Emma duduk di pinggir tempat tidur sambil menggenggam kalung kecil di lehernya. Ruangan tempatnya tinggal kini adalah salah satu kamar paling mewah yang pernah ia lihat, dengan dinding berlapis panel kayu mahal, karpet tebal, dan jendela besar yang menghadap taman. Namun, setiap kali ia menatap ke luar, pagar tinggi yang mengelilingi properti itu selalu mengingatkannya bahwa ini bukan rumah—ini adalah penjara.
Beberapa hari telah berlalu sejak malam itu, malam di mana kehidupannya berubah secara tiba-tiba. Sebelum ini, ia hanya seorang gadis desa sederhana yang mencoba bertahan hidup di kota besar. Namun, nasib kejam menyeretnya ke dalam dunia yang tidak pernah ia bayangkan. Dan sekarang, di bawah "perlindungan" Lucas, ia merasa seperti seekor burung yang dipelihara di dalam sangkar emas. "Burung kecil," gumam Emma pelan, mengingat bagaimana Lucas menyebutnya di suatu malam saat mereka kebetulan bertemu di taman. Ia tidak mengerti mengapa Lucas melakukan ini. Jika ia hanya ingin membeli budak, mengapa ia memberinya tempat tinggal seperti ini? Mengapa ia membiarkan Emma berjalan di taman, meski selalu di bawah pengawasan ketat? Mengapa ia tidak pernah menyentuhnya atau berbicara padanya lebih dari sekadar beberapa kata singkat? Pertanyaan-pertanyaan itu terus menghantui Emma, tetapi ia tahu satu hal: ia tidak bisa tinggal di sini selamanya. --- Malam itu, Emma berdiri di depan jendela, memandangi taman yang gelap. Cahaya lampu kecil di sepanjang jalan setapak menciptakan suasana damai, tetapi di balik itu, ia tahu ada kamera yang mengawasi setiap gerakannya. Ia memperhatikan pola patroli para penjaga, mencoba menghafal waktu dan rute mereka. "Kiri... kanan... mereka berpapasan setiap lima menit," bisiknya, mencatat pola itu di kepalanya. Emma tahu bahwa ini adalah peluang terbaiknya. Ia harus memanfaatkan setiap celah kecil yang ada. Jika ia gagal, konsekuensinya mungkin lebih buruk daripada sekadar kehilangan kebebasan. Namun, ada satu masalah besar: ia tidak tahu ke mana harus pergi setelah keluar dari sini. Dunia di luar pagar itu mungkin tidak lebih aman daripada dunia di dalamnya. Tetapi Emma lebih memilih melawan ketidakpastian daripada terus terjebak dalam kehidupan yang dikendalikan oleh Lucas. Tangannya menyentuh kalung di lehernya. Kalung itu adalah peninggalan neneknya, satu-satunya harta yang ia miliki sekarang. Ia tahu bahwa jika ia berhasil melarikan diri, ia harus menjual kalung itu untuk mendapatkan uang. Hanya dengan begitu ia bisa membeli tiket pulang ke desanya—tempat yang dulu ia tinggalkan demi mencari kehidupan yang lebih baik, tetapi kini terasa seperti satu-satunya tempat di mana ia bisa menemukan kedamaian. “Tidak mungkin aku bisa tinggal di sini selamanya,” gumamnya pelan, hampir seperti berbicara kepada dirinya sendiri. Dari sudut pandangnya, ia bisa melihat dua penjaga yang sedang berjaga di dekat gerbang utama. Mereka tampak mengobrol sambil sesekali melirik ke arah lorong lain. Emma memperhatikan dengan saksama, mencoba mencatat pola gerakan mereka. Aku harus mempelajari ini lebih dalam, pikirnya dalam hati. Ia berjalan kembali ke meja kecil di sudut kamar. Laci meja itu berderit pelan saat ia menariknya. Sebuah penjepit rambut kecil tergolek di dalamnya. Ia mengambil benda itu dan memperhatikannya dengan seksama. “Mungkin benda kecil ini bisa membantuku…” bisiknya, tersenyum tipis meskipun hatinya terasa berat. Emma duduk, menatap jendela lagi. Matanya terpaku pada taman, dan pikirannya mulai menyusun rencana. “Gerbang itu terlihat kokoh,” gumamnya sambil mencoret-coret pola gerbang di atas secarik kertas yang ia temukan di meja. “Tapi ada celah di dekat pagar barat… Jika aku bisa mencapai sana tanpa tertangkap, aku mungkin punya kesempatan.” Ia berhenti sejenak, memegang kalung neneknya erat-erat. “Nek,” bisiknya dengan suara yang hampir tak terdengar, “kalau aku berhasil keluar dari sini, aku janji akan membuat hidupku lebih baik. Tolong beri aku keberanian.” Ia menatap langit malam di luar jendela. Ketika bulan bersinar terang di atas taman, tekadnya semakin bulat. “Aku tidak boleh gagal,” katanya tegas. “Pergi, atau tidak sama sekali.” --- Keesokan paginya, Emma mencoba bertindak seperti biasa. Ia berjalan-jalan di taman, berhenti di dekat air mancur, dan memetik beberapa bunga liar. Para penjaga yang mengawasinya dari kejauhan tidak menunjukkan tanda-tanda kecurigaan. Mereka mungkin mengira bahwa ia sudah menerima nasibnya, bahwa ia telah menyerah pada takdir. Tetapi di balik senyum tipisnya, Emma merencanakan langkah berikutnya. Ia memeriksa setiap sudut taman, mencari jalan keluar alternatif yang mungkin bisa ia gunakan. Ia juga mengamati gerbang utama, mencatat bagaimana penjaga membuka dan menutupnya setiap kali ada kendaraan yang masuk atau keluar. Ketika sore tiba, Emma kembali ke kamarnya dan menulis rencana sederhana di selembar kertas kecil yang ia sembunyikan di bawah bantal. Ia tahu bahwa ia harus bergerak cepat—semakin lama ia menunggu, semakin besar risiko rencananya diketahui oleh Lucas atau salah satu anak buahnya. --- Namun, di saat Emma sibuk merencanakan pelariannya, Lucas tidak pernah benar-benar jauh darinya. Malam itu, di ruang kerjanya, Lucas memperhatikan layar monitor yang menampilkan gambar Emma berjalan di taman. Matanya tajam, tetapi pikirannya penuh dengan kebingungan. "Dia mencoba sesuatu," gumamnya pelan, meski tidak sepenuhnya yakin apa yang sedang direncanakan gadis itu. Lucas memutar kursinya, mengambil segelas bourbon dari meja, dan meneguknya perlahan. Ia tidak pernah mengerti mengapa ia membawa Emma ke sini, mengapa ia melindunginya. Sebagai kepala sindikat kriminal, ia sudah terbiasa membuat keputusan berdasarkan logika, bukan emosi. Tetapi ketika ia melihat gadis itu di malam pelelangan, sesuatu dalam dirinya berubah. Lucas tahu bahwa gadis itu adalah sebuah ancaman. Bukan ancaman dalam arti fisik, tetapi ancaman terhadap kedamaian pikirannya. Setiap kali ia melihat Emma, ia merasa seolah-olah ia diingatkan pada sesuatu yang telah lama ia lupakan—sesuatu yang ia coba abaikan selama bertahun-tahun. "Burung kecil itu," gumamnya, menatap layar dengan tatapan yang sulit ditebak.Malam itu, Emma berdiri di dekat jendela, matanya mengawasi gerakan para penjaga di luar sana. Ia sudah mempelajari pola mereka selama beberapa hari terakhir. Tidak sempurna, tetapi cukup untuk memberinya keberanian.Jantungnya berdebar keras. Ia tahu, malam ini adalah malamnya. Jika ia gagal, tidak ada lagi kesempatan kedua. Lucas mungkin tidak akan memberinya kelonggaran lagi jika ia tertangkap.Emma menghela napas panjang, menggenggam kalung di lehernya untuk terakhir kali sebagai pengingat akan tujuan utamanya. "Demi kebebasan," gumamnya pelan. Dengan hati-hati, ia melangkah keluar dari kamar, menyelinap ke lorong panjang yang gelap dan sunyi.Lorong itu hampir gelap sepenuhnya, hanya diterangi oleh beberapa lampu kecil di dinding. Emma berjongkok, menghindari cahaya kamera yang bergerak perlahan dari satu sisi ke sisi lain. Ia telah mempelajari sudutnya, tahu kapan harus bergerak dan kapan harus berhenti.Beberapa menit berlalu seperti jam, s
Emma meringkuk di sudut ruangan yang remang-remang, memeluk tubuhnya sendiri, berusaha menyembunyikan kegelisahannya. Pandangan para pria di ruangan itu membuatnya merasa telanjang meskipun ia mengenakan pakaian. Gaun sederhana berwarna putih yang diberikan oleh wanita itu terasa seperti jaring laba-laba yang melekat di tubuhnya, terlalu tipis dan membuatnya terlihat mencolok.Lampu-lampu neon yang berpendar berwarna merah dan ungu menghiasi ruangan penuh asap rokok, dengan musik yang berdentum keras memekakkan telinga. Ia merasa seperti seekor rusa yang tersesat di tengah hutan para pemangsa."Hei, lihat gadis itu," salah satu pria di dekat pintu berbisik kepada temannya. "Dia terlihat seperti rusa kecil yang ketakutan.""Rusa? Dia lebih seperti boneka porselen yang akan pecah," balas temannya, tertawa kecil. Suara mereka menusuk telinga Emma, membuatnya merasa semakin terpojok.Emma meremas gaun itu dengan kedua tangannya, mencoba meredakan gemetar yang tak bisa ia kendalikan. "Ken
Mobil hitam itu melaju dengan kecepatan stabil di jalan yang sepi. Tidak ada suara selain deru mesin dan napas Emma yang masih berat. Tubuhnya gemetar, bukan hanya karena trauma dari malam itu, tetapi juga karena kehadiran pria misterius yang duduk di sebelahnya.Pria itu mengenakan setelan serba hitam yang rapi, membuatnya terlihat seperti pria dari dunia lain. Namun, topeng yang masih menutupi sebagian wajahnya membuat pria itu terlihat semakin menyeramkan. Tidak ada sepatah kata pun keluar dari mulutnya selama perjalanan.Emma melirik keluar jendela, berharap melihat sesuatu yang familiar—sebuah tanda bahwa ia masih berada di dunia nyata. Namun yang terlihat hanya gelapnya malam, ditemani cahaya bulan samar yang memantulkan bayangan pohon-pohon tinggi di sepanjang jalan."Aku tahu apa yang ada di kepalamu," suara pria itu tiba-tiba memecah kesunyian, datar namun tajam.Emma tersentak, menoleh dengan cepat. Ia tidak berani menjawab."Jangan berpikir untuk melarikan diri," lanjutnya,
Malam itu terasa lebih panjang daripada biasanya. Jam antik di sudut ruangan berdentang sekali, menandakan waktu sudah menunjukkan pukul satu dini hari. Emma masih terduduk di tepi tempat tidur, pikirannya melayang-layang antara rasa takut dan kebingungan. Segalanya terasa seperti mimpi buruk yang tak berujung, hanya saja ia sadar sepenuhnya bahwa ini adalah kenyataan.Ruangan tempatnya berada terlihat seperti kamar dari abad ke-18. Tempat tidur berkanopi dengan tirai sutra melingkupi sisi-sisinya, sementara dinding dihiasi dengan wallpaper bermotif bunga yang sudah mulai pudar. Cermin besar berdiri di sudut, bingkainya terbuat dari kayu berukir yang terlihat sangat kuno. Cahaya lampu gantung kristal yang redup memberikan kesan suram pada ruangan ini.Emma berjalan pelan ke arah jendela besar yang tertutup tirai tebal. Ia menyibakkan tirai itu dengan hati-hati, mengintip ke luar. Gelap. Tidak ada apa-apa selain taman yang luas, dihiasi dengan patung-patung marmer yang sebagian tertu
Hari demi hari berlalu dengan monoton. Emma hanya menghabiskan waktunya di kamar yang disediakan Lucas tanpa bisa bersosialisasi atau melihat sekeliling kastil. Ia merasa seperti burung yang dipenjara dalam sangkar mewah, dikelilingi oleh keindahan yang tidak memberinya kebebasan.Setiap pagi, seorang pelayan datang membawakan sarapan, diikuti dengan makan siang dan makan malam. Para pelayan yang bekerja di sana bersikap terlalu kaku dan dingin, hampir seperti robot yang hanya menjalankan tugas. Tidak ada percakapan hangat, tidak ada senyuman tulus. Ketika Emma mencoba bertanya tentang kastil ini atau tentang Lucas, mereka hanya menjawab dengan sopan, tetapi tanpa memberi informasi apa pun.Pada malam hari, ketika keheningan menyelimuti kastil, perasaan diawasi semakin kuat. Emma sering duduk di tepi tempat tidur, memandang keluar jendela, bertanya-tanya bagaimana nasibnya akan berakhir.Namun, di balik kesunyiannya, ia merasa mendapatkan sedikit kekuatan dari rutinitas yang stabil. S
Lucas duduk di ruang kerjanya, memutar gelas bourbon dengan gerakan lambat. Pandangannya terfokus pada layar monitor yang menampilkan Emma berjalan perlahan di taman. Meski gadis itu tampak menikmati kebebasan kecilnya, Lucas tahu ia tetap berada dalam kendalinya."Dia terlihat lebih tenang sekarang," gumamnya pelan, hampir seperti berbicara pada dirinya sendiri. Ia memiringkan kepala sedikit, memperhatikan bagaimana Emma berhenti untuk menyentuh air mancur. "Setidaknya taman itu tidak sia-sia."Ia menghela napas, pikirannya kembali ke malam ketika semuanya dimulai. Sebuah malam yang tak pernah ia rencanakan, tetapi mengubah segalanya.---Ruangan itu penuh sesak dengan suara obrolan para pria berjas mahal dan suara denting gelas-gelas kristal. Lucas duduk di salah satu sudut dengan tenang, mengamati barang-barang yang dilelang. Ia datang ke sini bukan untuk bersenang-senang, melainkan mencari sesuatu yang benar-benar menarik baginya—senjata kuno atau barang antik bernilai tinggi.Ket
Malam itu, Emma berdiri di dekat jendela, matanya mengawasi gerakan para penjaga di luar sana. Ia sudah mempelajari pola mereka selama beberapa hari terakhir. Tidak sempurna, tetapi cukup untuk memberinya keberanian.Jantungnya berdebar keras. Ia tahu, malam ini adalah malamnya. Jika ia gagal, tidak ada lagi kesempatan kedua. Lucas mungkin tidak akan memberinya kelonggaran lagi jika ia tertangkap.Emma menghela napas panjang, menggenggam kalung di lehernya untuk terakhir kali sebagai pengingat akan tujuan utamanya. "Demi kebebasan," gumamnya pelan. Dengan hati-hati, ia melangkah keluar dari kamar, menyelinap ke lorong panjang yang gelap dan sunyi.Lorong itu hampir gelap sepenuhnya, hanya diterangi oleh beberapa lampu kecil di dinding. Emma berjongkok, menghindari cahaya kamera yang bergerak perlahan dari satu sisi ke sisi lain. Ia telah mempelajari sudutnya, tahu kapan harus bergerak dan kapan harus berhenti.Beberapa menit berlalu seperti jam, s
Emma duduk di pinggir tempat tidur sambil menggenggam kalung kecil di lehernya. Ruangan tempatnya tinggal kini adalah salah satu kamar paling mewah yang pernah ia lihat, dengan dinding berlapis panel kayu mahal, karpet tebal, dan jendela besar yang menghadap taman. Namun, setiap kali ia menatap ke luar, pagar tinggi yang mengelilingi properti itu selalu mengingatkannya bahwa ini bukan rumah—ini adalah penjara. Beberapa hari telah berlalu sejak malam itu, malam di mana kehidupannya berubah secara tiba-tiba. Sebelum ini, ia hanya seorang gadis desa sederhana yang mencoba bertahan hidup di kota besar. Namun, nasib kejam menyeretnya ke dalam dunia yang tidak pernah ia bayangkan. Dan sekarang, di bawah "perlindungan" Lucas, ia merasa seperti seekor burung yang dipelihara di dalam sangkar emas. "Burung kecil," gumam Emma pelan, mengingat bagaimana Lucas menyebutnya di suatu malam saat mereka kebetulan bertemu di taman. Ia tida
Lucas duduk di ruang kerjanya, memutar gelas bourbon dengan gerakan lambat. Pandangannya terfokus pada layar monitor yang menampilkan Emma berjalan perlahan di taman. Meski gadis itu tampak menikmati kebebasan kecilnya, Lucas tahu ia tetap berada dalam kendalinya."Dia terlihat lebih tenang sekarang," gumamnya pelan, hampir seperti berbicara pada dirinya sendiri. Ia memiringkan kepala sedikit, memperhatikan bagaimana Emma berhenti untuk menyentuh air mancur. "Setidaknya taman itu tidak sia-sia."Ia menghela napas, pikirannya kembali ke malam ketika semuanya dimulai. Sebuah malam yang tak pernah ia rencanakan, tetapi mengubah segalanya.---Ruangan itu penuh sesak dengan suara obrolan para pria berjas mahal dan suara denting gelas-gelas kristal. Lucas duduk di salah satu sudut dengan tenang, mengamati barang-barang yang dilelang. Ia datang ke sini bukan untuk bersenang-senang, melainkan mencari sesuatu yang benar-benar menarik baginya—senjata kuno atau barang antik bernilai tinggi.Ket
Hari demi hari berlalu dengan monoton. Emma hanya menghabiskan waktunya di kamar yang disediakan Lucas tanpa bisa bersosialisasi atau melihat sekeliling kastil. Ia merasa seperti burung yang dipenjara dalam sangkar mewah, dikelilingi oleh keindahan yang tidak memberinya kebebasan.Setiap pagi, seorang pelayan datang membawakan sarapan, diikuti dengan makan siang dan makan malam. Para pelayan yang bekerja di sana bersikap terlalu kaku dan dingin, hampir seperti robot yang hanya menjalankan tugas. Tidak ada percakapan hangat, tidak ada senyuman tulus. Ketika Emma mencoba bertanya tentang kastil ini atau tentang Lucas, mereka hanya menjawab dengan sopan, tetapi tanpa memberi informasi apa pun.Pada malam hari, ketika keheningan menyelimuti kastil, perasaan diawasi semakin kuat. Emma sering duduk di tepi tempat tidur, memandang keluar jendela, bertanya-tanya bagaimana nasibnya akan berakhir.Namun, di balik kesunyiannya, ia merasa mendapatkan sedikit kekuatan dari rutinitas yang stabil. S
Malam itu terasa lebih panjang daripada biasanya. Jam antik di sudut ruangan berdentang sekali, menandakan waktu sudah menunjukkan pukul satu dini hari. Emma masih terduduk di tepi tempat tidur, pikirannya melayang-layang antara rasa takut dan kebingungan. Segalanya terasa seperti mimpi buruk yang tak berujung, hanya saja ia sadar sepenuhnya bahwa ini adalah kenyataan.Ruangan tempatnya berada terlihat seperti kamar dari abad ke-18. Tempat tidur berkanopi dengan tirai sutra melingkupi sisi-sisinya, sementara dinding dihiasi dengan wallpaper bermotif bunga yang sudah mulai pudar. Cermin besar berdiri di sudut, bingkainya terbuat dari kayu berukir yang terlihat sangat kuno. Cahaya lampu gantung kristal yang redup memberikan kesan suram pada ruangan ini.Emma berjalan pelan ke arah jendela besar yang tertutup tirai tebal. Ia menyibakkan tirai itu dengan hati-hati, mengintip ke luar. Gelap. Tidak ada apa-apa selain taman yang luas, dihiasi dengan patung-patung marmer yang sebagian tertu
Mobil hitam itu melaju dengan kecepatan stabil di jalan yang sepi. Tidak ada suara selain deru mesin dan napas Emma yang masih berat. Tubuhnya gemetar, bukan hanya karena trauma dari malam itu, tetapi juga karena kehadiran pria misterius yang duduk di sebelahnya.Pria itu mengenakan setelan serba hitam yang rapi, membuatnya terlihat seperti pria dari dunia lain. Namun, topeng yang masih menutupi sebagian wajahnya membuat pria itu terlihat semakin menyeramkan. Tidak ada sepatah kata pun keluar dari mulutnya selama perjalanan.Emma melirik keluar jendela, berharap melihat sesuatu yang familiar—sebuah tanda bahwa ia masih berada di dunia nyata. Namun yang terlihat hanya gelapnya malam, ditemani cahaya bulan samar yang memantulkan bayangan pohon-pohon tinggi di sepanjang jalan."Aku tahu apa yang ada di kepalamu," suara pria itu tiba-tiba memecah kesunyian, datar namun tajam.Emma tersentak, menoleh dengan cepat. Ia tidak berani menjawab."Jangan berpikir untuk melarikan diri," lanjutnya,
Emma meringkuk di sudut ruangan yang remang-remang, memeluk tubuhnya sendiri, berusaha menyembunyikan kegelisahannya. Pandangan para pria di ruangan itu membuatnya merasa telanjang meskipun ia mengenakan pakaian. Gaun sederhana berwarna putih yang diberikan oleh wanita itu terasa seperti jaring laba-laba yang melekat di tubuhnya, terlalu tipis dan membuatnya terlihat mencolok.Lampu-lampu neon yang berpendar berwarna merah dan ungu menghiasi ruangan penuh asap rokok, dengan musik yang berdentum keras memekakkan telinga. Ia merasa seperti seekor rusa yang tersesat di tengah hutan para pemangsa."Hei, lihat gadis itu," salah satu pria di dekat pintu berbisik kepada temannya. "Dia terlihat seperti rusa kecil yang ketakutan.""Rusa? Dia lebih seperti boneka porselen yang akan pecah," balas temannya, tertawa kecil. Suara mereka menusuk telinga Emma, membuatnya merasa semakin terpojok.Emma meremas gaun itu dengan kedua tangannya, mencoba meredakan gemetar yang tak bisa ia kendalikan. "Ken