Di ruang kerjanya yang luas dan megah, Lucas berdiri membelakangi meja kerjanya, menatap keluar jendela besar yang menghadap ke taman. Gelas bourbon di tangannya hampir kosong, tetapi ia belum juga meneguknya. Ia hanya memutar gelas itu perlahan, mencoba menenangkan perasaan yang mendadak berkecamuk di dalam dadanya.
Perasaan itu datang dengan tiba-tiba, membakar dirinya seperti api yang sulit dipadamkan. Kemarahan, frustasi, dan—entah bagaimana—sesuatu yang menyerupai kekecewaan.“Kenapa aku begitu peduli?” pikirnya sambil memejamkan mata. Tangannya mengepal kuat di sisi tubuhnya, mencoba mengendalikan emosi yang bahkan ia sendiri tidak sepenuhnya pahami.Emma. Nama itu berputar di pikirannya seperti mantra yang sulit diusir. Gadis itu hanyalah salah satu bagian kecil dari dunianya, dunia yang telah ia bangun dengan darah dan keringat selama bertahun-tahun. Tapi mengapa satu tindakan bodohnya membuatnya merasa terganggu seperti ini?Lucas menggelKediaman Lucas tetap terasa seperti penjara meskipun dilengkapi kemewahan yang tak ada habisnya. Di balik tembok-tembok tinggi dan gerbang yang kokoh, Emma merasa semakin terperangkap dalam kehidupan yang tak pernah ia pilih. Pagi itu, seperti biasa, Emma merasakan kebosanan yang tak tertahankan. Ia terjaga lebih awal, duduk di tepi ranjang, memandang keluar jendela yang besar. Taman yang luas dan rimbun itu tampak tenang, seolah-olah mengundang Emma untuk berlari bebas. Namun, ia tahu ia harus lebih bijaksana. Setelah pelarian pertamanya yang gagal, ia tahu bahwa ia tidak bisa gegabah. Pelarian keduanya harus lebih matang, lebih terencana. Kali ini, ia tidak boleh lengah. "Selama ini, aku selalu terjebak dalam rutinitas yang sudah terbentuk," gumamnya pelan pada dirinya sendiri, menatap kalung yang melingkar di lehernya. Kalung itu adalah satu-satunya peninggalan neneknya, satu-satunya benda berharga yang masih ia miliki. Itu adalah pengingat akan rumah lamanya, akan kehi
Lucas berdiri di tepi jendela besar kamarnya, pandangannya terpaku pada taman yang terhampar di bawah sana. Namun, anehnya, suasana terasa berbeda. Lampu-lampu taman tidak menyala, bunga-bunga yang biasanya penuh warna kini terlihat layu, dan jalan setapak berbatu itu tampak tertutup kabut tipis.Ia tidak sendiri. Di tengah taman, seorang wanita berdiri membelakanginya, gaunnya putih panjang berkibar pelan oleh angin malam. Rambut hitamnya menjuntai hingga punggung, sedikit berantakan. Wanita itu memandangi celah kecil di sudut taman—celah yang Lucas tahu sangat baik. Celah itu menjadi tempat yang tidak hanya mengundang kebebasan, tetapi juga membawa kenangan pahit yang menghancurkan.Lucas kecil muncul di sebelahnya, tubuh mungilnya berdiri di sisi jendela. Ia tidak berkata apa-apa, hanya memandangi wanita itu dengan tatapan yang sulit diartikan. Wanita itu berbalik perlahan, menatap langsung ke arah Lucas kecil di jendela. Wajahnya pucat, tetapi matanya berbinar
Malam itu, setelah mimpi buruk yang ia alami, Lucas duduk di ruang kerjanya dengan segelas bourbon di tangan. Rasa lelah menghantamnya, tetapi ia tidak bisa membiarkan dirinya tidur. Setiap kali ia memejamkan mata, mimpi yang sama datang menghantam—mimpi tentang wanita yang pernah menjadi dunianya, sekaligus luka terdalam dalam hidupnya.Ia berjalan pelan ke jendela besar yang menghadap ke taman, membiarkan pandangannya terhenti di sudut yang paling gelap. Di situlah semuanya dimulai dan di situ pula semuanya berakhir.Lucas kecil berusia delapan tahun. Ia berdiri di kamarnya, memandang keluar jendela, melihat sosok wanita itu berjalan pelan ke arah celah kecil di sudut taman. Wanita itu—ibunya—biasanya hanya duduk di kursi roda, diam, tenggelam dalam dunianya sendiri. Tapi malam itu berbeda.Lucas tidak tahu apa yang mendorong ibunya untuk bangkit dari kursi roda, tetapi ia melihatnya berjalan, meski dengan langkah yang goyah, menuju celah kecil yang nyar
Emma berdiri di balik tirai kamarnya, memperhatikan pergerakan para penjaga yang mulai berkurang. Malam itu terasa berbeda—udara lebih dingin, tetapi justru memberi dorongan pada keberaniannya. Ia sudah memikirkan rencananya dengan matang, memastikan setiap detail berjalan sempurna. Ia telah mempelajari pola penjaga selama beberapa minggu terakhir, menghitung setiap langkah mereka, dan menunggu momen yang tepat. Malam ini, celah itu adalah jalannya menuju kebebasan. Setelah memastikan suasana cukup aman, Emma melangkah keluar dari kamar dengan hati-hati. Setiap langkahnya terdengar begitu jelas di telinganya, membuat detak jantungnya berpacu lebih cepat. Ia mengenakan pakaian gelap agar tidak mudah terlihat, dan sebuah tas kecil berisi beberapa barang penting tergenggam erat di tangannya. Ia sampai di celah itu, tempat yang sudah ia tandai sebagai titik lemah keamanan rumah ini. Tangannya gemetar saat membuka pintu kecil yang hampir tersembunyi oleh semak belukar. Dengan sekuat tena
Lucas membawa Emma ke dalam kamar tidur pribadinya dengan langkah tegas. Begitu pintu tertutup, ia melemparkan tas kecil yang dibawa Emma ke sudut ruangan. Suasana tegang memenuhi udara, hanya diiringi suara napas keduanya yang memburu. Lebih dari apapun, Lucas ingin memberi Emma pelajaran. Melakukan hal menyakitkan untuk membuat gadis itu jera dan tak akan lagi memiliki pikiran untuk melarikan diri. Namun ketika matanya bertemu dengan tatapan Emma, Lucas merasanya dirinya tak akan sanggup melakukan itu semua. Lucas tak yakin, namun ia merasa, menyakiti Emma adalah hal terakhir yang bisa ia lakukan. “Duduk,” perintah Lucas akhirnya dengan nada dingin, sambil menunjuk ranjang besar di tengah ruangan. Emma meski merasa enggan, akhirnya duduk dengan tubuh yang masih bergetar halus. Pandangannya menunduk, berusaha menghindari tatapan tajam pria itu. Tangannya meremas satu sama lain, memperlihatkan kegugupan yang saat ini tengah gadis itu rasakan. Lucas mendekat, berdiri tepat di de
Cahaya matahari yang menyelinap melalui celah tirai membangunkan Emma dari tidurnya. Ia menggeliat pelan, menikmati kelembutan selimut yang membungkus tubuhnya. Namun, begitu kesadarannya pulih sepenuhnya, ia menyadari sesuatu yang janggal.Ini bukan kamarnya."Di mana ini?" lirih gadis itu sambil melihat sekitar.Emma segera duduk tegak, matanya menelusuri sekeliling. Ruangan ini lebih luas dari kamar yang biasa ditempatinya, dengan interior yang elegan namun tetap maskulin. Aroma kayu dan aftershave yang khas menguar di udara—aroma yang begitu familiar. Butuh beberapa detik sebelum ia menyadari di mana dirinya berada.'Jangan katakan ini kamar Lukas!' Jantungnya berdegup lebih kencang. Apakah Lucas sengaja mengurungnya di sini setelah kejadian tadi malam? Emma tidak tahu pasti, tetapi satu hal yang ia yakini: ia harus mencari tahu lebih banyak. Jika Lucas berpikir bisa mengendalikannya, ia akan melakukan hal yang sama.Dengan langkah hati-hati, Emma turun dari ranjang, telapak kaki
Suasana kamar terasa hening setelah pengakuan Lucas. Emma masih menatapnya dengan ekspresi yang sulit diartikan, tetapi pria itu tidak terganggu. Ia malah mengambil kursi di dekat meja, duduk dengan sikap santai seolah baru saja membicarakan sesuatu yang sepele.“Tertarik mendengar lebih banyak?” tanyanya, nada suaranya terdengar tenang, tetapi ada sesuatu di matanya—sesuatu yang tidak biasa Emma lihat sebelumnya.Emma ragu sejenak, tetapi pada akhirnya ia mengangguk. “Ya.”Lucas mengangkat alis, seolah terkejut dengan jawabannya. Namun, alih-alih mengejek, ia justru mulai berbicara.“Ibuku adalah wanita yang ceria,” katanya, suaranya terdengar sedikit lebih lembut. “Dia selalu tersenyum, selalu menemukan hal-hal kecil untuk disyukuri, bahkan ketika hidupnya jauh dari kata sempurna.”Emma menyimak dengan saksama, tanpa menyela.“Ia menikah bukan karena cinta,” lanjut Lucas. “Pernikahannya diatur oleh keluarganya—keluarga yang, se
Lucas menutup pintu kamarnya dengan sedikit lebih keras dari yang ia maksudkan. Begitu berada di luar, ia menghela napas panjang, membiarkan udara dingin menyapu wajahnya. 'Kenapa aku mengatakan semua itu padanya?' batin pria itu sambil menghela napas sekali lagi. Untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, ia merasa sedikit lebih ringan. Seolah dengan menceritakan masa lalunya kepada Emma, beban yang selama ini mengikatnya mulai sedikit terlepas. Namun, perasaan itu juga berbahaya. Lucas bukan orang yang suka membiarkan orang lain melihat kelemahannya, apalagi seorang wanita yang bahkan belum lama ia kenal. Tapi anehnya, ketika melihat Emma mendengarkan tanpa menghakimi, ia tidak bisa menahan diri. 'Aku tidak boleh terus seperti ini, ini sama saja menunjukkan sisi lemahku pada orang lain.' Ia meremas jemarinya, berusaha menghapus rasa gelisah yang tiba-tiba merayap ke dalam benaknya. Namun langkahnya terhenti ketika suara
Emma menatap langit malam yang terbentang luas di atasnya. Kilauan bintang-bintang tampak berkelip di antara gelapnya malam, menciptakan pemandangan yang menenangkan. Angin berembus lembut, membelai kulitnya dengan kesejukan yang menenangkan. Ia berdiri di samping Lucas, di sebuah bukit kecil yang menawarkan pemandangan kota dari kejauhan. Tempat ini begitu sunyi, seolah terpisah dari dunia yang penuh hiruk-pikuk di bawah sana. Emma mengerti bahwa Lucas tidak membawa dirinya ke sini tanpa alasan. "Tempat ini..." Emma membuka suara, memecah keheningan di antara mereka. "Kenapa kau membawaku ke sini?" Lucas mengalihkan pandangannya dari hamparan kota dan menatap Emma. "Ini tempat yang sering kudatangi saat aku butuh berpikir," jawabnya pelan. "Di sini, aku bisa merasa bebas. Tidak ada gangguan, tidak ada tekanan, hanya aku dan pikiranku sendiri." Emma mengangguk mengerti. Ia bisa merasakan ketenangan yang sama. Dalam sebulan terakhir, hidup mereka penuh dengan kekacauan. Konflik
Matahari baru saja terbit di ufuk timur, menyapu kediaman Lucas dengan cahaya keemasan yang lembut. Setelah malam yang panjang dan penuh ketegangan, pagi ini terasa lebih tenang. Tidak ada lagi ancaman yang membayangi, tidak ada lagi pertarungan yang harus dihadapi. Untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, Lucas bisa menarik napas lega.Ia berdiri di balkon kamarnya, menatap hamparan taman di bawah sana. Udara pagi yang sejuk menyentuh wajahnya, membawa aroma embun yang menyegarkan. Namun, pikirannya masih terpusat pada satu hal—Emma.Wanita itu telah melalui begitu banyak hal. Ia terluka karena menjadi bagian dari dunianya, dunia yang penuh dengan bahaya dan intrik. Tetapi, meskipun demikian, Emma tidak pernah menunjukkan penyesalan. Ia tetap berada di sisinya, menghadapi semuanya dengan keteguhan hati yang luar biasa.Lucas tahu, ada satu hal yang harus ia lakukan sekarang.Tanpa ragu, ia melangkah keluar dari kamarnya dan menuju ke kamar te
Malam di kediaman Lucas begitu sunyi. Udara dingin menyusup melalui jendela besar di ruang kerjanya, tetapi pria itu tetap duduk tegak di balik meja kayu besar, menatap laporan-laporan yang tersusun rapi di hadapannya. Setelah semua konflik yang ia hadapi, organisasi mulai kembali stabil. Ia telah menyingkirkan Morelli dan Vasquez, membuktikan bahwa ia bukan pemimpin yang bisa diremehkan. Namun, Lucas tahu bahwa masih ada satu orang lagi yang harus ia hadapi—ayahnya.Seakan menjawab pikirannya, ketukan keras terdengar di pintu ruang kerjanya. Lucas tidak terkejut. Ia sudah menduga bahwa cepat atau lambat pria itu akan datang menemuinya."Masuk," katanya, suaranya tetap dingin dan terkendali.Pintu terbuka perlahan, memperlihatkan sosok Antonio Aldrin. Meski usianya sudah semakin tua, auranya masih menekan, menandakan bahwa ia adalah seseorang yang telah lama terbiasa dengan kekuasaan. Namun, malam ini, ada sesuatu yang berbeda pada dirinya. Sorot matanya t
Malam sudah larut, tetapi Lucas masih duduk di ruang kerjanya, menatap peta besar yang terhampar di mejanya. Titik-titik merah menandai lokasi para sisa anak buah Morelli dan Vasquez yang masih berkeliaran. Beberapa di antara mereka sudah melarikan diri ke luar negeri, tetapi sebagian kecil masih bertahan, berusaha mencari perlindungan.Lucas menghela napas panjang. Satu langkah lagi, dan ini semua akan selesai.Pintu ruang kerja terbuka tanpa ketukan. Stefan masuk dengan ekspresi tegas. "Semuanya sudah siap. Anak buah kita sudah berada di posisi masing-masing."Lucas mengangguk, lalu berdiri. "Bagus. Pastikan tidak ada celah bagi mereka untuk melarikan diri.""Kita juga sudah mengamankan jalur komunikasi mereka. Jika mereka mencoba meminta bantuan, pesan itu tidak akan pernah sampai," tambah Stefan.Lucas menyeringai kecil. "Kali ini, aku ingin memastikan mereka tidak punya tempat untuk kembali."Stefan menatapnya sejenak sebelu
Pagi menjelang dengan tenang di kediaman Lucas. Sinar matahari keemasan menyelinap melalui celah-celah jendela besar, menerangi ruangan dengan kehangatan yang lembut. Suara burung di kejauhan terdengar samar, berpadu dengan desiran angin yang berembus perlahan.Emma membuka matanya perlahan. Rasanya tubuhnya lebih ringan, meski masih ada sedikit nyeri di lengannya yang belum sepenuhnya pulih. Saat ia menggerakkan kepalanya, matanya langsung menemukan sosok Lucas yang masih duduk di sampingnya, menatapnya dengan ekspresi lembut."Kau tidak tidur?" suara Emma serak karena baru bangun.Lucas menggeleng pelan. "Aku hanya ingin memastikan kau baik-baik saja."Emma tersenyum kecil. Ia tahu Lucas masih merasa cemas, tetapi ia juga tahu pria itu tidak akan mengatakannya secara langsung. Jadi, ia hanya meraih tangan Lucas dan menggenggamnya erat. "Aku sudah lebih baik. Kau tidak perlu terus mengkhawatirkanku."Lucas menghela napas, lalu akhirnya i
Malam telah larut ketika Lucas duduk di ruang kerjanya, menatap peta besar yang terbentang di atas meja. Wilayah kekuasaan yang sebelumnya dikuasai Morelli dan Vasquez kini sepenuhnya berada di bawah kendalinya. Namun, meskipun kedua orang itu telah ditangkap dan dihabisi, Lucas tahu bahwa masalah tidak berhenti di situ. Stefan berdiri di sampingnya, melaporkan perkembangan terbaru. "Beberapa anggota bawahan Morelli dan Vasquez masih bertahan. Mereka kehilangan pemimpin, tetapi tidak kehilangan ambisi." Lucas menghela napas. "Aku sudah menduga ini. Mereka tidak akan menyerah begitu saja." "Tepat," Stefan mengangguk. "Ada laporan bahwa sebagian dari mereka mencoba membentuk kelompok baru. Mereka masih belum cukup kuat untuk menantang kita secara langsung, tetapi jika dibiarkan, mereka bisa menjadi ancaman dalam beberapa bulan ke depan." Lucas menatap peta di hadapannya. "Siapa pemimpin mereka sekarang?" Stefan
Ruangan itu gelap dan dingin, hanya diterangi oleh satu lampu gantung yang menggantung rendah di langit-langit, memberikan cahaya redup yang membuat bayangan panjang di dinding. Bau debu bercampur darah masih terasa di udara, dan suara napas berat memenuhi keheningan.Di tengah ruangan, dua pria yang terikat pada kursi dengan tangan ke belakang tampak gemetar. Morelli dan Vasquez, dua pemimpin organisasi yang berani mengkhianati Lucas, kini tidak lebih dari bayangan diri mereka yang dulu.Lucas berdiri di depan mereka, mengenakan kemeja hitam dengan lengan yang digulung hingga siku. Matanya dingin, penuh ketegasan. Ia tidak langsung berbicara, membiarkan ketegangan menggantung di udara, membiarkan ketakutan menyusup ke dalam tulang kedua pria itu.Stefan berdiri di sudut ruangan, mengamati dengan ekspresi santai, tetapi matanya penuh kewaspadaan. Beberapa anak buah Lucas berjaga di sekitar, memastikan tidak ada celah bagi Morelli dan Vasquez untuk melarikan diri.Akhirnya, Lucas menar
Suasana di dalam kastil terasa tegang. Para penjaga masih berjaga di berbagai sudut, memastikan tidak ada lagi penyusup yang berkeliaran. Stefan telah memerintahkan pembersihan menyeluruh, tetapi atmosfer tetap dipenuhi ketegangan.Di dalam salah satu kamar di sayap barat, Emma terbaring di tempat tidur dengan perban yang melingkari bahunya. Dokter pribadi keluarga Aldrin baru saja selesai membersihkan dan menutup lukanya.Meskipun bukan luka yang fatal, rasa nyeri masih terasa setiap kali Emma bergerak. Namun, yang lebih mengganggunya bukanlah rasa sakit itu sendiri—melainkan ekspresi Lucas.Ia berdiri di sudut ruangan, diam, dengan ekspresi yang gelap dan penuh kemarahan yang tertahan.“Lucas…” Emma memanggil pelan.Lucas tidak segera menjawab. Ia hanya menatapnya dalam-dalam, seolah mencoba memastikan bahwa Emma benar-benar masih di sana, masih bernapas, masih hidup.Butuh beberapa saat sebelum ia akhirnya mendekat. Ia duduk d
Dunia seakan melambat saat suara tembakan bergema di luar kastil. Emma menatap keluar jendela dengan mata membelalak, napasnya tertahan melihat beberapa pria bersenjata yang mulai menyerbu area luar.Pelayan yang tadi bersamanya langsung menarik tangannya. “Nona, kita harus pergi! Ini berbahaya!”Emma tersentak dari keterkejutannya dan mengangguk cepat. Mereka berdua bergegas melewati koridor kastil yang panjang, tetapi baru beberapa langkah, suara ledakan kecil terdengar dari luar, mengguncang dinding-dinding kastil.Panik mulai menjalari tubuh Emma. “Lucas! Aku harus menemui Lucas!”“Tuan Lucas pasti sudah bergerak!” Pelayan itu mencoba menenangkannya, tetapi suara alarm yang mulai meraung di seluruh kastil membuat situasi semakin mencekam.Para penjaga segera bergerak, mengambil posisi untuk mempertahankan kastil dari serangan mendadak ini. Emma bisa melihat beberapa orang berlari menuju titik pertahanan, dan di tengah kekacauan itu, ia merasakan ketakutan yang luar biasa.Namun, s