Share

3. Inayah dan Erni

Penulis: CahyaGumilar79
last update Terakhir Diperbarui: 2021-03-23 12:44:09

Setelah itu, Erni langsung melangkah ke arah dapur segera menyiapkan air minum untuk kedua tamu itu. Usai membuatkan air minum, Erni kembali melangkahkan kedua kakinya menuju ke ruang tengah dan menyajikan minuman tersebut kepada kedua tamu tersebut.

Selang beberapa menit kemudian, Inayah sudah datang menghampiri dan langsung menyapa serta berjabat tangan dengan tamu-tamu itu.

"Maaf, Bapak-Bapak ini siapa, yah?" tanya Inayah lirih dengan sikap ramahnya.

"Kami, orang kepercayaan Almarhum Pak Tommy, Mbak," jawab salah satu dari pria yang berpenampilan rapi itu. ''Kami, sebagai pengacara Almarhum Pak Tommy, akan menyampaikan surat wasiat ini sesuai dengan pesan almarhum semasa hidupnya. Semua ini akan kami serahkan langsung kepada Mbak Inayah selaku ahli waris tunggal putri dari Almarhum Pak Tommy,'' sambungnya menjelaskan.

Inayah langsung menerima surat wasiat tersebut, dan langsung diminta untuk menandatangani sehelai kertas putih lengkap dengan materai, sebagai bukti surat wasiat tersebut sudah diterimanya sebagai ahli waris tunggal.

Setelah semuanya selesai, kedua orang kepercayaan Tommy itu langsung pamit dan berlalu dari kediaman Inayah.

Tommy mewariskan beberapa hektar sawah yang ada di daerah Jawa Barat yang saat itu sedang dikelola oleh Adim sebagai orang kepercayaan Almarhum Tommy, dalam surat wasiat tersebut jelas tertulis, selain sawah yang sangat luas ada juga beberapa ruko serta rumah kost-kost'an yang ada di Bandung, yang lokasinya tidak jauh dari tempat kediaman Inayah serta beberapa perusahaan besar milik Almarhum Tommy.

"Teh Erni!" panggil Inayah sedikit berteriak.

''Iya, Nay. Ada apa?'' jawab Erni bergegas menghampiri Inayah yang sedang duduk di sopa ruang tengah.

''Ke sini dulu, Teh!" pinta Inayah lirih. "Duduk dulu, Teh!" sambung Inayah tersenyum dengan meluruskan dua bola mata indahnya ke wajah Erni.

Kemudian, Erni duduk di samping Inayah, Erni sedikit merasa terheran-heran. "Ada apa, Nay?" tanya Erni mengerutkan kening.

''Besok Teteh cari orang yang mau menjadi asisten rumah tangga di sini! Untuk menggantikan posisi Teteh. Ada, 'kan?'' tandas Inayah tersenyum menatap wajah Erni.

''Teteh mau diberhentikan, Nay?'' jawab Erni balas bertanya, dengan nada rendah dan tampak terkejut mendengar kalimat yang diucapkan oleh gadis yang sudah ia anggap sebagai adiknya itu.

Inayah tertawa kecil dan tersenyum-senyum sembari meletakkan tangan di atas pundak Erni yang tampak cemas.

''Tidak, Teh! Justru Teteh mau naik jabatan, mau 'kan naik jabatan?'' Inayah meluruskan pandangannya ke wajah Erni.

Mendengar penjelasan Inayah, Erni sedikit bernapas lega dan kembali tersenyum.

''Nanti kalau sudah dapat orangnya, Teteh tidak boleh kerja di dapur lagi. Karena Teteh punya tugas baru!'' sambung Inayah tak hentinya menatap wajah Erni.

''Oh, Teteh kira, Nay mau memberhentikan Teteh. Nanti tugas Teteh apa, Nay?'' Erni balas bertanya sembari mengerutkan kening.

''Jadi asisten pribadiku!" tegas Inayah.

''Oh, ya sudah. Nanti, Teteh telepon dulu teman yang di Purwakarta. Mudah-mudahan dia mau Teteh ajak kerja di sini," kata Erni menghela napas. 

Setelah selesai menjelaskan semua, Erni pun mengerti, kemudianan berlalu dari hadapan Inayah kembali ke dapur untuk menyelesaikan pekerjaannya.

***

Keesokan harinya, Inayah langsung berangkat ke tempat Usen. Ia hendak mengecek tagihan ruko dan rumah kost-kost'an milik almarhum ayahnya,

Inayah sangat bersyukur karena Usen sangat amanah, ia menyerahkan uang kepada Inayah dari hasil menyewakan ruko dan rumah kost yang dipercayakan oleh almarhum ayahnya kepada Usen.

"Terima kasih banyak ya, Pak," kata Inayah tersenyum mengarah kepada pria paruh baya itu.

"Iya, Neng. Sama-sama," jawabnya balas tersenyum.

Setelah itu, Inayah langsung pamit kepada Usen dan istrinya, Inayah langsung pulang ke kediamannya dengan mengendarai mobil sedan merah peninggalan Tommy.

Pukul satu lebih beberapa menit, Inayah sudah tiba di kediamannya. Setelah turun dari mobil, ia langsung melangkah menuju ke arah pintu. ''Assalamu'alaikum," ucapnya lirih sembari mengetuk pintu.

''Wa'alaikum salam,'' jawab Erni dari dalam rumah dan bergegas membuka pintu tersebut.

Setelah pintu terbuka Inayah langsung melangkah masuk ke dalam diikuti Erni di belakangnya.

''Bagaimana, Teh. Sudah ada belum orang yang mau kerja di sini?'' tanya Inayah duduk bersandar di sopa ruang tengah.

''Ada, teman Teteh dari Purwakarta yang kemarin Teteh ceritakan. Saat ini masih dalam perjalanan. Kemungkinan pukul empat sore sudah sampai di sini," jawab Erni lirih.

"Ya, sudah, nanti beritahu aku kalau orangnya sudah datang. Aku mau salat dulu!'' jawab Inayah bangkit melangkah menuju ke dalam kamarnya.

Di usia sembilan belas tahun, gadis cantik itu harus menjalani hidup mandiri, tanpa bimbingan kedua orang tua.

Padahal saat itu, Inayah masih membutuhkan kehadiran kedua orang tua di sampingnya. itulah jalan hidup dan takdir yang harus dilaluinya, dan tidak bisa dihindari.

Inayah harus ikhlas dalam kemandirian menjalankan kehidupannya serta berusaha kuat untuk menjaga amanah segala apa yang sudah diwariskan oleh kedua orang tuanya. Itu semua menjadi titik awal yang baik untuk Inayah berhijrah ke jalan yang diridhoi oleh Allah SWT.

Tidak terasa bulir bening kembali menetes membasahi pipinya, terlalu banyak dosa di masa lalu yang pernah ia perbuat kepada kedua orang tuanya, terutama dosa kepada sang Ibu yang selama hidupnya selalu direpotkan oleh kenakalan Inayah yang tidak pernah mematuhi apa yang dinasihatkan oleh ibunya.

''Nay!" panggil Erni lirih sedikit mengetuk pintu kamar Inayah.

"Iya, Teh. Sebentar!" Inayah langsung bangkit dan segera membuka pintu kamarnya. Tampak Erni sedang berdiri di depan pintu kamar dengan balutan gamis biru tua dan hijab berwarna putih.

“Silakan masuk, Teh!" kata Inayah suaranya terdengar berat seperti menahan isak.

Di hadapan Erni, Inayah terus berusaha menyembunyikan kesedihannya. Ia tidak ingin orang lain turut merasakan kepedihan yang sedang melanda jiwa dan pikirannya.

Meskipun demikian, Erni tetap mengetahui segala apa yang sedang dirasakan oleh gadis cantik yang sudah ia anggap sebagai adiknya sendiri.

Erni langsung melangkah masuk ke dalam kamar tersebut, kemudian duduk di samping Inayah.

''Ada apa, Teh?'' tanya Inayah lirih bola matanya terus memandang wajah Erni.

Erni menghela napas dalam-dalam. Kemudian menjawab, ''Teman Teteh sudah datang, dia sudah menunggu di ruang tamu!'' Erni balas memandang wajah Inayah, ia melihat jelas dua bola mata Inayah tampak berkaca-kaca terpancar rasa sedih yang mendalam yang kala itu sedang melandanya.

Erni paham dengan apa yang sedang dirasakan oleh Inayah. Namun, ia belum mengatakan sesuatu yang berkaitan dengan kesedihan Inayah.

''Iya, Teh. Nanti aku ke sana." Suara Inayah terdengar parau.

Wajah terlihat semakin mendung, seakan-akan kesedihan yang sedang ia rasakan semakin membahana dalam jiwa dan pikirannya. Sehingga Erni pun mulai bertanya, “Kamu kenapa, Nay? Kok, kelihatan sedih?” Suara Erni lirih terus memandangi wajah gadis cantik berkulit putih itu.

“Tidak apa-apa, Teh," jawab Inayah berkelit. Ia terus berusaha menyembunyikan kesedihannya.

Bab terkait

  • Tasbih Cinta Yang Hilang   4. Hijrah

    Kemudian, Inayah bangkit dan mengajak Erni untuk segera menemui tamu tersebut, "Ayo, Teh. Kita ke sana sekarang!" Erni pun tidak banyak berkata-kata lagi, ia langsung bangkit dan melangkah mengikuti Inayah yang sudah berjalan menuju ke ruang tengah. Setibanya di ruang tengah, Inayah langsung menyapa tamunya dengan penuh keramahan. ''Assalamu'alaikum! Sudah lama menunggu ya, Teh?" sapa Inayah lirih sambil mengulurkan tangan seraya mengajak bersalaman dengan tamu tersebut. ''Wa'alaikum salam. Baru beberapa menit saja, Non," jawab wanita berkerudung biru itu lirih. ''Jangan panggil aku non! Panggil saja neng atau Nay!'' pinta Inayah, kemudian duduk di hadapan tamunya. ''Iya, Neng," jawabnya mengangguk perlahan. ''Mohon maaf sebelumnya, nama Teteh, siapa?'' tanya Inayah mengarahkan pandangannya ke wajah tamunya itu. ''Saya Fatimah, Neng," jawabnya tampak lirih. ''Oh, kalau aku Inayah, biasa dipanggil Nay," kata Inayah balas memperkenalkan diri. "Teh Erni sudah menjelaskan masalah

    Terakhir Diperbarui : 2021-03-24
  • Tasbih Cinta Yang Hilang   5. Warisan dari Almarhum Tommy

    Inayah sudah memutuskan, untuk tidak mengulangi kenakalan-kenakalan yang pernah ia perbuat di masa lalu, sewaktu kedua orang tuanya masih hidup. Inayah ingin mengangkat derajat kedua orang tuanya di akhirat. Seperti yang ia tahu, kedua orang tuanya sangat jauh dari agama. Bahkan melupakan kewajiban mereka sebagai Muslim. Mereka terlalu menyibukan diri kepada keduniawian yang terus mereka kejar. Meskipun demikian, mereka tetaplah orang tua Inayah, ia harus mempersembahkan yang terbaik untuk almarhum ayah dan bundanya, agar mereka tidak terlalu menderita di alam akhirat. Masih banyak di sekitar kita, ditemui orang-orang yang jauh dari Allah, hidup mereka dipenuhi dengan hal-hal tidak bermanfaat bahkan membuat hati semakin keras dan tidak bercahaya. Seperti yang ditemui di jalan raya menuju kampus. Inayah melihat sekelompok bapak-bapak sedang asik bermain judi. Seakan-akan mereka tidak ingat dengan umur mereka, dan melupakan apa yang dilarang oleh Tuhan. Seharusnya di usia mendekati

    Terakhir Diperbarui : 2021-03-26
  • Tasbih Cinta Yang Hilang   6. Bersyukur dan Belajar Al-Qur'an

    Sementara Fatimah saat itu tengah duduk santai menonton acara televisi, ia hanya menyimak perbincangan Inayah dengan Erni. Inayah tidak pernah memperlakukan mereka sebagai bawahan, menurutnya mereka adalah saudara dan bagian dari keluarga. Kehadiran mereka sebagai penawar dari kesedihan yang ia rasakan semenjak meninggalnya Tommy dan Celly. Mereka memberikan warna baru dalam kehidupan Inayah, menjadi penyemangat hidup dan teman baik di kediaman megah tersebut. Malam semakin larut, rasa ngantuk pun sudah menyelimut. "Teh Fatimah!" panggil Inayah lirih. "Iya, Neng," jawab Fatimah menghampiri. "Tolong beritahu Pak Andri, mobilnya masukan saja ke dalam garasi semua ya, Teh!" "Iya, Neng," jawab Fatimah. "Aku mau istirahat dulu," pungkas Inayah. Ia langsung melangkah bergegas masuk ke dalam kamar. Sebelum beranjak keperaduan, Inayah melaksanakan Salat Isya terlebih dahulu, di akhir Salat ia selipkan doa-doa yang terbaik, berharap ayah dan bundanya tenang di Surga. "Limpahkanlah doa

    Terakhir Diperbarui : 2021-03-27
  • Tasbih Cinta Yang Hilang   7. Bertakwa dan Berakhlak Baik

    Beberapa saat kemudian, terdengar suara teriakan dari arah belakang tempatnya berdiri, “Nay...! Nay...!” teriaknya kencang, tepat dari arah halaman parkir yang ada di depan restoran tersebut. Inayah langsung menoleh ke arah sumber suara tersebut. Tampak seorang pemuda tengah berlari kecil menuju ke arahnya, pemuda tersebut adalah Rangga teman Inayah waktu duduk di bangku SMA. "Rangga!" desis Inayah sedikit kaget dan tidak menyangka bisa bertemu di tempat itu. “Iya, Nay. Apa kabar?” Rangga tersenyum lebar menatap wajah Inayah sambil mengulurkan tangannya. “Masya Allah! Rangga ... alhamdulillah baik, Ga,” Inayah meraih uluran tangan pemuda berwajah tampan itu. “Mau ke mana, Nay?” tanya Rangga terus mengamati penampilan Inayah. “Mau pulang ... aku sedang menunggu kakakku," jawab Inayah lirih. "Kenapa, Ga. Ada yang aneh pada penampilanku?” sambung Inayah balas bertanya, karena heran melihat sikap Rangga yang terus mengamati penampilannya. “Delapan puluh derajat, Nay!" Rangga geleng-

    Terakhir Diperbarui : 2021-03-27
  • Tasbih Cinta Yang Hilang   8. Kedatangan Rangga

    Seperti biasa setelah selesai mengaji, Inayah dan Erni hanya duduk-duduk santai di ruang tengah. Tidak lama kemudian, datang Fatimah dengan membawa tiga gelas teh hangat dan makanan ringan.Mereka bertiga menikmati malam dengan berkumpul di rumah saja, tidak ada pekerjaan yang lain untuk malam itu. Karena saat ini, Inayah sudah tidak mau lagi keluar rumah terkecuali menyangkut masalah pekerjaan atau bisnis yang sedang ia jalani bersama Erni.Di antara mereka bertiga tidak ada batasan-batasan tertentu, tidak ada istilah bawahan atau atasan. Erni dan Fatimah sudah Inayah anggap sebagai kakaknya sendiri, mereka banyak membantu dalam hal pekerjaan dan bimbingan akhlak yang baik untuknya.Di saat mereka sedang berbincang, terdengar suara ponsel berdering tanda panggilan masuk.“Ada panggilan telepon masuk, Nay!” ucap Erni memberi tahukan Inayah.“Angkat saja, Teh!” jawab Inayah meminta Erni untuk menerima panggilan telepon tersebut.Erni hanya mengangguk dan segera menerima panggilan masuk

    Terakhir Diperbarui : 2021-03-28
  • Tasbih Cinta Yang Hilang   9. Pria Terbaik dalam Islam

    Inayah hanya diam menyimak apa yang diutarakan oleh Rangga. Kemudian Rangga mengeluarkan sesuatu dari dalam tasnya, benda kecil berupa tasbih kayu berwarna hitam mengkilat. “Ini buat kamu, Nay!” kata Rangga menyerahkan tasbih itu kepada Inayah. “Masya Allah! Terima kasih, Ga,” jawab Inayah meraih tasbih dari tangan Rangga. Inayah tampak terharu dengan hadiah yang diberikan oleh Rangga. Jarang sekali, seorang anak di zaman sekarang yang memberikan hadiah yang berkaitan dengan ibadah. “Aku ingin berubah seperti kamu, Nay. Tolong bantu bimbing aku!” ucap Rangga lirih. "Subhanallah!" bisik Inayah dalam hati. Ia menghela napas dalam-dalam, sejatinya Inayah merasa kaget dan terharu dengan kalimat yang diucapkan Rangga saat itu. Tentu sangat bertolak belakang dengan sikap Rangga yang selama ini dikenal sebagai seorang pemuda iseng, gemar hura-hura, dan selalu jahat kepada teman. Oleh sebab itu, Inayah masih ragu dengan kalimat-kalimat yang telah diucapkan oleh Rangga. Namun, Inayah te

    Terakhir Diperbarui : 2021-03-29
  • Tasbih Cinta Yang Hilang   10. Pesan dari Rangga

    Apa yang di utarakan Fatimah, sangat menambah pengetahuan untuk Inayah dan menjadi suatu pedoman tatkala Inayah dihadapkan dengan kerisauan memilih pasangan yang baik untuk menemani hidupnya kelak. Sangat berkesan, banyak sekali kalimat-kalimat nasihat bersumber dari hadits dan ayat-ayat Al-Qur'an, yang dituturkan oleh Fatimah. Sikap lugu dan pendiam dari sosok Fatimah, sangat bertolak belakang dengan kepintaran dan kecerdasan yang ia miliki, sejatinya Fatimah merupakan sosok wanita Muslimah yang patut dijadikan contoh sebagai panutan. Malam semakin larut, tak terasa waktu sudah menunjukkan pukul sepuluh malam, rasa ngantuk pun sudah melanda. “Teh, aku masuk kamar dulu yah, sudah malam,” pungkas Inayah lirih. “Iya, Neng,” jawab Fatimah sambil merapikan gelas dan piring serta dus sisa makanan yang ada di meja. Inayah langsung berlalu dari hadapan Fatimah, melangkah menuju kamarnya untuk segera beristirahat, merehat tubuh yang seharian disibukkan dengan berbagai aktivitas. Di dalam

    Terakhir Diperbarui : 2021-03-29
  • Tasbih Cinta Yang Hilang   11. Fatih itu Rangga

    Satu jam kemudian, rombongan dari LBUKD (Lembaga Bantuan Untuk Kaum Dhuafa) dari Purwakarta sudah tiba di lokasi. Mereka membawa ratusan paket sembako untuk diserahkan langsung kepada Kartika sebagai ketua panitia penyelenggra bantuan sosial tersebut. Pak Kades dan Kartika sebagai perwakilan dari panitia, langsung menyambut hangat kedatangan rombongan tersebut. Tampak sosok pemuda berkopiah putih dengan mengenakan kemeja jasko warna biru langit berdiri dan bersalaman dengan Pak Kades. Inayah hanya mengamati pemuda tersebut dari kejauhan, pemuda itu berdiri dalam posisi membelakanginya, sehingga wajahnya tidak terlihat jelas. “Masya Allah! Kok, orang itu mirip dengan Rangga ya, Nay?" desis Erni bertanya kepada Inayah yang duduk di sampingnya. Kemudian Erni bangkit pandangannya terus mengarah kepada orang-orang yang ada di tenda tersebut. Terutama kepada pemuda yang dianggap mirip sekali dengan Rangga. “Ah, Teteh. Hanya mirip saja, Teh!” jawab Inayah lirih sambil meraih ponsel yan

    Terakhir Diperbarui : 2021-04-06

Bab terbaru

  • Tasbih Cinta Yang Hilang   49. Keikhlasan Seorang Istri (Bab terakhir)

    Usai memberitahukan Rafie, Fahmi dan kedua rekannya segera bersiap untuk mendatangi rumah yang dicurigai menjadi tempat disekapnya Lina. Mereka sangat yakin kalau Lina ada di rumah itu, sesuai dengan apa yang dilihat oleh Fahmi. "Aku sangat berharap tidak terjadi apa-apa dengan Lina," kata Fahmi lirih sembari mengemudikan mobilnya menuju ke sebuah komplek yang tidak jauh dari tempat mereka berkumpul tadi. "Aku yakin, pelakunya adalah Alex." Andra mulai menaruh kecurigaan terhadap Alex yang merupakan orang dekat Lina. Karena akhir-akhir ini, Alex sedang bermasalah dengan Lina, semua dipicu oleh sikap Lina yang sudah menolak pinangan Alex. "Jangan su'udzon dulu. Kita buktikan saja nanti!" sahut Riko. Andra menoleh ke arah Riko, kemudian berkata lagi, "Aku berkata seperti ini, karena aku mendengar sendiri bahwa Alex mengancam Lina," tandas Fahmi. Setibanya di persimpangan jalan yang dekat jembatan yang tembus ke pintu gerbang komplek yang dituju, Fahmi menghentikan laju mobilnya sej

  • Tasbih Cinta Yang Hilang   48. Hilangnya Lina

    Secara tidak langsung Inayah mempunyai tugas dan kepercayaan dari almarhum kedua orang tuanya untuk mengelola beberapa perusahaan peninggalan mereka. Mulai dari pengelolaan keuangan dan pemanfaatannya, Inayah yang harus mengurusnya. Karena Inayah merupakan putri semata wayang dari Almarhum Tommy dan Celly. Akan tetapi, setelah Erni paham dan mengerti dengan tatanan bisnis yang dikelola Inayah. Inayah pun langsung mempercayai Erni sepenuhnya dalam mengelola perusahaan peninggalan dari kedua orang tuanya itu. Saat itu, yang mengurus semuanya adalah Erni dengan dibantu beberapa staf kepercayaannya dan Inayah sudah jarang ikut campur, dan ia sangat percaya dengan kinerja Erni, karena selama ini Erni sudah dinilai baik dalam menjalankan tugas jujur dan amanah. Pukul setengah lima sore, Inayah hanya duduk santai bersama Fatimah dan Jubaedah di ruang tengah kediamannya itu. Rafie sore itu masih belum pulang, karena masih berada di lokasi pondok pesantren yang saat itu masih dalam tahap pe

  • Tasbih Cinta Yang Hilang   47. Keputusan Inayah

    Sebulan setelah itu, Rafie dan keluarga Tiara sudah menentukan hari pernikahannya dengan Tiara. Hal tersebut sudah sepenuhnya disetujui oleh Inayah yang merupakan istri pertama Rafie. Pukul setengah enam sore, Rafie sudah berada di kediamannya. Ia tampak murung dan merasa kurang bahagia sore itu. Entah apa yang membalut jiwa dan pikirannya saat itu? "Aa kenapa? Mau nikah kok malah murung seperti ini sih?" tanya Inayah duduk di sebelah suaminya. Rafie menoleh ke arah Inayah, kemudian memandang wajah istrinya. "Aa tidak dosa, 'kan kalau menikah lagi?" Rafie menjawab dengan sebuah pertanyaan. Inayah tersenyum sambil memandang wajah suaminya. "Tidak ada yang bisa dikatakan dosa. Ini semua sudah menjadi keputusan aku, dan jika Aa benar-benar mencintaiku. Maka penuhi permintaan ini!" kata Inayah tersenyum. Ucapan Inayah sungguh sulit dimengerti, hal itu membuat Rafie jatuh ke kubangan dilema besar. Entah apa lagi yang hendak ia perbuat saat itu, tidak ada niat untuk menolak. Bukan berar

  • Tasbih Cinta Yang Hilang   46. Keikhlasan dalam diri Inayah

    Beberapa hari kemudian, Inayah mengajak Rafie untuk berkunjung ke rumah Tiara. Dalam rangka menengok Tiara yang saat itu baru saja pulang dari rumah sakit, setelah hampir satu Minggu ia dirawat. Tiara masih dalam proses pemulihan setelan dilakukan perawatan di rumah sakit, ia mengalami gangguan lambung akibat keseringan telat makan dan juga mengalami depresi yang sangat hebat. "A, nanti sore kita ke rumah Tiara yuk!" ajak Inayah lirih. Rafie hanya tersenyum, kemudian menganggukkan kepala sebagai tanda menyetujui ajakan dari istrinya. Lalu Inayah bangkit dan segera bersiap untuk melaksanakan makan siang bersama dengan suaminya. "Ayo, A. Kita makan dulu!" kata Inayah lembut. "Iya, Neng." Rafie segera bangkit dan langsung berjalan mengikuti langkah sang istri menuju ruang makan. "Bedah ... Teh Fatimah!" panggil Inayah. "Iya, Neng. Ada apa?" tanya Fatimah bersikap ramah di hadapan majikannya itu. Inayah tersenyum, lalu menjawab, "Kita makan bareng di sini. Sekalian ajak bedah!" "N

  • Tasbih Cinta Yang Hilang   45. Hari pernikahan Erni dengan Fahmi

    Pagi hari sekitar pukul 03:30, Inayah sudah terbangun dari tidurnya. "Masya Allah!" Inayah tampak kaget setelah sadar kalau suaminya sudah tidak ada di kamar, ia bangkit dan bergegas keluar. Inayah tampak khawatir, mengingat Rafie sedang dalam kondisi tidak sehat, Inayah mencari ke ruang tengah Rafie tidak ada di ruangan tersebut. Kemudian Inayah melangkah ke arah ruang Musala, tersenyumlah ia, ketika mendapati suaminya sedang berdzikir khusyu. "Alhamdulillah ...! Ya Allah, suami hamba sudah sembuh," ucap Inayah penuh rasa syukur. Bukan hanya Inayah dan Rafie saja yang sudah bangun, Fatimah dan Jubaedah pun saat itu sudah terbangun dari tidur mereka. "Neng, mau Teteh buatkan teh manis?" tanya Fatimah mengarah kepada Inayah. "Tidak usah, Teh. Aku mau mandi dulu, tanggung sebentar lagi subuh!" tolak Inayah halus. "Oh ... iya, Neng," kata Fatimah langsung menuju ruang dapur. Inayah pun langsung melangkah menuju kamar mandi dan segera membersihkan diri, bersiap untuk melaksanakan S

  • Tasbih Cinta Yang Hilang   44. Sikap Bijaksana Rafie dan Inayah

    Kemudian, Icha langsung merapikan hijab. Ia bangkit dan langsung pamit kepada Inayah. Setelah mengucapkan salam, Icha langsung berlalu dari hadapan Inayah. Inayah hanya berdiri menatap mobil putih yang Icha kemudikan, melaju keluar dari halaman rumahnya. Setelah itu, Inayah bergegas masuk ke dalam untuk kembali melanjutkan pekerjaannya. Membuat desain dan merapikan data-data yang sudah dilaporkan oleh Erni. *** Malam harinya selesai Salat Magrib, Inayah dan suaminya langsung makan malam bersama. “Teh Erni pulangnya kapan, Neng?” tanya Rafie menatap wajah Inayah. “Kalau sedang makan tidak boleh berbicara!” ucap Inayah sedikit bergurau. "Oh, iya. Lupa ... maaf Bu Ustadzah," jawab Rafie tersenyum-senyum. Inayah hanya menganggukan kepala kemudian melanjutkan makannya. Selesai makan Inayah mendampingi suaminya yang sedang mengerjakan tugas kantor membantu dirinya. "Neng, bisa buatkan Aa kopi!" bisik Rafie menoleh ke arah Inayah yang duduk di sebelahnya. "Iya, A." Inayah bangkit da

  • Tasbih Cinta Yang Hilang   43. Kepatuhan Inayah Kepada Suami

    Inayah tersenyum dan menganggukkan kepalanya perlahan ia pun berkata dengan nada rendah. "Aku percaya A. Namun, jika ada rasa cinta dalam diri Aa terhadap Tiara sebaiknya Aa katakan saja! Percayalah ... jika niat Aa baik untuk menikahi Tiara, Inayah ikhlas kok, A!" ujar Inayah mengejutkan. Sejatinya, Inayah tidak merasa benci terhadap Tiara. Dia hanya khawatir Tiara akan berbuat nekat jika tidak berhasil bersanding dengan suaminya. Inayah sudah paham dengan sifat Tiara, ia tidak mau hijrahnya Tiara harus luntur karena merasa sakit hati tidak berhasil menikah dengan Rafie. Rafie tampak kaget dengan kalimat yang diucapkan oleh istrinya itu. Dengan segenap rasa penasaran, Rafie kemudian bertanya, "Maksud kamu apa, Neng?" Inayah hanya diam saja ketika mendengar pertanyaan suaminya. "Tidak sepantasnya kamu bicara seperti itu!" imbuh Rafie masih tetap lembut bertutur kata. Inayah tersenyum dan kembali berkata penuh dengan kebijaksanaan, "Aa tak seharusnya menjawab pertanyaanku sekaran

  • Tasbih Cinta Yang Hilang   42. Inayah Terbakar Api Cemburu

    Pukul setengah sembilan, Rafie dan Inayah sudah berangkat ke tempat proyek pembangunan pondok pesantren. Sementara Erni, pagi itu sudah berada di kantor baru yang tidak jauh dari kediaman Inayah hanya berjarak beberapa meter saja, karena kantor tersebut berada tepat di depan halaman rumah. Dua puluh menit kemudian ... Inayah dan Rafie sudah berada di lokasi proyek. Tiara pun sudah tiba di lokasi proyek itu bersama Icha dan para donatur lainnya. Salah seorang arsitek didatangkan oleh Tiara untuk merancang bangunan pesantren tersebut, memang terkesan baik dan sangat dermawan sikap Tiara saat itu. Ia mendukung sepenuhnya proses pembangunan pondok pesantren tersebut. Meskipun, pada dasarnya ada kemauan yang tersimpan dalam pikiran Tiara dan niat kuat pula dalam benaknya. "Assalamualaikum, selamat pagi, Pak Ustadz," ucap pria paruh baya dengan mengenakan helm putih dan berkacamata hitam, menyapa lirih Rafie yang saat itu sedang duduk bersama istrinya. Rafie dan Inayah menjawab ucapan

  • Tasbih Cinta Yang Hilang   41. Orang Ketiga

    Entah kenapa Icha menjadi benci seketika terhadap prilaku Tiara, yang berusaha memanfaatkan kedekatannya dengan Rafie dengan maksud dan tujuan untuk meraih simpati dari Rafie. Sepulang menemani Tiara dan Rafie, Icha langsung memberitahu Inayah tentang kedekatan Tiara yang menurut Icha ada sesuatunya, dan Icha sangat yakin kalau Tiara itu punya perasaan lebih terhadap Rafie bukan hanya dari sekadar persahabatan saja. "Kamu yakin, Cha?" tanya Inayah setelah mendengar laporan dari Icha. Dua bola matanya menatap tajam wajah Icha. Icha merupakan sahabat dekat Inayah sewaktu masih duduk di bangku SMA sama seperti Tiara dan juga Almarhum Rangga, dulu mereka sama-sama satu angkatan. "Masya Allah, Nay! Aku tidak mungkin bohong, aku bicarakan ini semua kepada kamu, karena aku tidak mau melihat kamu terluka," jawab Icha meyakinkan sahabatnya itu. "Terus, A Rafie sekarang ke mana?" tanya Inayah lagi. "Rafie pergi ke kantor cabang, katanya mau menemui Reno." Icha menjawab lirih pertanyaan Ina

Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status