Sementara Fatimah saat itu tengah duduk santai menonton acara televisi, ia hanya menyimak perbincangan Inayah dengan Erni.
Inayah tidak pernah memperlakukan mereka sebagai bawahan, menurutnya mereka adalah saudara dan bagian dari keluarga.
Kehadiran mereka sebagai penawar dari kesedihan yang ia rasakan semenjak meninggalnya Tommy dan Celly. Mereka memberikan warna baru dalam kehidupan Inayah, menjadi penyemangat hidup dan teman baik di kediaman megah tersebut.
Malam semakin larut, rasa ngantuk pun sudah menyelimut. "Teh Fatimah!" panggil Inayah lirih.
"Iya, Neng," jawab Fatimah menghampiri.
"Tolong beritahu Pak Andri, mobilnya masukan saja ke dalam garasi semua ya, Teh!"
"Iya, Neng," jawab Fatimah.
"Aku mau istirahat dulu," pungkas Inayah.
Ia langsung melangkah bergegas masuk ke dalam kamar.
Sebelum beranjak keperaduan, Inayah melaksanakan Salat Isya terlebih dahulu, di akhir Salat ia selipkan doa-doa yang terbaik, berharap ayah dan bundanya tenang di Surga.
"Limpahkanlah doa dan amalan ibadahku ini untuk menebus dosa kedua orang tuaku, dan semoga mereka mendapatkan tempat yang layak di sisi-Mu ya, Allah!" ucap Inayah di sela-sela doanya.
Usai salat, ia bangkit dan merebahkan tubuh di atas tempat tidurnya. Tanpa terasa bulir bening mengalir membasahi pipi, dipandanginya foto kedua orang tuanya yang terpajang di dinding kamar, pedih terasa bagai ditusuk sembilu.
Namun, Inayah tetap berusaha tegar dan ikhlas menghadapinya, Inayah percaya semua itu adalah takdir dari Allah.
"Ya, Allah! Semoga ayah dan bundaku tenang di Surga," ucap Inayah penuh harap.
Setelah itu, ia langsung membenamkan tubuh di sebuah selimut besar dan mulai memejamkan mata hingga pada akhirnya ia tertidur lelap dengan sentuhan udara segar dari AC yang ada di ruangan kamarnya itu.
Pukul 04:20, Inayah sudah terbangun untuk segera melaksanakan kewajibannya sebagai hamba Allah, Salat Subuh di awal waktu di lanjut dengan belajar mengaji bersama Erni dan juga Fatimah.
Mereka berdua jauh lebih baik dari Inayah dalam hal agama, oleh sebab itu Inayah menjadikan Erni dan Fatimah sebagai pembimbing dalam hal pengetahuan agama.
Selesai belajar mengaji, Inayah dan Erni berkeliling komplek untuk berolahraga lari pagi. Sementara Fatimah hanya di rumah saja, mengerjakan kewajibannya sebagai assisten rumah tangga.
Berkat bimbingan dari Erni, Inayah sudah bisa membaca Al-Qur'an dan sebagai penyempurnaan, ia banyak mengikuti kegiatan-kegiatan mengaji di berbagai tempat. Ia pun mengikuti belajar bersama di kediaman salah satu Ustadzah yang ada di sekitar komplek tidak jauh dari kediamannya.
Dalam kitab shahihnya, Imam Al-Bukhari meriwayatkan sebuah hadits dari Hajjaj bin Minhal dari Syu’bah dari Alqamah bin Martsad dari Sa’ad bin Ubaidah dari Abu Abdirrahman As-Sulami dari Utsman bin Affan Radhiyallahu Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda,
خَيْرُكُمْ مَنْ تَعَلَّمَ الْقُرْآنَ وَعَلَّمَهُ .
“Sebaik-baik kalian adalah orang yang belajar Al-Qur'an dan mengajarkannya.”
Sebuah hadits yang menjadi motivasi untuk Inayah lebih giat dan semangat belajar tentang Alqur'an, belajar membaca dan memahami isi dan maknanya, serta berusaha mengamalkannya dalam kehidupannya sehari-hari.
Sore harinya, Inayah mengajak Erni untuk menemui rekan bisnisnya di salah satu restoran yang tidak jauh dari tempat tinggalnya. Ada pembahasan penting terkait bisnis yang harus Inayah bicarakan dengan rekan bisnisnya itu.
“Teh! Teh Erni cantik!" panggil Inayah, suaranya terdengar lembut. Ia berdiri di depan pintu kamar Erni sambil mengetuk pintu kamar tersebut.
“Sebentar, Nay!" sahut Erni dari dalam kamar.
Kemudian, Erni bangkit dan langsung membuka pintu kamarnya. “Ada apa, Nay?” tanya Erni menatap wajah Inayah.
“Antar aku, Teh! Hari ini aku lagi malas nyetir mobil sendiri!” jawab Inayah dengan memegang tangan Erni.
"Kenapa tidak minta antar Pak Andri saja!" jawab Erni lirih.
"Pak Andri sedang mengantarkan berkas kerja ke kantor Bu Lisna."
Erni diam sejenak, kemudian berkata lagi, “Tapi Teteh belum mandi, Nay.”
“Tidak usah mandi, Teh! Teteh masih tetap cantik, kok!" puji Inayah tersenyum-senyum menatap wajah Erni. "Teteh, hanya mengantarkan aku saja. Setelah itu, Teteh kembali lagi ke rumah!" sambung Inayah sedikit menarik tangan Erni.
“Terus kamu pulangnya dengan siapa?” tanya Erni meluruskan dua bola matanya ke wajah Inayah.
“Ya, Teteh jemput lagi!” jawab Inayah sedikit mencubit pipi Erni yang sudah ia anggap sebagai kakaknya sendiri. "Nanti aku telepon Teteh kalau sudah selesai," sambungnya.
"Maunya!" hardik Erni mendelik. “Tunggu sebentar. Teteh mau cuci muka dulu!” sambung Erni berlalu dari hadapan Inayah.
“Ya, sudah. Aku tunggu di depan ya, Teh. Jangan lama!” kata Inayah langsung melangkah menuju ke beranda rumah.
"Iya," sahut Erni sedikit berteriak.
Beberapa menit kemudian, Erni sudah keluar dan langsung menghampiri Inayah yang sedari tadi menunggunya di beranda rumah.
“Ayo, Nay!” ajak Erni sembari melangkah menuju ke arah mobil miliknya yang terparkir di halaman depan rumah tersebut.
"Iya, Teh." Inayah bangkit dari duduknya dan langsung berjalan mengikuti Erni.
Mobil tersebut adalah milik Erni, yang ia beli tiga bulan lalu, hasil dari kerja kerasnya dari hasil mengelola bisnis fashion bersama Inayah. Ia merasa bangga dan bersyukur dengan kehidupannya sekarang.
Berkat kejujuran dan ketekunan dalam mengelola fashion milik Inayah, Allah sudah membuka jalan kesuksesan baginya.
"Bismillahirrahmanirrahim," ucap Erni dengan menginjak gas, mobil pun melaju perlahan keluar dari halaman rumah megah tersebut.
Tidak butuh waktu lama untuk tiba di tempat tujuan. Perjalanan dari rumah ke restoran hanya ditempuh dalam waktu sepuluh menit saja, karena jaraknya memang tidak terlalu jauh dari kediaman Inayah.
“Di sini saja, Teh. Tidak usah masuk parkiran!” pinta Inayah lirih.
“Teteh nanti jemput kamu jam berapa, Nay?” tanya Erni, menepikan mobilnya dan berhenti tepat di bahu jalan tidak jauh dari restoran tempat yang Inayah tuju.
“Nanti aku telepon kalau sudah selesai!” jawab Inayah langsung turun dari mobil.
"Ya, sudah. Teteh langsung pulang saja ya, Nay."
"Iya, Teh. Hati-hati, jangan ngebut!"
Inayah langsung melangkah masuk ke dalam restoran, untuk menemui rekan bisnisnya yang sudah menunggu sedari tadi.
Dalam pertemuan tersebut Inayah hanya membahas kerja sama tentang rancangan produk terbaru kepada pihak klien dan desainer tersebut.
Pertemuan dengan klien itu, hanya berlangsung satu jam saja. Setelah itu Inayah langsung pamit kepada kliennya dan segera melangkah keluar dari restoran tersebut.
Inayah langsung menelepon Erni, ia meminta Erni untuk segera menjemputnya. Inayah hanya berdiri di bahu jalan di depan halaman parkir restoran itu, menunggu kedatangan Erni.
Beberapa saat kemudian, terdengar suara teriakan dari arah belakang tempatnya berdiri, “Nay...! Nay...!” teriaknya kencang, tepat dari arah halaman parkir yang ada di depan restoran tersebut. Inayah langsung menoleh ke arah sumber suara tersebut. Tampak seorang pemuda tengah berlari kecil menuju ke arahnya, pemuda tersebut adalah Rangga teman Inayah waktu duduk di bangku SMA. "Rangga!" desis Inayah sedikit kaget dan tidak menyangka bisa bertemu di tempat itu. “Iya, Nay. Apa kabar?” Rangga tersenyum lebar menatap wajah Inayah sambil mengulurkan tangannya. “Masya Allah! Rangga ... alhamdulillah baik, Ga,” Inayah meraih uluran tangan pemuda berwajah tampan itu. “Mau ke mana, Nay?” tanya Rangga terus mengamati penampilan Inayah. “Mau pulang ... aku sedang menunggu kakakku," jawab Inayah lirih. "Kenapa, Ga. Ada yang aneh pada penampilanku?” sambung Inayah balas bertanya, karena heran melihat sikap Rangga yang terus mengamati penampilannya. “Delapan puluh derajat, Nay!" Rangga geleng-
Seperti biasa setelah selesai mengaji, Inayah dan Erni hanya duduk-duduk santai di ruang tengah. Tidak lama kemudian, datang Fatimah dengan membawa tiga gelas teh hangat dan makanan ringan.Mereka bertiga menikmati malam dengan berkumpul di rumah saja, tidak ada pekerjaan yang lain untuk malam itu. Karena saat ini, Inayah sudah tidak mau lagi keluar rumah terkecuali menyangkut masalah pekerjaan atau bisnis yang sedang ia jalani bersama Erni.Di antara mereka bertiga tidak ada batasan-batasan tertentu, tidak ada istilah bawahan atau atasan. Erni dan Fatimah sudah Inayah anggap sebagai kakaknya sendiri, mereka banyak membantu dalam hal pekerjaan dan bimbingan akhlak yang baik untuknya.Di saat mereka sedang berbincang, terdengar suara ponsel berdering tanda panggilan masuk.“Ada panggilan telepon masuk, Nay!” ucap Erni memberi tahukan Inayah.“Angkat saja, Teh!” jawab Inayah meminta Erni untuk menerima panggilan telepon tersebut.Erni hanya mengangguk dan segera menerima panggilan masuk
Inayah hanya diam menyimak apa yang diutarakan oleh Rangga. Kemudian Rangga mengeluarkan sesuatu dari dalam tasnya, benda kecil berupa tasbih kayu berwarna hitam mengkilat. “Ini buat kamu, Nay!” kata Rangga menyerahkan tasbih itu kepada Inayah. “Masya Allah! Terima kasih, Ga,” jawab Inayah meraih tasbih dari tangan Rangga. Inayah tampak terharu dengan hadiah yang diberikan oleh Rangga. Jarang sekali, seorang anak di zaman sekarang yang memberikan hadiah yang berkaitan dengan ibadah. “Aku ingin berubah seperti kamu, Nay. Tolong bantu bimbing aku!” ucap Rangga lirih. "Subhanallah!" bisik Inayah dalam hati. Ia menghela napas dalam-dalam, sejatinya Inayah merasa kaget dan terharu dengan kalimat yang diucapkan Rangga saat itu. Tentu sangat bertolak belakang dengan sikap Rangga yang selama ini dikenal sebagai seorang pemuda iseng, gemar hura-hura, dan selalu jahat kepada teman. Oleh sebab itu, Inayah masih ragu dengan kalimat-kalimat yang telah diucapkan oleh Rangga. Namun, Inayah te
Apa yang di utarakan Fatimah, sangat menambah pengetahuan untuk Inayah dan menjadi suatu pedoman tatkala Inayah dihadapkan dengan kerisauan memilih pasangan yang baik untuk menemani hidupnya kelak. Sangat berkesan, banyak sekali kalimat-kalimat nasihat bersumber dari hadits dan ayat-ayat Al-Qur'an, yang dituturkan oleh Fatimah. Sikap lugu dan pendiam dari sosok Fatimah, sangat bertolak belakang dengan kepintaran dan kecerdasan yang ia miliki, sejatinya Fatimah merupakan sosok wanita Muslimah yang patut dijadikan contoh sebagai panutan. Malam semakin larut, tak terasa waktu sudah menunjukkan pukul sepuluh malam, rasa ngantuk pun sudah melanda. “Teh, aku masuk kamar dulu yah, sudah malam,” pungkas Inayah lirih. “Iya, Neng,” jawab Fatimah sambil merapikan gelas dan piring serta dus sisa makanan yang ada di meja. Inayah langsung berlalu dari hadapan Fatimah, melangkah menuju kamarnya untuk segera beristirahat, merehat tubuh yang seharian disibukkan dengan berbagai aktivitas. Di dalam
Satu jam kemudian, rombongan dari LBUKD (Lembaga Bantuan Untuk Kaum Dhuafa) dari Purwakarta sudah tiba di lokasi. Mereka membawa ratusan paket sembako untuk diserahkan langsung kepada Kartika sebagai ketua panitia penyelenggra bantuan sosial tersebut. Pak Kades dan Kartika sebagai perwakilan dari panitia, langsung menyambut hangat kedatangan rombongan tersebut. Tampak sosok pemuda berkopiah putih dengan mengenakan kemeja jasko warna biru langit berdiri dan bersalaman dengan Pak Kades. Inayah hanya mengamati pemuda tersebut dari kejauhan, pemuda itu berdiri dalam posisi membelakanginya, sehingga wajahnya tidak terlihat jelas. “Masya Allah! Kok, orang itu mirip dengan Rangga ya, Nay?" desis Erni bertanya kepada Inayah yang duduk di sampingnya. Kemudian Erni bangkit pandangannya terus mengarah kepada orang-orang yang ada di tenda tersebut. Terutama kepada pemuda yang dianggap mirip sekali dengan Rangga. “Ah, Teteh. Hanya mirip saja, Teh!” jawab Inayah lirih sambil meraih ponsel yan
Kemudian, mereka langsung melangkah menuju ke sebuah Masjid terdekat yang ada di desa itu, untuk segera melaksanakan Salat Zuhur. Usai melaksanakan Salat Zuhur, sekitar pukul satu, acara bansos tersebut dimulai dengan membagikan ratusan paket sembako kepada masyarakat yang ada di desa tersebut. Acara berjalan dengan lancar tanpa kericuhan. Pukul setengah empat sore, acara pun sudah selesai dilaksanakan. Inayah dan rekan-rekannya langsung melaksanakan berjamaah Salat Asar. "Alhamdulillah, akhirnya selesai juga," ucap Inayah penuh rasa syukur. Setelah itu, Inayah dan yang lainnya langsung pamit kepada kepala desa setempat dan kepada para panitia yang ada di tempat tersebut, dan langsung kembali ke Bandung. Dalam perjalanan, Inayah terus kepikiran tentang Rangga. Rangga benar-benar sudah berubah dan berpenampilan sebagai pria Muslim sejati. Entah kenapa perasaan Inayah mulai gundah? Ia merasakan getaran-getaran cinta yang perlahan mulai merasuk jiwa dan pikirannya. “Nay, kita mampir
Inayah hanya diam terpaku, menahan rasa haru mendengar kalimat yang diucapkan oleh Rangga. Inayah sudah tak bisa berkata apa-apa lagi, ia hanya diam di antara rasa kagumnya terhadap perubahan sikap Rangga. Teman sekolah yang dulu sangat ia benci, berubah menjadi sosok Arjuna yang berbudi pekerti baik. “Kamu mau, 'kan, aku halalkan?” tanya Rangga memandang bias wajah Inayah. “Insya Allah, aku bersedia. Semoga Allah meridhoi niat baik kamu,” jawab Inayah dengan raut wajah berbinar-binar. Rangga tampak semringah mendengar jawaban dari Inayah. "Terima kasih ya, Nay," ucap Rangga lirih. Apa yang Inayah harapkan akhirnya terkabul juga, ia sangat berharap niat baik dari Rangga mendapatkan kemudahan dari Allah, serta hubungan mereka bisa berlanjut hingga jenjang pernikahan. "Simpan baik-baik tasbih itu, karena itu merupakan pemberian dari Ustadz Rafie!" Rangga terus menerus menebar senyum, memandang wajah gadis nakal yang kini sudah berubah menjadi seorang gadis Muslimah yang berbudi pe
Setelah itu Erni kembali masuk ke dalam rumah, membantu Fatimah menyiapkan makanan untuk makan malam mereka bertiga. Inayah hanya duduk termenung, pandangannya menerawang ke atas langit yang tampak indah dengan pancaran sinar bulan dan gemerlapnya bintang-bintang. Seakan-akan alam ikut merayakan dan menyambut hari pertama Inayah menjalin kasih asmara dengan Rangga Al-Fatih. Tak ada yang tidak mungkin, jika Allah sudah menghendaki, terjadi maka terjadilah. Sebagai mana kisah hidup Inayah yang diawali dengan sifat buruk dan tabiat yang tidak terpuji. Namun, Allah telah memberikan hidayah melalui ujian besar dengan meninggalnya kedua orang tua Inayah. Secara perlahan, Inayah mampu merubah segala sifat dan sikap buruknya menjadi sifat dan sikap yang baik. Meskipun masih belum sempurna. Namun, Inayah yakin dengan niat yang sungguh-sungguh, ia bisa menjadi wanita Muslimah yang berakhlak dan tetap bergaul dengan orang-orang yang baik yang selama ini turut andil dalam membimbingnya ke arah
Usai memberitahukan Rafie, Fahmi dan kedua rekannya segera bersiap untuk mendatangi rumah yang dicurigai menjadi tempat disekapnya Lina. Mereka sangat yakin kalau Lina ada di rumah itu, sesuai dengan apa yang dilihat oleh Fahmi. "Aku sangat berharap tidak terjadi apa-apa dengan Lina," kata Fahmi lirih sembari mengemudikan mobilnya menuju ke sebuah komplek yang tidak jauh dari tempat mereka berkumpul tadi. "Aku yakin, pelakunya adalah Alex." Andra mulai menaruh kecurigaan terhadap Alex yang merupakan orang dekat Lina. Karena akhir-akhir ini, Alex sedang bermasalah dengan Lina, semua dipicu oleh sikap Lina yang sudah menolak pinangan Alex. "Jangan su'udzon dulu. Kita buktikan saja nanti!" sahut Riko. Andra menoleh ke arah Riko, kemudian berkata lagi, "Aku berkata seperti ini, karena aku mendengar sendiri bahwa Alex mengancam Lina," tandas Fahmi. Setibanya di persimpangan jalan yang dekat jembatan yang tembus ke pintu gerbang komplek yang dituju, Fahmi menghentikan laju mobilnya sej
Secara tidak langsung Inayah mempunyai tugas dan kepercayaan dari almarhum kedua orang tuanya untuk mengelola beberapa perusahaan peninggalan mereka. Mulai dari pengelolaan keuangan dan pemanfaatannya, Inayah yang harus mengurusnya. Karena Inayah merupakan putri semata wayang dari Almarhum Tommy dan Celly. Akan tetapi, setelah Erni paham dan mengerti dengan tatanan bisnis yang dikelola Inayah. Inayah pun langsung mempercayai Erni sepenuhnya dalam mengelola perusahaan peninggalan dari kedua orang tuanya itu. Saat itu, yang mengurus semuanya adalah Erni dengan dibantu beberapa staf kepercayaannya dan Inayah sudah jarang ikut campur, dan ia sangat percaya dengan kinerja Erni, karena selama ini Erni sudah dinilai baik dalam menjalankan tugas jujur dan amanah. Pukul setengah lima sore, Inayah hanya duduk santai bersama Fatimah dan Jubaedah di ruang tengah kediamannya itu. Rafie sore itu masih belum pulang, karena masih berada di lokasi pondok pesantren yang saat itu masih dalam tahap pe
Sebulan setelah itu, Rafie dan keluarga Tiara sudah menentukan hari pernikahannya dengan Tiara. Hal tersebut sudah sepenuhnya disetujui oleh Inayah yang merupakan istri pertama Rafie. Pukul setengah enam sore, Rafie sudah berada di kediamannya. Ia tampak murung dan merasa kurang bahagia sore itu. Entah apa yang membalut jiwa dan pikirannya saat itu? "Aa kenapa? Mau nikah kok malah murung seperti ini sih?" tanya Inayah duduk di sebelah suaminya. Rafie menoleh ke arah Inayah, kemudian memandang wajah istrinya. "Aa tidak dosa, 'kan kalau menikah lagi?" Rafie menjawab dengan sebuah pertanyaan. Inayah tersenyum sambil memandang wajah suaminya. "Tidak ada yang bisa dikatakan dosa. Ini semua sudah menjadi keputusan aku, dan jika Aa benar-benar mencintaiku. Maka penuhi permintaan ini!" kata Inayah tersenyum. Ucapan Inayah sungguh sulit dimengerti, hal itu membuat Rafie jatuh ke kubangan dilema besar. Entah apa lagi yang hendak ia perbuat saat itu, tidak ada niat untuk menolak. Bukan berar
Beberapa hari kemudian, Inayah mengajak Rafie untuk berkunjung ke rumah Tiara. Dalam rangka menengok Tiara yang saat itu baru saja pulang dari rumah sakit, setelah hampir satu Minggu ia dirawat. Tiara masih dalam proses pemulihan setelan dilakukan perawatan di rumah sakit, ia mengalami gangguan lambung akibat keseringan telat makan dan juga mengalami depresi yang sangat hebat. "A, nanti sore kita ke rumah Tiara yuk!" ajak Inayah lirih. Rafie hanya tersenyum, kemudian menganggukkan kepala sebagai tanda menyetujui ajakan dari istrinya. Lalu Inayah bangkit dan segera bersiap untuk melaksanakan makan siang bersama dengan suaminya. "Ayo, A. Kita makan dulu!" kata Inayah lembut. "Iya, Neng." Rafie segera bangkit dan langsung berjalan mengikuti langkah sang istri menuju ruang makan. "Bedah ... Teh Fatimah!" panggil Inayah. "Iya, Neng. Ada apa?" tanya Fatimah bersikap ramah di hadapan majikannya itu. Inayah tersenyum, lalu menjawab, "Kita makan bareng di sini. Sekalian ajak bedah!" "N
Pagi hari sekitar pukul 03:30, Inayah sudah terbangun dari tidurnya. "Masya Allah!" Inayah tampak kaget setelah sadar kalau suaminya sudah tidak ada di kamar, ia bangkit dan bergegas keluar. Inayah tampak khawatir, mengingat Rafie sedang dalam kondisi tidak sehat, Inayah mencari ke ruang tengah Rafie tidak ada di ruangan tersebut. Kemudian Inayah melangkah ke arah ruang Musala, tersenyumlah ia, ketika mendapati suaminya sedang berdzikir khusyu. "Alhamdulillah ...! Ya Allah, suami hamba sudah sembuh," ucap Inayah penuh rasa syukur. Bukan hanya Inayah dan Rafie saja yang sudah bangun, Fatimah dan Jubaedah pun saat itu sudah terbangun dari tidur mereka. "Neng, mau Teteh buatkan teh manis?" tanya Fatimah mengarah kepada Inayah. "Tidak usah, Teh. Aku mau mandi dulu, tanggung sebentar lagi subuh!" tolak Inayah halus. "Oh ... iya, Neng," kata Fatimah langsung menuju ruang dapur. Inayah pun langsung melangkah menuju kamar mandi dan segera membersihkan diri, bersiap untuk melaksanakan S
Kemudian, Icha langsung merapikan hijab. Ia bangkit dan langsung pamit kepada Inayah. Setelah mengucapkan salam, Icha langsung berlalu dari hadapan Inayah. Inayah hanya berdiri menatap mobil putih yang Icha kemudikan, melaju keluar dari halaman rumahnya. Setelah itu, Inayah bergegas masuk ke dalam untuk kembali melanjutkan pekerjaannya. Membuat desain dan merapikan data-data yang sudah dilaporkan oleh Erni. *** Malam harinya selesai Salat Magrib, Inayah dan suaminya langsung makan malam bersama. “Teh Erni pulangnya kapan, Neng?” tanya Rafie menatap wajah Inayah. “Kalau sedang makan tidak boleh berbicara!” ucap Inayah sedikit bergurau. "Oh, iya. Lupa ... maaf Bu Ustadzah," jawab Rafie tersenyum-senyum. Inayah hanya menganggukan kepala kemudian melanjutkan makannya. Selesai makan Inayah mendampingi suaminya yang sedang mengerjakan tugas kantor membantu dirinya. "Neng, bisa buatkan Aa kopi!" bisik Rafie menoleh ke arah Inayah yang duduk di sebelahnya. "Iya, A." Inayah bangkit da
Inayah tersenyum dan menganggukkan kepalanya perlahan ia pun berkata dengan nada rendah. "Aku percaya A. Namun, jika ada rasa cinta dalam diri Aa terhadap Tiara sebaiknya Aa katakan saja! Percayalah ... jika niat Aa baik untuk menikahi Tiara, Inayah ikhlas kok, A!" ujar Inayah mengejutkan. Sejatinya, Inayah tidak merasa benci terhadap Tiara. Dia hanya khawatir Tiara akan berbuat nekat jika tidak berhasil bersanding dengan suaminya. Inayah sudah paham dengan sifat Tiara, ia tidak mau hijrahnya Tiara harus luntur karena merasa sakit hati tidak berhasil menikah dengan Rafie. Rafie tampak kaget dengan kalimat yang diucapkan oleh istrinya itu. Dengan segenap rasa penasaran, Rafie kemudian bertanya, "Maksud kamu apa, Neng?" Inayah hanya diam saja ketika mendengar pertanyaan suaminya. "Tidak sepantasnya kamu bicara seperti itu!" imbuh Rafie masih tetap lembut bertutur kata. Inayah tersenyum dan kembali berkata penuh dengan kebijaksanaan, "Aa tak seharusnya menjawab pertanyaanku sekaran
Pukul setengah sembilan, Rafie dan Inayah sudah berangkat ke tempat proyek pembangunan pondok pesantren. Sementara Erni, pagi itu sudah berada di kantor baru yang tidak jauh dari kediaman Inayah hanya berjarak beberapa meter saja, karena kantor tersebut berada tepat di depan halaman rumah. Dua puluh menit kemudian ... Inayah dan Rafie sudah berada di lokasi proyek. Tiara pun sudah tiba di lokasi proyek itu bersama Icha dan para donatur lainnya. Salah seorang arsitek didatangkan oleh Tiara untuk merancang bangunan pesantren tersebut, memang terkesan baik dan sangat dermawan sikap Tiara saat itu. Ia mendukung sepenuhnya proses pembangunan pondok pesantren tersebut. Meskipun, pada dasarnya ada kemauan yang tersimpan dalam pikiran Tiara dan niat kuat pula dalam benaknya. "Assalamualaikum, selamat pagi, Pak Ustadz," ucap pria paruh baya dengan mengenakan helm putih dan berkacamata hitam, menyapa lirih Rafie yang saat itu sedang duduk bersama istrinya. Rafie dan Inayah menjawab ucapan
Entah kenapa Icha menjadi benci seketika terhadap prilaku Tiara, yang berusaha memanfaatkan kedekatannya dengan Rafie dengan maksud dan tujuan untuk meraih simpati dari Rafie. Sepulang menemani Tiara dan Rafie, Icha langsung memberitahu Inayah tentang kedekatan Tiara yang menurut Icha ada sesuatunya, dan Icha sangat yakin kalau Tiara itu punya perasaan lebih terhadap Rafie bukan hanya dari sekadar persahabatan saja. "Kamu yakin, Cha?" tanya Inayah setelah mendengar laporan dari Icha. Dua bola matanya menatap tajam wajah Icha. Icha merupakan sahabat dekat Inayah sewaktu masih duduk di bangku SMA sama seperti Tiara dan juga Almarhum Rangga, dulu mereka sama-sama satu angkatan. "Masya Allah, Nay! Aku tidak mungkin bohong, aku bicarakan ini semua kepada kamu, karena aku tidak mau melihat kamu terluka," jawab Icha meyakinkan sahabatnya itu. "Terus, A Rafie sekarang ke mana?" tanya Inayah lagi. "Rafie pergi ke kantor cabang, katanya mau menemui Reno." Icha menjawab lirih pertanyaan Ina