Lucas menutup pintu kamarnya dengan sedikit lebih keras dari yang ia maksudkan. Begitu berada di luar, ia menghela napas panjang, membiarkan udara dingin menyapu wajahnya.
'Kenapa aku mengatakan semua itu padanya?' batin pria itu sambil menghela napas sekali lagi. Untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, ia merasa sedikit lebih ringan. Seolah dengan menceritakan masa lalunya kepada Emma, beban yang selama ini mengikatnya mulai sedikit terlepas. Namun, perasaan itu juga berbahaya. Lucas bukan orang yang suka membiarkan orang lain melihat kelemahannya, apalagi seorang wanita yang bahkan belum lama ia kenal. Tapi anehnya, ketika melihat Emma mendengarkan tanpa menghakimi, ia tidak bisa menahan diri. 'Aku tidak boleh terus seperti ini, ini sama saja menunjukkan sisi lemahku pada orang lain.' Ia meremas jemarinya, berusaha menghapus rasa gelisah yang tiba-tiba merayap ke dalam benaknya. Namun langkahnya terhenti ketika suaraMalam itu, Lucas duduk di ruang kerjanya, satu-satunya tempat di rumah ini di mana ia bisa benar-benar berpikir jernih. Cahaya lampu temaram menyorot tumpukan dokumen yang belum sempat ia sentuh, tetapi pikirannya tidak berada di sana.Pikirannya masih tertinggal di kamar, bersama gadis yang perlahan mulai mengusik pertahanannya.Emma.Entah mengapa, setelah membagikan sepotong kecil masa lalunya kepada gadis itu, ada sesuatu yang terasa berbeda dalam dirinya. Seperti sebuah beban yang sedikit berkurang, meskipun bayangan masa lalunya masih tetap ada.Lucas menghela napas, menyesap scotch dari gelas kristalnya. Ia berharap malam ini bisa berlalu tanpa gangguan, tetapi takdir sepertinya memiliki rencana lain.Drrrtt… Drrrtt…Ponselnya bergetar di atas meja.Lucas melirik layar, dan seketika matanya berubah tajam.Nomor itu.Darahnya berdesir, bukan karena terkejut, tetapi karena jijik.Selama be
Emma duduk di bangku kayu yang ada di taman belakang, menghirup udara segar yang terasa jauh lebih menyenangkan dibandingkan udara di dalam rumah ini. Tangannya dengan lembut menyentuh kelopak bunga mawar yang baru mekar, merasakan teksturnya yang halus di ujung jari.Siapa sangka ia bisa menemukan ketenangan dalam merawat tanaman?Dulu, ia selalu berpikir bahwa kebebasan adalah segalanya. Namun sekarang, setelah sekian lama berada di dalam "penjara emas" ini, ia mulai bertanya-tanya: apakah kebebasan benar-benar sesuatu yang absolut?Ia masih menginginkannya. Tapi untuk saat ini, ia memilih untuk berhenti melawan.Sementara tangannya masih sibuk dengan tanaman, sebuah suara lembut namun tegas menyapanya dari belakang."Kau mulai terbiasa tinggal di sini, bukan?"Emma menoleh dan mendapati Marta berdiri tidak jauh darinya, membawa sekeranjang kain yang tampaknya baru saja diangkat dari jemuran.Emma tersenyum kecil,
Malam telah larut ketika Emma duduk di tepi jendela kamarnya, memandangi langit gelap yang bertabur bintang. Udara dingin menyusup melalui celah jendela yang sedikit terbuka, tetapi ia tidak berniat menutupnya. Ada sesuatu tentang angin malam yang membuatnya merasa sedikit lebih bebas, meskipun hanya sebatas ilusi.Percakapannya dengan Lucas beberapa jam lalu masih terngiang di kepalanya."Aku tidak ingin sesuatu terjadi padamu."Nada suara pria itu terdengar terlalu serius, terlalu berat untuk diabaikan. Emma ingin percaya bahwa Lucas hanya mengada-ada, bahwa semua ini hanyalah bagian dari caranya mengendalikan dirinya. Namun, ada sesuatu dalam ekspresi Lucas—sesuatu yang membuat Emma merasa bahwa ancaman itu nyata.Namun, apa pun itu, ia menolak untuk merasa takut.Dengan pelan, Emma bangkit dari duduknya dan merapatkan sweater yang ia kenakan. Rumah ini terlalu besar, terlalu sunyi di malam hari. Ia tidak terbiasa dengan kesunyian seperti ini.Kakinya membawanya keluar dari kamar,
Langkah Emma terhenti di depan pintu kamarnya. Ia seharusnya masuk, menarik selimut, dan mencoba tidur. Tapi pikirannya tak bisa tenang. Ada sesuatu yang selama ini mengusik, pertanyaan yang selalu ia tunda untuk ditanyakan.Ia menarik napas dalam-dalam, menoleh ke belakang. Ruang keluarga masih diterangi cahaya lampu temaram. Di dalam sana, Lucas masih duduk dengan sikap yang sama—tenang, tak terbaca.Emma menggigit bibirnya. Mungkin ini satu-satunya kesempatan.Dengan langkah mantap, ia kembali ke ruangan itu. Lucas mendongak ketika mendengar langkahnya.“Kau kembali.”Emma tidak langsung menjawab. Ia berdiri beberapa langkah di depan Lucas, meremas ujung sweaternya.“Ada yang ingin kutanyakan.”Lucas mengangkat alis, menunggu.Emma menelan ludah, lalu berkata, “Kenapa kau membeliku malam itu? Di pelelangan gelap.”Raut wajah Lucas berubah. Tidak terkejut, tapi juga tidak sepenuhnya tenang. Ia menatap
Malam itu, segalanya tampak biasa. Lampu-lampu di lorong redup, hanya menyisakan sinar remang yang menciptakan bayangan panjang di dinding. Di luar jendela, angin bertiup pelan, menggesekkan ranting-ranting pohon ke kaca, menghasilkan suara samar yang biasanya tak lebih dari latar malam yang sunyi.Emma berbaring di ranjang, mencoba memejamkan mata, tapi pikirannya tak kunjung tenang. Ada kegelisahan aneh yang menempel di benaknya, meski ia tak tahu pasti apa penyebabnya. Ia membalikkan badan, menarik selimut lebih tinggi, berharap kantuk segera datang.Namun, sebuah suara keras memecah keheningan.Brak!Seperti benda berat jatuh atau pintu yang dibanting keras. Emma terlonjak duduk di tempat tidur, jantungnya berdetak cepat. Ia menahan napas, mendengarkan lebih saksama.Beberapa detik kemudian, terdengar langkah kaki tergesa-gesa di lorong. Langkah itu cepat, berat, dan… terburu-buru. Seolah-olah seseorang sedang berusaha melarikan diri atau mengejar sesuatu. Suara sepatu menghentak
Lorong itu sunyi. Suara langkah kaki Emma nyaris tak terdengar saat ia berjalan perlahan, mengikuti jejak Lucas yang telah lebih dulu menghilang di balik tikungan. Jantungnya berdegup pelan namun berat, seolah mencoba menyesuaikan diri dengan kegelisahan yang memenuhi pikirannya. Cahaya temaram dari lampu dinding menciptakan bayangan panjang yang bergerak bersamanya, menambah kesan mencekam di setiap sudut rumah besar ini.Lucas berusaha bersikap seolah segalanya terkendali, seolah noda darah di bajunya hanyalah insiden kecil yang bisa diabaikan. Tapi Emma tahu lebih dari itu. Cara pria itu berjalan—sedikit tertahan, seolah menahan sesuatu—tidak bisa membohonginya. Ada sesuatu yang disembunyikan. Dan Emma tidak bisa hanya diam, berpura-pura buta terhadap kenyataan yang jelas-jelas ada di depan matanya.Ia berhenti sejenak di depan pintu kamar Lucas yang sedikit terbuka. Dari celah sempit itu, terdengar suara samar: desahan pelan, seperti seseorang yang berusaha menahan rasa sakit. Emm
Ruangan itu diselimuti keheningan, hanya ditemani suara detak jarum jam di dinding yang terasa lebih keras dari biasanya. Lampu kecil di sudut kamar Lucas memancarkan cahaya redup, cukup untuk menyingkirkan bayang-bayang pekat, tapi tetap menyisakan nuansa temaram yang membuat suasana terasa intim dan sedikit canggung. Lucas berbaring di ranjang, matanya menatap langit-langit, mencoba mengabaikan denyut nyeri yang datang bergelombang dari perutnya. Luka itu masih segar, meski Emma sudah membersihkannya dengan hati-hati, mengoleskan salep, dan membalutnya dengan perban bersih. Ia harus mengakui, sentuhan lembut gadis itu lebih menenangkan daripada obat apa pun yang pernah ia kenal. Namun, yang membuatnya lebih bingung adalah perasaan aneh yang kini mengendap di dadanya—sesuatu yang lebih dari sekadar nyeri fisik. Desiran itu… bukan hanya karena luka. Ada sesuatu yang lain. Lucas mengalihkan pandangannya ke arah Emma, yang dengan santai duduk di sofa kecil di sudut ruangan, hanya beb
Malam terus merambat, membawa keheningan yang terasa lebih pekat daripada biasanya. Hanya suara angin yang berdesir lembut di luar jendela, sesekali membuat tirai tipis di kamar itu bergerak pelan. Lampu kecil di sudut ruangan sudah lama padam, menyisakan kegelapan yang samar-samar diterangi cahaya bulan yang merembes melalui celah-celah tirai.Emma terbaring di sofa sempit, selimut tipis menutupi tubuhnya. Namun, matanya tetap terbuka, menatap langit-langit yang nyaris tak terlihat dalam gelap. Rasa kantuk memang menghampiri, tapi kewaspadaannya jauh lebih kuat. Telinganya tetap tajam, mendengarkan setiap suara kecil yang mungkin menandakan perubahan kondisi Lucas.Ini adalah pertama kalinya sejak kepergian neneknya, ia berjaga di samping seseorang yang sedang sakit. Kenangan itu datang tanpa bisa ia cegah, mengendap pelan di sudut pikirannya. Dulu, sebelum neneknya meninggal, wanita tua itu sempat terbaring lemah selama beberapa bulan. Penyakit tua yang merenggut
Emma menatap langit malam yang terbentang luas di atasnya. Kilauan bintang-bintang tampak berkelip di antara gelapnya malam, menciptakan pemandangan yang menenangkan. Angin berembus lembut, membelai kulitnya dengan kesejukan yang menenangkan. Ia berdiri di samping Lucas, di sebuah bukit kecil yang menawarkan pemandangan kota dari kejauhan. Tempat ini begitu sunyi, seolah terpisah dari dunia yang penuh hiruk-pikuk di bawah sana. Emma mengerti bahwa Lucas tidak membawa dirinya ke sini tanpa alasan. "Tempat ini..." Emma membuka suara, memecah keheningan di antara mereka. "Kenapa kau membawaku ke sini?" Lucas mengalihkan pandangannya dari hamparan kota dan menatap Emma. "Ini tempat yang sering kudatangi saat aku butuh berpikir," jawabnya pelan. "Di sini, aku bisa merasa bebas. Tidak ada gangguan, tidak ada tekanan, hanya aku dan pikiranku sendiri." Emma mengangguk mengerti. Ia bisa merasakan ketenangan yang sama. Dalam sebulan terakhir, hidup mereka penuh dengan kekacauan. Konflik
Matahari baru saja terbit di ufuk timur, menyapu kediaman Lucas dengan cahaya keemasan yang lembut. Setelah malam yang panjang dan penuh ketegangan, pagi ini terasa lebih tenang. Tidak ada lagi ancaman yang membayangi, tidak ada lagi pertarungan yang harus dihadapi. Untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, Lucas bisa menarik napas lega.Ia berdiri di balkon kamarnya, menatap hamparan taman di bawah sana. Udara pagi yang sejuk menyentuh wajahnya, membawa aroma embun yang menyegarkan. Namun, pikirannya masih terpusat pada satu hal—Emma.Wanita itu telah melalui begitu banyak hal. Ia terluka karena menjadi bagian dari dunianya, dunia yang penuh dengan bahaya dan intrik. Tetapi, meskipun demikian, Emma tidak pernah menunjukkan penyesalan. Ia tetap berada di sisinya, menghadapi semuanya dengan keteguhan hati yang luar biasa.Lucas tahu, ada satu hal yang harus ia lakukan sekarang.Tanpa ragu, ia melangkah keluar dari kamarnya dan menuju ke kamar te
Malam di kediaman Lucas begitu sunyi. Udara dingin menyusup melalui jendela besar di ruang kerjanya, tetapi pria itu tetap duduk tegak di balik meja kayu besar, menatap laporan-laporan yang tersusun rapi di hadapannya. Setelah semua konflik yang ia hadapi, organisasi mulai kembali stabil. Ia telah menyingkirkan Morelli dan Vasquez, membuktikan bahwa ia bukan pemimpin yang bisa diremehkan. Namun, Lucas tahu bahwa masih ada satu orang lagi yang harus ia hadapi—ayahnya.Seakan menjawab pikirannya, ketukan keras terdengar di pintu ruang kerjanya. Lucas tidak terkejut. Ia sudah menduga bahwa cepat atau lambat pria itu akan datang menemuinya."Masuk," katanya, suaranya tetap dingin dan terkendali.Pintu terbuka perlahan, memperlihatkan sosok Antonio Aldrin. Meski usianya sudah semakin tua, auranya masih menekan, menandakan bahwa ia adalah seseorang yang telah lama terbiasa dengan kekuasaan. Namun, malam ini, ada sesuatu yang berbeda pada dirinya. Sorot matanya t
Malam sudah larut, tetapi Lucas masih duduk di ruang kerjanya, menatap peta besar yang terhampar di mejanya. Titik-titik merah menandai lokasi para sisa anak buah Morelli dan Vasquez yang masih berkeliaran. Beberapa di antara mereka sudah melarikan diri ke luar negeri, tetapi sebagian kecil masih bertahan, berusaha mencari perlindungan.Lucas menghela napas panjang. Satu langkah lagi, dan ini semua akan selesai.Pintu ruang kerja terbuka tanpa ketukan. Stefan masuk dengan ekspresi tegas. "Semuanya sudah siap. Anak buah kita sudah berada di posisi masing-masing."Lucas mengangguk, lalu berdiri. "Bagus. Pastikan tidak ada celah bagi mereka untuk melarikan diri.""Kita juga sudah mengamankan jalur komunikasi mereka. Jika mereka mencoba meminta bantuan, pesan itu tidak akan pernah sampai," tambah Stefan.Lucas menyeringai kecil. "Kali ini, aku ingin memastikan mereka tidak punya tempat untuk kembali."Stefan menatapnya sejenak sebelu
Pagi menjelang dengan tenang di kediaman Lucas. Sinar matahari keemasan menyelinap melalui celah-celah jendela besar, menerangi ruangan dengan kehangatan yang lembut. Suara burung di kejauhan terdengar samar, berpadu dengan desiran angin yang berembus perlahan.Emma membuka matanya perlahan. Rasanya tubuhnya lebih ringan, meski masih ada sedikit nyeri di lengannya yang belum sepenuhnya pulih. Saat ia menggerakkan kepalanya, matanya langsung menemukan sosok Lucas yang masih duduk di sampingnya, menatapnya dengan ekspresi lembut."Kau tidak tidur?" suara Emma serak karena baru bangun.Lucas menggeleng pelan. "Aku hanya ingin memastikan kau baik-baik saja."Emma tersenyum kecil. Ia tahu Lucas masih merasa cemas, tetapi ia juga tahu pria itu tidak akan mengatakannya secara langsung. Jadi, ia hanya meraih tangan Lucas dan menggenggamnya erat. "Aku sudah lebih baik. Kau tidak perlu terus mengkhawatirkanku."Lucas menghela napas, lalu akhirnya i
Malam telah larut ketika Lucas duduk di ruang kerjanya, menatap peta besar yang terbentang di atas meja. Wilayah kekuasaan yang sebelumnya dikuasai Morelli dan Vasquez kini sepenuhnya berada di bawah kendalinya. Namun, meskipun kedua orang itu telah ditangkap dan dihabisi, Lucas tahu bahwa masalah tidak berhenti di situ. Stefan berdiri di sampingnya, melaporkan perkembangan terbaru. "Beberapa anggota bawahan Morelli dan Vasquez masih bertahan. Mereka kehilangan pemimpin, tetapi tidak kehilangan ambisi." Lucas menghela napas. "Aku sudah menduga ini. Mereka tidak akan menyerah begitu saja." "Tepat," Stefan mengangguk. "Ada laporan bahwa sebagian dari mereka mencoba membentuk kelompok baru. Mereka masih belum cukup kuat untuk menantang kita secara langsung, tetapi jika dibiarkan, mereka bisa menjadi ancaman dalam beberapa bulan ke depan." Lucas menatap peta di hadapannya. "Siapa pemimpin mereka sekarang?" Stefan
Ruangan itu gelap dan dingin, hanya diterangi oleh satu lampu gantung yang menggantung rendah di langit-langit, memberikan cahaya redup yang membuat bayangan panjang di dinding. Bau debu bercampur darah masih terasa di udara, dan suara napas berat memenuhi keheningan.Di tengah ruangan, dua pria yang terikat pada kursi dengan tangan ke belakang tampak gemetar. Morelli dan Vasquez, dua pemimpin organisasi yang berani mengkhianati Lucas, kini tidak lebih dari bayangan diri mereka yang dulu.Lucas berdiri di depan mereka, mengenakan kemeja hitam dengan lengan yang digulung hingga siku. Matanya dingin, penuh ketegasan. Ia tidak langsung berbicara, membiarkan ketegangan menggantung di udara, membiarkan ketakutan menyusup ke dalam tulang kedua pria itu.Stefan berdiri di sudut ruangan, mengamati dengan ekspresi santai, tetapi matanya penuh kewaspadaan. Beberapa anak buah Lucas berjaga di sekitar, memastikan tidak ada celah bagi Morelli dan Vasquez untuk melarikan diri.Akhirnya, Lucas menar
Suasana di dalam kastil terasa tegang. Para penjaga masih berjaga di berbagai sudut, memastikan tidak ada lagi penyusup yang berkeliaran. Stefan telah memerintahkan pembersihan menyeluruh, tetapi atmosfer tetap dipenuhi ketegangan.Di dalam salah satu kamar di sayap barat, Emma terbaring di tempat tidur dengan perban yang melingkari bahunya. Dokter pribadi keluarga Aldrin baru saja selesai membersihkan dan menutup lukanya.Meskipun bukan luka yang fatal, rasa nyeri masih terasa setiap kali Emma bergerak. Namun, yang lebih mengganggunya bukanlah rasa sakit itu sendiri—melainkan ekspresi Lucas.Ia berdiri di sudut ruangan, diam, dengan ekspresi yang gelap dan penuh kemarahan yang tertahan.“Lucas…” Emma memanggil pelan.Lucas tidak segera menjawab. Ia hanya menatapnya dalam-dalam, seolah mencoba memastikan bahwa Emma benar-benar masih di sana, masih bernapas, masih hidup.Butuh beberapa saat sebelum ia akhirnya mendekat. Ia duduk d
Dunia seakan melambat saat suara tembakan bergema di luar kastil. Emma menatap keluar jendela dengan mata membelalak, napasnya tertahan melihat beberapa pria bersenjata yang mulai menyerbu area luar.Pelayan yang tadi bersamanya langsung menarik tangannya. “Nona, kita harus pergi! Ini berbahaya!”Emma tersentak dari keterkejutannya dan mengangguk cepat. Mereka berdua bergegas melewati koridor kastil yang panjang, tetapi baru beberapa langkah, suara ledakan kecil terdengar dari luar, mengguncang dinding-dinding kastil.Panik mulai menjalari tubuh Emma. “Lucas! Aku harus menemui Lucas!”“Tuan Lucas pasti sudah bergerak!” Pelayan itu mencoba menenangkannya, tetapi suara alarm yang mulai meraung di seluruh kastil membuat situasi semakin mencekam.Para penjaga segera bergerak, mengambil posisi untuk mempertahankan kastil dari serangan mendadak ini. Emma bisa melihat beberapa orang berlari menuju titik pertahanan, dan di tengah kekacauan itu, ia merasakan ketakutan yang luar biasa.Namun, s