Kemudian, Inayah bangkit dan mengajak Erni untuk segera menemui tamu tersebut, "Ayo, Teh. Kita ke sana sekarang!"
Erni pun tidak banyak berkata-kata lagi, ia langsung bangkit dan melangkah mengikuti Inayah yang sudah berjalan menuju ke ruang tengah.
Setibanya di ruang tengah, Inayah langsung menyapa tamunya dengan penuh keramahan. ''Assalamu'alaikum! Sudah lama menunggu ya, Teh?" sapa Inayah lirih sambil mengulurkan tangan seraya mengajak bersalaman dengan tamu tersebut.
''Wa'alaikum salam. Baru beberapa menit saja, Non," jawab wanita berkerudung biru itu lirih.
''Jangan panggil aku non! Panggil saja neng atau Nay!'' pinta Inayah, kemudian duduk di hadapan tamunya.
''Iya, Neng," jawabnya mengangguk perlahan.
''Mohon maaf sebelumnya, nama Teteh, siapa?'' tanya Inayah mengarahkan pandangannya ke wajah tamunya itu.
''Saya Fatimah, Neng," jawabnya tampak lirih.
''Oh, kalau aku Inayah, biasa dipanggil Nay," kata Inayah balas memperkenalkan diri. "Teh Erni sudah menjelaskan masalah pekerjaan di rumah ini, 'kan?" tanya Inayah menambahkan.
"Sudah, Neng. Melalui telepon dan tadi juga kami sudah banyak bicara masalah pekerjaan," jawab Fatimah lirih.
Inayah tampak semringah mendengar kesiapan Fatimah. "Teteh, besok saja mulai kerjanya! Kalau ada yang tidak dipahami, Teteh tanya saja kepada Teh Erni!" Inayah berkata dengan lembut dan ramah. "Anggap saja, rumah ini sebagai rumah Teteh sendiri! Jangan sungkan kalau butuh apa-apa, untuk keperluan dapur tinggal bicara saja kepada aku atau kepada Teh Erni!" sambung Inayah menjelaskan.
Tidak lama kemudian, Erni datang dengan membawa segelas air minum untuk Fatimah. “Ya, sudah, Teteh lanjutkan saja ngobrolnya dengan Teh Erni! Aku tinggal dulu ya, Teh!" pungkas Inayah.
"Iya Neng," sahut Fatimah.
Inayah langsung bangkit, ia kembali melangkah menuju kamar berlalu dari hadapan Fatimah dan Erni.
Sore harinya, Inayah pamit kepada Erni. Sore itu ia hendak menemui rekan bisnisnya di sebuah restoran terkemuka di kota Bandung.
Namun, kejadian naas menimpa Inayah. Mobil yang ia kemudikan dihadang dua mobil mewah tepat di sebuah jalanan sepi.
"Masya Allah! Mereka itu siapa?" Inayah menghentikan laju mobilnya, ia pun tetap bertahan di dalam mobil.
Beberapa pria keluar dari dua mobil tersebut, masing-masing membawa besi berukuran setengah meter melangkah menghampiri mobil milik Inayah.
Tanpa basa-basi para pria bertubuh kekar itu langsung menghancurkan kaca belakang mobil Inayah hingga pecah berantakan. Setelah itu mereka langsung berlalu dan pergi dari tempat tersebut.
"Ya, Allah! Mereka itu siapa?" ucap Inayah merasa ketakutan.
Saat itu juga, Inayah langsung menelepon Erni dan memberitahukan kalau dirinya mendapatkan teror dari orang tidak di kenal.
Niat untuk menemui rekan bisnisnya, ia urungkan, Inayah pun sudah menelepon rekan bisnisnya tersebut, dan menjelaskan tentang kejadian yang ia alami.
Setelah itu, Inayah langsung melajukan mobilnya untuk kembali ke kediamannya. Mobil yang sudah dalam kondisi penyok dan mengalami pecah kaca belakang, melaju deras menuju ke arah selatan.
Setibanya di rumah, Inayah langsung bercerita kepada Erni tentang apa yang baru saja ia alami, dan Inayah meminta Erni untuk segera mencarikan supir pribadi.
"Aku sudah tidak aman lagi, Teh. Sebaiknya, Teteh carikan supir pribadi untukku!" kata Inayah di sela perbincangannya dengan Erni.
"Iya, Nay. Nanti Teteh carikan," tandas Erni mengelus lembut pundak Inayah. "Itu, mobilnya mau dibawa ke bengkel langsung atau bagaimana?" sambung Erni bertanya.
"Nanti saja, Teh! Aku pakai mobil yang lain saja, nanti kalau sudah ada supir baru mobil yang itu diperbaiki!" jawab Inayah raut wajahnya tampak cemas.
Inayah beranggapan selama ini ia tidak mempunyai musuh, tapi kenapa teror tersebut bisa terjadi menimpa dirinya.
"Kamu harus sabar dan ikhlas! Ini semua bagian dari ujian Allah untuk kehidupan kamu." Erni terus memberikan nasihat kepada Inayah yang sudah ia anggap sebagai adiknya sendiri.
Tak hanya itu, Erni pun menyarankan Inayah agar segera melaporkan hal tersebut kepada pihak kepolisian. Namun, Inayah menolaknya dan tidak mau terlibat lebih dalam lagi dalam peristiwa itu.
Inayah khawatir akan adanya teror baru, jika ia mempermasalahkan kasus tersebut ke pihak kepolisian.
Dua minggu kemudian, Inayah mendaftarkan diri di salah satu perguruan tinggi yang ada di kota Bandung, untuk melanjutkan pendidikannya di Universitas Padjajaran.
Di Universitas tersebut, ia mengambil jurusan management dan bisnis. Karena almarhum ayah dan bundanya menginginkan putrinya itu, untuk menjadi seorang Sarjana Ekonomi dan menjadi pengusaha sukses dalam bidang bisnis seperti mereka.
Setelah diterima di Universitas Padjajaran, Inayah memutuskan untuk memakai hijab dan berhijrah di jalan Allah.
Rasulullah SAW, menjelaskan makna hijrah sebagaimana disebut dalam Hadits Riwayat Al-Bukhori, "Orang-orang yang berhijrah adalah mereka yang meninggalkan segala sesuatu yang dilarang oleh Allah SWT."
Inayah meniatkan semuanya demi kebaikan almarhum kedua orang tuanya, dengan harapan mereka tenang di alam sana tanpa terbebani lagi dengan kenakalan-kenakalannya.
Sejujurnya, dengan dekat kepada Allah, kita akan meraih posisi yang begitu indah, akan dipermudahkan segala urusan, disuguhi solusi yang tiada tara dan dicukupkan sesuai kebutuhan, persis seperti yang dialami Muhammad Alfatih menaklukkan kota Konstantinopel yang memukau khalayak ramai bahkan menjadi pondasi bagi siapa pun untuk meraih kesuksesaan, itu harus didasari dengan mencintai aturan Rabbi dan menjalankan perintah-Nya penuh cinta serta istiqamah.
“Dan barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya”. (QS. Ath Thalaq: 3).
“Kalau sekiranya kamu bertawakkal kepada Allah dengan sebenar-benarnya, tentu kamu akan diberi rezeki sebagaimana burung diberi rezeki, berangkat pagi dalam keadaan lapar dan pulang sore dalam keadaan kenyang.”(HR. Tirmidzi, ia mengatakan, “Hadits hasan shahih.”)
Dengan berpenampilan baru, banyak di antara sahabat-sahabat Inayah yang tidak setuju dan tidak menyukainya, kebetulan di kampus tersebut, ada beberapa sahabat lama yang dulu satu sekolah dengan Inayah. Salah satunya adalah Tiara, ia adalah sahabat dekat Inayah waktu duduk di bangku sekolah lanjutan tingkat atas (SLTA).
Tiara sangat benci dengan perubahan sahabatnya itu. Karena saat itu, Inayah sudah tidak bergaul lagi dengannya. Inayah sudah tidak mau lagi ikut pesta atau yang lainnya yang menyangkut pergaulan yang bersifat negatif.
Inayah lebih banyak menolak jika diajak main oleh Tiara dan lebih memilih diam di rumah, belajar mengaji dan belajar tentang pemahaman agama bersama Erni dan juga Fatimah.
Selain menjadi asisten pribadi, Erni juga berperan sebagai guru agama bagi Inayah. Karena, Erni mempunyai pengetahuan agama sangat luas. Erni pernah belajar di salah satu Pondok Pesantren di Purwakarta, jauh sebelum Erni bekerja di kediaman Inayah.
Hari itu Tiara baru saja dari rumah Inayah. Kedatangannya ke kediaman Inayah bermaksud hendak mengajak Inayah main ke rumah temannya yang lain. Namun, Inayah menolaknya, Tiara pun jadi kecewa dengan perubahan sikap pada diri sahabatnya itu.
"Gimana, Ra. Inayah mau tidak ikut main ke rumah Topan?" tanya Dewi duduk di samping Tiara.
"Dia nolak, katanya sih mau ada pengajian di Masjid yang dekat rumahnya," jawab Tiara ketus.
"Yah ... mungkin dia sudah tidak mau gaul lagi dengan kita. Sudahlah, lupakan saja dia!" kata Dewi. "Ayo, kita berangkat berdua saja!" sambung Dewi mengajak Tiara sembari bangkit dari duduknya.
"Iya, deh. Daripada tidak jadi, yang ada nanti Topan malah kecewa sama kita." Tiara bangkit dan langsung melangkah bersama Dewi menuju ke arah mobilnya.
Inayah sudah memutuskan, untuk tidak mengulangi kenakalan-kenakalan yang pernah ia perbuat di masa lalu, sewaktu kedua orang tuanya masih hidup. Inayah ingin mengangkat derajat kedua orang tuanya di akhirat. Seperti yang ia tahu, kedua orang tuanya sangat jauh dari agama. Bahkan melupakan kewajiban mereka sebagai Muslim. Mereka terlalu menyibukan diri kepada keduniawian yang terus mereka kejar. Meskipun demikian, mereka tetaplah orang tua Inayah, ia harus mempersembahkan yang terbaik untuk almarhum ayah dan bundanya, agar mereka tidak terlalu menderita di alam akhirat. Masih banyak di sekitar kita, ditemui orang-orang yang jauh dari Allah, hidup mereka dipenuhi dengan hal-hal tidak bermanfaat bahkan membuat hati semakin keras dan tidak bercahaya. Seperti yang ditemui di jalan raya menuju kampus. Inayah melihat sekelompok bapak-bapak sedang asik bermain judi. Seakan-akan mereka tidak ingat dengan umur mereka, dan melupakan apa yang dilarang oleh Tuhan. Seharusnya di usia mendekati
Sementara Fatimah saat itu tengah duduk santai menonton acara televisi, ia hanya menyimak perbincangan Inayah dengan Erni. Inayah tidak pernah memperlakukan mereka sebagai bawahan, menurutnya mereka adalah saudara dan bagian dari keluarga. Kehadiran mereka sebagai penawar dari kesedihan yang ia rasakan semenjak meninggalnya Tommy dan Celly. Mereka memberikan warna baru dalam kehidupan Inayah, menjadi penyemangat hidup dan teman baik di kediaman megah tersebut. Malam semakin larut, rasa ngantuk pun sudah menyelimut. "Teh Fatimah!" panggil Inayah lirih. "Iya, Neng," jawab Fatimah menghampiri. "Tolong beritahu Pak Andri, mobilnya masukan saja ke dalam garasi semua ya, Teh!" "Iya, Neng," jawab Fatimah. "Aku mau istirahat dulu," pungkas Inayah. Ia langsung melangkah bergegas masuk ke dalam kamar. Sebelum beranjak keperaduan, Inayah melaksanakan Salat Isya terlebih dahulu, di akhir Salat ia selipkan doa-doa yang terbaik, berharap ayah dan bundanya tenang di Surga. "Limpahkanlah doa
Beberapa saat kemudian, terdengar suara teriakan dari arah belakang tempatnya berdiri, “Nay...! Nay...!” teriaknya kencang, tepat dari arah halaman parkir yang ada di depan restoran tersebut. Inayah langsung menoleh ke arah sumber suara tersebut. Tampak seorang pemuda tengah berlari kecil menuju ke arahnya, pemuda tersebut adalah Rangga teman Inayah waktu duduk di bangku SMA. "Rangga!" desis Inayah sedikit kaget dan tidak menyangka bisa bertemu di tempat itu. “Iya, Nay. Apa kabar?” Rangga tersenyum lebar menatap wajah Inayah sambil mengulurkan tangannya. “Masya Allah! Rangga ... alhamdulillah baik, Ga,” Inayah meraih uluran tangan pemuda berwajah tampan itu. “Mau ke mana, Nay?” tanya Rangga terus mengamati penampilan Inayah. “Mau pulang ... aku sedang menunggu kakakku," jawab Inayah lirih. "Kenapa, Ga. Ada yang aneh pada penampilanku?” sambung Inayah balas bertanya, karena heran melihat sikap Rangga yang terus mengamati penampilannya. “Delapan puluh derajat, Nay!" Rangga geleng-
Seperti biasa setelah selesai mengaji, Inayah dan Erni hanya duduk-duduk santai di ruang tengah. Tidak lama kemudian, datang Fatimah dengan membawa tiga gelas teh hangat dan makanan ringan.Mereka bertiga menikmati malam dengan berkumpul di rumah saja, tidak ada pekerjaan yang lain untuk malam itu. Karena saat ini, Inayah sudah tidak mau lagi keluar rumah terkecuali menyangkut masalah pekerjaan atau bisnis yang sedang ia jalani bersama Erni.Di antara mereka bertiga tidak ada batasan-batasan tertentu, tidak ada istilah bawahan atau atasan. Erni dan Fatimah sudah Inayah anggap sebagai kakaknya sendiri, mereka banyak membantu dalam hal pekerjaan dan bimbingan akhlak yang baik untuknya.Di saat mereka sedang berbincang, terdengar suara ponsel berdering tanda panggilan masuk.“Ada panggilan telepon masuk, Nay!” ucap Erni memberi tahukan Inayah.“Angkat saja, Teh!” jawab Inayah meminta Erni untuk menerima panggilan telepon tersebut.Erni hanya mengangguk dan segera menerima panggilan masuk
Inayah hanya diam menyimak apa yang diutarakan oleh Rangga. Kemudian Rangga mengeluarkan sesuatu dari dalam tasnya, benda kecil berupa tasbih kayu berwarna hitam mengkilat. “Ini buat kamu, Nay!” kata Rangga menyerahkan tasbih itu kepada Inayah. “Masya Allah! Terima kasih, Ga,” jawab Inayah meraih tasbih dari tangan Rangga. Inayah tampak terharu dengan hadiah yang diberikan oleh Rangga. Jarang sekali, seorang anak di zaman sekarang yang memberikan hadiah yang berkaitan dengan ibadah. “Aku ingin berubah seperti kamu, Nay. Tolong bantu bimbing aku!” ucap Rangga lirih. "Subhanallah!" bisik Inayah dalam hati. Ia menghela napas dalam-dalam, sejatinya Inayah merasa kaget dan terharu dengan kalimat yang diucapkan Rangga saat itu. Tentu sangat bertolak belakang dengan sikap Rangga yang selama ini dikenal sebagai seorang pemuda iseng, gemar hura-hura, dan selalu jahat kepada teman. Oleh sebab itu, Inayah masih ragu dengan kalimat-kalimat yang telah diucapkan oleh Rangga. Namun, Inayah te
Apa yang di utarakan Fatimah, sangat menambah pengetahuan untuk Inayah dan menjadi suatu pedoman tatkala Inayah dihadapkan dengan kerisauan memilih pasangan yang baik untuk menemani hidupnya kelak. Sangat berkesan, banyak sekali kalimat-kalimat nasihat bersumber dari hadits dan ayat-ayat Al-Qur'an, yang dituturkan oleh Fatimah. Sikap lugu dan pendiam dari sosok Fatimah, sangat bertolak belakang dengan kepintaran dan kecerdasan yang ia miliki, sejatinya Fatimah merupakan sosok wanita Muslimah yang patut dijadikan contoh sebagai panutan. Malam semakin larut, tak terasa waktu sudah menunjukkan pukul sepuluh malam, rasa ngantuk pun sudah melanda. “Teh, aku masuk kamar dulu yah, sudah malam,” pungkas Inayah lirih. “Iya, Neng,” jawab Fatimah sambil merapikan gelas dan piring serta dus sisa makanan yang ada di meja. Inayah langsung berlalu dari hadapan Fatimah, melangkah menuju kamarnya untuk segera beristirahat, merehat tubuh yang seharian disibukkan dengan berbagai aktivitas. Di dalam
Satu jam kemudian, rombongan dari LBUKD (Lembaga Bantuan Untuk Kaum Dhuafa) dari Purwakarta sudah tiba di lokasi. Mereka membawa ratusan paket sembako untuk diserahkan langsung kepada Kartika sebagai ketua panitia penyelenggra bantuan sosial tersebut. Pak Kades dan Kartika sebagai perwakilan dari panitia, langsung menyambut hangat kedatangan rombongan tersebut. Tampak sosok pemuda berkopiah putih dengan mengenakan kemeja jasko warna biru langit berdiri dan bersalaman dengan Pak Kades. Inayah hanya mengamati pemuda tersebut dari kejauhan, pemuda itu berdiri dalam posisi membelakanginya, sehingga wajahnya tidak terlihat jelas. “Masya Allah! Kok, orang itu mirip dengan Rangga ya, Nay?" desis Erni bertanya kepada Inayah yang duduk di sampingnya. Kemudian Erni bangkit pandangannya terus mengarah kepada orang-orang yang ada di tenda tersebut. Terutama kepada pemuda yang dianggap mirip sekali dengan Rangga. “Ah, Teteh. Hanya mirip saja, Teh!” jawab Inayah lirih sambil meraih ponsel yan
Kemudian, mereka langsung melangkah menuju ke sebuah Masjid terdekat yang ada di desa itu, untuk segera melaksanakan Salat Zuhur. Usai melaksanakan Salat Zuhur, sekitar pukul satu, acara bansos tersebut dimulai dengan membagikan ratusan paket sembako kepada masyarakat yang ada di desa tersebut. Acara berjalan dengan lancar tanpa kericuhan. Pukul setengah empat sore, acara pun sudah selesai dilaksanakan. Inayah dan rekan-rekannya langsung melaksanakan berjamaah Salat Asar. "Alhamdulillah, akhirnya selesai juga," ucap Inayah penuh rasa syukur. Setelah itu, Inayah dan yang lainnya langsung pamit kepada kepala desa setempat dan kepada para panitia yang ada di tempat tersebut, dan langsung kembali ke Bandung. Dalam perjalanan, Inayah terus kepikiran tentang Rangga. Rangga benar-benar sudah berubah dan berpenampilan sebagai pria Muslim sejati. Entah kenapa perasaan Inayah mulai gundah? Ia merasakan getaran-getaran cinta yang perlahan mulai merasuk jiwa dan pikirannya. “Nay, kita mampir
Usai memberitahukan Rafie, Fahmi dan kedua rekannya segera bersiap untuk mendatangi rumah yang dicurigai menjadi tempat disekapnya Lina. Mereka sangat yakin kalau Lina ada di rumah itu, sesuai dengan apa yang dilihat oleh Fahmi. "Aku sangat berharap tidak terjadi apa-apa dengan Lina," kata Fahmi lirih sembari mengemudikan mobilnya menuju ke sebuah komplek yang tidak jauh dari tempat mereka berkumpul tadi. "Aku yakin, pelakunya adalah Alex." Andra mulai menaruh kecurigaan terhadap Alex yang merupakan orang dekat Lina. Karena akhir-akhir ini, Alex sedang bermasalah dengan Lina, semua dipicu oleh sikap Lina yang sudah menolak pinangan Alex. "Jangan su'udzon dulu. Kita buktikan saja nanti!" sahut Riko. Andra menoleh ke arah Riko, kemudian berkata lagi, "Aku berkata seperti ini, karena aku mendengar sendiri bahwa Alex mengancam Lina," tandas Fahmi. Setibanya di persimpangan jalan yang dekat jembatan yang tembus ke pintu gerbang komplek yang dituju, Fahmi menghentikan laju mobilnya sej
Secara tidak langsung Inayah mempunyai tugas dan kepercayaan dari almarhum kedua orang tuanya untuk mengelola beberapa perusahaan peninggalan mereka. Mulai dari pengelolaan keuangan dan pemanfaatannya, Inayah yang harus mengurusnya. Karena Inayah merupakan putri semata wayang dari Almarhum Tommy dan Celly. Akan tetapi, setelah Erni paham dan mengerti dengan tatanan bisnis yang dikelola Inayah. Inayah pun langsung mempercayai Erni sepenuhnya dalam mengelola perusahaan peninggalan dari kedua orang tuanya itu. Saat itu, yang mengurus semuanya adalah Erni dengan dibantu beberapa staf kepercayaannya dan Inayah sudah jarang ikut campur, dan ia sangat percaya dengan kinerja Erni, karena selama ini Erni sudah dinilai baik dalam menjalankan tugas jujur dan amanah. Pukul setengah lima sore, Inayah hanya duduk santai bersama Fatimah dan Jubaedah di ruang tengah kediamannya itu. Rafie sore itu masih belum pulang, karena masih berada di lokasi pondok pesantren yang saat itu masih dalam tahap pe
Sebulan setelah itu, Rafie dan keluarga Tiara sudah menentukan hari pernikahannya dengan Tiara. Hal tersebut sudah sepenuhnya disetujui oleh Inayah yang merupakan istri pertama Rafie. Pukul setengah enam sore, Rafie sudah berada di kediamannya. Ia tampak murung dan merasa kurang bahagia sore itu. Entah apa yang membalut jiwa dan pikirannya saat itu? "Aa kenapa? Mau nikah kok malah murung seperti ini sih?" tanya Inayah duduk di sebelah suaminya. Rafie menoleh ke arah Inayah, kemudian memandang wajah istrinya. "Aa tidak dosa, 'kan kalau menikah lagi?" Rafie menjawab dengan sebuah pertanyaan. Inayah tersenyum sambil memandang wajah suaminya. "Tidak ada yang bisa dikatakan dosa. Ini semua sudah menjadi keputusan aku, dan jika Aa benar-benar mencintaiku. Maka penuhi permintaan ini!" kata Inayah tersenyum. Ucapan Inayah sungguh sulit dimengerti, hal itu membuat Rafie jatuh ke kubangan dilema besar. Entah apa lagi yang hendak ia perbuat saat itu, tidak ada niat untuk menolak. Bukan berar
Beberapa hari kemudian, Inayah mengajak Rafie untuk berkunjung ke rumah Tiara. Dalam rangka menengok Tiara yang saat itu baru saja pulang dari rumah sakit, setelah hampir satu Minggu ia dirawat. Tiara masih dalam proses pemulihan setelan dilakukan perawatan di rumah sakit, ia mengalami gangguan lambung akibat keseringan telat makan dan juga mengalami depresi yang sangat hebat. "A, nanti sore kita ke rumah Tiara yuk!" ajak Inayah lirih. Rafie hanya tersenyum, kemudian menganggukkan kepala sebagai tanda menyetujui ajakan dari istrinya. Lalu Inayah bangkit dan segera bersiap untuk melaksanakan makan siang bersama dengan suaminya. "Ayo, A. Kita makan dulu!" kata Inayah lembut. "Iya, Neng." Rafie segera bangkit dan langsung berjalan mengikuti langkah sang istri menuju ruang makan. "Bedah ... Teh Fatimah!" panggil Inayah. "Iya, Neng. Ada apa?" tanya Fatimah bersikap ramah di hadapan majikannya itu. Inayah tersenyum, lalu menjawab, "Kita makan bareng di sini. Sekalian ajak bedah!" "N
Pagi hari sekitar pukul 03:30, Inayah sudah terbangun dari tidurnya. "Masya Allah!" Inayah tampak kaget setelah sadar kalau suaminya sudah tidak ada di kamar, ia bangkit dan bergegas keluar. Inayah tampak khawatir, mengingat Rafie sedang dalam kondisi tidak sehat, Inayah mencari ke ruang tengah Rafie tidak ada di ruangan tersebut. Kemudian Inayah melangkah ke arah ruang Musala, tersenyumlah ia, ketika mendapati suaminya sedang berdzikir khusyu. "Alhamdulillah ...! Ya Allah, suami hamba sudah sembuh," ucap Inayah penuh rasa syukur. Bukan hanya Inayah dan Rafie saja yang sudah bangun, Fatimah dan Jubaedah pun saat itu sudah terbangun dari tidur mereka. "Neng, mau Teteh buatkan teh manis?" tanya Fatimah mengarah kepada Inayah. "Tidak usah, Teh. Aku mau mandi dulu, tanggung sebentar lagi subuh!" tolak Inayah halus. "Oh ... iya, Neng," kata Fatimah langsung menuju ruang dapur. Inayah pun langsung melangkah menuju kamar mandi dan segera membersihkan diri, bersiap untuk melaksanakan S
Kemudian, Icha langsung merapikan hijab. Ia bangkit dan langsung pamit kepada Inayah. Setelah mengucapkan salam, Icha langsung berlalu dari hadapan Inayah. Inayah hanya berdiri menatap mobil putih yang Icha kemudikan, melaju keluar dari halaman rumahnya. Setelah itu, Inayah bergegas masuk ke dalam untuk kembali melanjutkan pekerjaannya. Membuat desain dan merapikan data-data yang sudah dilaporkan oleh Erni. *** Malam harinya selesai Salat Magrib, Inayah dan suaminya langsung makan malam bersama. “Teh Erni pulangnya kapan, Neng?” tanya Rafie menatap wajah Inayah. “Kalau sedang makan tidak boleh berbicara!” ucap Inayah sedikit bergurau. "Oh, iya. Lupa ... maaf Bu Ustadzah," jawab Rafie tersenyum-senyum. Inayah hanya menganggukan kepala kemudian melanjutkan makannya. Selesai makan Inayah mendampingi suaminya yang sedang mengerjakan tugas kantor membantu dirinya. "Neng, bisa buatkan Aa kopi!" bisik Rafie menoleh ke arah Inayah yang duduk di sebelahnya. "Iya, A." Inayah bangkit da
Inayah tersenyum dan menganggukkan kepalanya perlahan ia pun berkata dengan nada rendah. "Aku percaya A. Namun, jika ada rasa cinta dalam diri Aa terhadap Tiara sebaiknya Aa katakan saja! Percayalah ... jika niat Aa baik untuk menikahi Tiara, Inayah ikhlas kok, A!" ujar Inayah mengejutkan. Sejatinya, Inayah tidak merasa benci terhadap Tiara. Dia hanya khawatir Tiara akan berbuat nekat jika tidak berhasil bersanding dengan suaminya. Inayah sudah paham dengan sifat Tiara, ia tidak mau hijrahnya Tiara harus luntur karena merasa sakit hati tidak berhasil menikah dengan Rafie. Rafie tampak kaget dengan kalimat yang diucapkan oleh istrinya itu. Dengan segenap rasa penasaran, Rafie kemudian bertanya, "Maksud kamu apa, Neng?" Inayah hanya diam saja ketika mendengar pertanyaan suaminya. "Tidak sepantasnya kamu bicara seperti itu!" imbuh Rafie masih tetap lembut bertutur kata. Inayah tersenyum dan kembali berkata penuh dengan kebijaksanaan, "Aa tak seharusnya menjawab pertanyaanku sekaran
Pukul setengah sembilan, Rafie dan Inayah sudah berangkat ke tempat proyek pembangunan pondok pesantren. Sementara Erni, pagi itu sudah berada di kantor baru yang tidak jauh dari kediaman Inayah hanya berjarak beberapa meter saja, karena kantor tersebut berada tepat di depan halaman rumah. Dua puluh menit kemudian ... Inayah dan Rafie sudah berada di lokasi proyek. Tiara pun sudah tiba di lokasi proyek itu bersama Icha dan para donatur lainnya. Salah seorang arsitek didatangkan oleh Tiara untuk merancang bangunan pesantren tersebut, memang terkesan baik dan sangat dermawan sikap Tiara saat itu. Ia mendukung sepenuhnya proses pembangunan pondok pesantren tersebut. Meskipun, pada dasarnya ada kemauan yang tersimpan dalam pikiran Tiara dan niat kuat pula dalam benaknya. "Assalamualaikum, selamat pagi, Pak Ustadz," ucap pria paruh baya dengan mengenakan helm putih dan berkacamata hitam, menyapa lirih Rafie yang saat itu sedang duduk bersama istrinya. Rafie dan Inayah menjawab ucapan
Entah kenapa Icha menjadi benci seketika terhadap prilaku Tiara, yang berusaha memanfaatkan kedekatannya dengan Rafie dengan maksud dan tujuan untuk meraih simpati dari Rafie. Sepulang menemani Tiara dan Rafie, Icha langsung memberitahu Inayah tentang kedekatan Tiara yang menurut Icha ada sesuatunya, dan Icha sangat yakin kalau Tiara itu punya perasaan lebih terhadap Rafie bukan hanya dari sekadar persahabatan saja. "Kamu yakin, Cha?" tanya Inayah setelah mendengar laporan dari Icha. Dua bola matanya menatap tajam wajah Icha. Icha merupakan sahabat dekat Inayah sewaktu masih duduk di bangku SMA sama seperti Tiara dan juga Almarhum Rangga, dulu mereka sama-sama satu angkatan. "Masya Allah, Nay! Aku tidak mungkin bohong, aku bicarakan ini semua kepada kamu, karena aku tidak mau melihat kamu terluka," jawab Icha meyakinkan sahabatnya itu. "Terus, A Rafie sekarang ke mana?" tanya Inayah lagi. "Rafie pergi ke kantor cabang, katanya mau menemui Reno." Icha menjawab lirih pertanyaan Ina