masuk sekarang. Robin akan mencariku kalau aku terlalu lama menghilang.” Untuk menghindari kecurigaan karena tak mampu lagi menjaga ketenangan, Popp
“Gaunmu kotor. Dari mana saja kau?” Suara dingin Robin membuat suasana di dalam kamar terasa mencekam. Poppy melirik gaun panjang dengan lengan pendek berwarna cokelat muda yang dia kenakan. Ada tanah melekat di beberapa tempat yang mengotori gaun mahal itu. “Saya … bekerja lagi setelah membersihkan ruangan Anda.” Poppy yang sedang memunggungi Robin tak berani berbalik, takut kebohongannya langsung diketahui sang suami. Dia membuka lemari dan mencari-cari baju bersih untuk menyibukkan diri, sekaligus menghindari Robin untuk menyembunyikan kegugupannya. “Kau tidak ingat? Aku sudah bilang, kau harus berperan sebagai istri yang sempurna di depan keluargaku.” Tangan Poppy yang memegang baju mendadak gemetaran ketika mendengar suara langkah Robin kian mendekat. Dia melihat bayangan menutup cahaya di sekitarnya saat Robin tepat berdiri di belakangnya. “Apa kau sengaja menunjukkan pada adikku jika kau bukan istriku?” tanya Robin lebih dingin dan mengancam dari sebelumnya. “T-tidak ….”
Robin menatap ke bawah tanpa menekuk wajahnya, mendengar Poppy memohon agar Robin mengampuni kesalahannya. Raut wajah Robin datar dan sulit dibaca, seperti tak menunjukkan belas kasihan pada istrinya sedikit pun.“Saya berjanji akan memperbaiki semua kesalahan saya, Tuan …,” pinta Poppy memelas, menahan lagi tangisannya agar Robin tak semakin marah.Poppy menunduk semakin dalam hingga wajahnya hampir menyentuh paha, sedangkan tangannya masih memegangi celana Robin. Pikirannya dikuasai oleh ingatan ketika Saul menghukumnya dengan cambukan dan pukulan. Sangat takut Robin akan melakukan tindakan yang sama untuk menghukumnya.“Katakan … apa saja kesalahanmu?” Robin bahkan tak menyuruh Poppy berdiri.“Saya … saya mengotori gaun mahal … yang sudah Anda belikan ….”“Salah,” tegas Robin. “Kau pikir aku tidak bisa membelikan gaun baru hanya karena kau mengotorinya?”Manik Poppy bergerak ke kanan-kiri, bingung harus menjawab apa. Dia tak merasa telah merayu adik iparnya, jadi bukan itu yang ha
Poppy merasakan getaran yang berbeda dari suara suaminya. Kali ini, dia yakin jika hukuman dari Robin sudah tak bisa dicegah. Dia terpaksa mengatakan pengakuan palsu karena terbayang cambukan Saul yang menyakitkan. Bahkan, setiap kali melihat bekas luka cambukan di betisnya, Poppy seakan masih merasakan kesakitan itu. “Saya sebenarnya tidak–” Poppy bingung … tak mengaku tetap salah, mengaku pun Robin jadi semakin marah. “Lepaskan,” titah Robin, mencegah Poppy memberi alasan lainnya. “A-apa … maksud Anda?” tanya Poppy tak mengerti. “Turunkan celanaku.” Mata Poppy sontak terbelalak. Dia bisa menebak hukuman apa yang ingin Robin lakukan. ‘Tidak … aku perlu mengatur rencana agar tidak bisa mengandung anaknya lebih dulu!’ Poppy teringat kata-kata Rafael sebelumnya. Jika sampai melahirkan anak Robin, dia mungkin akan segera kehilangan nyawanya. “Apa telingamu hanya pajangan?” Ketegasan Robin tak bisa dibantah. Dengan tangan gemetaran, Poppy menyentuh sabuk di pinggang Robin. Dia m
“Tidak!” balas Poppy dengan cepat, sedikit meninggikan suara karena panik. Mengapa lagi-lagi harus menyeret Rafael ke dalam masalah mereka?“Saya … akan segera melakukannya,” lanjut Poppy, suaranya langsung berubah lirih.Dia pernah mendengar dua pria menggauli satu wanita sekaligus, takut Robin benar-benar akan melakukan itu padanya. Kemudian dia buru-buru melepas seluruh kain yang melekat di tubuhnya, menutup dada menggunakan tangan kanan, sedangkan tangan satunya menutup area kewanitaannya.“Singkirkan tanganmu.”Poppy malu setiap kali mengekspos tubuhnya meski bukan pertama kali. Apalagi, dia tak bisa melihat apa pun, tak tahu apa yang sedang dilihat atau dilakukan Robin.“T-Tuan …?”Sudah dua menit berlalu Poppy berdiri dengan badan kaku, kedua tangannya masih di samping badan sesuai perintah Robin. Namun, Robin tak mengatakan apa pun lagi.Tubuh Poppy mulai gemetaran ketika mengingat satu kejadian yang menyakitkan. Dia pernah di situasi yang sama, namun dengan berpakaian lengkap
Karya ini spesial untuk seseorang yang mengalami trauma serupa. Saya menulis ini dengan harapan X bisa jadi seperti Poppy yang akhirnya menemukan kebahagiaan sejati, serta dijadikan penghiburan dan motivasi. Respons trauma pada setiap individu itu berbeda-beda--saya tahu-- tapi saya yakin jika kamu bisa melaluinya. Waktu akan menyembuhkan lukamu, semua orang di sekitarmu akan selalu membantu. Kalau memang masih ada orang-orang toxic yang menghakimi nasib burukmu/hidupmu, abaikan saja ... seperti Rafael mengabaikan kebencian kakeknya. Maafkan kesalahan mereka untuk membuat hidupmu lebih nyaman dan damai, seperti Poppy memaafkan kesalahan besar ibu tirinya. Semua orang berhak bahagia, begitu pula denganmu ... 🌞 Sedikit dari Author ... Sebenarnya V tipe yang ... ini loh karyaku, mau suka atau nggak itu dari perspektif masing-masing, mungkin ada penulis lain yang baca cuma butuh inspirasi tanpa meninggalkan jejak, mungkin orang tertentu yg kalau pas cerita nggak sesuai dengan kei
“Oh, jangan menangis, Nick,” pinta Robin, berusaha menidurkan putranya. Namun, suara tangisan Nick semakin kencang. Poppy lantas ikut membantu Robin menenangkannya. “Lihat wajah Nick, suamiku. Dia menangis, tapi seperti sedang marah … seperti kau yang sering marah tidak jelas.” Poppy terkekeh. “Dia akan menjadi pria yang lebih tampan dariku kelak.” Poppy tiba-tiba mencium pipi Robin. “Tapi, kau tetap jadi pria yang paling tampan untukku.” Meski telah hidup bersama lebih dari setahun, wajah Robin masih merona setiap kali mendengar pujian istrinya. Debaran dalam dadanya pun masih sama seperti awal-awal menyadari cintanya. Perasaan Robin tak berubah. Hanya sikapnya yang berubah menjadi lebih penyayang. “Jangan terlalu banyak membaca novel! Awas saja kalau kau juga merayu pria lain!” “Itu tidak akan pernah terjadi.” Poppy malah mengusap-usap wajahnya ke wajah suaminya sambil terkekeh. “Aku tahu kau suka dirayu.” Robin masih menyimpan aura misterius. Namun, Poppy merasa lebih ban
“Dokter! Cepat periksa istriku!” titah Robin.Poppy tampak begitu lemas. Napasnya berat dan matanya tertutup rapat.“Istri Anda hanya kelelahan, Tuan.”Robin bernapas lega. Dia kembali menggenggam tangan istrinya. Seandainya dia bisa melahirkan, dia akan menggantikan peran Poppy daripada melihatnya begitu tak berdaya.Menyaksikan istrinya melahirkan, Robin sontak teringat pada Sienna. Apa pun kesalahannya, Sienna juga pernah mempertaruhkan nyawa demi melahirkannya.Robin merenung sambil menciumi punggung tangan Poppy. Dia yang merasa lebih tinggi dari para wanita, sampai membeli seorang istri, juga bersikap buruk pada ibunya, ternyata hanya pria lemah yang tak lebih kuat dari mereka.“Silakan menunggu di luar, Tuan. Kami akan bersiap memindahkan Nyonya Poppy ke kamar.”Robin keluar dari ruang bersalin dengan wajah bahagia. Keluarganya menyambut dengan pelukan hangat sambil memberikan selamat.Ketika memeluk Sienna, ucapan lirih lolos dari mulutny
Capri akan makan siang ketika Antonio meneleponnya. Dia sampai tersedak suapan pertama saat mendengar Poppy keguguran dan sedang diperiksa dokter.Dengan kecepatan penuh, Capri mengemudikan mobil sampai ke rumah sakit yang dikatakan Antonio. Dia bahkan kena tilang karena melanggar rambu lalu lintas jalan. Untung saja, dia tak mengalami kecelakaan.Melihat orang-orang berkumpul di ruang pemeriksaan, serta rekan sejawatnya yang pucat pasi, Capri merasakan firasat buruk. Tanpa basa-basi, dia segera mengikuti dokter itu untuk memeriksa kondisi Poppy.Setelah menunggu beberapa menit, Capri keluar sambil menunduk.“Jangan katakan itu,” gumam Robin, enggan mendengar berita buruk.Capri membuka mulut akan bicara. Namun, teriakan seorang wanita dari kejauhan menghalanginya.“Robin!!!” seru Sienna sambil menangis.Dia langsung memeluk putranya. “Tidak apa-apa. Yang penting Poppy selamat. Jangan menyalahkan dirimu sendiri.”
“Istriku!!” Robin panik bukan main. Poppy tak pernah menunjukkan wajah kesakitan seperti itu, bahkan ketika dia menyiksanya.Poppy memegangi perutnya yang terasa melilit kencang. Bayi dalam perutnya seakan memberontak ingin keluar, berputar-putar di dalam perutnya.Robin dapat merasakan gerakan bayi dari perut istrinya yang begitu jelas, seperti menendang tangannya. Bayi itu bahkan ikut menyalahkannya, pikir Robin.Dengan tangan gemetar, dia menekan nomor telepon Antonio di ponselnya sampai ibu jarinya hampir salah menekan nomor orang lain.“Cepat kemari! Istriku kesakitan!”“Baik, Tuan!”Antonio yang menunggu di luar, bergegas lari kencang ke dalam bersama para pengawal. Kedatangan mereka membuat pengunjung lain kaget dan panik.Sementara itu, Robin sudah berhasil menggendong istrinya. Cukup berat, namun dia tak begitu merasakannya.Mereka akhirnya bertemu di koridor. Para pengawal segera mengawal Robin, juga Antonio yang membawa sepatu Poppy yang terjatuh.“Cepat ke rumah sakit!” t
“Wah! Terima kasih banyak, Tuan Robin! Semoga kita bisa berjumpa lagi.” Wanita muda itu lalu pergi tanpa melihat Poppy.Robin berdiri canggung, tak berani menatap istrinya. “Ayo, makan … makan dulu.”Robin jelas menyembunyikan sesuatu!Ketika akan digandeng suaminya, Poppy segera menarik tangannya. “Apa-apaan itu tadi? Sejak kapan kau jadi ramah pada orang lain?!”Sebelum pertanyaan Poppy terjawab, seorang pelayan restoran mendekati mereka. “Tuan Robin, saya akan mengantar Anda ke ruangan yang sudah Anda pesan.”Dengan bibir cemberut, Poppy akhirnya menunda kemarahannya. Sampai di dalam ruangan VIP restoran, dia langsung menatap tajam suaminya yang duduk berseberangan darinya.“Kau belum menjawabku!”Sepanjang mengenal Robin, baru kali ini Poppy melihat kegugupan suaminya itu.Robin bingung … harus dari mana dia mulai menceritakannya?‘Tidak, itu bukan rahasia. Aku tidak pernah berniat menyembunyikan sesuatu dari istriku,’ batin Robin.“Kenapa kau membiarkan wanita lain mendekatimu? J
Dante tak punya niat lagi untuk membesarkan seorang Luciano yang bisa membangkitkan kerajaan mafianya. Dia sudah pasrah dengan hidupnya yang akan segera berakhir.“Yang penting, istri dan anakmu sehat. Kuharap, Poppy dapat melahirkan cicitku tanpa masalah,” ucap Dante tulus selagi menahan sakit di jantungnya.Sebelum mengunjungi Dante, Robin ingin membicarakan banyak hal. Termasuk menunjukkan bahwa dia telah mengubah Pulau Luciano seperti keinginannya selama ini. Robin selalu ingin menyalahkan keputusan kakeknya. Namun sekarang, dengan keadaan Dante yang seperti itu, ucapannya hanya terkunci dalam hati.“Bagaimana keadaan Stefan?” Meskipun begitu, Dante masih belum bisa menerima sosok Sienna. Sejak dulu hingga saat ini, Dante merasa jika keluarganya berantakan karena wanita itu.“Papa sudah semakin sehat dengan hadirnya mama.”“Baguslah.” Tapi, Dante tak menunjukkan kebenciannya pada Sienna secara gamblang. Dia khawatir Robin tak mau menjenguknya lagi.“Rafael juga menemukan bakat b
“Maaf, Tuan.” Antonio lupa pada kecemburuan Robin yang semakin bertambah kuat selama istrinya mengandung. Bahkan, Robin pernah menugaskan tiga pengawal untuk ikut membangun proyek di Pulau Luciano hanya karena tersenyum menyapa Poppy dalam jarak dekat.Beruntung, penggunaan senjata sekarang diawasi ketat oleh Rafael supaya tak terjadi kekacauan yang tidak perlu. Kalau tidak, Robin mungkin akan menembak semua orang yang dipikirnya mencoba merayu Poppy.“Jangan keterlaluan, Antonio! Cepat cari pendamping daripada merayu istri orang lain!” Robin berdecak sebal selagi menuntun istrinya.“Baik, Tuan. Saya akan memikirkannya.”Mereka pun segera melaju ke rumah tahanan wanita.Awalnya, Carita menolak bertemu. Namun, Robin menggunakan kekuasaannya untuk memaksa Carita tanpa sepengetahuan Poppy.Dibalik kaca pembatas, Poppy akhirnya bisa menatap wajah ibu tirinya dari dekat. Carita terlihat kurus dan lusuh. Matanya tampak sayu, tak bisa menatap lurus ke arah anak tirinya.“Bagaimana kabarmu?”
Robin mewujudkan harapan Poppy sesuai ucapannya. Setiap hari selama berbulan-bulan, dia selalu memanjakan istrinya itu.Dengan kasih sayang yang Poppy dapatkan dari keluarga barunya, traumanya menghilang sepenuhnya. Dan kini, dia siap menemui ibu tirinya yang mendekam di balik jeruji besi.“Apa kau yakin akan menemuinya? Tidak bisakah menunggu setelah kau melahirkan?” Robin mengusap perut buncit istrinya yang duduk di pangkuannya. Wajahnya sesekali mengernyit ketika Poppy bergerak.Berat … namun, Robin tak mengeluh sedikitpun.“Aku yakin. Seminggu lagi aku akan melahirkan. Aku ingin dia mengetahuinya. Biar bagaimanapun, dia adalah orang yang membesarkanku selama ini.” Kebencian Poppy pada Carita berangsur menghilang, meski dia belum bisa memaafkan sepenuhnya. “Aku akan mendampingimu, sekaligus menjenguk kakek.”Dante Luciano dirawat di rumah sakit kepolisian. Sebulan lalu, Dante mengalami gagal ginjal parah, juga komplikasi penyakit lainnya.Robin juga baru tahu jika Dante ternyata