Pukul sembilan pagi, Tommy dan Celly sudah bersiap hendak berangkat ke bandara. Karena pukul sepuluh, mereka harus berada di bandara. Satu jam berikutnya mereka langsung terbang dengan menggunakan pesawat komersial langsung menuju ke Bali.
"Sebentar, Mas! Aku mau menemui Inayah dulu," kata Celly lirih.
"Iya, tapi jangan lama-lama takut telat!" jawab Tommy.
"Iya, Mas tunggu saja di luar! Ada yang mau aku bicarakan dengan Inayah."
Tommy pun langsung melangkah keluar rumah, sementara Celly langsung menemui Inayah di kamarnya.
Setibanya di depan kamar putrinya, Celly langsung mengetuk pintu kamar tersebut.
Tok! Tok! Tok!
"Nay!" panggil Celly kepada putri semata wayangnya
"Iya, Bun." Inayah bangkit dan langsung membuka pintu kamarnya. "Ada apa, Bun?" tanya Inayah.
"Kok, tanya ada apa? Bunda sama ayahmu, hari inikan mau berangkat ke Bali."
"Iya, dari kemarin juga Nay tahu, Bunda."
"Bunda hanya mau pesan sama kamu, selama Bunda dan ayahmu berada di Bali, kamu jangan nakal!"
"Iya," jawab Inayah bersikap biasa-biasa saja.
Celly hanya tersenyum, kemudian memeluk erat tubuh putrinya itu, hal yang sangat aneh menurut Inayah. Karena tidak seperti biasannya Celly bersikap seperti itu. Inayah tidak bereaksi apa-apa, ketika ibunya memeluk dan menciumnya. Ia hanya diam dan tidak menanggapi sikap ibunya itu.
Tak ada firasat sedikit pun yang Inayah rasakan saat itu, karena menurutnya kepergian kedua orang tuanya merupakan kesempatan emas baginya. Ia bisa bebas melakukan apa saja dengan teman-temannya tanpa harus dilarang-larang oleh ibu dan ayahnya.
Setelah itu, Celly pun pamit kepada Inayah dan langsung berlalu dari kamar putri semata wayangnya itu.
"Yes! Akhirnya ayah dan ibuku berangkat juga, semoga mereka lama di Bali," desis Inayah dengan raut wajah semringah.
Inayah sangat bahagia dengan kepergian kedua orang tuanya ke pulau Dewata. Seakan-akan, ia merasa bebas jika kedua orang tuanya tidak ada di rumah dalam waktu lama.
Erni yang kebetulan sedang berada di dekat kamar Inayah. Hanya tersenyum-senyum saja mendengar ucapan gadis itu.
'Ya, Allah! Hamba mohon ... berikanlah hidayah kepada Inayah, agar sikap dan kelakuannya berubah, tidak melawan lagi kepada kedua orang tuanya,' kata Erni dalam hati.
Setelah itu, Erni langsung memanggil Inayah, "Nay!"
"Iya, ada apa, Teh? Mau ceramah lagi, yah?" Inayah menjawab sedikit menyindir sang asisten rumah tangganya.
Karena selama ini Erni selalu memberikan nasihat kepada dirinya. Padahal, Inayah itu keras kepala, susah dinasihati. Ia tak pernah nurut dengan nasihat-nasihat yang diberikan Erni.
Meskipun demikian, Erni tetap sabar dan tawakal dalam menghadapi sikap gadis tersebut. Erni tidak pernah putus asa dalam menghadapi sikap keras kepala Inayah.
"Bukan, Nay! Teteh hanya ingin mengajak kamu makan," jawab Erni tetap bersikap sabar dan tersenyum lebar memandang wajah Inayah yang ketus.
"Iya, sebentar!"
"Ya, sudah. Teteh tunggu di ruang makan, yah."
"Iya, Teh. Nanti aku turun."
Setelah itu, Erni langsung turun ke lantai bawah. Sementara Inayah masih saja duduk-duduk santai di atas tempat tidurnya.
"Nay!" teriak Erni dari bawah.
"Iya, tunggu sebentar!" sahut Inayah bangkit dan langsung turun ke bawah.
Kemudian, Inayah melangkah menghampiri Erni yang sudah berada di ruang makan.
"Masak apa, Teh?" tanya Inayah.
"Ikan mas kesukaan kamu," jawab Erni lembut.
"Nah, ini ... baru aku suka. Jangan seperti kemarin, masak ikan gurame," desis Inayah.
"Iya, kemarin itu Teteh lupa."
"Lupa terus, itu tandanya Teteh mau cepat-cepat nikah."
"Ah, kamu. Nikah sama siapa?" Erni mendelik ke arah Inayah.
"Ya, sama siapa saja yang Teteh suka."
Mendengar perkataan Inayah, Erni hanya tersenyum sembari geleng-geleng kepala.
Inayah langsung duduk berhadap-hadapan dengan Erni, dan langsung menikmati makan bersama.
Meskipun nakal dan keras kepala, Inayah tetap menganggap Erni sebagai kakaknya sendiri, karena semenjak dulu, hanya Erni yang banyak memberikan kasih sayang untuknya. Sementara kedua orang tuanya, hanya sibuk mengurus pekerjaan mereka.
***
Pukul tiga sore, telepon rumah berdering. Inayah tidak mau mengangkatnya, dia malas untuk keluar kamar. Sehingga suara dering telepon rumahnya itu dibiarkan begitu saja, dan terus berbunyi berulang-ulang, membuat gaduh telinga. Kemudian mati dengan sendirinya.
"Siapa, sih? Berisik banget!" gerutu Inayah merasa terganggu dengan suara dering telepon rumahnya.
Selang beberapa menit kemudian, suara dering telepon kembali terdengar. Inayah tidak beranjak dari tempat tidurnya dan tak mau mengangkat telepon tersebut. Ia hanya berteriak-teriak memanggil Erni.
''Teh Erni! Angkat teleponnya! Berisik!" teriak Inayah dari dalam kamar.
Setelah mendengar teriakan keras dari Inayah, Erni yang baru saja selesai melaksanakan Salat Asar bergegas keluar dari kamarnya dan langsung melangkah menuju ke ruang tengah. Erni pun langsung mengangkat telepon itu.
"Berisik banget, aku jadi tidak bisa tidur," gerutu Inayah bangkit dan langsung keluar dari dalam kamar.
Dengan raut wajah kusut, ia melangkah menuruni anak tangga menuju ke ruang tengah.
Setibanya di ruang tengah, Inayah langsung duduk di sofa mewah dengan kedua kaki terangkat. Sikapnya benar-benar tidak terpuji, dia meletakkan kedua kakinya di atas meja menjulur ke depan.
''Siapa sih, Teh?" tanya Inayah tampak kesal. "Berisik banget, sore-sore ganggu orang," sambung gadis itu ketus.
Erni menarik napas dalam-dalam, lalu menjawab dengan lembut pertanyaan Inayah, "Dari bandara, Nay."
"Bandara!" Inayah menatap wajah Erni dengan kedua alis naik dan saling bertautan.
"Mau ngapain orang bandara telepon, Teh? Tidak ada kerjaan." Inayah melanjutkan perkataannya.
"Petugas bandara memberitahukan kabar tentang bapak dan ibu," jawab Erni pelan. Suara Erni terdengar sedikit bergetar.
Tubuhnya pun gemetaran, seketika wajahnya berubah pucat. Entah apa yang tengah dipikirkan Erni saat itu?
Inayah tidak peka terhadap sikap sang asisten rumah tangganya itu. Ia tidak mengetahui jika Erni pada saat itu sedang dalam kondisi shock ketika menerima telepon dari petugas bandara.
''Iya, ayah dan bunda memangnya kenapa, Teh?'' tanya Inayah tampak biasa-biasa saja sembari bersandar ke sofa.
Kecantikan wajahnya tidak senada dengan sikap dan perilakunya, ia bersikap seakan-akan tidak peduli dengan kedua orang tuanya. Inayah benar-benar tidak peka melihat sikap Erni yang berubah setelah menerima telepon dari petugas bandara.
''Pesawat yang bapak dan ibu tumpangi mengalami kecelakaan, Nay," jawab Erni suaranya datar hampir tidak terdengar.
Inayah tampak tercengang dan merasa kaget setelah mendengar jawaban Erni. "Sungguh? Teteh tidak sedang bercanda, 'kan?" tanya Inayah menatap tajam wajah Erni yang sudah terlihat memucat.
"Iya, Nay," jawab Erni, suaranya bergetar dan terdengar berat.
Seketika itu, jiwa dan perasaan gadis manja dan keras kepala itu guncang. Pandangannya mulai redup terhalang bulir bening yang perlahan menutupi bola matanya dan mengalir membasahi pipi.
"Tapi, ayah dan bunda baik-baik saja, 'kan, Teh?"
Erni merasa berat untuk mengatakan hal yang sebenarnya yang sudah diberitahukan oleh petugas bandara kepadanya, tentang kecelakaan yang menimpa kedua orang tua Inayah. Meskipun demikian, Erni harus mengatakan semuanya kepada Inayah. Perlahan, Erni menarik napas dalam-dalam. Kemudian berkata lirih, "Kata petugas bandara, kecil kemungkinan mereka yang ada di pesawat yang mengalami kecelakaan itu akan selamat. Termasuk bapak dan ibu." Setelah menyampaikan apa yang diberitahukan oleh petugas bandara, Erni menundukkan kepalanya. Ia tampak bersedih dan merasa terpukul dengan kabar dari petugas bandara yang berbicara langsung dengannya via telepon. Hal tersebut, dirasakan pula oleh Inayah. Sontak, gelas dalam genggaman tangannya ia lempar hampir mengenai sisi kiri sebuah televisi yang ada di ruangan tersebut. Inayah menangis sekeras-kerasnya, dan berlari ke arah Erni. ''Tidak ...! Teh Erni pasti bohong, 'kan?'' tanya Inayah berteriak keras. Inayah sedikit mendorong tubuh Erni sembari ter
Setelah itu, Erni langsung melangkah ke arah dapur segera menyiapkan air minum untuk kedua tamu itu. Usai membuatkan air minum, Erni kembali melangkahkan kedua kakinya menuju ke ruang tengah dan menyajikan minuman tersebut kepada kedua tamu tersebut. Selang beberapa menit kemudian, Inayah sudah datang menghampiri dan langsung menyapa serta berjabat tangan dengan tamu-tamu itu. "Maaf, Bapak-Bapak ini siapa, yah?" tanya Inayah lirih dengan sikap ramahnya. "Kami, orang kepercayaan Almarhum Pak Tommy, Mbak," jawab salah satu dari pria yang berpenampilan rapi itu. ''Kami, sebagai pengacara Almarhum Pak Tommy, akan menyampaikan surat wasiat ini sesuai dengan pesan almarhum semasa hidupnya. Semua ini akan kami serahkan langsung kepada Mbak Inayah selaku ahli waris tunggal putri dari Almarhum Pak Tommy,'' sambungnya menjelaskan. Inayah langsung menerima surat wasiat tersebut, dan langsung diminta untuk menandatangani sehelai kertas putih lengkap dengan materai, sebagai bukti surat wasiat t
Kemudian, Inayah bangkit dan mengajak Erni untuk segera menemui tamu tersebut, "Ayo, Teh. Kita ke sana sekarang!" Erni pun tidak banyak berkata-kata lagi, ia langsung bangkit dan melangkah mengikuti Inayah yang sudah berjalan menuju ke ruang tengah. Setibanya di ruang tengah, Inayah langsung menyapa tamunya dengan penuh keramahan. ''Assalamu'alaikum! Sudah lama menunggu ya, Teh?" sapa Inayah lirih sambil mengulurkan tangan seraya mengajak bersalaman dengan tamu tersebut. ''Wa'alaikum salam. Baru beberapa menit saja, Non," jawab wanita berkerudung biru itu lirih. ''Jangan panggil aku non! Panggil saja neng atau Nay!'' pinta Inayah, kemudian duduk di hadapan tamunya. ''Iya, Neng," jawabnya mengangguk perlahan. ''Mohon maaf sebelumnya, nama Teteh, siapa?'' tanya Inayah mengarahkan pandangannya ke wajah tamunya itu. ''Saya Fatimah, Neng," jawabnya tampak lirih. ''Oh, kalau aku Inayah, biasa dipanggil Nay," kata Inayah balas memperkenalkan diri. "Teh Erni sudah menjelaskan masalah
Inayah sudah memutuskan, untuk tidak mengulangi kenakalan-kenakalan yang pernah ia perbuat di masa lalu, sewaktu kedua orang tuanya masih hidup. Inayah ingin mengangkat derajat kedua orang tuanya di akhirat. Seperti yang ia tahu, kedua orang tuanya sangat jauh dari agama. Bahkan melupakan kewajiban mereka sebagai Muslim. Mereka terlalu menyibukan diri kepada keduniawian yang terus mereka kejar. Meskipun demikian, mereka tetaplah orang tua Inayah, ia harus mempersembahkan yang terbaik untuk almarhum ayah dan bundanya, agar mereka tidak terlalu menderita di alam akhirat. Masih banyak di sekitar kita, ditemui orang-orang yang jauh dari Allah, hidup mereka dipenuhi dengan hal-hal tidak bermanfaat bahkan membuat hati semakin keras dan tidak bercahaya. Seperti yang ditemui di jalan raya menuju kampus. Inayah melihat sekelompok bapak-bapak sedang asik bermain judi. Seakan-akan mereka tidak ingat dengan umur mereka, dan melupakan apa yang dilarang oleh Tuhan. Seharusnya di usia mendekati
Sementara Fatimah saat itu tengah duduk santai menonton acara televisi, ia hanya menyimak perbincangan Inayah dengan Erni. Inayah tidak pernah memperlakukan mereka sebagai bawahan, menurutnya mereka adalah saudara dan bagian dari keluarga. Kehadiran mereka sebagai penawar dari kesedihan yang ia rasakan semenjak meninggalnya Tommy dan Celly. Mereka memberikan warna baru dalam kehidupan Inayah, menjadi penyemangat hidup dan teman baik di kediaman megah tersebut. Malam semakin larut, rasa ngantuk pun sudah menyelimut. "Teh Fatimah!" panggil Inayah lirih. "Iya, Neng," jawab Fatimah menghampiri. "Tolong beritahu Pak Andri, mobilnya masukan saja ke dalam garasi semua ya, Teh!" "Iya, Neng," jawab Fatimah. "Aku mau istirahat dulu," pungkas Inayah. Ia langsung melangkah bergegas masuk ke dalam kamar. Sebelum beranjak keperaduan, Inayah melaksanakan Salat Isya terlebih dahulu, di akhir Salat ia selipkan doa-doa yang terbaik, berharap ayah dan bundanya tenang di Surga. "Limpahkanlah doa
Beberapa saat kemudian, terdengar suara teriakan dari arah belakang tempatnya berdiri, “Nay...! Nay...!” teriaknya kencang, tepat dari arah halaman parkir yang ada di depan restoran tersebut. Inayah langsung menoleh ke arah sumber suara tersebut. Tampak seorang pemuda tengah berlari kecil menuju ke arahnya, pemuda tersebut adalah Rangga teman Inayah waktu duduk di bangku SMA. "Rangga!" desis Inayah sedikit kaget dan tidak menyangka bisa bertemu di tempat itu. “Iya, Nay. Apa kabar?” Rangga tersenyum lebar menatap wajah Inayah sambil mengulurkan tangannya. “Masya Allah! Rangga ... alhamdulillah baik, Ga,” Inayah meraih uluran tangan pemuda berwajah tampan itu. “Mau ke mana, Nay?” tanya Rangga terus mengamati penampilan Inayah. “Mau pulang ... aku sedang menunggu kakakku," jawab Inayah lirih. "Kenapa, Ga. Ada yang aneh pada penampilanku?” sambung Inayah balas bertanya, karena heran melihat sikap Rangga yang terus mengamati penampilannya. “Delapan puluh derajat, Nay!" Rangga geleng-
Seperti biasa setelah selesai mengaji, Inayah dan Erni hanya duduk-duduk santai di ruang tengah. Tidak lama kemudian, datang Fatimah dengan membawa tiga gelas teh hangat dan makanan ringan.Mereka bertiga menikmati malam dengan berkumpul di rumah saja, tidak ada pekerjaan yang lain untuk malam itu. Karena saat ini, Inayah sudah tidak mau lagi keluar rumah terkecuali menyangkut masalah pekerjaan atau bisnis yang sedang ia jalani bersama Erni.Di antara mereka bertiga tidak ada batasan-batasan tertentu, tidak ada istilah bawahan atau atasan. Erni dan Fatimah sudah Inayah anggap sebagai kakaknya sendiri, mereka banyak membantu dalam hal pekerjaan dan bimbingan akhlak yang baik untuknya.Di saat mereka sedang berbincang, terdengar suara ponsel berdering tanda panggilan masuk.“Ada panggilan telepon masuk, Nay!” ucap Erni memberi tahukan Inayah.“Angkat saja, Teh!” jawab Inayah meminta Erni untuk menerima panggilan telepon tersebut.Erni hanya mengangguk dan segera menerima panggilan masuk
Inayah hanya diam menyimak apa yang diutarakan oleh Rangga. Kemudian Rangga mengeluarkan sesuatu dari dalam tasnya, benda kecil berupa tasbih kayu berwarna hitam mengkilat. “Ini buat kamu, Nay!” kata Rangga menyerahkan tasbih itu kepada Inayah. “Masya Allah! Terima kasih, Ga,” jawab Inayah meraih tasbih dari tangan Rangga. Inayah tampak terharu dengan hadiah yang diberikan oleh Rangga. Jarang sekali, seorang anak di zaman sekarang yang memberikan hadiah yang berkaitan dengan ibadah. “Aku ingin berubah seperti kamu, Nay. Tolong bantu bimbing aku!” ucap Rangga lirih. "Subhanallah!" bisik Inayah dalam hati. Ia menghela napas dalam-dalam, sejatinya Inayah merasa kaget dan terharu dengan kalimat yang diucapkan Rangga saat itu. Tentu sangat bertolak belakang dengan sikap Rangga yang selama ini dikenal sebagai seorang pemuda iseng, gemar hura-hura, dan selalu jahat kepada teman. Oleh sebab itu, Inayah masih ragu dengan kalimat-kalimat yang telah diucapkan oleh Rangga. Namun, Inayah te
Usai memberitahukan Rafie, Fahmi dan kedua rekannya segera bersiap untuk mendatangi rumah yang dicurigai menjadi tempat disekapnya Lina. Mereka sangat yakin kalau Lina ada di rumah itu, sesuai dengan apa yang dilihat oleh Fahmi. "Aku sangat berharap tidak terjadi apa-apa dengan Lina," kata Fahmi lirih sembari mengemudikan mobilnya menuju ke sebuah komplek yang tidak jauh dari tempat mereka berkumpul tadi. "Aku yakin, pelakunya adalah Alex." Andra mulai menaruh kecurigaan terhadap Alex yang merupakan orang dekat Lina. Karena akhir-akhir ini, Alex sedang bermasalah dengan Lina, semua dipicu oleh sikap Lina yang sudah menolak pinangan Alex. "Jangan su'udzon dulu. Kita buktikan saja nanti!" sahut Riko. Andra menoleh ke arah Riko, kemudian berkata lagi, "Aku berkata seperti ini, karena aku mendengar sendiri bahwa Alex mengancam Lina," tandas Fahmi. Setibanya di persimpangan jalan yang dekat jembatan yang tembus ke pintu gerbang komplek yang dituju, Fahmi menghentikan laju mobilnya sej
Secara tidak langsung Inayah mempunyai tugas dan kepercayaan dari almarhum kedua orang tuanya untuk mengelola beberapa perusahaan peninggalan mereka. Mulai dari pengelolaan keuangan dan pemanfaatannya, Inayah yang harus mengurusnya. Karena Inayah merupakan putri semata wayang dari Almarhum Tommy dan Celly. Akan tetapi, setelah Erni paham dan mengerti dengan tatanan bisnis yang dikelola Inayah. Inayah pun langsung mempercayai Erni sepenuhnya dalam mengelola perusahaan peninggalan dari kedua orang tuanya itu. Saat itu, yang mengurus semuanya adalah Erni dengan dibantu beberapa staf kepercayaannya dan Inayah sudah jarang ikut campur, dan ia sangat percaya dengan kinerja Erni, karena selama ini Erni sudah dinilai baik dalam menjalankan tugas jujur dan amanah. Pukul setengah lima sore, Inayah hanya duduk santai bersama Fatimah dan Jubaedah di ruang tengah kediamannya itu. Rafie sore itu masih belum pulang, karena masih berada di lokasi pondok pesantren yang saat itu masih dalam tahap pe
Sebulan setelah itu, Rafie dan keluarga Tiara sudah menentukan hari pernikahannya dengan Tiara. Hal tersebut sudah sepenuhnya disetujui oleh Inayah yang merupakan istri pertama Rafie. Pukul setengah enam sore, Rafie sudah berada di kediamannya. Ia tampak murung dan merasa kurang bahagia sore itu. Entah apa yang membalut jiwa dan pikirannya saat itu? "Aa kenapa? Mau nikah kok malah murung seperti ini sih?" tanya Inayah duduk di sebelah suaminya. Rafie menoleh ke arah Inayah, kemudian memandang wajah istrinya. "Aa tidak dosa, 'kan kalau menikah lagi?" Rafie menjawab dengan sebuah pertanyaan. Inayah tersenyum sambil memandang wajah suaminya. "Tidak ada yang bisa dikatakan dosa. Ini semua sudah menjadi keputusan aku, dan jika Aa benar-benar mencintaiku. Maka penuhi permintaan ini!" kata Inayah tersenyum. Ucapan Inayah sungguh sulit dimengerti, hal itu membuat Rafie jatuh ke kubangan dilema besar. Entah apa lagi yang hendak ia perbuat saat itu, tidak ada niat untuk menolak. Bukan berar
Beberapa hari kemudian, Inayah mengajak Rafie untuk berkunjung ke rumah Tiara. Dalam rangka menengok Tiara yang saat itu baru saja pulang dari rumah sakit, setelah hampir satu Minggu ia dirawat. Tiara masih dalam proses pemulihan setelan dilakukan perawatan di rumah sakit, ia mengalami gangguan lambung akibat keseringan telat makan dan juga mengalami depresi yang sangat hebat. "A, nanti sore kita ke rumah Tiara yuk!" ajak Inayah lirih. Rafie hanya tersenyum, kemudian menganggukkan kepala sebagai tanda menyetujui ajakan dari istrinya. Lalu Inayah bangkit dan segera bersiap untuk melaksanakan makan siang bersama dengan suaminya. "Ayo, A. Kita makan dulu!" kata Inayah lembut. "Iya, Neng." Rafie segera bangkit dan langsung berjalan mengikuti langkah sang istri menuju ruang makan. "Bedah ... Teh Fatimah!" panggil Inayah. "Iya, Neng. Ada apa?" tanya Fatimah bersikap ramah di hadapan majikannya itu. Inayah tersenyum, lalu menjawab, "Kita makan bareng di sini. Sekalian ajak bedah!" "N
Pagi hari sekitar pukul 03:30, Inayah sudah terbangun dari tidurnya. "Masya Allah!" Inayah tampak kaget setelah sadar kalau suaminya sudah tidak ada di kamar, ia bangkit dan bergegas keluar. Inayah tampak khawatir, mengingat Rafie sedang dalam kondisi tidak sehat, Inayah mencari ke ruang tengah Rafie tidak ada di ruangan tersebut. Kemudian Inayah melangkah ke arah ruang Musala, tersenyumlah ia, ketika mendapati suaminya sedang berdzikir khusyu. "Alhamdulillah ...! Ya Allah, suami hamba sudah sembuh," ucap Inayah penuh rasa syukur. Bukan hanya Inayah dan Rafie saja yang sudah bangun, Fatimah dan Jubaedah pun saat itu sudah terbangun dari tidur mereka. "Neng, mau Teteh buatkan teh manis?" tanya Fatimah mengarah kepada Inayah. "Tidak usah, Teh. Aku mau mandi dulu, tanggung sebentar lagi subuh!" tolak Inayah halus. "Oh ... iya, Neng," kata Fatimah langsung menuju ruang dapur. Inayah pun langsung melangkah menuju kamar mandi dan segera membersihkan diri, bersiap untuk melaksanakan S
Kemudian, Icha langsung merapikan hijab. Ia bangkit dan langsung pamit kepada Inayah. Setelah mengucapkan salam, Icha langsung berlalu dari hadapan Inayah. Inayah hanya berdiri menatap mobil putih yang Icha kemudikan, melaju keluar dari halaman rumahnya. Setelah itu, Inayah bergegas masuk ke dalam untuk kembali melanjutkan pekerjaannya. Membuat desain dan merapikan data-data yang sudah dilaporkan oleh Erni. *** Malam harinya selesai Salat Magrib, Inayah dan suaminya langsung makan malam bersama. “Teh Erni pulangnya kapan, Neng?” tanya Rafie menatap wajah Inayah. “Kalau sedang makan tidak boleh berbicara!” ucap Inayah sedikit bergurau. "Oh, iya. Lupa ... maaf Bu Ustadzah," jawab Rafie tersenyum-senyum. Inayah hanya menganggukan kepala kemudian melanjutkan makannya. Selesai makan Inayah mendampingi suaminya yang sedang mengerjakan tugas kantor membantu dirinya. "Neng, bisa buatkan Aa kopi!" bisik Rafie menoleh ke arah Inayah yang duduk di sebelahnya. "Iya, A." Inayah bangkit da
Inayah tersenyum dan menganggukkan kepalanya perlahan ia pun berkata dengan nada rendah. "Aku percaya A. Namun, jika ada rasa cinta dalam diri Aa terhadap Tiara sebaiknya Aa katakan saja! Percayalah ... jika niat Aa baik untuk menikahi Tiara, Inayah ikhlas kok, A!" ujar Inayah mengejutkan. Sejatinya, Inayah tidak merasa benci terhadap Tiara. Dia hanya khawatir Tiara akan berbuat nekat jika tidak berhasil bersanding dengan suaminya. Inayah sudah paham dengan sifat Tiara, ia tidak mau hijrahnya Tiara harus luntur karena merasa sakit hati tidak berhasil menikah dengan Rafie. Rafie tampak kaget dengan kalimat yang diucapkan oleh istrinya itu. Dengan segenap rasa penasaran, Rafie kemudian bertanya, "Maksud kamu apa, Neng?" Inayah hanya diam saja ketika mendengar pertanyaan suaminya. "Tidak sepantasnya kamu bicara seperti itu!" imbuh Rafie masih tetap lembut bertutur kata. Inayah tersenyum dan kembali berkata penuh dengan kebijaksanaan, "Aa tak seharusnya menjawab pertanyaanku sekaran
Pukul setengah sembilan, Rafie dan Inayah sudah berangkat ke tempat proyek pembangunan pondok pesantren. Sementara Erni, pagi itu sudah berada di kantor baru yang tidak jauh dari kediaman Inayah hanya berjarak beberapa meter saja, karena kantor tersebut berada tepat di depan halaman rumah. Dua puluh menit kemudian ... Inayah dan Rafie sudah berada di lokasi proyek. Tiara pun sudah tiba di lokasi proyek itu bersama Icha dan para donatur lainnya. Salah seorang arsitek didatangkan oleh Tiara untuk merancang bangunan pesantren tersebut, memang terkesan baik dan sangat dermawan sikap Tiara saat itu. Ia mendukung sepenuhnya proses pembangunan pondok pesantren tersebut. Meskipun, pada dasarnya ada kemauan yang tersimpan dalam pikiran Tiara dan niat kuat pula dalam benaknya. "Assalamualaikum, selamat pagi, Pak Ustadz," ucap pria paruh baya dengan mengenakan helm putih dan berkacamata hitam, menyapa lirih Rafie yang saat itu sedang duduk bersama istrinya. Rafie dan Inayah menjawab ucapan
Entah kenapa Icha menjadi benci seketika terhadap prilaku Tiara, yang berusaha memanfaatkan kedekatannya dengan Rafie dengan maksud dan tujuan untuk meraih simpati dari Rafie. Sepulang menemani Tiara dan Rafie, Icha langsung memberitahu Inayah tentang kedekatan Tiara yang menurut Icha ada sesuatunya, dan Icha sangat yakin kalau Tiara itu punya perasaan lebih terhadap Rafie bukan hanya dari sekadar persahabatan saja. "Kamu yakin, Cha?" tanya Inayah setelah mendengar laporan dari Icha. Dua bola matanya menatap tajam wajah Icha. Icha merupakan sahabat dekat Inayah sewaktu masih duduk di bangku SMA sama seperti Tiara dan juga Almarhum Rangga, dulu mereka sama-sama satu angkatan. "Masya Allah, Nay! Aku tidak mungkin bohong, aku bicarakan ini semua kepada kamu, karena aku tidak mau melihat kamu terluka," jawab Icha meyakinkan sahabatnya itu. "Terus, A Rafie sekarang ke mana?" tanya Inayah lagi. "Rafie pergi ke kantor cabang, katanya mau menemui Reno." Icha menjawab lirih pertanyaan Ina