Mobil hitam itu melaju dengan kecepatan stabil di jalan yang sepi. Tidak ada suara selain deru mesin dan napas Emma yang masih berat. Tubuhnya gemetar, bukan hanya karena trauma dari malam itu, tetapi juga karena kehadiran pria misterius yang duduk di sebelahnya.
Pria itu mengenakan setelan serba hitam yang rapi, membuatnya terlihat seperti pria dari dunia lain. Namun, topeng yang masih menutupi sebagian wajahnya membuat pria itu terlihat semakin menyeramkan. Tidak ada sepatah kata pun keluar dari mulutnya selama perjalanan.
Emma melirik keluar jendela, berharap melihat sesuatu yang familiar—sebuah tanda bahwa ia masih berada di dunia nyata. Namun yang terlihat hanya gelapnya malam, ditemani cahaya bulan samar yang memantulkan bayangan pohon-pohon tinggi di sepanjang jalan.
"Aku tahu apa yang ada di kepalamu," suara pria itu tiba-tiba memecah kesunyian, datar namun tajam.
Emma tersentak, menoleh dengan cepat. Ia tidak berani menjawab.
"Jangan berpikir untuk melarikan diri," lanjutnya, tatapannya lurus ke depan. "Aku tidak akan ragu untuk memburumu. Dan percayalah, pelarianmu akan berakhir lebih buruk daripada yang barusan kau alami."
Emma menelan ludah, merasa tenggorokannya kering. "Siapa juga yang berani?" gumamnya dalam hati, mencoba menyembunyikan ketakutannya.
Meskipun mereka hanya berdua di dalam mobil ini, Emma tahu itu tidak berarti apa-apa. Ia sempat melihat melalui kaca spion, ada beberapa mobil lain yang mengikuti mereka.
Pengawal-pengawal pria ini, mungkin, yang pastinya tidak akan membiarkan Emma melarikan diri dengan mudah. Ia hanya mencari mati jika mencoba kabur.
Pria itu menoleh sekilas, mungkin menyadari ketakutan Emma, tetapi ia tidak mengatakan apa-apa lagi.
Setelah beberapa menit yang terasa seperti berjam-jam, mobil mulai memasuki gerbang besar dari besi tempa yang menjulang tinggi. Lampu-lampu otomatis menyala, menerangi jalan berkerikil yang dikelilingi taman luas.
Emma memandang ke depan dengan mata membelalak. Di ujung jalan, berdiri sebuah bangunan megah yang lebih mirip kastil daripada rumah.
Dinding-dindingnya yang tinggi terbuat dari batu, dengan jendela besar berhias tirai berat. Lampu-lampu kuning menyinari halaman, memberikan kesan menakutkan namun juga memukau.
"Kastil vampir..." pikir Emma, mendadak teringat film-film yang pernah ia tonton bersama neneknya dulu.
Mobil berhenti di depan pintu utama yang besar. Salah satu pengawal membuka pintu untuk mereka, sementara pria itu turun lebih dulu sebelum menoleh ke Emma.
"Keluar," perintahnya singkat.
Emma menuruti, dengan tubuh yang masih gemetar. Ia mengikuti pria itu masuk ke dalam bangunan megah tersebut, melewati pintu kayu besar yang diukir dengan detail rumit.
Begitu masuk, Emma langsung merasakan hawa dingin yang menusuk. Lorong utama dihiasi dengan lampu gantung kristal besar, sementara lantainya berkilauan seperti marmer yang mahal. Dinding-dindingnya dihiasi lukisan-lukisan tua, membuat tempat ini terasa seperti museum hidup.
Namun yang paling mencuri perhatian Emma adalah suasana sunyi yang mencekam. Tidak ada suara manusia lain, hanya langkah kaki mereka yang bergema di sepanjang lorong.
"Ikut aku," pria itu memerintah tanpa menoleh.
Emma mengikuti dengan patuh, menahan napas setiap kali pria itu berhenti atau berbalik. Akhirnya, mereka tiba di sebuah ruangan besar yang terlihat seperti ruang tamu. Sofa mewah dengan kain beludru merah tua berjajar di sekitar perapian besar, sementara rak buku tinggi memenuhi dindingnya.
Pria itu melepaskan topengnya dengan gerakan perlahan, membuat Emma terpana.
Wajahnya adalah sesuatu yang bahkan tidak bisa Emma deskripsikan dengan kata-kata. Hidungnya sempurna, rahangnya tegas, dan matanya berwarna abu-abu seperti badai. Rambut hitamnya yang sedikit berantakan memberi kesan liar, namun tetap berwibawa.
Ia seperti malaikat yang turun dari surga—hanya saja, hatinya tampaknya lebih pantas dimiliki oleh iblis.
"Minum ini," ucap pria itu tiba-tiba, menyerahkan segelas air kepada Emma.
Emma menatap gelas itu ragu.
"Jangan membuatku marah," ucapnya lagi, nada suaranya mengancam.
Emma akhirnya mengambil gelas itu dengan tangan gemetar. Ia meminumnya perlahan, berharap itu bukan racun.
Setelah beberapa saat, pria itu duduk di sofa besar, menyandarkan punggungnya dengan sikap santai yang membuatnya terlihat seperti raja di kerajaan ini.
"Aku ingin tahu sesuatu," katanya, menatap langsung ke mata Emma. "Apa yang sebenarnya kau pikirkan saat kau datang ke rumah wanita itu? Kau tahu dia bukan orang baik, bukan?"
Emma menggeleng pelan, air matanya mulai menggenang. "Aku... aku tidak tahu. Aku hanya ingin mencari ayahku. Aku tidak punya siapa-siapa lagi."
Pria itu menyipitkan matanya, seolah mencoba membaca pikiran Emma.
"Dan kau tidak berpikir bahwa datang ke kota besar sendirian adalah ide yang buruk?" tanyanya, suaranya penuh sarkasme.
Emma sempat terdiam mendengar ucapan pria itu. Mengapa dia bisa tahu jika Emma datang ke kota besar ini sendirian? Apakah pria ini mengenalnya? Namun dengan cepat pikiran itu sirna ketika melihat tatapan tajam pria itu yang mengarah kepadanya.
"Aku tidak punya pilihan," jawab Emma lirih. "Aku tidak punya tempat lain untuk pergi."
Hening menyelimuti ruangan. Pria itu tidak mengatakan apa-apa lagi, hanya memandang Emma dengan tatapan yang sulit diartikan.
"Namaku Lucas," ucap pria itu. "Mulai sekarang, kau akan tinggal di sini."
Emma mengangkat kepalanya dengan terkejut. "Tinggal di sini?"
"Ya. Kau milikku sekarang, ingat?" Lucas tersenyum tipis, tetapi senyumnya tidak membuat Emma tenang. Sebaliknya, senyuman itu justru mengingatkannya pada predator yang bermain-main dengan mangsanya.
"Tapi..." Emma ingin membantah, namun ia tidak tahu harus mengatakan apa.
"Tidak ada tapi," potong Lucas tegas. "Aku sudah membayar mahal untukmu. Jadi, jangan membuatku menyesal."
Emma menunduk, menahan tangisnya. Ia merasa seperti boneka yang tidak punya kendali atas hidupnya sendiri.
"Besok, kita akan bicara lebih banyak," ujar Lucas, berdiri dari sofanya. "Untuk sekarang, istirahatlah. Sebuah kamar telah disiapkan untukmu."
Ia melambaikan tangan kepada salah satu pengawalnya, yang tiba-tiba muncul entah dari mana. Pengawal itu memberi isyarat kepada Emma untuk mengikutinya.
Emma melangkah dengan berat, mengikuti pengawal tersebut ke lantai atas. Ketika ia masuk ke dalam kamar yang besar dan mewah, perasaan kosong menguasainya. Tempat tidur megah, jendela besar, dan perabotan mahal tidak membuatnya merasa nyaman.
"Selamat malam," ujar pengawal itu singkat sebelum menutup pintu di belakangnya.
Emma duduk di tepi tempat tidur, menatap tangannya yang masih gemetar. Ia tidak tahu apa yang akan terjadi padanya di tempat ini, tetapi satu hal yang pasti: ia harus menemukan cara untuk bertahan hidup.
"Nenek..." gumamnya pelan, air mata mengalir di pipinya. "Kenapa semua ini terjadi padaku?"
Namun, tidak ada jawaban. Yang ada hanyalah sunyi dan dinginnya malam, mengingatkannya bahwa ia kini berada di tempat yang jauh dari rumah, jauh dari kenyamanan yang selama ini neneknya tawarkan.
Malam itu terasa lebih panjang daripada biasanya. Jam antik di sudut ruangan berdentang sekali, menandakan waktu sudah menunjukkan pukul satu dini hari. Emma masih terduduk di tepi tempat tidur, pikirannya melayang-layang antara rasa takut dan kebingungan. Segalanya terasa seperti mimpi buruk yang tak berujung, hanya saja ia sadar sepenuhnya bahwa ini adalah kenyataan.Ruangan tempatnya berada terlihat seperti kamar dari abad ke-18. Tempat tidur berkanopi dengan tirai sutra melingkupi sisi-sisinya, sementara dinding dihiasi dengan wallpaper bermotif bunga yang sudah mulai pudar. Cermin besar berdiri di sudut, bingkainya terbuat dari kayu berukir yang terlihat sangat kuno. Cahaya lampu gantung kristal yang redup memberikan kesan suram pada ruangan ini.Emma berjalan pelan ke arah jendela besar yang tertutup tirai tebal. Ia menyibakkan tirai itu dengan hati-hati, mengintip ke luar. Gelap. Tidak ada apa-apa selain taman yang luas, dihiasi dengan patung-patung marmer yang sebagian tertu
Hari demi hari berlalu dengan monoton. Emma hanya menghabiskan waktunya di kamar yang disediakan Lucas tanpa bisa bersosialisasi atau melihat sekeliling kastil. Ia merasa seperti burung yang dipenjara dalam sangkar mewah, dikelilingi oleh keindahan yang tidak memberinya kebebasan.Setiap pagi, seorang pelayan datang membawakan sarapan, diikuti dengan makan siang dan makan malam. Para pelayan yang bekerja di sana bersikap terlalu kaku dan dingin, hampir seperti robot yang hanya menjalankan tugas. Tidak ada percakapan hangat, tidak ada senyuman tulus. Ketika Emma mencoba bertanya tentang kastil ini atau tentang Lucas, mereka hanya menjawab dengan sopan, tetapi tanpa memberi informasi apa pun.Pada malam hari, ketika keheningan menyelimuti kastil, perasaan diawasi semakin kuat. Emma sering duduk di tepi tempat tidur, memandang keluar jendela, bertanya-tanya bagaimana nasibnya akan berakhir.Namun, di balik kesunyiannya, ia merasa mendapatkan sedikit kekuatan dari rutinitas yang stabil. S
Lucas duduk di ruang kerjanya, memutar gelas bourbon dengan gerakan lambat. Pandangannya terfokus pada layar monitor yang menampilkan Emma berjalan perlahan di taman. Meski gadis itu tampak menikmati kebebasan kecilnya, Lucas tahu ia tetap berada dalam kendalinya."Dia terlihat lebih tenang sekarang," gumamnya pelan, hampir seperti berbicara pada dirinya sendiri. Ia memiringkan kepala sedikit, memperhatikan bagaimana Emma berhenti untuk menyentuh air mancur. "Setidaknya taman itu tidak sia-sia."Ia menghela napas, pikirannya kembali ke malam ketika semuanya dimulai. Sebuah malam yang tak pernah ia rencanakan, tetapi mengubah segalanya.---Ruangan itu penuh sesak dengan suara obrolan para pria berjas mahal dan suara denting gelas-gelas kristal. Lucas duduk di salah satu sudut dengan tenang, mengamati barang-barang yang dilelang. Ia datang ke sini bukan untuk bersenang-senang, melainkan mencari sesuatu yang benar-benar menarik baginya—senjata kuno atau barang antik bernilai tinggi.Ket
Emma duduk di pinggir tempat tidur sambil menggenggam kalung kecil di lehernya. Ruangan tempatnya tinggal kini adalah salah satu kamar paling mewah yang pernah ia lihat, dengan dinding berlapis panel kayu mahal, karpet tebal, dan jendela besar yang menghadap taman. Namun, setiap kali ia menatap ke luar, pagar tinggi yang mengelilingi properti itu selalu mengingatkannya bahwa ini bukan rumah—ini adalah penjara. Beberapa hari telah berlalu sejak malam itu, malam di mana kehidupannya berubah secara tiba-tiba. Sebelum ini, ia hanya seorang gadis desa sederhana yang mencoba bertahan hidup di kota besar. Namun, nasib kejam menyeretnya ke dalam dunia yang tidak pernah ia bayangkan. Dan sekarang, di bawah "perlindungan" Lucas, ia merasa seperti seekor burung yang dipelihara di dalam sangkar emas. "Burung kecil," gumam Emma pelan, mengingat bagaimana Lucas menyebutnya di suatu malam saat mereka kebetulan bertemu di taman. Ia tida
Malam itu, Emma berdiri di dekat jendela, matanya mengawasi gerakan para penjaga di luar sana. Ia sudah mempelajari pola mereka selama beberapa hari terakhir. Tidak sempurna, tetapi cukup untuk memberinya keberanian.Jantungnya berdebar keras. Ia tahu, malam ini adalah malamnya. Jika ia gagal, tidak ada lagi kesempatan kedua. Lucas mungkin tidak akan memberinya kelonggaran lagi jika ia tertangkap.Emma menghela napas panjang, menggenggam kalung di lehernya untuk terakhir kali sebagai pengingat akan tujuan utamanya. "Demi kebebasan," gumamnya pelan. Dengan hati-hati, ia melangkah keluar dari kamar, menyelinap ke lorong panjang yang gelap dan sunyi.Lorong itu hampir gelap sepenuhnya, hanya diterangi oleh beberapa lampu kecil di dinding. Emma berjongkok, menghindari cahaya kamera yang bergerak perlahan dari satu sisi ke sisi lain. Ia telah mempelajari sudutnya, tahu kapan harus bergerak dan kapan harus berhenti.Beberapa menit berlalu seperti jam, s
Emma meringkuk di sudut ruangan yang remang-remang, memeluk tubuhnya sendiri, berusaha menyembunyikan kegelisahannya. Pandangan para pria di ruangan itu membuatnya merasa telanjang meskipun ia mengenakan pakaian. Gaun sederhana berwarna putih yang diberikan oleh wanita itu terasa seperti jaring laba-laba yang melekat di tubuhnya, terlalu tipis dan membuatnya terlihat mencolok.Lampu-lampu neon yang berpendar berwarna merah dan ungu menghiasi ruangan penuh asap rokok, dengan musik yang berdentum keras memekakkan telinga. Ia merasa seperti seekor rusa yang tersesat di tengah hutan para pemangsa."Hei, lihat gadis itu," salah satu pria di dekat pintu berbisik kepada temannya. "Dia terlihat seperti rusa kecil yang ketakutan.""Rusa? Dia lebih seperti boneka porselen yang akan pecah," balas temannya, tertawa kecil. Suara mereka menusuk telinga Emma, membuatnya merasa semakin terpojok.Emma meremas gaun itu dengan kedua tangannya, mencoba meredakan gemetar yang tak bisa ia kendalikan. "Ken
Malam itu, Emma berdiri di dekat jendela, matanya mengawasi gerakan para penjaga di luar sana. Ia sudah mempelajari pola mereka selama beberapa hari terakhir. Tidak sempurna, tetapi cukup untuk memberinya keberanian.Jantungnya berdebar keras. Ia tahu, malam ini adalah malamnya. Jika ia gagal, tidak ada lagi kesempatan kedua. Lucas mungkin tidak akan memberinya kelonggaran lagi jika ia tertangkap.Emma menghela napas panjang, menggenggam kalung di lehernya untuk terakhir kali sebagai pengingat akan tujuan utamanya. "Demi kebebasan," gumamnya pelan. Dengan hati-hati, ia melangkah keluar dari kamar, menyelinap ke lorong panjang yang gelap dan sunyi.Lorong itu hampir gelap sepenuhnya, hanya diterangi oleh beberapa lampu kecil di dinding. Emma berjongkok, menghindari cahaya kamera yang bergerak perlahan dari satu sisi ke sisi lain. Ia telah mempelajari sudutnya, tahu kapan harus bergerak dan kapan harus berhenti.Beberapa menit berlalu seperti jam, s
Emma duduk di pinggir tempat tidur sambil menggenggam kalung kecil di lehernya. Ruangan tempatnya tinggal kini adalah salah satu kamar paling mewah yang pernah ia lihat, dengan dinding berlapis panel kayu mahal, karpet tebal, dan jendela besar yang menghadap taman. Namun, setiap kali ia menatap ke luar, pagar tinggi yang mengelilingi properti itu selalu mengingatkannya bahwa ini bukan rumah—ini adalah penjara. Beberapa hari telah berlalu sejak malam itu, malam di mana kehidupannya berubah secara tiba-tiba. Sebelum ini, ia hanya seorang gadis desa sederhana yang mencoba bertahan hidup di kota besar. Namun, nasib kejam menyeretnya ke dalam dunia yang tidak pernah ia bayangkan. Dan sekarang, di bawah "perlindungan" Lucas, ia merasa seperti seekor burung yang dipelihara di dalam sangkar emas. "Burung kecil," gumam Emma pelan, mengingat bagaimana Lucas menyebutnya di suatu malam saat mereka kebetulan bertemu di taman. Ia tida
Lucas duduk di ruang kerjanya, memutar gelas bourbon dengan gerakan lambat. Pandangannya terfokus pada layar monitor yang menampilkan Emma berjalan perlahan di taman. Meski gadis itu tampak menikmati kebebasan kecilnya, Lucas tahu ia tetap berada dalam kendalinya."Dia terlihat lebih tenang sekarang," gumamnya pelan, hampir seperti berbicara pada dirinya sendiri. Ia memiringkan kepala sedikit, memperhatikan bagaimana Emma berhenti untuk menyentuh air mancur. "Setidaknya taman itu tidak sia-sia."Ia menghela napas, pikirannya kembali ke malam ketika semuanya dimulai. Sebuah malam yang tak pernah ia rencanakan, tetapi mengubah segalanya.---Ruangan itu penuh sesak dengan suara obrolan para pria berjas mahal dan suara denting gelas-gelas kristal. Lucas duduk di salah satu sudut dengan tenang, mengamati barang-barang yang dilelang. Ia datang ke sini bukan untuk bersenang-senang, melainkan mencari sesuatu yang benar-benar menarik baginya—senjata kuno atau barang antik bernilai tinggi.Ket
Hari demi hari berlalu dengan monoton. Emma hanya menghabiskan waktunya di kamar yang disediakan Lucas tanpa bisa bersosialisasi atau melihat sekeliling kastil. Ia merasa seperti burung yang dipenjara dalam sangkar mewah, dikelilingi oleh keindahan yang tidak memberinya kebebasan.Setiap pagi, seorang pelayan datang membawakan sarapan, diikuti dengan makan siang dan makan malam. Para pelayan yang bekerja di sana bersikap terlalu kaku dan dingin, hampir seperti robot yang hanya menjalankan tugas. Tidak ada percakapan hangat, tidak ada senyuman tulus. Ketika Emma mencoba bertanya tentang kastil ini atau tentang Lucas, mereka hanya menjawab dengan sopan, tetapi tanpa memberi informasi apa pun.Pada malam hari, ketika keheningan menyelimuti kastil, perasaan diawasi semakin kuat. Emma sering duduk di tepi tempat tidur, memandang keluar jendela, bertanya-tanya bagaimana nasibnya akan berakhir.Namun, di balik kesunyiannya, ia merasa mendapatkan sedikit kekuatan dari rutinitas yang stabil. S
Malam itu terasa lebih panjang daripada biasanya. Jam antik di sudut ruangan berdentang sekali, menandakan waktu sudah menunjukkan pukul satu dini hari. Emma masih terduduk di tepi tempat tidur, pikirannya melayang-layang antara rasa takut dan kebingungan. Segalanya terasa seperti mimpi buruk yang tak berujung, hanya saja ia sadar sepenuhnya bahwa ini adalah kenyataan.Ruangan tempatnya berada terlihat seperti kamar dari abad ke-18. Tempat tidur berkanopi dengan tirai sutra melingkupi sisi-sisinya, sementara dinding dihiasi dengan wallpaper bermotif bunga yang sudah mulai pudar. Cermin besar berdiri di sudut, bingkainya terbuat dari kayu berukir yang terlihat sangat kuno. Cahaya lampu gantung kristal yang redup memberikan kesan suram pada ruangan ini.Emma berjalan pelan ke arah jendela besar yang tertutup tirai tebal. Ia menyibakkan tirai itu dengan hati-hati, mengintip ke luar. Gelap. Tidak ada apa-apa selain taman yang luas, dihiasi dengan patung-patung marmer yang sebagian tertu
Mobil hitam itu melaju dengan kecepatan stabil di jalan yang sepi. Tidak ada suara selain deru mesin dan napas Emma yang masih berat. Tubuhnya gemetar, bukan hanya karena trauma dari malam itu, tetapi juga karena kehadiran pria misterius yang duduk di sebelahnya.Pria itu mengenakan setelan serba hitam yang rapi, membuatnya terlihat seperti pria dari dunia lain. Namun, topeng yang masih menutupi sebagian wajahnya membuat pria itu terlihat semakin menyeramkan. Tidak ada sepatah kata pun keluar dari mulutnya selama perjalanan.Emma melirik keluar jendela, berharap melihat sesuatu yang familiar—sebuah tanda bahwa ia masih berada di dunia nyata. Namun yang terlihat hanya gelapnya malam, ditemani cahaya bulan samar yang memantulkan bayangan pohon-pohon tinggi di sepanjang jalan."Aku tahu apa yang ada di kepalamu," suara pria itu tiba-tiba memecah kesunyian, datar namun tajam.Emma tersentak, menoleh dengan cepat. Ia tidak berani menjawab."Jangan berpikir untuk melarikan diri," lanjutnya,
Emma meringkuk di sudut ruangan yang remang-remang, memeluk tubuhnya sendiri, berusaha menyembunyikan kegelisahannya. Pandangan para pria di ruangan itu membuatnya merasa telanjang meskipun ia mengenakan pakaian. Gaun sederhana berwarna putih yang diberikan oleh wanita itu terasa seperti jaring laba-laba yang melekat di tubuhnya, terlalu tipis dan membuatnya terlihat mencolok.Lampu-lampu neon yang berpendar berwarna merah dan ungu menghiasi ruangan penuh asap rokok, dengan musik yang berdentum keras memekakkan telinga. Ia merasa seperti seekor rusa yang tersesat di tengah hutan para pemangsa."Hei, lihat gadis itu," salah satu pria di dekat pintu berbisik kepada temannya. "Dia terlihat seperti rusa kecil yang ketakutan.""Rusa? Dia lebih seperti boneka porselen yang akan pecah," balas temannya, tertawa kecil. Suara mereka menusuk telinga Emma, membuatnya merasa semakin terpojok.Emma meremas gaun itu dengan kedua tangannya, mencoba meredakan gemetar yang tak bisa ia kendalikan. "Ken